webnovel

HATI YANG TIDAK PEKA

Bia menuju bandara, dia memilih penerbangan paling pagi tujuan Soekarno Hatta. Ia sungguh tak sabar memberi kabar bahwa project yang sudah lama ia tangani akhirnya goal.

"Papi pasti seneng denger kabar ini," ucapnya sambil menunggu taxi onlinenya.

Tanpa berpikir panjang, Bia langsung menyetting tujuan pesanan taxinya menuju rumah kediaman Tuan Wilson. Apa dia lupa, bahwa dirinya belum diterima oleh Cherry dan Mami?

Seperti sebuah sirine otomatis, tidak seperti biasanya, Papi tengah asik menikmati udara pagi di taman depan, taman dimana pesta pertunangan putrinya di gelar tempo hari. Sekaligus tempat pertemuan pertama untuk dirinya mempertemukan Bia pada istri dan anaknya. Layaknya seorang ayah yang menyambut kepulangan putranya dari tanah rantau. Mereka berdua saling melepas rindu dengan berpelukan. Ada senyum yang merekah menghiasi bibir Papi dan Bia. Kebahagiaan yang tidak merata.

"Bi…sehat kamu?"

"Iya Pi, aku sehat…"

"Gimana, urusannya lancar semua?"

"Goal Pi, project kita goal."

Tiba-tiba Papi memelankan suaranya.

"Kamu ketemu dengan Mamamu?"

"Aku … mmm…"

"Kenapa? Mamamu sehat kan?"

"Yah, seperti itulah, Pi. Aku ga ketemu Mama secara langsung, aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dia tidak bahagia dengan suaminya, Pi."

"Papi tau, maafkan Papi ya."

"Kenapa Papi minta maaf?"

"Sebenarnya, laki-laki yang sekarang menjadi suami Mamamu adalah laki-laki yang Papi bawa, dia adalah kenalan temannya Papi, Papi kira dia orang baik dan bertanggung jawab, tapi nyatanya, dia hanya laki-laki pemabuk dan …. Ah, sudahlah, semua karena Papi. Papi yang salah, intinya Papi yang menjodohkan mereka berdua."

Bia diam, dia sedikit terkejut dengan perkataan Papi. Sepertinya ini pertama kalinya ia tahu bagaimana mamanya bisa dinikahi pria gila seperti itu. Bia makin kasihan dengan nasib ibu kandungnya, tapi perjanjian mereka berdua tidak bisa dilanggar.

"Maafin aku, Ma, andai Mama mengizinkan aku menghajar pria brengsek itu, pasti udah kuhabisi jauh-jauh hari."

Papi menggandeng Bia menuju rumah, ada Mami yang sudah pulang dari rumah sakit, juga Cherry yang tengah asik memainkan gadgetnya.

"Mi, Cher… ada yang datang?"

Cherry dan Mami sudah antusias dengan seseorang yang datang, namun, pupus seketika begitu melihat orang itu adalah Bia. Mereka kembali duduk, kembali acuh tak acuh. Bia mendekati Mami, hendak menyalami Mami. Kemudian Cherry, berbeda dengan Mami, dia justru melengos dan pergi. Papi hanya bergeleng melihat kelakuan putrinya.

"Fix ini sih, Papi kekeh dengan pilihannya!"

Cherry mengemasi baju sekadarnya. Dia pergi tanpa seorang pun tau. Awalnya dia tidak ada tujuan, entah mengapa di tengah kebingungannya dia seperti mendapat bisikan, seperti mengarahkannya ke suatu tempat. Herannya, Cherry menuruti bisikan yang datangnya entah dari mana. Cherry berhenti di sebuah tempat yang begitu asing.

"Dimana gue?" tanyanya pada diri sendiri.

Cherry turun dari mobilnya dan mengamati keadaan di sekelilingnya. Tempat yang sama sekali belum pernah ia kunjungi.

"Wait… kayaknya gue pernah liat tempat ini!" gumamnya sambil mencoba mengingatnya.

"Yes, right! Ini tempat yang semalem gue datengin dalam mimpi."

Cherry melangkah dengan pasti. Langkah yang awalnya ragu, kini menjadi mantap dan pasti. Dia masuk dalam sebuah gubuk tua. Ditemukannya sebuah gulungan kertas kuno. Dibukanya gulungan itu dengan ragu-ragu.

"Apa nih bacaannya, tulisannya aneh."

Cherry melemparnya tanpa berpikir panjang. Cherry kembali keluar, namun, hari terlalu gelap baginya untuk mencari tempat singgah yang lain. Petir menyambar-nyambar. Angin meruntuhkan beberapa dahan di depan mobil Cherry, membuatnya semakin tertahan untuk tetap berada di gubuk tua itu.

