webnovel

Bab 3 - Malam Panjang (3)

"Kita sudah sampai. Masuklah."

"Ini rumahmu?" Tanya Hana takjub.

"Yah bisa dibilang begitu. Ini adalah rumah warisan orang tuaku."

"Tunggulah di sini sebentar, aku akan mengambil handuk." Kataku menyuruh Hana menunggu di ruang tengah.

Tanpa jawaban Hana berdiri di sana seperti apa yang kusuruh.

"Ambillah dan keringkan tubuhmu."

"Terima kasih." Ucapnya pelan.

"Omong-omong kau bawa baju ganti kan?" Tanyaku.

Hana tidak menjawah melainkan membalasku dengan tatapan aneh dan gerakan aneh yang seakan mengatakan "Apa kau bercanda?"

"Benar juga, maafkan aku."

Apa yang kupikirkan. Dia tidak mungkin membawa baju ganti dengan tas kecil seperti itu, dan kalaupun ia membawanya pasti sudah basah kuyup oleh hujan. Pikirku menyalahkan diri sendiri.

"Sini, ikuti aku."

"Ruangan ini dulunya merupakan kamar seorang wanita. Carilah sesuatu di dalam. Di lemari, atau di mana saja sesuatu yang bisa kau pakai."

"Tapi ingat untuk tidak menyentuh atau merusak apapun." Kataku memperingati.

"Kenapa tidak kau saja yang masuk ke dalam dan mencarikannya untukku? lagi pula ini rumahmu kan." Tanya Hana.

"Soal itu... anu.." Aku tak bisa menjawab pertanyaannya.

"Lupakan saja apa yang kukatakan tadi. Aku lupa kau adalah tuan rumah di sini. Sudah seharusnya tamu mengikuti keinginan tuan rumah."

"Kalau begitu... aku akan mandi sekarang. Kau bisa mandi setelahku. Setelah menentukan baju yang akan kau pakai tentunya."

"Satu hal lagi, Hana." Panggilku saat Hana hendak memasuki pintu kamar. "Maaf saja karena isi dalamnya mungkin adalah baju-baju keluaran beratus tahun yang lalu."

"Ya, tentu. Tidak apa-apa." Jawabnya

...

Air pancuran shower mengenai tubuhku. Membilas tubuhku yang dipenuhi oleh sabun. Tak lupa tanganku menggosok ke tiap sela-sela bagian tubuh.

"Ah segarnya." Kataku menikmati tiap air hangat yang mengguyur.

Aku menghela napas panjang. Kepalaku menyandar pada dinding kamar mandi. "Hari ini benar-benar hari yang panjang."

Kuselesaikan mandi dan segera keluar dari kamar mandi.

"Hana, kau sudah siap?"

Aku mengetuk-ngetuk pintu kamar.

"Apa yang kau lakukan di dalam? Kenapa lama sekali. Sudah kubilang untuk tidak menyentuh apapun selain baju di lemari."

"Iya! Aku sudah siap kok. Sebentar."

"Aaaaaa!" Teriak Hana. Ia membuka pintu dan berteriak secara tiba-tiba. "A-a-apa yang kau lakukan. Kenapa kau tidak mengenakan apapun."

Hana menutup-nutup matanya. Menghindarkan pandangannya dari melihatku.

"Ah maaf, aku sudah terbiasa seperti ini." Kataku yang hanya mengenakan handuk untuk menutup bagian kemaluan.

"Ya, ya, ya sudah, di mana kamar mandinya."

"Di arah sana lalu belok ke kiri, pintu pertama di kanan."

Hana bergegas menuju arah yang kutuju sambil terus menutup-nutupi wajahnya dengan pakaian yang ia bawa. Menghalangi pandangannya dariku.

...

"Minumlah."

Hana mengambil gelas berisi kopi dari tanganku.

"Terima kasih."

Kami berdua duduk di atas sofa. Bersantai menghangatkan diri di depan perapian. Jari jemari kami memegang dan merangkul cangkir kopi tersebut, menyerap setiap kehangatan yang dikeluarkannya.

"Baju itu cocok denganmu."

"Terima kasih. Ini tidak lebih hanya sekedar piyama, tapi terima kasih." Ucap Hana.

"Terima kasih juga sudah meminjamkan baju ini."

"Ya, tentu. Kau boleh mengambilnya jika kau mau."

"Ryan." Ucap Hana memecah keheningan. "Username-mu itu, Ryan, apa itu juga nama aslimu?"

"Yah begitulah. Aku tidak punya alasan untuk menggunakan nama samaran." Jawabku jujur.

"Bagaimana dengan dirimu? Hana123. Hana. Apakah itu nama aslimu?"

"Tidak." Jawab Hana. Matanya menatap lurus ke perapian. Aku dapat melihat pantulan bayangan api perapian di iris matanya. "Namaku Hina. Hina Kanata."

