**Jangan terjebak dengan chapter-chapter awal** Hina, seorang gadis jelita datang ke sebuah kota yang tidak ia ketahui untuk bertemu dengan teman. Seorang lelaki yang ia temui secara daring. Sampai akhirnya ia mengetahui kebenaran tentangnya. Lelaki yang dipenuhi dengan misteri. Lelaki itu terus hidup. Melewati masa. Melewati Zaman. Terus hidup dengan kekosongan dan keinginan kuat untuk mati. Berbagai cara telah ia lakukan. Semuanya sia-sia. Namun ia tidak menyerah. Ia akan terus mencari cara untuk mengakhiri hidupnya. Itulah keyakinan yang terus dipegangnya. "Aku ingin membantumu. Aku ingin mencari cara untuk membunuhmu. Sampai saat itu tiba, aku akan terus hidup. Bersamamu." Cerita tentang kehidupan, cinta dan dongeng. Petualangan penuh fantasi yang tak pernah terbayangkan. Memecahkan misteri yang membelenggu dunia kecil mereka. Nah, takdir seperti apa yang akan menunggu mereka? . . . Help Me Kill Me
Aku sampai! Di sinilah aku sekarang! Suatu tempat antah berantah. Kota yang sama sekali belum pernah kukunjungi. