webnovel

Part 2

"UHUK !! UHUK !!" Ivory tersedak saat dia sedang meminum air putih yang ada di gelasnya. George - sepupu Ivory langsung menepuk - nepuk punggung Ivory, aku buru - buru memberikan selembar tissue pada Ivory.

Ivory menerima tissue tersebut dan langsung mengusap mulutnya, kemudian dia menatapku dan Jhion dengan wajah tidak percaya, "Kalian bilang apa tadi ?! Kalian berdua bertemu dengan siapa ?!"

Jhion bersandar pada bangkunya, "Aku tak ingin menyebut namanya lagi,"

Saat ini aku sedang berkumpul dengan Jhion, Ivory, George, Viola, dan Leila di halaman belakang rumahku.

Hari ini adalah hari libur, jadi kami semua memanfaatkan waktu kami untuk bersantai dan beristirahat sejenak dari semua rutinitas sehari - hari kami.

"Tapi apakah Athan tidak mengenali wajahmu ?" tanya Ivory pada Jhion.

"Aku kan tidak pernah bertemu dengannya secara langsung.." jawab Jhion.

"Ah iya benar.. Aku lupa," ujar Ivory.

"Wah ! Aku tak menyangka orang itu berani untuk kembali ke sini setelah semua yang terjadi !" komentar Viola dengan wajah kesal.

"Dan hebatnya lagi, dia melakukan operasi plastik serta mengganti identitasnya agar dia bisa berkeliaran dengan bebas !" sambung Leila seraya keluar dari dalam kolam renang.

Aku memberikan handuk putih pada Leila, "Ini handukmu,"

"Thanks," ujar Leila sambil menerima handuk putih tersebut, "Bagaimana pun juga, kali ini kita harus bisa membuat Athan masuk penjara.."

"Bagaimana caranya ?" ujarku frustasi, "Jelas - jelas dia tidak meninggalkan sidik jari apapun di tempat kejadian.. Kita tak punya bukti,"

Ivory menghela nafas, "Apa tidak sebaiknya kau memberitahu keluargamu, Wensy ?"

Aku langsung menggelengkan kepalaku, "Jangan !!"

"Tapi Wensy.. Ku pikir lebih baik kau memberitahu keluargamu," ujar Viola.

"Aku tak bisa melakukannya," ucapku pelan, "Keluargaku pasti akan kecewa padaku,"

Viola memegang tanganku dengan wajah sedih, "Kenapa mereka harus kecewa padamu ? Kau adalah korban disini.. Bukan kau yang salah,"

"Aku tidak bisa.." ucapku pelan.

"Sejujurnya perkataan Ivory dan Viola benar.." kemudian Leila menepuk bahuku, "Tapi, aku mengerti ketakutan dan kekhawatiranmu,.. Jadi, tak apa bila kau belum siap untuk menceritakan hal ini pada keluargamu,"

"Tapi, Leila,-" Viola tampak tidak setuju.

"Wensy masih butuh waktu," ujar Leila, "Menceritakan hal ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk di lakukan.."

Aku meremas ujung kaos merahku, "Paling tidak sampai aku sembuh dari trauma ini,"

Ivory mengusap - ngusap punggungku, "Baiklah.. Yang terpenting sekarang adalah kau harus sembuh terlebih dahulu.."

"Hei, menurut kalian siapa itu Sora Syaravelina ?" George yang sedari tadi diam karena sibuk menatap layar laptopnya, akhirnya membuka suara juga.

Jhion, aku, Ivory, Leila, dan Viola saling berpandangan dan sedetik kemudian secara bersamaan kami mengangkat bahu masing - masing, tanda bahwa kami tidak tahu siapa itu Sora Syaravelina.

"Hmm.. Aneh," gumam George.

"Ada apa ?" tanya Jhion.

George tampak berpikir sejenak, kemudian dia menatapku, "Wensy, apa menurutmu Athan pernah berpacaran dengan orang lain selain dirimu ?"

"Aku tidak tahu," jawabku, "Tapi sepertinya tidak pernah,"

"Benarkah ?" George menatapku dengan wajah serius, kemudian dia kembali menatap layar laptopnya, "Aneh.. Benar - benar aneh,"

"Ada apa sih ?" Ivory tampak gemas mendengar ucapan sepupunya yang cukup membuat kami semua bingung dan penasaran.

"Aku menemukan sebuah berita kalau Sora Syaravelina ini di kabarkan menghilang 4 tahun yang lalu," ujar George.

"Lalu apa masalahnya ?" tanya Leila.

"Dia menghilang setelah bertemu dengan Athan," ujar George pelan, "Polisi curiga Athan menculik Sora, tapi waktu itu polisi tidak punya bukti kuat untuk menangkap Athan.."

"Apa ?!" pekikku, Ivory, Viola dan Leila bersamaan.

"Kau serius ?" Jhion juga tampak kaget.

George menganggukkan kepalanya, "Sampai sekarang tidak ada yang tahu dimana keberadan Sora.."

Jhion duduk di sebelah George dan melihat layar laptop George, "Sepertinya aku merasa tidak asing dengan wajah Sora ini,"

Aku, Ivory, Leila, serta Viola langsung berkerumun di belakang George dan Jhion untuk melihat foto Sora,

"Hmm.." gumam Leila, "Memang terlihat tidak asing,"

"Apakah dia salah satu teman sekelas kita saat kita masih SMA ?" tanya Ivory sambil menoleh pada Viola yang dulunya saat SMA menjabat sebagai ketua kelas di kelas kami.

Viola menggelengkan kepalanya, "Aku yakin sekali kalau aku tak pernah melihat wajahnya di kelas kita.."

"Atau mungkin dari kelas lain ?" tanya Jhion.

"Mungkin juga," jawab Viola.

George mengetuk - ngetuk jari telunjuknya di laptopnya, "Menurut kalian apakah Sora masih hidup ?"

Mendadak semua terdiam begitu mendengar pertanyaan George,

"Aku tak ingin berpikiran negatif,.." ujar George, "Tapi kalau orang yang membuat Sora menghilang adalah Athan.. Aku tak yakin Sora masih hidup,"

"Tapi mungkin saja kan kalau Sora melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat ?" ujar Viola.

Ivory menghela nafas, "Mengetahui bahwa Athan kembali dan berkeliaran dengan bebas saja sudah membuatku frustasi, dan ketakutanku bertambah karena berita tentang Sora yang mungkin saja sudah di bunuh oleh Athan,"

Tubuhku langsung bergetar, "Itu artinya.. Aku pernah berpacaran dengan seorang pembunuh ?! Bagaimana bisa aku tidak tahu tentang hal seperti ini ?!"

Ivory langsung menepuk bahuku, "Itu bukan salahmu,"

"Itu benar, Wensy.." timpal Leila, "Bukan salahmu kalau kau tidak tahu tentang hal itu, lagipula itu baru kecurigaan dan tidak ada bukti kalau Sora benar - benar sudah di bunuh,"

"Hei, bagaimana kalau,-" Viola melirik ke arah Ivory dengan ragu - ragu.

Ivory langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, "Apapun yang kau pikirkan, aku tidak akan mau melakukannya, Viola.."

Viola menghela nafas, "Sudah ku duga kau pasti akan langsung menolaknya,"

"Kenapa ? Kau masih marah pada ayahmu ?" tanya Leila pada Ivory.

Ivory tampak diam sejenak, kemudian dia menghembuskan nafas perlahan, "Entahlah.. Aku juga tidak tahu pasti.."

"Kau belum menemui ayahmu ?" tanya Leila lagi.

Ivory mengangguk, "Setiap kali melihat wajah ayahku, rasanya menyesakkan.."

Aku, Viola, Leila, George dan Jhion saling berpandangan, tak tahu harus berkomentar apa melihat sisi Ivory yang seperti ini,

"Maaf ya, Wensy.. Aku tak bisa jika harus meminta bantuan dari ayahku," ujar Ivory.

"Sudahlah.. Tidak apa - apa," ujarku sambil tersenyum, "Kalian saja sudah cukup bagiku,"

Ivory tersenyum membalasku,

Viola duduk di pinggir kolam renang, sambil menghela nafas panjang, "Aku minta maaf, Wensy.."

Aku terlihat bingung mendengar ucapan Viola, "Loh ? Kenapa kau meminta maaf ?"

"Seharusnya waktu itu, aku tidak meninggalkanmu sendirian.." ujar Viola dengan nada menyesal, "Ah ! Kalau di pikir - pikir, seharusnya aku tidak usah pergi menemui Hillard !"

"Tidak.. Ini semua bukan salahmu, Viola.." ujarku sambil ikut duduk di samping Viola.

