Dalam kelasnya, Radinka malah melamun. Mengingat deretan pesan yang dikirimkan Adnan pada Fatimah.
"Apa dia sudah gila?" Tanpa sadar Radinka bergumam sendiri walaupun tidak terlalu keras.
Jonathan yang berada di sebelahnya pun menyenggol lengan Radinka yang membuatnya menoleh.
Jonathan meletakkan telunjuknya di bibir, memberi kode agar Radinka diam. Radinka pun sadar dan mengunci mulutnya rapat-rapat, melihat beberapa temannya menoleh padanya.
"Kamu kenapa sih?" Setelah kelas berakhir Jonathan pun bertanya karena penasaran.
"Adnan mengirimi Fatimah rentetan pesan. Dia meminta Fatimah kembali dan akan menceraikan Naura."
"Lalu? Apa masalahnya?"
"Aku tidak suka."
"Biarkan saja mereka kembali bersama dan hentikan rencanamu!"
"Sudah ku katakan jangan ikut campur, Jo!"
"Kamu marah karena cemburu atau karena merasa rencanamu akan gagal?"
Radinka sendiri tidak tahu jawabannya. Mengapa dia semarah ini? Apa dia cemburu pada Adnan? Atau dia takut rencananya berantakan?
"Aku masih dengan rencana awalku!" Radinka berucap dingin lalu meninggalkan Jonathan di kelas.
"Dia benar-benar keras kepala!" Jonathan hendak meninju tembok, namun terlihat Fatimah memasuki kelas dan menyapanya.
"Jo!" Gadis itu melambai-lambaikan tangannya. "Dimana Radinka?" tanya Fatimah yang sudah berjalan mendekat.
"Baru saja keluar kelas, kamu tidak bertemu dengannya?"
Fatimah menggelengkan kepalanya. "Tidak. Baiklah kalau begitu, aku coba hubungi dia dulu."
Fatimah mengambil ponsel dari tasnya dan hendak menghubungi Radinka, namun tangan Jonathan menahannya.
"Fat."
"Iya, kenapa, Jo?"
Senyum wanita itu benar-benar menenangkan dan Jonathan bisa menilai Fatimah mempunyai hati yang tulus.
"Jauhi Radinka."
Alis Fatimah bertaut. "Ada apa, Jo? Kenapa sejak pagi kamu bersikap aneh?"
"Sebenarnya dia--"
"Jonathan!" Radinka melangkah mendekat dengan cepat dan memotong kalimat Jonathan.
Kilat amarah terlihat jelas di mata Radinka saat menatap Jonathan, dan itu membuat Fatimah sedikit ketakutan.
"Kamu mau bicara apa, Jo? Katakan saja," pinta Fatimah.
Jonathan melirik Radinka, sudah pasti mereka akan bertengkar hebat setelah ini.
"Fat, jangan dengarkan dia. Ayo kita makan siang!" ajak Radinka.
"Tunggu dulu, Radinka. Siapa tahu Jonathan mau bicara hal yang penting."
"Tidak, Fatimah. Silahkan kalian makan siang. Aku pergi dulu." Jonathan menatap Radinka dan Fatimah bergantian sebelum akhirnya meninggalkan mereka berdua.
"Radinka, kenapa kamu terlihat semarah itu pada Jonathan?"
"Dia bicara apa saja padamu?"
"Jonathan belum mengatakan apapun." Jawaban Fatimah membuat Radinka bernapas lega.
Fatimah menyembunyikan bahwa Jonathan memperingatkan dirinya untuk berhati-hati bahkan menjauhi Radinka. Dia merasa ada hal yang Radinka dan Jonathan sembunyikan darinya.
Malam harinya Radinka menghampiri Jonathan di apartemen. Saat pintu dibuka, ia segera menerobos masuk.
"Kamu mau mengatakan apa pada Fatimah, Jo?" tanya Radinka dengan tatapan tajam.
"Aku hanya memperingatkannya untuk berhati-hati padamu."
Radinka mencengkeram kerah Jonathan.
"Jangan ikut campur urusanku, Jo. Aku tidak mau pertemanan kita rusak gara-gara wanita."
"Aku tidak akan mengganggu Fatimah jika kamu memang benar tulus mencintainya, Radinka! Tapi jika Fatimah kamu gunakan untuk alat balas dendam pada Adnan, maka aku minta berhentilah! Fatimah wanita baik dan tidak seharusnya ada di antara kalian berdua!"
Radinka mengetahui Fatimah adalah mantan pacar Adnan yang ditinggal menikah. Adnan malah menikahi Naura, dan Radinka tahu itu. Dia memang tak hadir dalam pernikahan Adnan karena hubungan saudara tiri mereka yang buruk.
"Terserah aku benar menyukainya atau tidak!" Radinka melepas kasar cengkeraman tangannya pada kerah Jonathan. "Itu bukan urusanmu!"
Jonathan sudah menduga Radinka pasti marah besar padanya. Dari awal sejak mengetahui rencana Radinka, dia memang tak setuju. Radinka memang sengaja mendekati Fatimah untuk membuat Adnan sakit hati.
Saat di dalam pesawat dia tak sadar bahwa di sampingnya adalah Fatimah. Ia hanya merasa pernah melihatnya. Dan benar saja, esok harinya Radinka melihat sosial media Adnan, disana masih ada foto Fatimah dan Adnan.
Karena sudah memastikan Fatimah adalah mantan kekasih Adnan, Radinka pun memulai rencana untuk mendapatkan hati Fatimah.
"Semoga saja kamu benar-benar jatuh cinta pada Fatimah, bukan hanya mempermainkannya. Tapi aku lebih berharap Fatimah menolakmu. Nyatanya dia sepertinya tertarik padamu, makanya aku memperingatkannya untuk berhati-hati."
