webnovel

4 Nervous

Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah Jeni. Tak perlu ditebak lagi, itu pasti Wili. Gegas ia keluar rumah setelah memakai pakaiannya.

"Hai, Wil," sapa Jeni setelah ia membuka pintu dan menghampiri Wili yang baru saja keluar dari kendaraan roda empatnya.

"Hai, kamu baru bangun?" tanya Wili sambil merapihkan rambut Jeni dengan jemarinya yang masih terlihat acak-acakan. Wajahnya pun masih terlihat polos tanpa makeup tapi tak mengurangi kecantikannya yang natural.

"Enggak lah, aku tinggal sisiran sama bedakan aja sih," jawabnya tersipu malu.

Wili hanya mengangguk pelan, ia sudah paham sama sifat buruk Jeni yang sering kesiangan. "Ya sudah sisir dulu sama dandan yang cantik ya," titahnya.

Tak perlu menunggu lama, Jeni selesai makeup dan sudah siap berangkat. Mereka berdua berpamitan pada Bu Karin dan bergegas memasuki kendaraan Wili yang sudah terparkir di depan halaman rumahnya.

Safery belt sudah terpasang, mobil sudah dinyalakan dan Wili melajukan mobilnya membelah jalan raya yang sudah terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari dalam perut Jeni. Wanita berlesung pipit itu memegang perutnya yang terdengar keroncongan.

"Kamu lapar, Jen?" tanya Wili saat telinganya tak sengaja mendengar gemuruh dari dalam perut Jeni.

Jeni tersipu malu. "Aku belum sarapan," jawabnya cengengesan.

"Ya ampun, Jen." Wili tersenyum lucu melihat tingkah Jeni. "Ya sudah, kita sarapan dulu ya."

Jeni hanya mengangguk dan tersipu malu, tak kuasa berkata-kata. 'Akh, ini perut memalukan saja, puasa sebentar kenapa sih,' gerutunya dalam hati.

Tak ingin membuat kekasihnya menahan lapar terlalu lama, akhirnya Wili menepikan mobil putihnya di depan sebuah Rumah Makan ala amerika.

"Let's have breakfast," ajak Wili seraya melepaskan safety belt yang mengikat tubuhnya.

Wili memang lelaki yang sangat perhatian, dari awal mereka kenal pun Wili masih tetap sama. Lelaki yang selama ini Jeni impikan, Jeni tak akan mungkin menyakiti perasaannya melihat semua ketulusan yanh telah Wili perjuangkan.

Ketika mereka selesai memesan makanan, Wili dan Jeni berjalan memilih posisi duduk yang nyaman di Restoran Amerika tersebut. Namun, seketika langkah Wili terhenti saat melihat wanita dewasa yang duduk sendirian dengan pasang manik yang terlihat sedu dan berkaca-kaca. Ia menghampiri wanita itu dan duduk di sampingnya. Sementara Jeni hanya mengikuti langkah kekasihnya tanpa mengetahui apa maksud Wili.

"Mba, Selin! Kenapa?" tanya Wili pada wanita yang ia sebut Selin itu.

Wili duduk di kursi samping Selin, sementara Jeni duduk di sampingnya lagi.

Sepasang manik terlihat berkaca-kaca hendak mengeluarkan bulir bening. Raut wajah wanita itu terlihat layu dan sedu, nampak jelas di wajahnya tengah menyimpan banyak masalah.

"Hai, Wil! Sorry," jawab Selin seraya menghapus bulir bening yang terlanjur luruh di pipinya.

"Siapa, Wil?" desis Jeni bertanya pada Wili.

"Iparku," jawabnya pelan sambil melirik ke wajah Jeni.

Tatapan Wili kembali tertuju pada wanita bernama Selin itu. Selin adalah kakak ipar dari Wili, entah kenapa kakak iparnya itu terlihat sedih dan berduka. Wili mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

"Mba, Kenapa? Aku bisa merasakan kesedihan, Mba Selin hari ini," tanya Wili dengan nada suara yang terdengar lembut.

Masih dengan raut wajah sedu, bibir Selin pun terlihat gemetar seakan menahan amarah yang sedang ia bendung. "Abangmu, Wil. Kembali berulah," jawabnya sambil memeras sisa air mata yang masih membendung.

"Silahkan, Tuan, Nona!" Pelayan mengantarkan makanan dan menyajikannya di hadapan Wili dan Jeni.