Viola menatapku, "Kau masih bisa berkata begitu padahal aku benar - benar bersalah hari itu.. Dengan bodohnya aku tidak menyadari kalau itu semua sudah di rencanakan oleh Athan,"

Leila ikut duduk di sebelah kiri Viola, kemudian dia mencubit kedua pipi Viola, "Si bodoh ini ! Yang bersalah itu Athan dan bukan kau !"

"Kau kan tidak bersekongkol dengan Athan," ujar George, "Kau hanya di jebak olehnya agar kau saat itu meninggalkan Wensy sendirian,"

Ivory menghela nafas, "Lagi pula.. Aku juga bersalah,"

Aku menatap Ivory, "Kau tidak bersalah.. Waku itu kan memang ibumu membutuhkan bantuanmu,"

"Kalau Ivory dan Viola bilang mereka bersalah.. Aku pun bersalah karena tertipu juga oleh kata - kata Athan bahwa aku di panggil oleh dosenku," ujar Leila, "Wah ! Kalau di pikir - pikir lagi, rasanya aku ingin menghajar wajah Athan ! Bisa - bisanya aku percaya kata - katanya !!"

Aku menghela nafas, "Sudahlah kalian bertiga.. Berhenti menyalahkan diri kalian," ujarku sambil menatap Leila, Ivory, dan Viola, "Ini bukan salah kalian, lagi pula siapa yang menyangka bahwa itu semua adalah rencana Athan ?"

"Itu semua memang karena Athan licik," timpal Jhion.

Aku mengangguk setuju mendengar ucapan Jhion, "Yang terpenting sekarang adalah kita harus membuat Athan tertangkap dan mengakui semua perbuatannya,"

George menutup laptopnya sambil beranjak berdiri, "Itu benar !!"

"Loh ? Kau mau kemana ?" tanya Ivory bingung.

"Menurutmu kemana lagi ? Aku harus menyelidiki kasus Athan ini.." ujar George.

"Wohoo, George ! Kau terlihat seperti detektif sungguhan, sekarang.." ujar Ivory sambil mengacungkan kedua jari jempolnya pada George.

George menjitak kepala Ivory, "Memangnya selama ini aku bukan detektif sungguhan ? Kau pikir kenapa aku bisa naik jabatan secepat ini ?"

"Karena mengunakan jalur orang dalam ?" ujar Ivory asal.

Lagi - lagi George menjitak kepala Ivory, "Kau ini benar - benar !"

"Duh ! Aku kan hanya bercanda," Ivory mengusap kepalanya yang sakit, "Iya.. Iya.. Kau bisa naik jabatan secepat ini karena kau melakukan pekerjaanmu dengan baik,"

George tersenyum bangga, "Dan kali ini aku akan pastikan, Athan akan menerima hukuman atas semua perbuatannya !"

Jhion beranjak berdiri dan menepuk bahu George, "Kalau kau butuh bantuan, aku pasti akan membantumu.."

"Tentu saja kau harus membantuku," ujar George, "Kita harus bisa membuat Athan membayar semua kesalahannya pada Wensy.."

"Jangan lupa kalau kami juga pasti akan membantu," ujar Ivory, Viola, dan Leila bersamaan.

George mengangguk, "Itu sudah pasti.. Kalian memang wajib membantu,"

Aku tersenyum tipis mendengar ucapan teman - temanku, mereka benar - benar serius untuk membantuku.

Aku sangat bersyukur memiliki mereka di dalam hidupku.. Kalau bukan karena mereka, mungkin saja waktu itu aku tidak akan selamat.

Aku benar - benar berhutang budi pada mereka semua.

~

"Selamat pagi, Manager Wensy.." sapa seorang karyawan saat aku baru saja masuk ke dalam gedung kantor.

"Oh, selamat pagi.." sapaku sambil tersenyum.

"Pagi, Bu Manager.." sapa seorang karyawan lain.

Aku menganggukkan kepala, "Selamat pagi.."

"Selamat pagi, Bu Wensy.. Semoga hari anda menyenangkan," ujar karyawan yang lain.

"Pagi.. Semoga hari anda juga menyenangkan," balasku sambil berjalan ke arah lift.

"Manager Wensy.. Selamat pagi," sapa Rayla yang rupanya sudah tiba di kantor terlebih dahulu sebelum aku dan sedang menunggu lift.

Aku tersenyum, "Selamat pagi, Rayla.. Bagaimana dengan wawancara penerimaan karyawan baru kemarin ini ? Apakah berjalan lancar ?'

