"Ibuku ... berselingkuh dengan Ayah Adnan."
Fatimah terperangah sampai menutup mulutnya.
"Mereka menikah diam-diam karena Ibu Adnan--Bu Tina tak kunjung hamil waktu itu, sedangkan Pak Hendra ingin segera memiliki keturunan."
Fatimah beristighfar dalam hati, kini ia mengerti mengapa hubungan Radinka dan Adnan begitu buruk.
"Ibuku akhirnya hamil, dan Pak Hendra berniat menceraikan Bu Tina. Tapi berselang dua bulan, Bu Tina juga hamil."
Fatimah meremas ujung kemejanya, merasa tak percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi dia juga tak memiliki hak untuk menyalahkan siapapun.
"Akhirnya Pak Hendra tidak jadi menceraikan Bu Tina. Hal itu tentu membuat ibuku marah karena Pak Hendra tak menepati janjinya. Ibuku pergi dengan aku dalam kandungannya."
Fatimah masih belum mengeluarkan suara, mulutnya terasa terkunci.
"Apa kamu akan pergi dariku mengetahui fakta ini?"
Fatimah menggeleng pelan. Ini bukan salah Radinka maupun Adnan. Mereka anak yang tidak bersalah dan terjebak dalam hubungan yang rumit.
"Aku anak hasil selingkuhan, Fat. Itu sebabnya Adnan sangat membenciku."
Selama ini Fatimah melihat Adnan begitu sempurna, dengan Ayah dan Ibu yang terlihat sangat menyayanginya.
"Pak Hendra menemukanku saat usiaku delapan belas tahun ... dan akhirnya memberiku fasilitas yang sama dengan Adnan. Bagaimanapun dia merasa bertanggung jawab atasku, karena aku juga anaknya."
"Dimana ibumu?" Fatimah mulai membuka mulutnya.
Radinka diam beberapa saat. Matanya terlihat sedikit mengabur.
"Ibuku ... sudah meninggal."
"Radinka maaf aku tidak tahu ...," lirih Fatimah, merasa menanyakan pertanyaan yang salah.
"Tidak apa-apa, Fatimah. Aku senang sudah bisa membagi ceritaku padamu. Aku harap kamu tidak membenciku karena aku anak hasil selingkuh--"
"Tidak, Radinka. Itu bukan kesalahanmu. Memangnya ada anak yang bisa memilih dilahirkan oleh siapa?" potong Fatimah cepat.
"Jujur, aku iri padamu Fat. Aku melihat orang tuamu begitu peduli dan sayang padamu. Sedangkan aku ... ibuku sudah tiada. Ayahku hanya memberiku kebutuhan berupa materi, bukan kasih sayang."
Dalam hati Fatimah membenarkan, dia seharusnya bersyukur mempunyai kedua orang tua yang begitu menyayangi dan memperhatikannya.
"Lalu kamu tinggal dimana?"
"Aku sempat dibawa Pak Hendra ke rumah mereka. Tentu saja ibu tiriku dan Adnan melihatku dengan tatapan kebencian. Aku hanya bertahan kurang dari satu bulan dan keluar dari rumah yang bagiku adalah neraka," kenang Radinka. "Aku memilih tinggal sendiri dan akhirnya Pak Hendra memberiku apartemen. Aku meminta melanjutkan studiku dan beliau mengabulkannya. Dan akhirnya aku bertemu denganmu disini."
Fatimah tersenyum pada Radinka. Jadi dapatkah ia menyebutkan ini sebagai takdir bukannya hanya kebetulan?
"Apakah ini semacam takdir?" lanjut Radinka.
"Mungkin ... kita memang ditakdirkan bertemu dan menyembuhkan luka satu sama lain."
Fatimah dengan luka hatinya yang ditinggal menikah oleh kekasihnya, dan Radinka dengan luka kehilangan sosok ibunya ditambah keluarga ayahnya yang tidak menyukainya.
"Terima kasih sudah mau berbagi ceritamu, Radinka."
Mereka saling tatap dan tersenyum. Semoga mereka memang benar-benar ditakdirkan.
***
Waktu berlalu begitu cepat, usia kandungan Naura sudah berumur tujuh bulan. Itu artinya dua bulan lagi dia akan melahirkan. Hubungannya dengan Adnan masih sama, tak ada kehangatan sama sekali dalam rumah tangganya.
"Adnan, aku akan pergi cek kandungan. Temani aku ya?" Naura masih mencoba mengajak Adnan, meski selalu aja ditolak.
"Aku sibuk." Jawaban Adnan seperti yang sudah Naura duga.
"Adnan, sampai kapan kamu seperti ini? Kapan mau bersikap hangat padaku? Kamu tak mau melihat keadaan anak kita?" cecar Naura seraya memegangi perutnya yang semakin membesar.
Adnan melirik sebentar ke perut istrinya, terselip rasa bersalah di dadanya. Setidaknya jika dia tidak bisa menjadi suami yang baik, seharusnya dia berusaha menjadi ayah yang baik bukan?