Radinka tak menjawab lagi ocehan Jonathan. Dia memilih pergi dari apartemen milik temannya itu, sebelum benar-benar lepas kendali dan menghajar Jonathan.
***
Satu bulan kemudian.
Naura sedang berjalan mondar-mandir sembari memegangi alat tes kehamilan di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencoba menghubungi Adnan.
Berhubungan dengan Adnan malam itu benar-benar membuatnya hamil sungguhan. Namun suaminya sejak saat itu tak pernah pulang ke rumah.
"Angkatlah ...!"
Naura berteriak frustasi karena Adnan selalu mengabaikan pesan dan telepon darinya.
Akhirnya dia berhenti mencoba menelepon Adnan dan mengiriminya foto test pack. Berharap Adnan melihatnya dan segera pulang ke rumah.
Di lain tempat, Adnan yang baru sempat melihat kiriman foto dari Naura setelah mengerjakan pekerjaannya. Dia segera bergegas menghampiri istrinya. Butuh waktu tiga puluh menit dari kantornya menuju rumah mereka.
Terdengar suara bel berbunyi dan Naura segera berlari kecil.
"Apa maksud foto yang kamu kirimkan?"
Tanpa menjawab, Naura memberikan alat tes kehamilannya pada Adnan.
"Ka-kamu hamil?" Adnan menatap test pack dan Naura bergantian.
"Iya."
Harusnya Adnan bahagia. Seperti pada pasangan suami-istri lain, yang pasti berbahagia jika diberikan keturunan. Tapi nyatanya Adnan malah menghela napas panjang.
"Bagaimana bisa?" Pertanyaan Adnan membuat Naura berdecak.
"Apa maksudmu bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Kita sudah melakukannya bulan lalu!" Naura meninggikan suaranya.
"Apa ini benar hasil tesnya? Apa ini benar-benar anakku?" tanya Adnan sangsi, karena Naura pernah menjebak dan menipunya.
"Adnan! Kamu sudah keterlaluan!" jerit Naura tak terima dengan tuduhan suaminya. "Aku memang pernah menjebakmu dan aku minta maaf untuk itu. Tapi kali ini aku tidak berbohong, Ad. Ini hasil tesku, dan ini anakmu!"
Adnan meraup wajahnya kasar. "Aku ingin bersama Fatimah bukannya kamu, Naura!"
Adnan semakin terjebak dalam pernikahannya, rencananya menceraikan Naura sudah pasti tak bisa dilanjutkan. Bagaimanapun Naura sedang mengandung anak mereka.
"Kamu benar-benar akan menceraikan aku? Bagaimana nasib anak ini, Adnan? Apa kamu tega padanya?" lirih Naura.
Adnan melihat pada perut istrinya yang masih rata. Terselip rasa bahagia sekaligus sedih. Dia akan menjadi seorang ayah, namun dia tak bisa bersama Fatimah.
"Untuk saat ini tidak. Aku tidak mau menjadi ayah yang tidak bertanggung jawab."
Naura melangkah maju dan memeluk Adnan. "Terima kasih, Adnan. Aku janji akan menjadi istri dan ibu yang baik. Beri aku kesempatan."
Adnan tak membalas pelukan Naura, ia larut dalam pikirannya sendiri. Memikirkan Fatimah. Kini jarak mereka seakan semakin jauh dan mustahil bisa kembali bersama.
***
"Ibu!" Fatimah memeluk Bu Maryam yang terbaring lemah di ranjang dengan infusan di tangannya.
"Fatimah, kenapa kamu pulang?" tanya Bu Maryam lemah.
"Ayah yang memberitahunya, Bu." Pak Fadil menyahut. "Baru saja empat bulan Fat, Ibumu sepertinya sudah sangat merindukanmu."
Bu Maryam memilih dirawat di rumah, karena dia tahu Fatimah takut memasuki rumah sakit. Ia sudah menduga jika suaminya pasti memberitahu putrinya jika dia jatuh sakit.
"Ibu ...," panggil Fatimah lirih. "Maafkan aku." Fatimah merasa bersalah karena memaksa kuliah di luar negeri dan berjauhan dengan ibunya.
"Tidak apa-apa, Fat. Ibu hanya kelelahan saja," jawab Bu Maryam seraya tersenyum tipis.
"Bohong, Fat. Ibumu menangis setiap malam." Pak Fadil berbisik, namun suaranya masih terdengar oleh Bu Maryam.
"Seharusnya kamu tak usah pulang, Nak. Bagaimana kuliahmu?"
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya beberapa hari."
"Bagaimana kuliahmu, Fat?" imbuh Pak Fadil.
"Menyenangkan!" Fatimah menjawab dengan wajah berseri-seri.
"Ibu tebak kamu pasti bertemu orang yang membuatmu bahagia disana."
Pipi Fatimah memerah karena terkaan ibunya benar. Dia bertemu Radinka yang membuatnya bahagia.
"Anak Ayah sudah punya pacar baru?" Pak Fadil menyelidik putrinya.
"Nanti Ibu dan Ayah juga tahu!" kekeh Fatimah.
Adnan mendengar kabar pulangnya Fatimah ke Indonesia pun segera menghubunginya, meski sudah beberapa bulan ini Fatimah mengabaikan pesan yang Adnan kirimkan.
Dia melihat Fatimah keluar dari rumahnya dan bersiap pergi. Adnan pun mengikutinya.
Ternyata Fatimah menuju toko kue untuk membelikan cake kesukaan Bu Maryam. Saat ke luar dari toko, Fatimah terkejut Adnan sudah ada di hadapannya.
"Fatimah," panggil Adnan lembut seperti biasa.
"Mau apa lagi kamu, Ad?"