"Thank you!" ucap Wili pada pelayan itu. "Ayo, Jen. Makan dulu," titah Wili pada Jeni. Di tengah perbincangan yang terlihat serius ia tak lantas melupakan kekasihnya yang sedang kelaparan.

Jeni mengangguk dan tersenyum. 'Akh Wili, mana mungkin aku bisa makan melihat Iparmu yang sedang bersedih ini,' gumamnya dalam hati. 'Tapi apalah daya, perutku lapar banget, ini biasanya sudah jam kedua aku makan,' Jeni menyantap Breakfast yang sudah tersaji di hadapannya.

"Mba, Selin. Sudah sarapan?" tanya Wili sembari mengalihkan kembali pandangannya pada Selin.

Selin mengangguk pelan. "Sudah kok. Kalian sarapan dulu aja," jawabnya.

"Mba. Cerita padaku, mungkin saja aku bisa bantu," Wili menyodorkan bantuan pada Iparnya.

Dengan berat hati, Selin membuka mulutnya. "Semalam, secara tidak sengaja Mba mendapatkan bukti mutasi Transferan Abangmu senilai 1,1miliar pada rekening seorang yang tak Mba kenali,"

"Mungkin saja rekan kerjanya, Mba?" Wili mencoba melerai. "Apa, Mba Selin. Sudah tanyakan pada Bang Jefri?"

Jeni terperangah saat Wili menyebut salah satu nama yang tak asing di telinganya. 'Duinia terasa sempit, banyak banget yg namanya Jefri di muka bumi ini,' gumamnya dalam hati menimpali pembicaraan Wili dan Iparnya itu. Lalu ia melanjutkan sarapannya di tengah-tengah perbincangan Selin yang semakin menegangkan.

"Pagi tadi Mba sudah bertanya pada, Abangmu. Dan kami malah bertengkar hebat." Sepasang manik Selin terlihat kembali berkaca-kaca.

"Bulan-bulan lalu, Abangmu sering pulang pagi dengan alasan lembur di kantor, padahal saat Mba tanya asistennya, dia tak pernah lembur. Kamu pikir saja , Wil. Mana mungkin seorang CEO harus lembur! 5 bulan terakhir ini Mba memang sudah curiga pada, Mas Jefri. Banyak sekali perubahan yang terjadi padanya. Sampai Mba kaget saat mengetahui mutasi Abangmu. 1,1 miliar, Wil. Untuk apa dan untuk siapa uang itu." Selin tak dapat lagi membendung bulir bening yang telah nenganak sungai di pelupuk matanya. Hatinya seakan hancur berkeping-keping.

Wili mengangkat tangannya dan mengusap pundak Iparnya itu. "Tenang, Mba. Nanti akan aku bantu menyelidikinya," ucap Wili menguatkan.

Melihat Selin yang semakin berduka, Jeni jadi tak nafsu makan. Ia menghentikan sarapannya karena turut serta dalam kesedihan calon iparnya itu. 'Ya ampun terlihat hancur sekali ipar Wili ini. Aku sampai ikut sedih,' gumamnya dalam hati. 'Tapi, kenapa lelaki itu sama persis seperti Mas Jefri, sama-sama seorang CEO. Apa mungkin... Akh, tidak mungkin. Aku tidak pernah melihat Wili dengan Mas Jefri kok,' Jeni menepis pikiran buruknya.

"Apa mungkin, Mas Jefri. Berselingkuh, Wil?" tuduh Selin dengan tatapan kosong yang semakin meremukkan jantungnya.

"Sudah, Mba. Jangan berpikir seperti itu dulu. Aku akan bantu Mba Selin mencari tahu kebenarannya," ucap Wili menenangkan.

Semakin kesini rasanya Jeni semakin tidak nyaman mendengar Wili dan Kakak Iparnya menyebut-nyebut nama Jefri. Nama itu seakan mengingatkannya pada kisah kelamnya bersama Jefri 5 bulan kebelakang. 'Kenapa nama Kakaknya Wili harus Jefri sih? Nama yang sama pesis seperti mantan suami kontrakku, nama yang pasaran. Seperti tidak ada nama yang lebih bagus saja,' gerutunya dalam hati. Terlihat ia mulai tidak nyaman.

"Memangnya nama kakakmu siapa, Wil?" tanya Jeni saat ia duduk di kursi mobil, setelah sebelumnya mereka keluar dari Restoran Amerika dan berpisah dengan Selin.

Wili memasang safety belt terlebih dahulu. "Jefri Azhari," jawabnya lantang.

Next chapter