8 Awal

Pemandangan pertama yang kudapati pagi ini tidak seperti biasanya. Aku terbiasa bangun dengan wajah Ray disampingku, atau biasanya tidak ada siapapun. Tapi sekarang, aku mendapati wajah seperti dewi masih terlelap begitu tenang disana, dihadapanku. Ya pada akhirnya aku menyetujui keinginan anehnya, Aneh? tentu saja sangat aneh! Aku menerima tawaran itu dengan mudahnya. Gila itu sesuatu hal langka untukku yang selalu anti dengan orang asing. Dan yang parahnya lagi Aku juga seperti sudah mengenalnya dengan lama, tidak ada rasa canggung padahal kami hanya beberapa hari mengenal.

[Jadi ayo kita berteman jadikan hubungan pernikahan ini seperti kamu tinggal dengan seorang teman.]

Tinggal dengan seorang teman ya? Apa itu yang membuatku merasa dekat dengannya? Terlalu jauh jika aku mendeskripsikan bahwa aku tertarik dengannya dalam tanda kutip. Aku memang tertarik, tapi lebih keingintahuanku mengenal sosoknya. Aku masih mencintai Ray, aku merasakan itu, hubungan selama 4 tahun tidak akan mudah tergoyahkan begitu saja hanya karena aku sudah menikah. Aku masih menunggu Ray kembali padaku dan aku yakin Ray masih mencintaiku juga.

"Nghhh" Lamunanku teralihkan melihat Luna yang mulai mengerjapkan matanya. Sepertinya dia akan bangun, aku menunggu dalam diam hingga akhirnya ia membuka matanya yang teduh sekaligus hampa. Binar matanya telah hilang kendati warnanya masih seterang langit. "morning." Sapaku yang ternyata mengejutkan Luna hingga ia terlonjak ke belakang, aku refleks bergerak maju, tanganku melingkar sempurna dipinggangnya menahan bobot tubuh Luna agar ia tak jatuh, sementara kedua tangannya tepat di dadaku meremas kaus tidurku. Kini kami tak berjarak, kulihat wajah Luna merona seperti tomat. "Hati-hati, kamu di pinggir ranjang." Kataku membuat wajahnya semakin memerah, apa dia demam? Tidak bodoh! Dia merona! Dan aku terpesona, Ini kali pertama aku melihat seorang wanita yang wajahnya memerah karena merona, dan sumpah itu sangat cantik! Ah sudah berapa kali ya aku memujinya? Aku melepaskan pelukanku setelah menarik tubuhnya lebih ketengah ranjang.

"Kamu lupa?"

"Y-Ya???"

Aku mendengus "Kan kamu yang ngajak tidur bareng." Dia tersenyum malu, kulihat wajahnya tak segugup tadi, meski binar kemerahan masih terlihat jelas. "Oh Ya Tuhan!" Luna berteriak tiba-tiba sembari menutup wajahnya sementara aku hampir lompat dari ranjang karena terkejut. Sialan! Bikin kaget! Sumpah gak bohong, kaget juga karna suara Luna berubah nyaring kaya petasan. Padahal kalau bicara suaranya selembut sutra. Serius nanya, Dia bukan jelmaan mak lampirkan? [Dion bego! Tolol! Gak ada adab! Dia bini lu!] otakku puas menghujat.

"Kenapa Na?" Luna menggeleng masih menutupi wajahnya. Aku yang bingung mengusap-usap kepalanya, mencoba peruntungan siapa tahu seperti kucing yang jadi lebih tenang setelah dielus. Tapi dielus sampai pegalpun dia masih tidak mau membuka tangannya. Karena tidak ada tanda-tanda dia berhenti menutupi wajahnya, aku meraih tangan Luna, soalnya gak mungkin nunggu dia sampai sore. Perut dari tadi sudah pada demo! Dan ternyata Luna malah menekannya kuat. "Kenapa Na?" Tanyaku lagi. Syukurlah kali ini mau menjawab "M-malu."

Astaga malu kenapa?!???!???

"Malu kenapa?" Tanyaku masih lembut, menahan untuk tidak mengumpat. Tahan Dion baru hari pertama. Ujian pertama menikahi seorang wanita meskipun tidak pernah juga menikah dengan seorang pria. "Mukaku pasti jelek banget ya?" Demi celana bundar spongebob! Gara-gara itu? "Enggak Luna."

"Bohong! Ini pertama kalinya aku bangun tidur dengan orang lain. Jadi jangan bohong."

