webnovel

I Have A VIP Card

Sedihnya Jayden bertanya seperti itu, maksudku sudah jelas kan? Dia datang tiba-tiba—muncul tanpa tanda dan refleks membuatku terperanjat. Jadi aku memajukan bibir, sebelum mendorong wajahnya menjauh lantas menjawab, "Bukan apa-apa!" Karena itu tidak penting, serius.

Aku berniat pergi, namun kedua lenganku lebih dulu ditahan oleh satu tangannya yang bertenaga. Aku tetap bersikeras pergi, karena di bawah sana Laura dan yang lainnya membutuhkan bantuanku segera. "Ayolah apa maumu?" kesalku.

Jayden mengernyitkan alis dengan air muka yang menegang. "Jawab pertanyaanku," tuntutnya datar.

Aku tidak berminat, dia malah seperti semakin tertantang karena aku kukuh sekali menolak. Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk meladeni pertanyaannya yang kekanak-kanakan, Jayden mendekat lantas menyudutkanku lebih rapat dengan pintu.

Pria ini sepertinya kurang wawasan mengenai ilmu pengendalian diri, terbukti dari semakin terhapusnya jarak diantara kami. Mata Jayden masuk dalam mode pemangsa, aku sudah berhasil membacanya berkat kejadian kelab terakhir kali.

Ternyata dari jarak yang terpaut beberapa senti ini, aku bisa mencium feromon maskulin vanila, khas aroma tubuh Jayden. Menenangkan sekaligus mengirim ketegangan luar biasa pada debar jantung. Dia sekarang mensejajarkan mukanya dengan parasku serta tersenyum licik. "Jawab atau..."

Jayden menggantung lirih kalimat sambil mengulurkan jemarinya kepermukaan wajah, dari kening menurun perlahan melalui garis hidung. Menyamping ke area pipi dan menangkup dengan telapak kirinya. Aku tersenyum miring karena tidak habis pikir. "Atau apa?" satireku.

Sialan, pori-pori kulit Jayden bahkan terlihat sekarang. Jemari Jayden telah merambat ke area dagu dan menuntun wajahku untuk berserobok dengan miliknya. "Kau menantangku..." lirihnya sembari mengusap lembut bibir bawahku dengan ibu jari.

Tampak jika matanya mulai terfokus pada belahan bibir ranum, yang aku beri sapuan liptint oranye beraroma stroberi barusan. Baiklah sekarang aku tidak kuat menahan debaran anomali yang terjadi, tarikan pertukaran udara yang Jayden lakukan pun cenderung konstan, bertolak belakang dengan pendirianku.

Jayden mengulas senyum simpul, memiringkan kepala untuk menemukan posisi yang pas, lalu sepersekon setelahnya—bibir kami bersinggungan dengan lembut dan duk! Jayden menjedotkan jidatnya ke arahku sambil berkata, "Satu setengah jam!"

Ia menarik tubuhnya menjauh, astaga kepalaku langsung berbintang karena pening. Lagipula apanya sih yang satu setengah jam? Aku berteriak marah padanya ketika ia menjawab, "Kau bersiap!" Jayden menarik dirinya santai, pria yang satu ini selalu berhasil membuat darahku naik-turun.

Menyebalkan! Memangnya apa yang kuharapkan?

Jayden tampak memasukan tangan ke dalam kantong sweater berwarna abu-abu gelapnya itu. Gayanya benar-benar seperti penggasak minimarket di daerah Surabaya pekan lalu di berita lokal, di tambah tato kepiting itu. Ralat maksudku kalajengking itu. "Kamu nungguin yah?" tanyaku pada akhirnya.

Jayden tertegun, kemudian menggelengkan kepala dengan cepat sambil menjawab 'tidak' dengan culasnya. Pria yang sulit tertebak ini, berjalan lebih dulu menuju lantai dasar lantas mengajak Jeffrey pulang. Kenapa secepat itu? Padahal aku baru saja keluar dan berniat akan mengobrol dengan mereka.

"Lain kali mari berbincang lagi," imbuh Jeffrey pada adikku. Laura mengurai senyum yang merekah, seperti rengginang mentah yang bertemu minyak goreng panas. "Hati hati di jalan!" tandasnya dengan melambaikan tangan seperti anak TK yang akan berpisah dari ibunya.

Sedangkan Jayden, langsung angkat kaki tanpa berbasa-basi sepeserpun semenjak kejadian di depan pintu tadi. Hanya aku disini yang memaku di pijakan, melihat punggungnya yang semakin mengecil karena langkah yang semakin menjauhi dari kedai. Kau membuatku tersesat Jayden!

"Naik terus masak gih! Lagian sedang kosong aku akan menjaganya," kataku pada mereka bertiga; Laura, Zaky serta Putri langsung mengangguk setuju, dengan beradu kecepatan untuk siapa yang paling cepat naik ke atas.

Ctring!

Baru saja akan membereskan meja, pintu depan kembali berdenting. Tanpa melihat, aku sontak saja melakukan penyambutan ramah sebagai etika pelayanan. "Selama dat—" Lho kok titisan es batu ini balik lagi? Jayden memang tidak terduga.

Aku bertanya mengapa tidak jadi pergi dan ia hanya menjawab, "Gak tahu," Dengan singkatnya. Membingungkan bukan? Belum lagi perubahan fitur wajahnya yang menjadi masam itu. "Buatkan aku kopi hitam!" imbuh Jayden dengan nada meninggi, setelah berjalan menuju kursi besi di pojokan.

