"Gue males banget balik Jakarta, rasanya pengin healing aja nih otak gue!"
Cherry mengemasi alat make up-nya sambil menggerutu. Perjalanan ke bandara masih 3 jam lagi, Cherry menggunakan waktunya untuk berjalan-jalan di sekitar hotel tempatnya menginap. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah kemana. Dia duduk di sebuah taman.
"Kak Cherry," sapa seseorang yang terdengar asing di telinga Cherry. Dia menoleh, mencari-cari dari mana asal suara itu. Tiba-tiba dari belakang kursi, Bia muncul.
"Astaga…."
"Sorry, gue ngagetin lo, ya, Kak?"
"Menurut lo?"
Bia hanya tersenyum kecil sambil memposisikan duduk sejajar dengan Cherry.
"Ngapain lo di Surabaya, bukannya lo lagi sama Papi gue?"
"Iya, tadi malem gue baru sampe sini, ada meeting di kantor cabang Papi," jawab Bia.
"Kirain ngikutin gue."
"Lo ngapain, Kak? Mau nikah tuh ga boleh pergi jauh-jauh tau, pamali."
"Sok tau, lo. Jangan sok akrab sama gue ya. Gue ga suka!"
Cherry bangkit dari duduknya, Bia menarik tangan Cherry, dia menoleh.
"Lepasin, ga!"
"Engga, gue butuh bicara sama elo, Kak!"
"Gue sibuk, ga ada waktu buat ngobrol sama lo!"
"10 menit."
"Lepasin!"
"5 menit."
"OK, cepetan!"
"Gue minta maaf buat semuanya, barangkali gue emang ngerusak kebahagiaan keluarga lo. Gue tau, lo kesini buat nemuin Mama kan, ibu kandung gue? Gue ga akan nanya gimana kabarnya, gue harap, lo juga mau maafin kesalahan Mama, dia memang bukan wanita baik, tapi seenggaknya dia adalah ibu yang melahirkan gue. Gimanapun juga gue wajib menghormati dia sebagai ibu. Lo perlu tau, Kak, gue begini karena mendapat dukungan dari Papi. Andaikan Papi melarang gue buat ke Jakarta, pasti lo dan keluarga lo masih bahagia tanpa kehadiran gue seperti sekarang. Kak, pasti lo tau kan, ibu gue sedang sekarat, hitungan bulan, ibu bakalan meninggal. Dia menderita kanker stadium akhir, dia pasrah, ga mau berobat, so, gue sebagai anaknya minta maaf dan minta keikhlasannya buat semua kesalahannya yang udah …." Bia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Udah apa? Jadi pelakor? Lo tau kan, gelas yang udah pecah ga bisa balik jadi kondisi semula. Masih banyak pria baik lainnya di luar sana, kenapa harus Papi gue?"
Cherry pergi setelah 5 menit ia berbicara pada Bia, sesuai kesepakatan mereka. Seperti biasa, ketika Cherry jengkel, dia akan menghentak-hentakan dengan keras kakinya saat berjalan. Dia lupa bahwa sepatunya berhak kecil dan tinggi. Otomatis salah satu hak sepatunya patah, Cherry nyaris jatuh. Bia yang masih berdiri memperhatikan kepergian Cherry, dengan sigap berlari dan menangkap tubuh Cherry yang terjatuh.
"Shiit!"
"Makannya, kalo jalan yang bener!" ucap Bia menasihati Cherry.
Bukannya terimakasih, Cherry justru meneruskan omelannya. Bia tidak ambil pusing dengan cerocosan Cherry yang seperti burung beo di taman.
***
"Cherry…. darimana kamu?" tanya Papi begitu Cherry sampai di rumah.
"Apa peduli Papi dengan Cherry, bukannya sekarang Papi lebih mementingkan anak Papi yang lainnya?"
"Apa maksud kamu ngomong begitu ke Papi, Papi ga pernah ngajarin kamu kasar sama orangtua loh. Kamu, Papi kuliahin jauh-jauh sampai luar negeri, ini balasan kamu ke Papi?"
"Pi….Papi ga sadar juga, apa yang Papi lakuin itu menghancurkan kepercayaan Cherry ke Papi!"
Cherry berlari ke kamarnya, meninggalkan barang-barangnya di ruang depan. Papi penasaran dengan koper yang ditinggalkan Cherry be gitu saja.
"Dari mana anak itu, ga seperti biasanya dia pergi tanpa pamit," gumam Papi.
Papi membuka seisi koper mini milik Cherry. Ditemukan beberapa pakaian yang dibawa Cherry ke Surabaya.
"Bukannya Goldi sedang di luar kota ya? Kemana dia pergi?" tanya Papi tanpa ada jawaban.
Papi menyeret koper itu sampai depan kamar Cherry di lantai dua. Diletakkan koper itu tepat di depan pintu. Papi kembali turun, berbalik menuju halaman belakang.
"Rumah ini terasa sepi banget, tanpa Mami juga Cherry."
Papi menghela nafas panjang sambil bersandar di kursi goyangnya. Matanya terasa berat akibat hembusan angin sepoi-sepoi sore itu. Papi tertidur. Dia bermimpi melewati hutan jati, ada suara yang menuntunnya untuk terus melangkah.
"Ibu…apa itu suara ibu?" tanyanya dalam mimpi.
"Jangan teruskan kebodohanmu, Wil. Itu akan menghancurkan Cherry, cucuku!"
Papi terbangun setengah berteriak. Keringat membasahi pelipisnya.
"Ga seperti biasanya, aku terbawa mimpi sampai begini," ujarnya.
"Apa maksud pesan Ibu dalam mimpiku, ya?"
Papi bangkit dan mencuci mukanya. Dia naik ke lantai 2, hendak menemui Cherry.
"Pintunya ga terkunci?" gumam Papi sambil membuka pintu kamar Cherry.
"Kemana lagi anak itu. Punya anak gadis satu aja susah diatur."
Papi melihat CCTV, dilihatnya Cherry pergi dengan mobil kesayangannya meninggalkan halaman depan. Jika sudah pergi dengan mobil kesayangannya, Papi menjadi sedikit lebih tenang. Cherry tidak akan pergi terlalu jauh dengan mobilnya tanpa seorang sopir. Paling hanya hangout dengan teman-temannya atau pergi menemui Goldi, kekasihnya.
Benar dugaan Papi, Cherry menemui Goldi.
Cherry melepas kegelisahannya di pelukan Goldi dengan cucuran air mata. Goldi tau harus bersikap bagaimana dalam situasi seperti ini. Bukan pertama kalinya, Cherry menangis di hadapan Goldi.
"Yang…. gimana kalau Mami sama Papi sampai bercerai?" tanyanya setelah selesai bercerita panjang lebar tentang semua yang sudah ia lalui tanpa ada Goldi di sampingnya.
"Aku rasa ga akan terjadi, mereka masih saling membutuhkan. Tidak mudah melepaskan seseorang yang sudah bersama kita puluhan tahun lamanya, hanya karena sebuah masalah yang belum jelas akar permasalahannya."
"Kamu yakin?"
"Apa yang kamu yakini, itu yang akan terjadi."
Cherry diam, dia mencermati ucapan Goldi. Ada benarnya juga, pikirnya.
"Udah lega?" tanya Goldi.
"Dikiiit banget."
"Kamu ga kangen sama aku ya, Beb?"
"Ya….gimana Yang, seluruh otakku keburu terisi masalah Papi sama Mami, itu aja udah buat aku ga bisa mikir apa-apa lagi."
Goldi paham, mungkin ini adalah masalah yang cukup berat untuk Cherry, ia tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam permasalahan mereka. Bukan apa-apa, tapi karena Goldi masih bukan siapa-siapa di kelurga Tuan Wilson.
"Beb, maaf ya, aku ga bisa masuk terlalu dalam."
Cherry lantas mengangguk, rupanya ia juga paham karakter kekasihnya itu. Tiga tahun, cukup bagi mereka berdua untuk saling memahami karakter aslinya. Dia pun tidak mempersoalkannya, sebenarnya Cherry adalah gadis pada umumnya, semua curhatannya bukan untuk mencari solusi. Hanya butuh pendengar, itu saja.
"Yang… aku boleh benci sama Papi ga ya?"
"Kenapa kamu tanya kayak gitu?"
"Rasanya semua rasa sayangku sama Papi udah luntur, yang ada sekarang malah rasa benciku sama Papi. Mungkin ada puluhan kebohongan lainnya yang masih Papi sembunyiin."
"Mungkin Papi kamu melakukaan ini semua dengan tujuan tertentu, ga mungkin kan dia mengorbankan kalian. Kita juga harus bisa melihat kondisinya dari berbagai sudut pandang."
"Bodo amat sih, aku ga peduli. Aku kecewa sama Papi!"
