Wili memasang safety belt terlebih dahulu. "Jefri Azhari," jawabnya lantang seraya menoleh ke arah Jeni.
"Apa?" Jeni terbelalak.
Nama yang persis dengan mantan suami kontraknya. Jefri Azhari, bahkan kakak Wili juga seorang CEO sama persis seperti Mas Jefri yang juga seorang CEO.
Jeni menelan saliva, ia terkejut mendengar nama lengkap kakaknya Wili. Apa mungkin itu adalah Jefri yang sama? Jeni masih tercengang dengan bola mata membukat seakan tak mampu berkedip.
"Hei! Kenapa?" Wili menepuk pundak Jeni guna menyadarkannya dari lamunan.
Jeni mengatur nafas agar mampu mencerna pikirannya. "Tidak apa-apa, Wil," jawab Jeni seraya tersenyum resah.
'Akh, Jakarta tak sesempit otakku. Jakarta ini luas, Jen. Mana mungkin hanya ada satu nama Jefri yang sama. Lagi pula selama 3 tahun mengenal Wili, tak pernah sekalipun Mantan suamiku bersama Wili. Itu artinya Mas Jefri mantanku bukanlah Jefri kakaknya Wili,' Jeni menepis kecurigaannya. Ia mulai mengatur nafasnya dengan baik dan kembali terlihat tenang.
"Kamu yakin tidak kenapa-kenapa?" Wili kembali memastikan.
"Tidak apa-apa, Wil. Mungkin hanya nervous karena mau ketemu calon mertua, ya kan?" sanggah Jeni menghibur diri.
Wili mengusap lembut rambut Jeni yang terlihat lurus. "Akh kamu, Jen. Segitunya deh. Biasa aja kok, Mamahku orangnya baik dan ramah tenang aja," ucapnya menangkan perasaan pacarnya.
"Pasti dong. Anaknya aja baik begini, apalagi Mamahnya coba," goda Jeni pada Wili, sampai-sampai lelaki berparas tampan itu kembali mencubit hidung mancung Jeni yang menggemaskan.
"Kamu tuh ya, paling bisa deh," balas Wili.
Suasana perasaan Jeni yang awalnya terasa gelisah kini mulai menampakkan kenyamanannya kembali.
Wili memang selalu mampu membuatnya terasa nyaman dalam keadaan apapun. Itulah yang membuat Jeni semakin menaruh rasa sayang yang teramat dalam pada kekasihnya itu. Terlebih, ketampanan yang di miliki Wili memang di dambakan oleh setiap wanita yang menginginkannya.
Beruntung sekali rasanya saat Jeni mampu menaklukkan hati Wili. Sang calon pengusaha muda, itulah yang selalu di ucapkan Wili. Cita-citanya yang ingin menjadi pengusaha atau bisnismen mengikuti jejak kakaknya yang juga seorang CEO di salah satu perusahaan di Jakarta Timur. Ditambah bulan depan ia akan melangsungkan wisuda karena masa belajarnya di salah satu universitas yang sama dengan Jeni, telah selesai ia jalani. Semakin nampak saja dalam pikirannya, yakni calon pengusaha muda.
Setelah menempuh jarak 20 menit, akhirnya Jeni dan Wili sampai juga di kediaman Azhari yakni nama ayahanda dari alm. Papahnya Wili. Bliau tutup usia tahun lalu karena penyakit diabetes yang menggerogoti tubuhnya. Maka dari itu, jabatan CEO yang di pegang Kakak Wili sekarang adalah jabatan pemberian dari Papahnya.
Wili adalah anak kedua dari dua bersodaranya, Wili Azhari dan Jefri Azhari. Di kediaman yang terlihat megah dan elit itu hanya ada 4 orang anggota keluarga. Bu Sindi, yakni Mamah Wili. Bang Jefri serta Selin, istrinya. Juga Wili yang belum menikah.
Saat Jeni menginjakkan kakinya di depan teras rumah Wili, ia merasa bagaikan Cinderella yang di ajak pangeran ke istana. Rumah impian setiap wanita nampak jelas di depan mata. Ia tak pernah menyangka kalau Wili adalah seorang anak konglomerat, yang ia tahu Wili hanya mahasiswa biasa yang kuliah di tempat yang sama dengannya.
Ini bagaikan mimpi yang berubah menjadi kenyataan.
"Kenapa, Jen?" tanya Wili saat Jeni menghentikan langkah di depan rumahnya.
"Rumahmu besar sekali, Wil!" Jeni tertegun kagum.