TING ! Pintu lift yang ada di depanku dan Rayla terbuka lebar, kemudian aku dan juga Rayla pun melangkah masuk ke dalam lift,

Aku menekan angka 5 dan angka 7 pada tombol lift,

"Kebetulan sekali saya bertemu anda pagi ini.." ujar Rayla sambil memberikan sebuah map berwarna biru, "Wawancara berjalan lancar dan saya rasa orang ini cocok bekerja dengan anda,"

Aku menerima map tersebut dari tangan Rayla dan membuka map tersebut, "Hmm.. Jadi namanya Bryan Elliot," gumamku.

Rayla mengangguk, "Usianya memang 4 tahun lebih tua daripada anda.. Tapi, saya rasa dia bisa bekerja dengan baik,"

"Saya harap juga begitu," ujarku sambil membaca lagi isi map tersebut, "Dia memiliki keahlian bela diri ? Apakah hal ini termasuk persyaratan untuk menjadi asisten manager ?" tanyaku bingung.

Rayla kembali menatapku bingung, "Bukankah Manager yang meminta persyaratan tersebut ?"

Aku sedikit tercengang mendengar ucapan Rayla,

"Sekretaris Ivory bilang bahwa anda ingin seorang asisten yang memiliki keahlian bela diri," ujar Rayla, "Jadi saya pun memasukkan hal tersebut sebagai persyaratan untuk menjadi asisten anda,"

"Benarkah ? Sekretaris Ivory yang mengatakan hal ini ?" tanyaku sambil tersenyum.

Rayla menganggukkan kepalanya, "Benar, Manager.."

Aku langsung mengusap dahiku, Ivory ! Kau ini benar - benar !

"Manager, apakah saya melakukan kesalahan ?" tanya Rayla cemas.

Aku menutup map tersebut sambil menghela nafas, "Tidak, Rayla.. Terimakasih ya,"

Rayla tersenyum, "Senang bisa membantu anda, Manager Wensy.."

TING ! Lift berhenti di lantai 5 dan pintu lift pun terbuka,

"Sampai bertemu lagi, Rayla.." ucapku, "Sekali lagi terimakasih karena sudah membantu saya,"

Kemudian aku pun melangkah keluar dari lift,

"Semoga hari anda menyenangkan, Manager.." ucap Rayla.

Aku tersenyum, "Semoga harimu juga menyenangkan," ujarku dan pintu lift pun kembali tertutup.

Aku berjalan menuju ruanganku,

"Selamat pagi, Bu Manager.." sapa beberapa karyawan yang bekerja dalam teamku.

"Selamat pagi, semuanya.." sapaku.

"Apakah anda ingin secangkir kopi ?" tanya seorang karyawan padaku.

Aku menggelengkan kepala, "Tidak, terimakasih.. Apakah kalian sudah sarapan ?"

"Sudah, Manager.."

"Baiklah.." ujarku, "Oh ya, hari ini akan ada asisten manager yang baru.."

Semua karyawan langsung menatapku dengan wajah penasaran, "Benarkah itu, Manager ?"

Aku mengangguk, "Namanya Bryan Elliot.. Jika dia sudah datang, tolong antarkan ke ruangan saya,"

"Baik, Manager.."

"Ah lalu, tolong berikan arahan padanya hal - hal apa saja yang perlu dilakukan sebagai asisten manager," ujarku lagi.

"Baik, Manager.."

Aku pun membuka pintu ruanganku dan melangkah masuk, tak lupa aku menutup kembali pintu ruanganku,

Aku duduk di sebuah kursi coklat yang ada di belakang meja kerjaku sambil meletakkan laptopku di atas meja dan menyalakannya,

Aku membuka map yang aku dapatkan dari Rayla mengenai asisten baruku seraya menyandarkan tubuhku pada kursi,

"Rupanya dia berkuliah di tempat yang sama seperti dengan Kak Sion," gumamku saat melihat isi map tersebut.

Tiba - tiba aku membelakkan mataku saat melihat isi lembaran kertas di hadapanku, "Ya Tuhan ! Dia lulus dengan nilai sempurna ?!" pekikku sambil mengatup mulutku dengan tangan kananku.

Seorang yang jenius menjadi asistenku ?! Bagaimana mungkin ?!

Dengan kepintarannya ini, seharusnya dia yang menjadi manager dan aku lah yang menjadi asistennya .. Ini gila ! Benar - benar gila !

