"Apa kamu benar-benar sudah melupakan aku?"
"Ya. Sekarang minggirlah!" titah Fatimah kesal.
"Apa kamu benar-benar tidak mau menungguku?"
"Menunggumu?"
"Tunggu aku bercerai, Fat ...," kata Adnan terdengar sangat putus asa.
Fatimah bosan dan muak mendengar permintaan Adnan yang masih sama saja seperti beberapa bulan lalu.
"Adnan sadarlah ...!" Suara Fatimah meninggi. "Kita memang tidak berjodoh. Pernikahan bukan mainan, Ad!"
"Tapi ini semua jebakan, Fat. Aku dijebak oleh Naura."
"Tapi kenyataannya kalian sudah menikah, meski Naura berbohong malam itu dan berbohong bahwa dirinya hamil. Tapi kamu tidak seharusnya--"
"Naura hamil sungguhan sekarang," potong Adnan yang membuat Fatimah terperangah.
"Naura hamil? Berarti kalian sudah ...." Fatimah menutup mulutnya tak percaya. Pria yang memohon agar dirinya mau menunggunya, nyatanya sudah berhubungan dengan Naura.
"Iya," sahut Adnan lemah. "Naura memberikan obat perangsang dalam minumanku, Fat. Aku benar-benar tak sadar dan diluar kendali melakukannya."
Fatimah kira dia sudah melupakan Adnan sepenuhnya, namun hatinya masih terasa sakit mendengar pengakuan Adnan.
"Kamu benar-benar sudah berhubungan dengannya dan Naura sedang hamil anakmu. Tapi kamu meminta mantan kekasihmu untuk menunggu? Pria macam apa kamu, Adnan?! Aku benar-benar benci padamu!"
Fatimah melemparkan box kue yang ia beli pada badan Adnan. Dia berlari meninggalkan Adnan dan tak peduli mantan pacarnya itu memanggil-manggil namanya.
Sesampainya di rumah, Pak Fadil heran karena Fatimah pamit membeli kue tapi saat pulang tak membawa apapun. Bahkan putrinya itu terlihat seperti baru saja menangis.
"Kamu kenapa, Fat?" Pak Fadil menuntun Fatimah untuk duduk.
"Aku bertemu, Adnan, Yah."
"Kenapa lagi? Apa Adnan menyakitimu?"
Fatimah menggeleng.
"Lalu kenapa kamu menangis?"
"Adnan ... aku tidak menyangka dia pria seperti itu."
Pak Fadil makin tidak mengerti. "Apa dia berbuat macam-macam padamu?"
Fatimah menggeleng lagi.
"Katakan, Fat! Ayah akan memberinya pelajaran!"
"Tidak, Yah. Dia ... dia memintaku menunggunya bercerai. Padahal istrinya sedang hamil. Aku tidak mengira Adnan bisa berbicara semudah tu!" Fatimah kecewa mengetahui Adnan adalah pria yang egois.
"Astaghfirullahaladzim. Adnan sepertinya sudah hilang akal. Bagaimana bisa dia berpikir akan meninggalkan istri dan anaknya?" Giliran Pak Fadil yang tak menyangka bahwa Adnan meminta putrinya untuk menunggunya bercerai.
"Aku benar-benar kecewa padanya, Yah. Padahal aku mencoba menerima semua ini. Mencoba menerima takdir bahwa aku dan dia memang tidak berjodoh, tapi dia malah masih saja belum bisa menerimanya." Fatimah menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya.
"Sudahlah, Fatimah. Tidak usah meladeni Adnan. Hindari saja dia jika masih menganggumu. Bagaimanapun dia pria beristri bahkan akan mempunyai anak." Pak Fadil menepuk-nepuk pundak Fatimah.
"Aku tahu itu, Ayah."
Fatimah sepertinya harus segera kembali ke Singapura. Jika Bu Maryam tak sakit, ia tidak akan pulang sampai waktunya lulus.
Dia juga tak memberitahu Radinka bahwa pulang mendadak ke Indonesia, padahal bisa saja Radinka menemaninya.
"Kapan kamu berangkat ke Singapura lagi?"
"Lusa, Ayah."
Ponsel Fatimah berdering, tertera nama Radinka di layar ponsel. Pak Fadil pun dengan jelas bisa melihat dan membacanya.
"Radinka? Siapa dia, Fat? Ayah tidak tahu kamu punya teman bernama Radinka."
Fatimah menghapus air matanya dan malah tersenyum lebar menampilkan semua giginya. "Aku mau angkat dulu, Ayah!"
Fatimah berlari ke kamar untuk mengangkat telepon Radinka dan meninggalkan Pak Fadil di ruang tamu.
[Radinka : Assalamu'alaikum. Fatimah? Kamu pulang ke Indonesia? Kapan? Kenapa tak memberitahuku?]
[Fatimah : Wa'alaikumussalam. Maafkan aku Radinka, ibuku jatuh sakit jadi aku terburu-buru pulang. Aku hanya tiga hari di rumah kok.]
[Radinka : Ibumu sakit apa? Harusnya kamu beritahu aku, aku akan dengan senang hati menemanimu.]