"Maaf Kak, anda harus melakukan pemesanan di kasir."

"Jauh!" Jayden berdalih sambil melayangkan pandang keluar jendela, kemudian berpangku dagu dengan tangan kanan. Ya Tuhan, tingkahnya itu membuatku ingin menyiramnya dengan cairan lava panas dari Gunung Semeru.

Aku melebarkan mata dengan kesal hingga ia berkata, "Aku punya kartu VIP, jadi bisa memesan dari sini."

Aneh sekali Jayden bisa memilikinya, memangnya sejak kapan? Seraya mendesis sebal, pikiranku tidak jauh-jauh dari si Laura—menjadi satu-satunya terduga kasus 'Pemberian Kartu Pada Jayden' dan terkena pasal berlapis, yakni di jatuhi hukuman mencuci piring di Kopi Paradise Falls sepanjang hayatnya.

"Dari siapa memangnya?" tanyaku spontan. Jayden tidak langsung menjawab. Baiklah kalau begitu, mungkin giginya terbentur sesuatu sebelum ke sini. Jadi aku bertanya saja dengan segenap rasa sabar sekaligus tabah yang tersisa ini, "Mau kopi apa?"

"Kopi hitam!" tegasnya. Aku perlahan-lahan mengidap 'kemuakkan' dengan sikapnya itu. Bertingkah sok keren, namun ujung-ujungnya malah terlihat bebal dalam waktu yang bersamaan. Menyebalkan sekali! Kopi hitam di sini bervarian Jayden!

Aku mencoba mengusulkan salah satunya, "Bagaimana kalau Americano?" Bersamaan dengan itu, ia mulai berkilah dengan malas bahwa rasanya hambar. Arrggh dasar burung unta! Lihat aku jika memesan, bukan malah menatap lekat parkiran yang entah ada segerombolan bayangan apa di sana.

"V60?" Aku masih berusaha berunding baik-baik dengan Jayden, meskipun pada akhirnya ia kembali mengelak karena menurutnya kopi itu panas. Oke, sampai di sini aku hanya menarik napas panjang, sebelum membuangnya singkat. "Aku bisa membuatnya jadi dingin," kataku mengimbangi.

"Tidak enak!" tolak Jay lagi. Membuatku seketika menyisir rambut ke belakang dengan jemari. Menengadah singkat, hanya untuk bertindak masa bodoh soal kesabaran—karena aku tidak memilikinya lagi sekarang.

"Lantas kamu maunya apa sih?" teriakku sambil mengepalkan kedua tangan pada wajahnya.

Baru ketika pipi ini memerah murka dan seakan-akan kepalaku mendidih, Jayden pada akhirnya menengok ke arahku. Atensinya berkeliling, sebelum tertuju menuju papan di belakang meja kasir. Matanya menyipit, mungkin mencari kejelasan pada blackboard, yang bertuliskan menu oleh kapur berwarna tersebut.

Dia mengetuk-ngetukan jari panjangnya di dagu lancip itu seraya bertanya, "Apa itu yang sold out?" Mataku secara spontan mengekori tatapan Jayden, dan maksudnya tidak lain ternyata ke kopi favorit ayahku; Cold Brew yang perlu di diamkan lama dalam suhu dingin, untuk bisa menikmati dalam cita rasa yang maksimal.

"Aku ingin itu," celetukan santai Jayden, sukses membuatku terperangah. Karena tujuannya seolah-olah hanya untuk membuatku menyulutkan api perselisihan.

"Untuk membuat Cold Brew, butuh waktu sampai dua belas jam!" timpalku penuh kemenangan, siksaan batin ini harus segera berakhir dan aku tidak ingin terpancing emosi lagi. Namun pada detik itu juga Jayden belum menyerah dengan berkata, "Akan kutunggu."

Astaga ternyata dia serius menginginkan kopi itu, memangnya yakin mau menunggu hingga dua belas jam di sini? Reaksi yang ditampilkannya begitu meyakinkan. Hingga LED dari ponselnya berkedip tanpa suara, mungkin saja ia mengaktifkan mode hening atau interupsi.

Jayden masih sempat-sempatnya menambahkan masukan, "Buat yang banyak, supaya tidak kehabisan stok lagi okay?" Tanpa sadar bibirku mengerucut, telingaku sepertinya sudah berasapkan kemarahan yang membuncah, pakai 'ngatur-ngatur' segala lagi. Aku berjalan menuju meja bar.

"Kopinya akan jadi tidak enak, jika kau membuatnya dengan cemberut..." kata Jayden selagi sibuk mengetikan sesuatu dengan seseorang di seberang sana lewat ponselnya. Baru saja aku membasahi saringan satu menit lalu, dia mendadak berpamitan setelah melihat ulang layar sentuh itu.

"Kau bilang akan menunggu?" sergahku, kemudian Jayden menghentikan langkahnya ketika di depan pintu. Menatap sejenak dengan tatapan yang... sudahlah aku bingung mengartikan setiap isyaratnya karena saat ini, dia tampak geram akan suatu hal karena katanya, ia akan menunggu kopinya di tempat lain.

Apakah dia mendapatkan kabar buruk barusan? Aku tidak sesakti itu dalam membaca situasi Jayden. Dia itu seperti gumpalan pasir di tengah pantai, ada ombak sedikit saja langsung berubah bentuknya. Misterius sekali.

Bersambung...