"Keana," ucap Abian saat dirinya sudah berjongkok untuk menyetarakan tinggi dengan gadis kecilnya. Maniknya menatap dengan iba. Mulutnya pun terkatup rapat seolah tak bisa berkata- kata.
Keana yang merasa seseorang menyebut namanya pun langsung mendongak dari lipatan tangannya. Begitu banyak air mata tumpah dari pelupuknya. Maniknya pun memerah. Bibirnya bergetar menahan isakan agar tak keluar dengan lancangnya.
Abian menatap Keana dengan penuh rasa. Entah rasa sayang sebagai saudara atau semacamnya. Maniknya terpaku pada tatapan teduh sang saudara. Namun itu tak berlangsung lama. Sampai maniknya menemukan bekas tamparan keras di pipi Keana yang masih tercetak dengan jelasnya.
Dalam sekali gerakan, Abian menarik tubuh Keana. Ia merengkuhnya. Memeluk Keana dengan dekapan hangat miliknya. Tangannya pun bergerak untuk membelai rambut lembut adik tirinya.
Sedangkan Keana, ia terpaku ditempatnya. Untuk kedua kalinya, Abian datang untuk memeluk disaat ia rapuh tak berdaya. Sendirian tentunya.
"Maaf," hanya satu kata itulah yang lolos dari bibir Abian. Entah kata apalagi yang masih pantas diucapkan. Ribuan sumpah serapah pun sepertinya masih kurang untuk menghakimi Abian saat itu juga.
Penyesalan selalu hadir diakhir cerita. Membuat begitu banyak goresan yang meninggalkan bekas luka. Andai saja Abian masih bisa memutar waktu untuk mengubah situasi diantara mereka. Abian pasti memilih tak akan pernah percaya pada Bima.
Keana amatlah nyaman berada di pelukan Abian. Tubuhnya seolah menemukan kehangatan. Rasa kasih sayang ayah yang sangat didambakan setidaknya bisa tergantikan.
Pelukan mereka sudah begitu lama. Keduanya sama- sama merasakan debaran jantung yang sekencang lari kuda. Isakan Keana pun sudah mulai mereda.
Abian mulai melerai pelukannya. Ditatapnya lamat- lamat sang adik dengan penuh cinta. Ya, cinta. Abian telah berhasil memastikan perasaannya. Ia tahu kesalahan besar akan diembannya. Namun apa daya, hatinya kini telah berlabuh pada Keana.
"Maaf untuk apa?" tanya Keana dengan tatapan penuh tanda tanya. Mata sembabnya seakan menatap dengan menerka. Apa maksudnya?
Namun bukannya menjawab, Abian hanya bisa diam membisu ditempatnya. Entah mengapa lidahnya terasa kelu saat melihat air mata gadis kecilnya.
Maniknya terpaku menatap mata indah Keana yang selalu ceria kini terdapat banyak tetesan air mata. Ingin sekali Abian ceritakan semua, namun ia tak bisa. Karena kebenaran belum dapat ditemukannya.
"Abian?" ucap Keana saat tak melihat sedikit pun reaksi darinya. Tangannya pun bergerak menyentuh bahu sang saudara.
Sedangkan Abian yang tengah melamun pun sukses dikejutkan oleh tepukan pelan di bahunya. Seketika itu Abian mulai gelagapan. Keana bicara apa tadi? pikirnya sambil mengingat- ingat.
"Kamu kenapa?" tanya Keana seraya menatap dengan mata sembabnya. Rasa penasaran sangatlah tampak dari maniknya.
Namun bukannya menjawab, Abian malah berdiri dari posisinya. Maniknya menatap dengan tatapan yang teramat sulit diartikan bagi seorang Keana.
Abian mulai melangkah meninggalkan Keana. Kaki panjangnya terus mengayun dengan cepat seolah ingin segera enyah dari sana. Kepalanya pun tak sedikit pun menoleh untuk menatap gadis kecilnya. Mulutnya pun seakan terkunci rapat tanpa memberikan penjelasan apapun padanya.
Tangan Abian mulai terangkat untuk membuka knop pintu kamar Keana. Tapi entah mengapa, tangannya seolah enggan untuk membukanya. Tubuhnya pun terhenti tepat dibelakang pintu kamar adiknya. Ingin sekali ia menjelaskan semua, namun ia tak tahu mulai dari mana. Ia juga terlalu gengsi untuk mengutarakan kata maaf yang sangatlah langka keluar dari bibirnya.
