webnovel

Processing Existing Attendance

Pukul sembilan pagi, kubuka mata perlahan dan sudah di hadapkan pada sebuah cermin persegi panjang dengan lis lampu berwarna warm white di keempat sisinya. Wah! Rasanya seperti sedang dikutuk menjadi Aphrodite dari mitologi Yunani.

Make-up yang tidak terlalu berlebihan dengan palet earth tone namun glamor, benar-benar membuatku serasa dilahirkan kembali. Lima menit berselang, terdengar suara pintu terbuka diiringi langkah kaki teratur, mendekat ke belakang punggungku; kini telah terbungkus gaun putih berlengan panjang dengan ekor menjuntai hingga lantai.

"Apa sudah selesai?" tanyanya hangat kepada penata rias yang sedang menyemprotkan setting spray. Aku menoleh dan tidak kuasa menahan haru bercampur bahagia.

"Ya Tuhan... Ibu maafkan aku." Beliau menggeleng sebelum menarik tubuhku kedekapannya dan berkata, "Jangan menangis, nanti Doja Lim kewalahan lagi membetulkan riasanmu sayang." Seraya mengusap puncak kepala dengan lembut beliau mengurai pelukan guna menatap lurus mataku.

Ibu tersenyum dengan manisnya lalu meraih paperbag berwarna coklat dari bawah meja dan mengambil sesuatu dari sana. Dia memperlihatkannya dengan bangga; sebuah sirkam bunga berwarna rose gold bercabang dengan swarovski disetiap ujungnya, aku takjub dengan desain yang elegan itu.

Beliau berpindah ke belakang, lantas menyatukan dua sisi rambut yang semula dikepang sanggul, menancapkan jepit itu disana. Wanita seperempat abad ini berkata bahwa itu adalah peninggalan nenek Hermione. Pantas saja ibu terlihat sangat bangga. "Cantik sekali."

Dia memuji dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas dan terlihat olehku melalui refleksi cermin, menambahkan bahwa, "Tidak ada yang harus dimaafkan, kau harus menata kembali hidupmu dengan atau tanpa kami. Sudah saatnya kau pergi dari kubangan nestapa dan berhentilah berprilaku seolah takdir yang salah, sayang..."

Beliau melirih dengan memegang ke dua sisi pundakku guna menguatkan. Aku termenung beberapa saat menyadari bahwa hidupku sudah sempurna sekarang. Penantian selama empat tahun terbayar dengan mengejutkan. Hito pulang dan memberiku kabar, "Ayolah semuanya sudah siap..."

Ibu berbisik sebelum meninggalkan ruangan. Aku tersenyum lega lalu melangkahkan stiletto heels ini dengan hati-hati. Ayah sudah menyambutku diambang pintu kayu jati besar. deritnya jelas terdengar pintu ganda tersebut dibuka lebar.

Figur yang paling aku cintai ini terlihat begitu berwibawa dalam setelan tuxedo hitam dengan sapu tangan satin disaku kirinya. "Ayah jangan menangis seperti itu," kataku spontan. Beliau mengulas senyum simpul. "Berbahagialah putriku..."

Ayah menuntun langkahku melewati altar, yang di kedua sisinya didekorasi oleh bunga-bunga sintetis berwarna ungu muda. Lampu kristal putih serta tembakan layar LED besar di depan sana yang menampilkan foto-foto kami. Sangatlah indah. Pria bersetelan tuxedo putih licin telah tersenyum lebar di depanku, dasi berwarna hitam pas sekali dengan tatanan rambutnya yang rapi kali ini.

Hito itu tidak suka jidatan sebenarnya, karena menurut dia dahinya terlalu luas jika poninya dinaikan seperti sekarang. Ini baru separuh jalur tapi sistem pemompa darahku telah bertalu dengan hebat. Refleks meremat lengan ayah sebagai penyalur rasa gugup.

Satu menit setelahnya, Ayah memindahkan tangan ku ke calon mempelai pria. Hito menggenggam erat tanganku dengan sepenuh hati, sebelum kami membalikan badan guna berjanji formalitas di depan. Karena ini hanyalah resepsi kedua yang digelar dengan tema International Wedding.

Astaga! Aku tegang sekali karena suasananya menjadi sangat serius sekarang. Kami mengangguk setelah saksi itu membuka perangkat teks, dalam map berwarna gelap lantas memulainya. "Bersediakah anda Hito Anggara, menerima Kamila Andini Rahagi dalam keadaan sakit maupun sehat..."

"Dan setelahnya tiada guna rayuanmu," Hito yang ada di sampingku menyahut dengan wajah serius. "Tiada guna cumbuanmu."