"Akan sangat memalukan jika seorang manager lebih bodoh ketimbang asistennya," batinku dalam hati, "Bagaimana pun juga, aku harus terlihat lebih pintar daripada asistenku,"

Aku menendang - nendangkan kakiku di udara dan meninju - ninju tanganku di udara, "Ah !!! Bagaimana bisa ini terjadi ? Ya Tuhan ! Apa dosaku ? Ku pikir asistenku hanya lebih tua 4 tahun dariku, ternyata... Dia juga sangat jenius dan aku merasa hanya seperti.. Angin,"

Lagi - lagi aku berteriak - teriak dalam hati karena rasa frustasiku saat mengetahui bahwa asisten baruku sangat super jenius.

Tok.. Tok.. Terdengar suara pintu ruanganku di ketuk

Aku langsung membetulkan posisi dudukku dan berdeham sedikit, "Masuk.." ujarku dengan suara yang sengaja aku buat agar terdengar seperti seorang manager yang elegan dan berwibawa.

Seorang pria membuka pintu ruanganku dan melangkah masuk ke ruanganku,

Aku sedikit heran menatap pria itu, "Ku kira dia lebih tinggi, dan sepertinya dia tidak semuda yang aku bayangkan," batinku.

"Bryan Elliot ?" tanyaku pada pria itu.

Pria itu memandang sekeliling dan kemudian angkat bicara, "Anda memanggil saya ?"

"Tentu saja, apakah ada orang lain di tempat ini selain anda ?" tanyaku bingung, "Jadi anda adalah Bryan Elliot , bukan ?"

"Ah, saya bukan Bryan Elliot, Nona.." ujar pria tersebut, "Saya office boy baru dan saya datang untuk membersihkan ruangan anda,"

Aku mengusap dahiku, hampir saja aku melakukan hal yang bodoh..

"Begitu ya.." ujarku pada pria tersebut.

"Apakah anda butuh secangkir kopi ? Saya akan membuatkannya untuk anda sebelum saya mulai bersih - bersih,"

"Sepertinya aku memang membutuhkannya untuk menenangkan pikiranku," batinku.

"Baiklah.. Tolong buatkan saya secangkir kopi instant dengan susu, dan tolong tambahkan whipped cream di atasnya," ujarku sambil masih mengusap dahiku.

"Ya ? Anda ingin saya menambahkan whipped cream ?" pria itu terlihat bingung dengan ucapanku.

Aku langsung tersadar, "Ah maksud saya, tolong buatkan secangkir kopi susu.."

Pria tersebut mengangguk, "Baik, Nona.." kemudian pria tersebut pun keluar dari ruanganku.

Tapi selang beberapa menit kemudian terdengar suara ketukan pintu lagi,

"Masuk.." ujarku dan lagi - lagi aku sengaja membuat suaraku terdengar berwibawa.

"Apa anda ingin camilan juga ?" tanya pria yang merupakan office boy tersebut saat masuk ke dalam ruanganku lagi.

Aku menganggukkan kepalaku,

"Anda ingin cookies kacang atau cookies coklat ? Bagaimana dengan wafer coklat ? Atau anda lebih suka dengan wafer vanilla ?"

Aku menghelas nafas, "Anda bisa menyajikan apa saja pada saya.. Entah itu wafer atau cookies,"

"Ah.. Baik, Nona.." pria tersebut pun keluar lagi dari dalam ruanganku.

Tapi tidak sampai satu menit, pintu ruanganku kembali di ketuk,

"Masuk.." ujarku lagi.

"Maaf, Nona.. Anda ingin kopi susu hangat atau dingin ?" lagi - lagi office boy tersebut kembali.

Aku menarik nafas dalam - dalam dan menghembuskannya perlahan, "Saya pikir hangat lebih baik,"

"Baik, Nona.. Saya akan membuatkannya sesuai dengan yang nona inginkan,"

Aku tersenyum, "Terimakasih.."

Office boy tersebut keluar dari ruanganku dan menutup pintu ruanganku,

Aku menghela nafas, "Kalau office boy itu kembali lagi, aku akan mengirimnya ke cabang India," gumamku pelan.

Tok.. Tok..

Aku mulai kesal, "Masuk ..!" tidak ada lagi suaraku yang terdengar elegan dan berwibawa, yang terdengar malah seperti singa yang sedang mengamuk.

Pintu ruanganku terbuka lebar,

"Bukankah saya sudah bilang kalau,-" ucapanku berhenti saat melihat seorang pemuda bertubuh tinggi masuk ke dalam ruanganku.