"Sial… perasaan tadi cuaca baik-baik aja, napa jadi mendung, petir, badai begini. Lengkap udah penderitaan gue!"

Cherry masuk dan terpaksa duduk di dalam gubuk sembari menunggu hujan reda. Suasana menjadi mistis baginya, bulu kudukya merinding. Padahal dia adalah salah satu orang yang sulit percaya dengan hal-hal yang mengarah ke dunia lain dan kehidupannya. Cherry mengeluarkan ponselnya, dihidupkannya lagu-lagu favoritnya, bukan itu tujuannya, melainkan untuk mengalihkan perasaannya yang mulai tidak enak. Tiba-tiba, suara kakek-kakek keluar dari pemutar lagunya.

"Cherry, cucu tersayangku, apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya.

Tentu saja Cherry ketakutan. Ponsel itu ia lemparkan begitu saja. Mungkin seumur hidup baru kali ini ia mengalami hal mistis seperti saat itu. Dia tidak bisa berkata-kata, lututnya lemas, lehernya seperti tercekik. Cherry mulai kehilangan kesadarannya. Kakek itu membawanya ke suatu tempat.

"Apa kamu mempunyai dendam yang begitu besar dalam dirimu?"

"Siapa kakek?"

"Kakek adalah perwujudan rasa dendam dalam dirimu."

"Ya, aku punya dendam yang begitu besar."

"Apa kamu tidak mau memaafkan mereka yang menyakitimu, nak?"

"Buat apa? Toh permintaan maaf tak akan merubah apapun."

"Kakek peringatkan kamu sekali lagi, dendam yang ada di dirimu bisa menjadi petaka bagi dirimu, tapi juga bisa menjadikanmu manusia yang lain sesuai keikhlasan hatimu untuk memaafkan mereka yang telah berbuat salah padamu!"

"Apa tujuan kakek membawaku kesini?"

"Untuk menyelamatkanmu."

"Gimana bisa, gimana caranya?"

"Bagus, bagus sekali pertanyaanmu, nak. Pejamkan matamu sesaat jika kamu ingin membalaskan dendamu, tapi pergilah sejauh mungkin dari tempat ini jika kamu mau melupakan semuanya."

Tanpa berpikir panjang, Cherry langsung memejamkan matanya saat itu juga. Cahaya aneh menyeruak, menyinari seisi hutan. Tubuhnya menggigil kedinginan. Namun badannya terasa sangat panas. Matanya pedih dan panas seperti terpercik bubuk lada. Kini, ia bisa dengan jelas melihat wujud kakek yang sedari tadi berkomunikasi dengannya.

"Kakek buyut?" seru Cherry kaget.

"Kamu mengenaliku?"

"Entah, aku hanya merasakan dekat sekali denganmu, Kek."

Kakek mengangguk dan tertawa lebar khas orangtua. Cherry sedikit heran dengan penampilan kakek buyutnya. Dia mengenakan pakaian tentara zaman dulu, zaman ketika belum merdeka. Dipundaknya tampak begitu banyak lencana penghargan. Mirip seperti seorang perwira TNI dengan berbagai prestasi. Dia tampak renta, tapi ketampanan wajahnya masih nyata, mirip Wilson, Papi Cherry.

"Apa kakek seorang perwira TNI?"

"Ya, dulunya. Nak, waktu kakek ga banyak. Sekarang, Kakek harus pergi, hati-hati dengan dendammu, kini kamu adalah orang lain, kamu dengan kekuatanmu yang baru. Kendalikan terus, jangan sampai kamu menyesali semuanya, kamu bisa kehilangan orang-orang tersayang di sekelilingmu, nak!"

Kakek itu menghilang dengan menyisakan beribu pertanyaan di benak Cherry. Cherry masih tidak begitu paham dengan apa yang dimaksud oleh kakek buyutnya. Seketika, malam berlalu dan berubah menjadi siang. Gubuk tempatnya berteduh pun lenyap tanpa jejak.

"Apa gue semalem cuma mimpi? Gila, serem juga!" ucapnya sambil bergidik.

Seolah tidak ada kejadian apapun, Cherry mengemudikan mobilnya dengan santai dan musik yang begitu kencang. Di tengah perjalanan menuju rumahnya, tiba-tiba pikirannya menembus waktu, ia seolah melihat Mami, Papi dan Bia yang sedang mengkhawatirkan dirinya. Beberapa detik kemudia ia kembali tersadar.

"Astaga apa itu?" gumamnya.

Limabelas menit kemudian, dia sampai di gerbang rumahnya, ada Mami, Papi dan Bia yang menunggunya. Pakaian, tempat dan suasana yang sama seperti yang ia lihat sebelum ini.

"Cherry….." teriak Mami sambil berlari menghampiri Cherry, kemudian memeluknya.

"Kamu dari mana aja, udah seminggu kamu ga pulang loh."