Sebentar! Sebentar aku tidak mengerti disini, mengapa teks nya jadi bermelodi dengan padanan kata yang aneh? Belum lagi denting piano yang berubah menjadi tepukan gendang diiringi organ tunggal. "Hito lakukan dengan benar..." kataku setenang mungkin padanya.

Hito melirik seraya membentangkan barisan giginya lalu berkata, "Hati telah membeku tak seperti dahulu. Jangan kau merayuku!" ucapnya dengan mantap. Kenapa semuanya melenceng dari gladi kemarin sih? Spontan batinku berbalik ketika mendengar obrolan dengan aksen bahasa asing di belakang sana.

"Oh! Ya Tuhan!"

Betapa terkejutnya aku saat melihat barisan para tamu yang hadir adalah Angelina Jolie dan Robert Pattinson di kursi terdepan, BTS di deret kedua, di belakangnya ada Lee Seung Gi bersama Peterpan di pundaknya, dan teman-teman bersama keluargaku yang tidak bisa kusebut satu persatu.

Hito ternyata selama ini serius memperjuangkan hubungan kami. Air mataku pecah dalam suka cita yang sudah tidak tergambarkan lagi, saking bahagianya. Aku mengecup pipi Hito, sekilas sebagai tanda terima kasih banyak untuk perayaan ini.

Ingin memeluk suamiku lagi, namun Iron Man datang memisahkan kami—kemudian mendorong tubuhku menjauh hingga ke kutub utara. Astaga mengapa ada beruang putih di depanku aku spontan berlari. "Arggh! SIAPA SAJA TOLONG AKU!" pintaku seraya mengangkat kedua tangan dan berlari sekencang mungkin.

Brugh!

Seketika aku merasakan tubuhku mendarat di atas permukaan yang keras. Percayalah ini tidak mudah, dan sekarang aku berada di bawah ranjang tergeletak mengenaskan bagaikan cicak. Sementara sebagian diriku tengah mengumpulkan nyawa yang berceceran entah pada kemana.

Aku merasakan kenop pintu diputar sebelum sayup-sayup terdengar langkah kaki bersepatu kets memasuki tempat ini. "Senangnya melihat Kak Mila sudah bangun," ucap Laura datar, sebab yang ia lihat sekilas hanyalah ranjang tidak berpenghuni. Wanita dengan tunik selutut berwarna biru itu menyibakan gorden.

Membuka jendela agar sinar mentari masuk menghasilkan sirkulasi yang baik pada tempat multifungsi ini. Laura terlihat melakukan peregangan pada lengannya sebelum memutar tubuh ke arahku. "Ya ampun! Apa yang kakak lakukan di sana?" tanyanya kaget dengan mata membulat menyerupai kelereng.

Aku langsung berlagak tenang seolah sedang berjemur di pantai, kemudian berpangku sebelah tangan. "Tidak ada! Hanya ingin melakukan pendekatan yang lebih jauh dengan lantai." tampak alis adikku itu menukik sangsi, "Lagipula mengapa lagu 'tiada guna' yang diputar sih? bukannya sekarang sedang diselenggarakan K-Pop Fest, aku benci lagu itu sekarang!"

Aku benar-benar memeraskan kekesalan pada orang yang tidak ada hubungannya dengan bunga tidur yang aku alami beberapa saat lalu. "Itu karena kau yang selalu bangun siang," celetuk Laura begitu saja, ketika aku tengah berusaha duduk ditepian ranjang. Benarkah?

Aku refleks melihat jam dinding di atas televisi yang telah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Memang setelah mempunyai pegawai, aku lebih santai dalam mengurus kedai, begitupun dengan Laura ia bahkan lebih sering keluar daripada aku.

"Mau ikut ke pasar?" tawarnya dengan hati-hati. Tuh kan! benar dugaanku dia akan berpergian dengan penampilan itu, "Tidak mau." Aku menolak semerta-merta, ketika bayangan tentang kejadian di pasar dengan para preman yang menyeret itu muncul, sukses membuatku enggan menuju berjenis jenis pasar lagi, meskipun ceritanya berbeda sekarang.

"Aku akan pergi dengan Jeffrey," kata Laura.

"Jeffrey? pria itu punya memang selalu punya banyak waktu," responku dengan tertawa ringan diawal kalimat. Bukankah kemarin dia ke sini juga yah? Kubawa rambut acak-acakan dengan piyama satin berwarna merah dan entah mengapa dipasangkan dengan celana kolor kuning bergambar nanas ini.

Style-ku berantakan.

"Aku senang kau tak seperti biasanya," tidak jelas sekali suaranya, Laura kemudian mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu, Jeffrey telah menungguku di bawah," imbuhnya lagi sambil menuruni anak tangga dengan semangat. "Tidak seperti biasanya?"