Untuk beberapa menit, aku dan pemuda itu hanya terdiam dan saling berpandangan,

"Maaf kalau saya mengganggu waktu anda," ucap pemuda tersebut padaku.

Aku tersenyum kaku seraya membetulkan posisi dudukku, "Apakah anda adalah Bryan Elliot ?" tanyaku dengan nada yang lebih berwibawa dari sebelumnya.

"Benar.. Saya adalah asisten manager yang baru," ucap pemuda tersebut sambil membungkukkan badannya padaku.

Aku berdeham sedikit, "Senang bertemu dengan anda.. Saya, Wensy Jeremiah.."

"Suatu kehormatan bisa menjadi asisten anda, Manager Wensy.."

Aku beranjak berdiri dari tempat dudukku dan berjalan ke arah sebuah sofa putih yang ada di dalam ruanganku, "Silahkan duduk," ujarku pada pemuda bernama Bryan itu.

Pemuda itu pun menuruti perkataanku sambil duduk di sebuah sofa yang berhadapan denganku,

"Saya rasa secara garis besar anda pasti sudah tahu apa saja yang akan anda kerjakan sebagai asisten manager," ujarku sambil menatap asisten baruku itu.

Bryan menganggukkan kepalanya, "Bu Rayla sudah menjelaskannya saat wawancara kerja dan juga tadi sebelum saya menemui anda, Pak Jefrand memberitahu saya beberapa arahan lagi,"

"Baiklah kalau begitu, sepertinya saya tidak perlu menjelaskannya lagi," ujarku, "Namun ada beberapa aturan tambahan yang perlu anda perhatikan saat menjadi asisten saya,"

Bryan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari dalam tasnya,

"Anda tak perlu mencatatnya," ujarku, "Ini bukanlah peraturan yang rumit,"

"Tidak apa - apa, Manager.. Saya akan mencatatnya agar saya tidak lupa," ujar Bryan.

Aku menatap Bryan sejenak, "Keras kepala juga dia," batinku.

"Baiklah, anda bisa mencatatnya jika anda memang bersikeras," ucapku, "Peraturan yang pertama adalah sebagai asisten anda harus memperhatikan jadwal - jadwal saya baik di dalam kantor maupun di luar kantor,.. Saya tidak suka jika jadwal saya berantakan dan sebisa mungkin hindari perubahan jadwal yang mendadak"

Bryan langsung menulis hal tersebut dalam buku catatannya,

"Peraturan kedua, saat saya harus melakukan pekerjaan di luar kantor, sebagai asisten anda harus membantu saya untuk menyelesaikan pekerjaan lainnya.." ujarku lagi sambil bersandar pada sofa, "Lalu yang terakhir, hubungan antara saya dan anda hanyalah sebatas rekan kerja saja, di luar hal itu saya harap kita saling menjaga privasi dan tidak ikut campur dalam kehidupan pribadi,"

Bryan tampak fokus menulis setiap perkataanku dalam buku catatannya,

"Apakah ada pertanyaan ?" tanyaku.

Bryan menatapku, "Apakah saya boleh bertanya mengapa anda membutuhku seorang asisten yang handal dalam bela diri ?"

Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dadaku, "Abaikan saja persyaratan itu, tidak perlu menganggapnya serius,"

"Tapi,-"

"Ah satu lagi peraturan tambahan," ujarku sambil menatap Bryan dengan wajah serius, "Saya harap anda tidak membantah ucapan saya,"

Bryan menatapku dengan manik matanya yang berwarna biru, entah apa yang dia pikirkan.. Mungkinkah dia menyesal karena dia harus bekerja denganku ? Atau mungkinkah dia menganggapku sebagai seorang manager yang tidak mau mendengar saran dari asistennya ?

"Baiklah, Manager Wensy.." ujar Bryan kemudian, "Saya akan bekerja dengan baik,"

Aku cukup terkejut mendengar perkataan Bryan yang benar - benar sangat menuruti kemauanku, tapi sedetik kemudian aku tersenyum sambil mengulurkan tanganku pada Bryan, "Senang bekerja sama dengan anda, asisten Bryan.."

Bryan menyambut uluran tanganku, "Senang juga bisa bekerja bersama dengan anda, Manager Wensy.."

~

Sudah dua minggu berlalu sejak Bryan menjadi asistenku.