[Fatimah : Memangnya kenapa?]
[Radinka : Aku rindu.]
[Fatimah : Sudah ah, aku tutup teleponnya kalau hanya untuk mendengar gombalanmu!]
Fatimah cepat-cepat memutuskan sambungan telepon. Dia ingin berteriak bahagia, namun pasti tidak bisa karena orang tuanya akan mendengarnya. Akhirnya dia hanya loncat-loncat kegirangan di tempat tidurnya.
Tiba-tiba Fatimah berhenti menyadari sesuatu. "Apa aku terlalu cepat jatuh cinta lagi?"
Apa perasaannya pada Radinka bisa ia sebut cinta? Dia sendiri tak yakin.
Fatimah berhubungan dengan Adnan empat tahun lamanya, dan berselang beberapa bulan setelah putus, dia sudah memiliki kekasih baru. Tidak ada salahnya bukan?
Pikirannya kembali pada Adnan. Fatimah tak habis pikir Adnan pria yang egois. Padahal selama menjalin hubungan dengannya, Adnan merupakan pria yang baik.
Fatimah bertanya pada hatinya sendiri, sebenarnya dia masih mencintai Adnan atau tidak?
Mungkin ... masih, namun tak sebesar dulu.
Jika Fatimah masih mencintai Adnan sebesar dulu pun, dia bukan wanita yang tega menyakiti hati wanita lainnya. Meskipun wanita itu telah merebut kebahagiaannya.
Naura menjebak Adnan, ya itu salah. Dia merebut paksa Adnan dari Fatimah. Tapi kenyataannya yang ada saat ini Naura dan Adnan telah menikah, dan akan segera memiliki anak.
Tegakah Fatimah menghancurkan sebuah keluarga hanya karena ingin kembali bersama Adnan?
'Kamu tidak merebut posisi siapapun, Naura yang merebutnya darimu.'
Kalimat Adnan terngiang-ngiang dalam pikiran Fatimah.
"Posisi itu ... aku tak menginginkannya lagi, Adnan. Harapanku untuk menjadi istrimu sudah aku enyahkan sejak aku menghadiri pesta pernikahanmu."
Fatimah bergumam seraya mengetiknya dalam room chat Adnan, dan kemudian mengirimkannya.
Beberapa menit kemudian terdengar deringan singkat dari ponsel Fatimah, sepertinya balasan pesan dari Adnan.
[Berhenti menggangu suamiku, dasar jalang!]
Mata Fatimah memanas seketika, dia sama sekali tak terima dikatai jalang. Sudah pasti Naura yang membalas pesan ini. Dia sama sekali tak diajarkan untuk mencela atau berkata kasar. Tapi sekarang rasanya dia ingin sekali mengumpat.
Meskipun rasanya Fatimah ingin sekali mengatai balik Naura, buru-buru dia beristighfar dan memilih tak membalas lagi pesan Naura. Ia kemudian memilih memblokir kontak Adnan.
"Mungkin ini pilihan terbaik."
***
"Akhirnya kamu kembali," kata Radinka dengan sumringah melihat Fatimah sudah berangkat lagi ke kampus. "Bagaimana keadaan ibumu?" lanjut Radinka.
"Alhamdulillah sudah lebih baik. Dia sangat merindukanku sampai jatuh sakit karena kami belum pernah berpisah jauh seperti ini."
"Ibumu pasti sangat menyayangimu." Radinka bisa melihat Fatimah menerima kasih sayang yang begitu besar dari ibunya.
"Alhamdulillah, aku mempunyai ibu dan ayah yang sangat menyayangiku."
"Aku tak sabar bertemu mereka," cetus Radinka.
Dahi Fatimah berkerut tak mengerti. "Siapa?"
"Kedua orang tuamu."
"Untuk apa?"
"Melamarmu," kekeh Radinka.
"Selesaikan saja dulu kuliah kita. Jangan menggodaku terus!"
Radinka tergelak karena Fatimah terlihat salah tingkah sekarang.
"Memangnya menikah saat kuliah tidak boleh?" goda Radinka lagi.
"Sudah aku katakan berhenti, Radinka!" Pipi Fatimah semakin memerah, dan hal itu membuat Radinka semakin tergelak.
Mereka masih di depan kampus dan terdengar sirine ambulans. Mendengar suara itu membuat Fatimah langsung mematung dan pucat seketika. Tangannya bergetar dan ketakutan.
"Fatimah, kamu kenapa?" Radinka melihat Fatimah seperti itu pun panik.
Fatimah menutup kedua matanya seraya menutup kedua telinganya. Berusaha untuk tidak mendengar suara sirine yang semakin mendekat.
"Fatimah, ada apa? Kamu sakit?" Radinka benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dengan kekasihnya.
Dalam pejaman matanya, Fatimah terlihat bayangan menyedihkan dimana sebuah mobil bertabrakan saat hujan turun begitu lebat.
"Tidak ...!" jerit Fatimah dan membuka matanya.
"Kenapa, Fat? Kamu kenapa?" Radinka memegang kedua pundak Fatimah.