"Durhaka loh!"
Cherry diam, apa dia sedang mempertimbangkan nasihat Goldi atau justru mengabaikan dan menuruti emosinya. Kalau sudah begini, biasanya Cherry akan menyendiri untuk beberapa waktu.
"Yang…. aku butuh waktu untuk menenangkan hati sama pikiranku. Mulai besok, tolong jangan hubungi aku dulu, kalau Papi atau Mami bertanya padamu, jawab aja ga tau, ya?"
"Mhh… kebiasaan kamu."
"Please…"
"Iya-iya sayangku."
Goldi mengelus rambut panjang Cherry yang tergerai. Diciuminya ujung rambut kekasihnya. Meski tidak wangi, Goldi rela berlama-lama menghirup aroma khas dari rambut Cherry.
"Udah malem, mau aku anterin pulang?"
Cherry mengangguk, sebenarnya dia malas ke rumah, tapi Goldi memaksanya. Begitu sampai rumah, Cherry langsung masuk kamarnya. Rupanya Papi sudah menunggunya di sana.
"Cher…" tegur Papi.
"Kenapa Pi? Cherry ngantuk."
"Darimana?"
"Sama Goldi."
"Sampai kapan kamu mau begini?"
"Sampai Papi mengubah pikiran untuk ga ngajak Bia tinggal di sini."
"Ga bisa, keputusan Papi udah bulat. Coba pikir lagi deh, kenapa ga kamu sama Mami yang menerima kehadiran Bia di rumah, anggap aja dia adikmu. Bia bisa bantu kamu, Mami ataupun Papi. Itu aja, ga akan susah Cher."
"Ga susah buat Papi, tapi menurut Cherry dan Mami, Bia adalah orang lain, meski Papi udah menganggap dia seperti anak sendiri, tapi engga buat Cherry dan Mami. Sampai kapanpun. Terserah kalau Papi masih bersikeras dengan keputusan Papi."
"Cher, kamu ga ngerti. Kamu belum cukup umur untuk mengetahui semuanya."
"Apa Pi? Apa lagi, Cherry udah tau semuanya. Kebodohan Papi, kebaikan Papi, semuanya…. semuanya udah Cherry ketahui."
"Tau darimana kamu?"
"Papi ga perlu tau, itu urusan Cherry."
"Cher …"
"Cherry ngantuk, Pi."
Papi keluar tanpa hasil yang ia harapkan. Semua sudah terlanjur rumit. Bagai benang kusut, mustahil jika diluruskan kembali. Papi pergi ke rumah sakit dimana istrinya masih dirawat disana.
"Mi, gimana keadaannya?"
"Seperti yang Papi liat. Ngapain Papi di sini?
"Loh…kok Mami ngomong begitu? Ya Papi nemenin Mami di sini lah."
"Kirain Mami udah ga penting lagi."
"Mi…. jangan mulai deh."
"Engga… yang mulai kan Papi, Mami Cuma nerusin aja. Cherry mana?"
"Cherry…. biasa, dia lagi bad mood. Seharian ini dia ga mau ngobrol sama Papi. Papi paksa baru deh, dia mau dengerin omongan Papi. Semalem juga dia ga pulang, Mi."
"Ga pulang? Kemana?"
"Ga bilang."
"Semua gara-gara Papi."
"Papi salah lagi?"
"Ya jelas lah…. coba Papi ga bawa anak haram itu ke rumah. Ga akan begini kejadiannya."
"Udah lah Mi, jangan mulai. Mami lagi sakit, ga usah ngomong atau mikir macem-macem. Oiya, tadi Papi ketemu sama dokter, besok pagi, Mami udah boleh pulang. Nanti rawat jalan aja kalo perlu."
"Rasanya Mami lebih betah di rumah sakit, kalo ada si Bia itu, Pi."
"Mi…..!"
"Mami mau tidur. Papi boleh pulang kalo mau."
"Engga, Papi akan tidur disini, nunggu Mami. Kita akan pulang bareng-bareng besok pagi."
Papi mengecup kening Mami. Lembut. Dingin, itu yang Mami rasakan. Mungkinkah Mami sudah kehilangan cintanya untuk Papi?
Pria yang sudah puluhan tahun hidup bersamanya. Berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama. Kini sudah tidak ada rasa yang sama seperti dulu. Mungkin sama halnya dengan perasaan Papi. Cintanya sudah terbagi dengan wanita lain.