Aku mulai berfikir mengenai maksud ucapan Laura, tepat ketika burung bercicit dengan merdu di langit yang cerah di sana. Aku bergegas melangkah ke area menonton televisi, serta meraih kalender yang terletak di nakas. Sedetik kemudian segera kuhempaskan tubuhku diatas sofa dengan mata yang sibuk menghitung tanggal yang ada di kalender.

Jari telunjukku mulai berkeliling diangka 1... 2 ... 3 ... 4... 5... Astaga! Sekarang tanggal delapan, moodku berubah secara tiba-tiba, seakan merasakan sakit hati namun tidak tahu penyebabnya. Apa ini karena semalam memakan nasi goreng? lah memangnya ada hubungannya? tentu saja tidak ada dong.

Sebaiknya aku meminum pil agar bisa melanjutkan tidur dan menikmati hiburan diresepsi yang indah bersama Hito Anggaraku. Aku bangkit dan mulai menerawang setiap sudut ruangan. Dimulai dengan membuka laci terdekat, kemudian menyingkap bawah kasur dan bantal.

Hingga kembali lagi ke dapur untuk membuka kulkas.

Dahiku berkerut sebentar melihat keseluruhan tempat ini; ruangan berukuran lima belas meter persegi dengan dua buah tempat tidur yang diposisikan tegak lurus. Kemudian meja makan di sisi utara yang menghadap kitchen set, satu kamar mandi dengan area menonton televisi di sisi selatan serta balkon yang hanya muat dua orang.

"Dimanakah Laura biasanya menyembunyikan pil tidur?" Aku terus mencari. Apakah tanyakan pada peta? Argh.. malah bawa-bawa temannya Dora. Sungguh hebat memang kantong ajaib doraemon. Rasanya nyawaku telah tersedot habis, sebab mengitari ruangan yang mendadak seperti seluas lapangan bola ini.

Setelah mengacak rambut, dengan frustasi aku menegakkan punggung. Hanya ada satu bagian yang belum kujajah. Lemari berwarna putih doff, dengan empat pintu itu di sudut kiri membuat lidahku berlarian di dalam mulut.

Setelah berlari kecil untuk sampai kesana, aku mengarahkan manik menuju dua bingkai pintu milik Laura. Sembari membukanya perlahan, aku terpesona sendiri dengan tumpukan kain milik adikku yang begitu rapi ini. Berbeda jauh dengan milikku yang tidak semuanya disetrika atau bisa disebut juga dengan berantakan.

Aku mulai menarik napas pelan ketika menyikap setiap lipatannya dengan teliti. Belum juga ditemukan di sisi atas bagian bawah dan oh! ada tempat underwear di sini, tidak pernah terbayang seumur hidupku—bahwa hari ini akan memeta underwear milik orang lain.

Tapi di sini aku akan berkomentar sedikit mengapa selera motif yang Laura pilih monoton semua? Hanya berenda, polos, berwarna hitam dan putih. Apa Laura tidak tertarik dengan yang berwarna cerah, seperti warna hijau neon, kuning, ungu atau? Bermotif polkadot, namun sudahlah.

Hingga di sudut terbawah aku menemukan tumpukan, meraba-raba nya karena keras dan... Ketemu! botol berwarna putih dengan logo berwarna kuning dan ya ketika aku buka itu benar-benar pil tidur. Wah Laura pasti berfikir aku tidak akan mencari sampai ke area itu mungkin.

Membuka botol dan menumpahkan sekitar dua, aaa—sepertinya tiga? Ke telapak tangan sedetik menimbang-nimbang berapa yang harus dimakan. dan ada empat! tanpa berfikir panjang aku menelannya dalam sekali 'hap' kemudian menyusul nya dengan segelas air.

Merangkak naik ke ranjang lalu menghempaskan tubuhku ke dalam lautan kehangatan, berselimut nyaris menutup seluruh badan. Aku benar-benar akan terlelap kembali, jika saja denting notifikasi ponsel yang terletak diatas nakas tidak berpendar. Lantas membuka layar kunci kemudian muncullah :

[incoming message]

From : Nomer Tidak Dikenal

Kutunggu di bawah. INGAT TIDAK BOLEH LEBIH DARI 10 MENIT ATAU KUTINGGAL!

Astaga mataku sukses menatap kejut kali ini. "Siapa yang mengirimku pesan?"

Sontak melangkahkan kaki ke tepian jendela. Benar saja, aku melihat ada dua orang pria serta wanita yang sedang mengobrol lalu satunya lagi tengah sibuk dengan ponsel. Beberapa saat setelahnya otakku berhasil memproses presensi yang ada di bawah sana,

"Ya Ampun! J—Jay?"