webnovel

Inevitable Fate [Indonesia]

Siapa bilang seorang Nathan Ryuu, lelaki blasteran Jepang - Perancis, adalah anak dari seorang konglomerat besar, sudah hancur dan tak memiliki cinta usai dia kalah dari Vince Hong dalam memperebutkan Ruby? Lelaki muda dan berkuasa ini terlalu jauh dari kata menyerah, meski pemikiran itu sempat menghinggapinya di awal-awal perceraiannya. Nyatanya, takdir dari langit mencoba menawarkan asa baginya untuk sekali lagi bertaruh pada cinta wanita tak terduga. Apakah dia berani mengambil taruhan itu? Wanita itu, Reiko Arata Zein, seorang blasteran Jepang - Indonesia yang harus berjuang sendiri ketika dunia sedang menguji dan menderanya. Kalaupun mereka memutuskan untuk bersatu, bisakah menghadapi semua badai yang diciptakan orang-orang di sekitar mereka? Atau lebih baik menyerah demi kebaikan bersama? ================================== =*= Novel DEWASA =*= ================ Tolong yang belum umur 18 tahun jangan coba-coba melirik apalagi membaca novel ini atau penulis tidak akan bertanggung jawab apabila Anda dewasa sebelum waktunya. Bijaksana dan bijaksini dalam memilih bacaan yang sesuai dengan Anda. Language: Indonesia Warning: (mungkin) akan ada adegan-adegan dewasa Source of story: (spin-off) Lady in Red 21+

Gauche_Diablo · สมัยใหม่
Not enough ratings
702 Chs

Tuduhan Keji

In a world where you feel cold

You gotta stay gold

- Stay Gold by BTS -

============

Reiko terdiam dan melanjutkan meladeni pembeli yang mulai berdatangan. Kebanyakan yang datang ke lapaknya memang lelaki, meski wanita juga ada, namun sejak Reiko berjaga di depan etalase, pembeli lelaki mulai banyak berdatangan, tidak seperti dulu yang didominasi pembeli wanita.

Para pembeli lelaki bahkan mencoba mengajak Reiko berbincang tentang hal lain diluar ayam pesanan mereka.

"Nona, boleh aku tahu namamu?" Seorang pembeli lelaki bertanya ke Reiko.

Reiko terkejut, dia mengenali pria itu sebagai pelanggan yang datang setiap hari membeli ayam sejak Reiko di depan. Ingin menolak menjawab, tapi bisa-bisa Bu Sayuki marah karena dianggap Reiko tidak ramah ke pembeli dan bisa berakibat pembeli kabur.

"A-ano ... kenapa ingin tahu nama saya?" tanya Reiko ke pria bertampang paruh baya itu.

"Ahh, hanya ingin tahu saja, karena rasanya aneh apabila sering bertemu tapi tidak saling mengenal." Pria itu beralasan.

Rasanya Reiko ingin mencibir. Aku juga sering bertemu dengan ratusan bahkan ribuan orang di jalanan Tokyo. Lalu, apakah aku harus mengetahui nama mereka semua? Tapi, dia harus ramah ke pembeli. "Ohh, nama saya ... Nanako."

Lagi-lagi Reiko menggunakan nama palsu itu untuk menjawab orang asing.

"Ahh ... Nanako ... nama yang cantik, seperti yang punya nama." Pria itu tanpa malu merayu Reiko.

"A-aha ha ha, tidak juga, Tuan." Reiko masih menahan diri dan menyajikan senyum ramahnya demi etika pedagang pada pembeli.

"Jangan panggil tuan, panggil saja Hiruto."

"Ohh, Hiruto-san."

"Nanako, apakah kau senggang setelah ini?"

"Ahh, maaf, Hiruto-san. Aku langsung pulang ke rumah setelah bekerja agar bisa lekas beristirahat."

Seharusnya dengan Reiko mengatakan itu, Hiruto paham bahwa Reiko bukan orang pengangguran yang masih bisa berjalan-jalan seenaknya usai bekerja seolah besok tidak ada pekerjaan menunggu.

"Di mana rumahmu?"

"Saya ... saya tinggal dengan Bu Sayuki."

"Ohh, pemilik tempat ini?"

"Iya."

"Kalau begitu, apakah besok aku bisa mengajakmu makan pagi?"

Ya ampun! Pria ini apakah terlalu gigih atau terlalu bebal, sih?

"Ehh? Hiru-san!" Suara Bu Sayuki tiba-tiba sudah berada di belakang Reiko.

"Ahh, Sayuki-san." Hiruto membalas sapaan Bu Sayuki.

"Sudah memesan ayam?" tanya Bu Sayuki ke Hiruto.

"Sudah, Sayuki-san. Aku sedang mengobrol dengan pegawaimu ini."

"Ohh, Reiko? Ya, dia pegawaiku. Apakah dia memberimu masalah, Hiru-san?"

"Reiko?" Hiruto mengernyitkan kening. Kenapa bukan Nanako? Tapi Hiruto menepis keheranannya dan melanjutkan, "Sayuki-san, dia tinggal di rumahmu?"

"Ahh, ya, dia memang tinggal bersamaku."

"Apakah boleh dia aku ajak sarapan pagi di luar besok?"