"Nama itu... apa kau tidak berasal dari negeri ini?"

"Ya, kau benar."

Ruangan kembali hening beberapa saat. Yang terdengar hanya suara gemericik api saling bertumbukan.

"Hey, apa kau itu memang benar abadi?" Tanya Hina.

"Mungkin aku terlihat mengada-ada. Tapi, ya, benar. Aku Abadi. Aku ini... tidak bisa mati."

"Terserah kau mau percaya atau tidak."

"Percaya kok." Ujarnya. "Aku percaya kok."

"Habisnya, cairan yang kau minum tadi itu... asam, benar kan?"

Hina mengangkat tangannya dan melihat pada jari telunjuknya.

"Tidak ada alasan lagi untukku tidak percaya."

"Hei Hana, tidak, Hina. Apa yang kau lakukan. Kenapa kau diam saja dari tadi." Kataku panik.

Tangan Hina terluka akibat cairan asam tadi. Lukanya tidak lebar namun cukup dalam mengingat betapa korosifnya sifat alami dari senyawa kimia yang kugunakan.

"Tunggu di sini sebentar, biar kuambilkan obat untuk tanganmu."

Aku berlari ke laboratoriumku, mencari kotak P3K khusus penanganan bahan kimia dan beberapa hal lain yang diperlukan.

"Kemarikan tanganmu sebentar, kita harus membilasnya dengan air terlebih dahulu."

Kutarik tangannya pelan ke baskom air yang telah kusiapkan dan membilas jari telunjuknya perlahan.

"Sekarang aku akan mengoleskan obat ini. Akan sedikit sakit, jadi cobalah untuk menahan rasa sakitnya."

"Awww.... Aaahh!" Hina mengerang kesakitan.

"bersabarlah sebentar, aku hampir selesai. Kuatkan dirimu." Kataku seraya terus lanjut mengoleskan obatnya dengan lembut.

"Sudah selesai."

"Terima kasih, Ryan. Aku tidak tahu kau mahir dalam hal seperti ini."

"Apa maksudmu, aku sudah hidup ratusan tahun. Tentu aku harus melakukan sesuatu untuk mengisi waktu. Dan aku biasanya mempelajari berbagai hal baru karena mau bagaimanapun ilmu dan pengetahuan itu sangat penting."

Hina tertawa dan tersenyum melihat tingkahku.

"Hina, menurutmu berapa umurku sekarang?" Kataku bernada murung.

"Coba lihat. Beberapa teman sebayaku ada yang terlihat sepertimu tapi kurasa kau lebih seperti umur 21 hingga 23 tahun."

"Begitu ya."

"Apa tebakanku benar?" Tanya gadis itu.

Aku berpikir sejenak.

"Mungkin."

"Yah sebenarnya tidak ada jawaban yang benar atau pun salah. Aku sendiri tidak tahu wujudku ini, tubuhku ini, dalam fase umur berapa bila diukur dengan hitungan umur manusia normal."

"Yang kutahu hanyalah aku sudah hidup selama 721 tahun."

"Kau tidak perlu menceritakannya jika kau tidak mau." Ujar Hina.

Sepertinya dia melihat wajah murung yang kubuat.

"Tidak apa-apa, lagipula hanya itu yang ingin kuceritakan sekarang. Dan juga, mau kuceritakan atau tidak, tidak ada yang berubah dalam hidupku. Aku akan terus berada di dunia ini, terjebak bersama waktu yang terus berputar."

"Dan juga... entah kenapa rasanya aku ingin menceritakannya padamu."

"Kau hebat sekali ya, Ryan. Terjebak di dunia yang penuh penderitaan ini. Ingin mati tapi tidak bisa. Kau juga menjalani hidupmu dengan sebaik mungkin. Sedangkan aku..."

Hina terdiam dan tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca.

"Hari sudah sangat larut, kita sebaiknya tidur sekarang. Kau juga harus kembali ke rumahmu besok. Aku akan membayarkan tiket keretanya untukmu jadi tenang saja."

"Selamat malam Hina." Kataku dalam hati.

Kutinggalkan Hina yang akan tidur di sofa ruang tengah, sedangkan aku kembali ke kamarku.

...

Lampu-lampu sudah padam. Para binatang malam bernyanyi dengan nyaring. Bulan dan bintang menyinari bagaikan lampu sorot.

Hari itu. Di malam yang panjang itu. Malam yang menjadi awal mula pertemuan dua insan. Pertemuan antara Ryan Watson dan Hina Kanata. Seorang anak laki-laki yang hidupnya bagaikan sebuah fantasi, dan seorang gadis yang tersesat dan dilanda oleh kehancuran.

Sebuah pertemuan takdir.

Nah, kemana kah takdir akan membawa mereka?

.

Mohon komentar, kritik, dan sarannya jika ada yang ingin disampaikan untuk keberlangsungan novel ini.

dukung author terus juga yaa

Kirizey_79creators' thoughts