"Akh, sudahlah biasa saja kok," jawabnya merendah. Wili memang sosok lelaki yang pernah memamerkan kekayaannya, maka dari itu Jeni tak pernah tahu akan hal ini.
Mereka berdua melangkahkan kaki memasuki rumah mewah Wili, kemudian kekasih Jeni itu membawanya ke ruang tengah agar dapat berbincang santai dengan Mamahnya.
Terlihat pernak-pernik mewah yang tertata rapi di rumah bak istana ini, Jeni sangat terpukau melihatnya.
"Duduk dulu, Jen. Aku panggilan Mamahku dulu ya," titah Wili seraya berlalu meninggalkan Jeni sendiri di ruang tengah.
Jeni mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang nampak dengan hiasan mahal. Sepasang maniknya terhenti saat ia melihat pigura yang berukuran besar terpasang menempel di dinding tepat di atas televisi yang juga berukuran besar.
Matanya terbelalak manakala melihat ada sosok lelaki yang tak asing dalam pandangannya berdiri bersebelahan dengan Wili, kekasihnya. Apa dia keluarganya?
Dadanya tiba-tiba bergetar sangat keras, jantung Jeni seraya berdetak begitu kencang. Lututnya lemas, ia luruh dan terduduk di atas sofa embuk berwarna merah di ruang tengah. Telapak tangannya memegang dada yang mulai melemas, sudah tidak sabar rasanya ingin segera menanyakan siapa lelaki itu pada Wili.
Tak lama kemudian Wili akhirnya tiba dan menghampiri Jeni. "Tunggu sebentar ya, Jen. Mamahku segera ke sini," ucap Wili sesaat setelah ia menghampiri Jeni yang terlihat lesu. "Kamu kenapa, Jen? Wajahmu menjadi pucat."
"Siapa lelaki itu, Wil?" tanya Jeni seraya meluruskan terlunjuknya tepat pada Pigura besar yang menempel di dinding.
"Itu poto keluargaku, Jen," jawab Wili santai. "Kenapa?"
"Lelaki di sampingmu?" tanya Jeni terlihat sangat serius.
"Oh itu. itu, Mas Jefri. Abangku, Jen. Sebelah lagi, Mamah dan Papah," jawab Wili antusias.
Bagai petir yang telah menyambar. Seketika hati Jeni hancur bak pecahan kaca. Rasanya pedih bagai tertusuk pisau belati setelah mendengar jawaban Wili.
Jakarta seakan terasa sempit sekali. Kenapa harus, Mas Jefri? Orang yang sama yang telah melakulan kawin kontrak dengannya 5 bulan lalu.
Kenapa harus Wili yang menjadi adik mas Jefri? Lelaki yang baru saja berkomitmen dengannya. Lelaki yang sangat tulus mencintainya.
Tiba-tiba saja kepala Jeni terasa pusing. Ia mengusap keningnya dengan raut wajah yang lesu. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Sepasang manik itu terlihat berkaca-kaca.
"Kamu kenapa, Jen. Kenapa terlihat sangat pucat," tanya Wili seraya meraih tangan Jeni.
"Tiba-tiba saja badanku terasa sakit, Wil," jawabnya lemas.
"Hai. Maaf ya menunggu lama," sapa Mamahnya Wili yang berjalan ke arah Jeni serta mendekatinya. "Kenalin, Sindi. Mamahnya Wili."
Bu Sindi menyodorkan telapak tangannya pada Jeni yang terlihat masih lemas.
Jeni menyambutnya dengan senyuman hangat. "Saya Jeni, Tente," jawabnya.
Jeni terlihat tak bersemangat lagi melanjutkan pertemuannya kali ini, kelopak matanya terlihat semakin pucat dan Wili dapat melihatnya dengan jelas.
"Mah sepertinya harus reschedule pertemuan. Jeni tiba-tiba saja tidak enak badan,"
Akhirnya, Wili membawa Jeni yang sudah terlihat pucat dengan bibir bergetar.
Tak pernah ia duga jika Jefri adalah kakak kandung Wili. Sekali lagi, bulir bening yang sempat ia bendung akhirnya luruh. Bibirnya bergetar menahan rasa kecewa yang sangat dalam.
Inikah sebuah takdir harus ia terima. Sekali lagi ia harus di paksa menelan pil pahit dalam hidupnya.
"Kamu kenapa, Jen?" tanya Wili saat mereka telah berada di perjalanan menuju rumah Jeni.