"Baiklah aku temani." Adnan akhirnya meruntuhkan egonya.
Naura tersenyum senang mendengar Adnan bersedia menemaninya ke dokter kandungan.
Adnan dan Naura sampai di klinik milik Dokter Yasmin, yang merupakan kenalan Bu Ros.
Jika biasanya Naura periksa bersama ibunya, kini dia bisa mengandeng suaminya dengan bangga.
"Selamat sore Naura. Ah ternyata ini suaminya? Ganteng ya," sapa Dokter Yasmin ramah.
"Sore, Dokter Yasmin. Iya ini suamiku namanya Adnan, dia memang cukup sibuk jadi baru bisa menemaniku sekarang."
"Jangan sibuk-sibuk Pak Adnan, masa Naura periksa kandungan bersama ibunya, sedangkan ibu-ibu hamil lainnya ditemani suaminya masing-masing."
Adnan hanya mengangguk seraya tersenyum. Dia melirik Naura yang terlihat begitu senang. Apa karena dia menemani Naura sampai terlihat senang seperti itu?
Adnan juga tidak menyangka Naura menutupi sikap acuhnya selama ini di hadapan ibunya dan orang lain. Naura menutupi bahwa Adnan tidak mau menemaninya dengan alasan sibuk bekerja. Padahal Adnan pemilik perusahaan yang tentu tak harus repot-repot izin pada siapapun.
Naura naik ke atas ranjang dan Dokter Yasmin mulai melakukan USG.
"Detak jantung normal, berat badan normal, air ketuban cukup. Alhamdulillah kondisinya semuanya baik."
Naura merasa lega, dan kelegaan itu juga dirasakan Adnan mendengar penjelasan Dokter Yasmin.
Adnan menatap layar USG dan tak memungkiri bahwa dia bahagia. Dia akan menjadi seorang ayah, meski bukan dari wanita yang dia cintai.
Naura dan Adnan sudah selesai dan dalam perjalanan pulang. Di dalam mobil suasana begitu hening. Bahkan musik pun tak dinyalakan.
"Ad," panggil Naura, namun tanpa menoleh pada Adnan dan menatap lurus ke jalan.
"Hm," sahut Adnan.
"Apa kamu tidak bisa belajar mencintaiku? Sudah setengah tahun lebih umur pernikahan kita. Apa kamu belum juga bisa melupakan Fatimah?"
Adnan membisu.
Dia sudah tidak berhubungan dengan Fatimah, karena Fatimah memblokir nomornya. Adnan hanya dapat melihat gadis itu melalui sosial medianya tanpa melakukan interaksi, karena takut sosial medianya turut diblokir.
Sedangkan Fatimah disana sepertinya sudah melupakan Adnan, hari-harinya kini diisi oleh Radinka.
***
"Brengsek! Sudah aku katakan jangan sentuh kekasihku!"
Radinka melayangkan tinjunya pada Henry yang dengan paksa menarik Fatimah masuk ke ruang kelas yang kosong.
Fatimah berteriak histeris melihat Radinka dan Henry beradu tinju.
"Radinka! Cukup! Hentikan! Henry berhenti!"
Namun teriakannya tak diindahkan oleh Radinka maupun Henry.
Fatimah bergegas keluar kelas dan mencari pertolongan pada mahasiswa lain yang masih ada di kampus.
"Jonathan ...!" Fatimah menangkap sosok Jonathan bersama beberapa temannya pun berteriak memanggilnya.
Merasa namanya terpanggil Jonathan segera mencari sumber suara dan mendekati Fatimah.
"Ada apa, Fat?" tanya Jonathan khawatir.
"Radinka dan Henry berkelahi!"
Fatimah segera mengajak Jonathan dan dua orang temannya kembali ke ruang kelas tempat Radinka dan Henry berkelahi.
"Radinka!" Jonathan segera menahan Radinka, sedangkan kedua orang temannya memegangi Henry.
Jangan tanya kondisi keduanya, mereka sudah babak belur.
"Are you crazy?!" bentak Jonathan pada Henry. Kemudian pandangannya beralih pada Radinka. "Kamu juga sudah gila rupanya, Radinka!"
"Dia menyentuh pacarku, Jo! Apa aku harus diam saja?!" Radinka mencoba membebaskan diri dari Jonathan dan bersiap kembali menghajar Henry.
"Radinka, aku baik-baik saja. Sungguh! Aku mohon hentikan!" Fatimah menatap Radinka dan Henry bergantian. "Henry, aku mohon berhenti. Don't do something stupid! Aku takut padamu jika kamu seperti ini, sepertinya kita tidak bisa berteman jika kamu belum berubah juga!" Fatimah membentak Henry.
"Aku menyukaimu Fatimah! Kenapa kamu tidak membalas perasaanku?!" balas Henry tak terima.
"Aku tidak memiliki perasaan terhadapmu. Perasaan tak bisa dipaksakan, Hen ... aku menyukai Radinka, aku kekasihnya, kamu tahu itu kan!" tegas Fatimah.