Aku merentangkan tanganku ke udara, akhirnya setelah berjam - jam berkutit untuk membuat laporan serta memeriksa beberapa dokumen penting, aku bisa merenggangkan otot - otot tubuhku sambil meng-istirahatkan mataku dari layar laptop,

Aku beranjak berdiri dari tempat dudukku dan menatap ke luar jendela besar yang letaknya di belakang meja kerjaku,

"Cuacanya bagus dan terlihat cerah," gumamku pada diriku sendiri, "Tapi kenapa ramalan cuaca mengatakan bahwa hari ini hujan lebat akan turun ?"

DRRTT.. DRRTT.. Tiba - tiba handphone-ku yang terletak di atas meja bergetar,

Aku mengambil handphone-ku dan menatap layar handphone-ku sambil mengerutkan dahiku, "George ? Kenapa dia menghubungiku ?" batinku.

"George,.. Bukankah sepulang kerja nanti kita akan bertemu ? Ada ap,-" Aku mengangkat telepon dari George dan belum selesai aku berbicara George sudah memotong ucapanku dengan nada yang terkesan bingung sekaligus panik,

"Kau ada di kantor kan ?" tanya George.

"Tentu saja.. Ini masih jam kerja, Geor,-"

"Aku dalam perjalanan ke kantormu , dan kau ! sebisa mungkin tetaplah berada di ruanganmu," lagi - lagi George memotong ucapanku.

"Apa terjadi sesuatu ?" tanyaku bingung.

"Intinya tetaplah berada di ruanganmu sampai aku datang," ujar George.

Samar - samar aku mendengar suara sirine mobil polisi, jantungku berdegup kencang, berbagai macam pertanyaan langsung muncul dalam benakku.

Ada apa ini ? Kenapa George datang bersama dengan rekan - rekan polisinya ? Apakah sesuatu yang buruk sedang terjadi ? Atau mungkin ini berhubungan dengan Athan ?

"George, katakan padaku ! Sebenarnya ada apa ini ?" tanyaku.

"Aku akan menjelaskan nanti," ucap George.

"Jelaskan sekarang, George !" ucapku dengan suara lantang, "Kau datang ke kantorku bersama dengan rekan - rekan kerjamu kan ? Apa yang terjadi ?"

"Lima belas menit lagi aku akan tiba di kantormu," ujar George tanpa menghiraukan pertanyaanku.

"George !" seruku kesal, tapi George tak sempat mendengar seruanku karena dia sudah memutuskan sambungan teleponnya denganku.

Aku menggigit bibir bawahku, pikiranku kalang kabut, rasa cemas mulai meliputiku dan ini bukanlah hal yang bagus. Sangat tidak bagus !

Aku berusaha mengatur nafasku, aku tidak ingin serangan panikku kambuh hanya karena situasi yang tidak jelas ini,

"MANAGER WENSY !!" tiba - tiba Bryan masuk ke dalam ruanganku sambil membuka pintu dengan tergesa - gesa.

Aku menatap Bryan dengan wajah bingung, sejujurnya aku terkejut sekali mendengar Bryan yang berteriak memanggilku sambil masuk ke dalam ruanganku, tapi di sisi lain aku sedikit bersyukur karena setidaknya pikiranku tak lagi berfokus pada rasa cemasku,

"Ada apa ?" tanyaku sambil berusaha untuk tenang.

"Ada penyusup bersenjata api di gedung ini, Manager.. Dan situasinya tidak bagus saat ini.." ujar Bryan dengan nada suara yang lebih tenang dari sebelumnya.

"Apa ?? Penyusup anda bilang ?" ujarku tak percaya.

Bryan mengangguk, "Para penyusup itu berhasil menguasai daerah lobby, beberapa orang yang berada di lobby juga menjadi sandera mereka,"

Aku memegang dahiku, "Jadi ini alasan George menyuruhku untuk tetap berada di ruanganku," batinku.

"Bagaimana dengan para petugas keamanan ?" tanyaku pada Bryan.

"Sebagian terjebak di lobby tanpa adanya kesiapan untuk melawan," ujar Bryan, "Sebagian lagi berhasil mengamankan setiap lantai yang ada.."

Aku berjalan menuju ke arah pintu ruanganku,

"Manager, anda mau kemana ?" tanya Bryan sambil menahan tanganku.

"Ini tak bisa di biarkan, Asisten Bryan.." ujarku, "Polisi baru akan tiba sekitar lima belas menit lagi, dan kita tidak bisa diam saja tanpa melakukan sesuatu,"

Bryan tetap menahan tanganku, "Lalu apa yang bisa kita lakukan, Manager ? Jika kita salah bertindak, bisa - bisa nyawa taruhannya.."