Bu Sayuki melongo, tak menyangka mendapatkan permintaan semacam ini dari salah satu pelanggannya. "Wah, sepertinya tidak bisa, Hiru-san, karena dia masih harus bekerja. Aku meminta maaf untuk itu." Beliau membungkuk sambil tersenyum ramah ke Hiruto.

"Ahh, sayang sekali. Ya sudah, aku pamit dulu. Terima kasih ayamnya, Reiko-san." Hiruto tersenyum penuh arti ke Reiko sambil melambai dan pergi membawa bungkusan berisi ayam.

Bu Sayuki menatap tajam ke Reiko dan bertanya, "Hei, apakah kau terbiasa menggoda lelaki di sini?"

"Ehh? Menggoda lelaki? Tentu saja tidak, Bu. Aku tidak berani." Reiko menggelengkan kepala berulang kali sebagai sanggahan.

"Kalau tidak, kenapa Hiru-san yang biasanya jarang kemari, jadi mulai sering ke sini setiap hari belakangan ini? Biasanya dia hanya sebulan atau dua bulan sekali ke sini, itu pun dengan cucunya yang kecil. Kenapa sekarang dia jadi kerap ke sini? Kalau bukan kau menggoda dia, lalu apa?"

"Bu, aku bersumpah, aku tidak menggoda dia, Bu."

"Bahkan lelaki kaya seperti Nathan Ryuu saja terus datang ke sini demi kamu. Aku curiga ... jangan-jangan kau dulunya gadis nakal yang terbiasa meladeni sembarang lelaki, heh?"

Reiko melotot, bisa-bisanya dia dituduh sekeji itu.

.

.

Malam ini di kamarnya, usai berjualan, Reiko menangis lirih, mengingat tuduhan dari Bu Sayuki, mana bisa dia menahan tangisnya. Dia tak mungkin marah pada ibu sahabatnya, maka dari itu, sebagai pelampiasan emosi, Reiko hanya bisa menangis.

Greekk ....

Reiko menoleh dan di ambang pintu, ada Tomoda. Pria itu tampak sempoyongan dan sepertinya habis mabuk.

"Reiko-chan ... mmhh ... aku dengar dari ibu ... kau menggoda Hiru-san, mmghhh ...." Tomoda mengoceh sambil wajahnya memerah akibat mabuk.

Reiko segera menegakkan tubuhnya, duduk dan menghapus air matanya, menjawab, "Kak Tomo, itu tidak benar. Aku tidak pernah menggoda siapapun. Aku tidak seperti yang dituduhkan ibumu. Tolong jangan sekejam itu menuduhku. Dan tolong pergilah, Kak. Ini sudah sangat larut dan aku butuh tidur."

Bukannya Tomoda paham dan pergi, dia justru masuk serta menutup pintu geser kamar itu, lalu berjalan sempoyongan bagai zombie ke arah Reiko. "Reiko-chan ... kenapa kau selalu menyakiti hatiku?"

"Hah?" Reiko bersikap waspada.

"Yang pertama, Nathan Ryuu ... lalu sekarang Hiru-san ... nanti siapa lagi yang akan terpikat olehmu, hm?"

"K-Kak Tomo! Tolong sadarlah dan kumohon pergi ke kamarmu sendiri."

"Reiko-chan, sampai kapan kau tidak memahami perasaanku?"

Reiko semakin cemas mengenai situasi ini dan dia bergerak untuk mencapai pintu saja.

Tepp! Belum sempat Reiko mencapai pintu, tangan Tomoda sudah berhasil menggapai pinggangnya.

"Kak Tomo! Kak! Jangan begini! Jangan begini, Kak! Lepaskan!" Reiko meronta dalam dekapan Tomoda.

Tapi sepertinya Tomoda tidak memiliki hasrat lain selain terus mendekap dan menguasai Reiko. Dia menginginkan gadis itu sejak pertama bertemu. Dia sudah menahan cemburunya gara-gara Nathan Ryuu. Dan dia masih harus menahan ketika Hiruto secara terang-terangan ingin merayu Reiko?

Tidak bisa! Reiko adalah miliknya! Reiko hanya boleh bersama dengannya saja!

Mengabaikan jerit tertahan Reiko, tangan Tomoda mulai merayap ke dada gadis itu dan meremas sesuatu di sana. "Reiko-chan, aku mencintaimu, aku sungguh mencintaimu. Apakah kau tidak bisa merasakan cintaku ini?"

"To-Tomo-san! Jangan begini! Tolong jangan begini! Akhh! Jangan!" Reiko terus memberontak menepis tangan agresif Tomoda di dadanya.

"Ssshh ... sshhh ... jangan menjerit, nanti ibu marah dan memukulimu karena mengganggu tidurnya." Tomoda menempelkan bibirnya ke belakang telinga Reiko sambil satu tangannya ingin memasuki celana piyama Reiko.

Tentu saja Reiko makin memberontak atas tindakan tak bermoral seperti itu.

Brukk!

Reiko terhempas ke atas futon dan Tomoda lekas menyergap sebelum Reiko berhasil bangkit kembali.

Gadis itu menjerit dalam hati, bertanya-tanya, apakah ini akhir dari nasib baiknya?