"Abian? Kamu kenapa? Ada masalah? Maksudnya maaf buat apa?" ucap Keana saat melihat Abian terhenti dibelakang pintu kamarnya. Apakah ia akan menjelaskan maksudnya? batin Keana terus bertanya.
Manik Keana terus terpaku pada sosok orang jangkung yang akhir- akhir ini menjadi sumber kalut pikirannya. Tubuhnya pun telah bangkit dari posisinya bersiap melangkah untuk mendekati Abian disana.
Namun pergerakan Abian selanjutnya sontak mengunci tubuhnya. Baru saja Keana akan melangkah untuk mendekat, namun Abian sudah membuka pintu dan keluar begitu saja.
Keana hanya bisa diam ditempatnya. Rupanya harapan untuk bisa kembali akur dengan sang saudara hanyalah mimpi belaka. Keinginan untuk direngkuh lebih lama kini hanya menjadi angan- angan semata. Sebenarnya apa salah Keana?
Tak terasa, setetes air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Lagi- lagi. Ia harus sendirian. Takdir seolah membuat dirinya layaknya sebuah permainan. Kesedihan terus datang tanpa ada seorang pun yang bersedia untuk menenangkan.
Sedangkan Abian, lelaki bertubuh jangkung iku kian memperbesar langkahnya. Maniknya menatap seolah banyak api membara. Emosinya memuncak saat itu juga.
Kaki Abian terus mengayun menuju garasi rumahnya. Tangannya pun bergerak mengambil sebuah jaket dan kunci motor besarnya. Tujuannya kini hanya satu. Menemui ayahnya.
Abian tak peduli apapun resikonya. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah perbuatan sang ayah yang sudah tak bisa dimaafkan lagi menurutnya.
Dengan cepat, Abian mulai naik dan memasang helm full face yang terletak diatas tangki bensin motornya.
Seketika itu juga, Abian menancap gas layaknya orang kesurupan. Motornya terus melaju kencang membelah jalanan. Jarak rumah dan kantor sang ayah yang lumayan jauh membuat Abian harus bersabar. Ditambah lagi dengan kemacetan yang membuatnya kian memakan waktu di perjalanan.
Sampai 30 menit kemudian, motor 250 cc miliknya mulai memasuki kawasan parkir perusahaan besar. Tertulis dengan jelas nama Monsta di bangunannya.
Monsta adalah perusahaan besar milik sang ayah yang bekerja di bidang pertambangan. Tak heran jika harta Abian sangatlah banyak layaknya tak akan habis tujuh turunan.
Abian mulai memarkirkan motornya. Tangannya pun bergerak melepas helm lalu segera berlari masuk perusahaan.
Paras dan nama yang sudah tak asing membuat Abian cukup dikenal. Banyak orang didalam yang tersenyum ramah bahkan menyapa Abian. Namun ia tak pedulikan.
Maniknya kini menatap dengan nyalang jalanan yang ia lalui untuk bertemu sang tokoh kejahatan. Walaupun Aditya adalah ayahnya, ia tak akan segan- segan menghajarnya jika itu bersangkutan dengan gadis kecilnya.
Abian mulai memasuki lift dan menekan angka 7 disana. Lantai dimana tempat sang ayah bekerja.
Tak lama setelah pintu itu terbuka, Abian kian mengepal eratkan tangannya. Maniknya pun kini tampak memerah mengingat luka lebam dipipi Keana karena ulah Aditya.
"Tuan Abian, ada yang bisa dibantu?" tanya sang sekertaris saat melihat Abian datang. Senyum ramah darinya puj tersungging tinggi menampilkan deretan gigi.
"Maaf Pak Aditya sedang bertemu klien di dalam," ucap sang sekertaris berusaha mencegah Abian.
Namun bukan Abian namanya kalau ia tak mengacuhkan. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan dari sang sekertaris cantik kebanggaan perusahaan.
Abian terus melangkahkan kakinya dengan lebar sampai ia menemukan sebuah pintu dengan papan bertuliskan CEO Perusahaan. Melihat itu sontak membuat Abian langsung naik pitam.
Brakk!
Abian membukanya dengan sekali gerakan. Perbuatannya sontak mengagetkan orang- orang yang ada di dalam ruangan. Mereka semua kompak menatap kearah Abian. Termasuk Aditya.
"Apa yang anda lakukan pada adik saya?!"