Dion memberiku sebuah garpu dan pisau makan, lalu dengan baiknya menuntun tanganku pada hidangan yang baru saja selesai dibuatnya. Aku kembali mengucapkan terima kasih sekaligus maaf untuk kesekian kali karena terus membuatnya repot. Dan yang selalu menjadi jawaban Dion tiap kali aku melakukannya adalah tidak masalah, itu tidak merepotkan atau bukan kamu yang salah. Hanya kata-kata itu tapi aku merasa baik setelah mendengarnya.
"Berhenti minta maaf, lagi pula aku biasa mempersiapkan sarapan pagi untuk..." Dion menjeda, aku yang paham maksudnya meneruskannya. "Kekasihmu?" Ia tak membuka suaranya membuat aku merasa bersalah. Lagi. Aku ikut diam, tidak tahu harus berkata apa, apa dia marah padaku?
"Ya.. kekasihku." Katanya kemudian, aku tersenyum menanggapi. "Jadi siapa namanya?"
"Huh?"
"Kekasihmu Dion, siapa namanya?"
"Kamu yakin ingin tahu?"
Aku mengangguk mantap, sejak awal aku penasaran dengan kekasih Dion. Aku ingin tahu segalanya, bagaimana hmm... pria itu dan seberapa besar cinta Dion kepadanya. Apakah mereka benar-benar tidak dapat berpisah atau masih ada harapan untuk menarik Dion kembali? Dion masih diam, aku tidak tahu apa yang dilakukannya saat ini, mungkin aku terlalu lancang ingin tahu privasi Dion. "Tidak apa-apa kalau—"
"Namanya Ray."
"Ray?"
"Hmm.." Dion kembali menjadi pria dingin, aku merasa perlahan dia mulai menarik diri lagi dariku. "Apakah aku terlalu lancang Dion? Maaf membuatmu tidak nyaman."
"Bukan! Aku hanya bingung mengatakannya. Mungkin karena tidak biasa berbagi."
Aku mengerti rasanya ketika ingin bercerita tapi tidak ada siapapun yang mendengar. Semua cerita itu pada akhirnya terpendam dengan perasaan yang menggantung. Biasanya aku melampiaskannya dengan bermain bersama Zoe, meski tidak mungkin aku mengeluhkesahkannya pada anak berumur 6 tahun tapi setidaknya aku bisa melupakan sebentar perasaan kesepian sebab tidak memiliki siapapun sebagai tempat berbagi.
"Ka-kalau kamu mau.. kamu bisa berbagi denganku. Kita teman bukan?"
Dion terkekeh membuatku mengernyit bingung. "Tidak mau ya?"
"Tidak sekarang, kamu sudah selesai?" Aku mengangguk meski kecewa, aku tidak bisa dan tidak mau memaksa Dion. Kudengar Dion merapikan peralatan makan yang kugunakan, dan itu membuatku jadi merasa tidak berguna.
"Tidak adakah yang bisa kulakukan agar aku merasa berguna?"
"Kamu merasa begitu?" Aku kembali mengangguk, sebenarnya semenjak kakiku menginjak rumah ini, aku merasa seperti benda mati yang baru saja dibeli ah tidak itu bahkan tidak menyusahkan mungkin lebih tepatnya lagi seperti parasit? Dan yang paling membuatku bersalah ketika Dion mengatakan semua bukan masalah lalu menjalaninya tanpa keluhan apapun. "Tapi aku tidak merasa begitu." Kata Dion lagi, apakah dia sungguh-sungguh saat mengatakannya?
Aku menghela nafas, kecewa pada diriku sendiri "Tapi kalau kamu memang ingin membantu, bahan makanan dirumah sudah habis, mau menemani?"
"Mau!!!! Mauu!! Itu keahlianku." Jawabku cepat. Asal tahu saja aku ini ahlinya memilih bahan segar, buah manis, dan bahan makanan dengan kualitas baik. Penciumanku yang tajam bisa membedakan mana-mana bahan makanan yang masih dalam kondisi bagus dan layak di makan. Jadi aku pasti bisa jadi sangat berguna.