Cherry makin bingung, padahal dia baru satu malam meninggalkan rumah, menurut pengakuannya.

"Mami sehat?" Cherry balik bertanya.

"Mami kelihatan kurus," tambahnya.

Ya, Mami memang tampak lebih sehat, meski badannya lebih kurus dari biasanya.

"Kamu dari mana, sayang? Seminggu kamu pergi, ga ngasih kabar, dihubungi ga bisa juga. Mami khawatir, Mami takut kamu kenapa-napa. Mami sampai datang ke rumah Goldi, katanya kamu ga kesana juga. Kamu dari mana?" desak Mami.

"Mi, Cherry cuma pergi satu hari, Cherry cuma menginap satu malam, bukan seminggu. Cherry ketemu sama kakek buyut, Mi," jelas Cherry.

"Darimana kamu tau itu kakek buyutmu, sementara Papimu aja ga pernah tau, bagaimana wajah kakeknya, gimana kamu bisa mengenalinya?"

Papi terkejut dengan pengakuan Cherry. Gimana mungkin ia bisa bertemu dengan kakek buyutnya. Padahal sejauh ini, dia tidak pernah mengenalnya, jangankan bertemu, tau nama dan wajahnya saja tidak. Kenapa putrinya justru bisa tau bahwa yang ia temui adalah kakek buyutnya. Papi merasa aneh.

"Jangan ngarang, Cher!"

"Demi Tuhan, Pi. Buat apa Cherry mengarang hal seperti itu. Cherry juga ga tau kenapa Cherry bisa ketemu dengan kakek buyut."

"Ceritakan pada Papi, gimana kondisi kakek buyutmu saat kamu lihat."

"Kakek buyut keren banget, dia perwira TNI."

"Perwira TNI?" Papi bertanya-tanya dalam benaknya.

Ingin sekali Wilson mencari kebenaran asal-usul atau silsilah keluarganya. Tapi apalah daya, tidak ada satu pun orang yang bisa ia tanyai tentang hal itu. Hanya harta warisan dan kekayaan yang turun temurun diberikan oleh orang tuanya termasuk kakek neneknya. Terdengar aneh memang, sebuah keluarga yang meninggal tanpa jejak sama sekali, hanya ada surat wasiat yang turun temurun kepada ahli warisnya.

"Jika benar kakek adalah seorang perwira TNI, itu adalah satu-satunya alasan kenapa keluargaku bisa dapat akses khusus dari Gatot Soebroto Army Hospital. Padahal aku hanyalah warga sipil. Sedangkan rumah sakit itu, benar-benar hanya untuk TNI serta anggota keluarganya saja. Tapi, bagaimana mungkin mereka tau silsilah keluargaku, sementara aku, baru detik ini mengetahui kalau kakekku adalah seorang perwira TNI. Ga masuk akal."

Papi Cherry, terus menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Pikirannya semakin kusut dengan urusan ini. Belum beres urusannya tentang keberadaan Bia di keluarganya, sekarang ia terpaksa harus mengorek teka-teki keluarganya.

"Astaga, aku terlalu tua untuk berfikir tentang hal ini, jantungku rasanya sesak sekali," keluh Papi.

"Pi…. Papi kenapa?" seru Bia yang dari tadi berdiri di belakang Papi.

"Minggir, ini Papi gue!" ujar Cherry mendorong tubuh sixpack Bia.

Ternyata Cherry masih perduli dengan kondisi kesehatan Papinya, begitu pula Mami. Meski hubungan mereka tengah renggang, tapi ikatan anak-orangtua-istri, adalah ikatan yang kekal.

"Pi…ayo kita ke rumah sakit, pasti jantung Papi kumat lagi,"ajak Mami.

Akhirnya sisi hangat Mami keluar lagi setelah pertikaian-pertikaian yang mereka lewati. Mami dengan tubuhnya yang kurus memapah Papi menuju mobil Cherry yang sudah terparkir di halaman dekat pintu gerbang. Cherry dengan sepatu berhak tingginya dan rok mini yang masih menempel di tubuhnya sejak seminggu lalu, seolah tidak lagi perduli dengan penampilannya, juga langsung berlari mengejar langkah Mami yang pelan. Bia melepas jaket hoodie-nya dan melemparkan ke arah Cherry.

"Kak, pakai hoodie gue, udah seminggu lo ga ganti baju!"

Terpaksa Cherry menerimanya.

"Ada benarnya juga dia, penampilan gue enggak banget,"gumamnya sambil memakai hoodie tersebut.

Cherry mengemudikan mobilnya dengan kencang, sementara Mami memangku Papi yang mengerang kesakitan. Dalam perjalanan ke rumah sakit, lagi-lagi, Cherry melihat sesuatu, akan ada kejadian yang mengejutkan berikutnya.