Sumpah dah gue kaga bohong, lu cantik banget! Tadinya mau teriak begitu, tapi gaklah, nanti dia syok kena serangan jantung. "Enggak Luna, kamu masih cantik! Cantik banget malah." Kataku selembut kapas "Gapapa Dion jujur saja."

"Aku sudah jujur."

"Benar?"

"Ampun deh, sumpah! Buka dulu ya tangannya." Aku menarik tangannya pelan, kali ini berhasil dan Luna benar-benar seperti kepiting rebus. Aku memperhatikannya, Rambutnya memang sedikit berantakan tapi bagiku itu terkesan seksi, meski tak merangsang miliku, bibirnya merah alami, kulitnya seputih salju, jadi bagian mana yang jelek? Aku yakin kalau dia bicara didepan orang lain seperti itu, Luna pasti mendapat hujatan karena banyaknya wanita iri dengki bin syirik dengan kecantikannya.

"Tidak buruk sama sekali Luna. Percaya sama aku. Sekarang daripada kita memperdebatkan itu, lebih baik kita lanjutkan di ruang makan. Aku sudah lapar sekali." Luna kembali terkejut dan meminta maaf, kukatakan aku tidak apa-apa kepadanya, dan segera membantunya turun dari ranjang. Sentuhan demi sentuhan tanpa sengaja ini membuatku terus-terusan merasakan perasaan aneh. Luna menyelipkan tanganya di lenganku. Dia berbisik sembari kami perlahan meninggalkan kamar. "Maaf, aku janji jika aku telah terbiasa aku tidak akan menyusahkanmu." Aku membawanya ke dalam toilet. "Tidak apa-apa hari ini juga aku tidak ada kegiatan apapun. Kita bisa menelusuri rumah ini nanti siang." Kataku sembari mengarahkannya pada wastafel. Aku seperti seorang ayah yang menuntun anak gadisnya.

"Karena aku sudah sangat lapar, tidak masalahkan cuci muka dan sikat gigi agar lebih segar dulu?"

"Y-ya maafkan aku Dion."

"Tidak perlu minta maaf, ini bukan kesalahanmu." Awalnya ia terlihat ragu tapi kemudian mengangguk. Luna mulai melakukan kegiatannya, aku menunggu sembari memperhatikan. Mungkin kalau dia bisa melihat, dia akan merasa risih.

"Sudah." Katanya membuyarkan kegiatanku memandanginya. Kini giliranku melakukan kegiatan yang sama dengan Luna, tidak memakan banyak waktu, setelah selesai melakukannya, kamu keruang pantry bersama.

Hari ini semua asisten rumah tangga diliburkan, dan ide gila itu tercetus dari siapa lagi dalang rumah tangga kami kalau bukan ibuku. Kata beliau agar kami dapat berduaan sehingga bisa saling mengenal diri. Bukan hanya itu, ibu bahkan memaksaku mengambil cutiku selama tiga hari, sebenarnya beliau ingin aku cuti tujuh hari, tapi gila saja aku super sibuk, menjadi CEO tidaklah punya banyak waktu luang seperti itu.

"Mau masak apa?" Tanyanya, aku mengerutkan kening tidak tahu juga mau masak apa, lalu berbinar seperti mendapat pencerahan ketika melihat dua buah telur. Sepertinya kami harus belanja nanti "Karena aku chef, mungkin omelet."

Luna terkekeh dan tawanya renyah seperti wafer tango. "Aku pikir kamu pria dingin tak tersentuh. Tapi ternyata pria humoris."

Aku memang dingin diluar, maksudku dengan orang yang benar-benar tidak aku kenali, tapi kalau dengan kerabat terdekatku, aku bisa jadi pria terhangat yang humoris. Kata Ray dia menyukaiku karena itu. Sebenarnya aku juga heran Luna orang asing pengecualian pertama dengan sikap dinginku. "Aku pikir kamu pendiam." Sahutku mulai mengocok telur.

"Tidak! Aku suka berbincang. Bagiku melakukan komunikasi bisa meningkatkan kepercayaan diriku. Aku bisa tahu hati seseorang yang sesungguhnya tiap kali menjalin konversasi. Intonasi suara, getarannya bisa membuatku mengerti bagaimana aku harus bertindak. Apakah aku harus melanjutkannya atau lebih baik kami tetap menjadi orang asing." Jelasnya panjang, aku cukup terkesan dengan penjabarannya, dia bukan gadis buta yang biasa pastinya.

"Kalau begitu kita bisa jadi pasangan paling bawel di dunia." Gurauku membuatnya kembali tertawa. Aku pernah mengatakannya bukan? Kurasa kami cocok jadi tidak buruk juga berteman dengannya.

avataravatar
Next chapter