"Saya tahu apa yang harus saya lakukan," ujarku sambil menarik tanganku dari genggaman Bryan.

Aku berjalan keluar dari ruanganku, beberapa karyawan yang bekerja dalam teamku terlihat resah dan juga ketakutan,

"Manager.. Bagaimana ini ?" ucap Vony - seorang karyawan yang paling muda di dalam divisiku.

Aku menepuk - nepuk pundak Vony, "Jangan khawatir, semuanya akan baik - baik saja.." kemudian aku menatap karyawan yang lain, "Apakah bagian keamanan sudah mematikan dan mengunci lift ?" tanyaku.

"Sudah, Manager.." jawab Pak Jeffrand - karyawan yang paling senior di antara kami semua.

"Bagus.." ucapku, "Kalian tunggulah di sini, saya akan turun ke lobby melalui tangga darurat,"

"Apa ??!" pekik semuanya, "Untuk apa, Manager ?!! Itu berbahaya !"

"Para penyusup itu bersenjata, Manager !" seru Vony.

"Saya hanya akan mencoba bernegosiasi dengan mereka," ujarku.

"Manager, direktur dan para petinggi yang lain saja tidak mau bernegosiasi dengan para penyusup itu.." ujar Cloe - pemuda dengan kacamata dan selalu ambisius dalam hal apapun, "Lantas kenapa harus Manager yang maju dan bernegosiasi dengan mereka ?! Itu tidak masuk akal, Manager.."

"Coba pikirkan lagi, Manager.." ujar Pak Jeffrand.

Aku menghela nafas, aku tahu tindakanku mencampuri urusan ini adalah hal cukup gegabah dan tidak masuk akal, tapi jika aku tidak melakukan sesuatu, aku khawatir para penyusup itu malah membahayakan para sandera yang mereka tahan di lobby.

"Kita tidak bisa diam saja melihat karyawan - karyawan yang di sandera oleh para penyusup itu di lobby," ucapku, "Kita harus melakukan sesuatu, paling tidak sampai polisi datang,.. Jangan sampai kejadian hari ini menjadi sebuah tragedi yang mengerikan,"

"Tapi, Manager,-" Bryan hendak menahanku.

"Paling tidak sebagai Manager, saya juga harus bertanggung jawab atas keselamatan karyawan yang lain bukan ? Saya tidak bisa menutup mata dan bertindak egois dengan melindungi diri saya sendiri.." ujarku.

Sebenarnya alasanku ingin bernegosiasi demi menolong para sandera itu bukanlah hanya mengenai tanggung jawab semata, aku tahu persis bagaimana rasanya saat berada di posisi mereka.

Rasa takut, gelisah, juga rasa sesak yang menghimpit dalam hati,.. Benar - benar membuat frustasi dan tak tahu harus berbuat apa.

Aku tak ingin mereka semua merasakan ketakutan yang sama seperti aku di masa lalu, aku tak ingin mereka memiliki trauma yang membutuhkan waktu bertahun - tahun untuk sembuh,..

"Saya akan berhati - hati," ujarku pada karyawan - karyawan yang menatapku dengan cemas dan berharap aku tak melakukan negosiasi itu, "Saya berjanji.. Semuanya akan baik - baik saja,"

"Kalau begitu, saya akan menemani anda, Manager.." ujar Bryan sambil menatapku serius.

"Asisten Bryan,-"

"Saya juga akan ikut," ujar Pak Jeffrand.

"Saya juga ! Saya tidak akan membuat Manager Wensy maju sendirian," ujar Steve.

"Saya juga !" timpal Cloe, "Kalau memang Manager Wensy bersikeras untuk bernegosiasi dengan para penyusup itu, saya juga akan ikut !"

Beberapa karyawan yang lain pun berkata hal yang sama seperti Bryan, Pak Jeffrand, Steve dan juga Cloe. Bahkan Vony yang terkenal paling penakut di antara kami semua, memaksakan diri untuk ikut juga karena mencemaskan aku,

"Jangan melarang kami untuk ikut, Manager.." ujar Pak Jeffrand.

Aku menghela nafas, "Memang tidak salah jika divisi kita ini di beri julukan sebagai divisi yang penuh ambisi dan orang - orang yang keras kepala," ucapku sambil menatap semua orang yang ada di hadapanku, "Baiklah, ayo kita turun ke lobby dan bernegosiasi sebaik mungkin dengan para penyusup itu,"

~

To Be Continued ...