[Dion]
Ketika dia berkata dia ahlinya belanja kupikir hanya bualan semata, tapi saat kulihat betapa ahlinya dia memilih semua bahan makanan kami seolah dia diciptakan untuk itu, aku melongo amat terkesan, gimana caranya dia tahu kalau susu yang sedang dipegangnya sudah tidak layak diminum padahal tanggal kadaluwarsanya masih jauh? Ya ampun masa harus menghabiskan banyak waktu hanya untuk memilih sekotak susu sih? Rasanya aku ingin menarik Luna agar menjauh, tapi tidak tega juga melihatnya semangat 45 mengendus-endus. Tapi Aku juga sudah jengah disini, Belum lagi beberapa gadis remaja yang tengah mencuri-curi pandang kearah kami.
"Luna itu masih jauh kadaluawarsanya." Kataku akhirnya ketika melihat dia kembali meletakan sekotak susu pada tempatnya, Luna menggelengkan kepalanya, kembali meraih kotak lainnya lalu asik mengendus lagi. Aku yang melihatnya hanya bisa menghela nafas. "Dion kemasan ini mengalami kerusakan, aku yakin isinya akan terkontaminasi. Jadi aku—" Aku yang sudah tidak tahan, dan tepat berada dibelakangnya, kemudian meraih kotak itu dari tangan Luna mengembalikannya kedalam rak lalu mendekapnya. Semua terjadi begitu saja tanpa kusadari, hingga teriakan gadis-gadis itu menyadarkan betapa tidak tahu malunya aku yang baru saja melakukan adegan romantisme bak film tetanic ditempat umum yang disaksikan orang-orang juga rak beserta isinya. Aku mencoba untuk tidak nangis sekebon menahan malu. Yagaklah yakali....
"Arghhhh Uwuuu banget sih kakkk uwuuu."
Hah? Uwu apasih? Sialan! Semua orang kini memandang kami, ada yang menatap takjub, tidak peduli mungkin sampai jijik kali lihat muka sok dimiripin nicholas saputra berlagak. "Di-dion.." bisik Luna pelan, dia memang tidak bisa melihat tapi pasti mendengar teriakan gadis-gadis kampret itukan? "Tidak usah didengar, yuk bayar aja. Susunya tidak jadi beli." Aku membawa tubuhnya memutar, mengurungnya diantara tanganku yang siap mendorong troli, hampir meninggalkan tempat sebelum mendengar teriakan gadis-gadis itu lagi.
"Akhhh kak pacarnya boleh buat aku gak sih???." Astaga, susah ya emang muka kaya Jungkook BTS banyak banget yang ngefans. "Pacar-pacar! Saya suaminya!" Dengusku, tepat diatas pucak kepala Luna. Sebenarnya Luna itu mungil, tingginya hanya sepundakku saja. Tapi tubuhnya ideal aku tidak merasa dia terlalu kurus maupun gemuk sangat sesuai menurutku. Ya balik lagi sebenarnya semua kembali pada selera masing-masing.
"Suami??? Kakak gak mau punya istri kedua?"
"Sopan santun kalian dimana? Seenaknya ngomong kaya gitu didepan istri saya?" Aku pikir ucapanku seharusnya membuat mereka sadar, tapi justru memperparah kelakuan mereka. "Ihh gentle banget sih, ambyar hati adek bang! Kak serius deh bagi nomornya dong!" Aku hampir saja ingin menyahut lagi, tapi Luna menyentuh lenganku dengan lembut. Dia mendongakan wajahnya matanya yang seterang langit seolah mengintimidasiku. Hatiku bergetar entah karena apa. Setelah beberapa detik kami saling bertatapan, walaupun sebenarnya hanya sepihak, kepala Luna kembali mengarah kepada mereka. "Maaf ya, tapi suami saya kalau sudah cinta cukup satu saja tidak bisa di bagi-bagi hatinya. Jadi dapet nomornyapun bakalan percuma." Aku tahu yang dimaksud Luna hatiku untuk Ray. Meski begitu aku tetap merasa tersentuh, dan parahnya aku hampir melupakan Ray satu hari ini saat bersamanya.
Suara-suara sorakan mereka juga pengunjung lainnya sedikit membuatku tersanjung, aku terlihat seperti suami idaman semua orang. Itu karena mereka tidak tahu bahwa aku memiliki kelainan seksual, coba kalau tahu pasti tatapan mereka berubah meremehkanku, dan perasaan takjub ini hanya sampai pada saat aku menangkap sosok Ray di antara mereka yang tengah memandang kami dengan pandangan membunuh. Aku membeku, Ray melihat semuanya! Aku yakin dia salah paham.. itu artinya Double sial untuk hari ini!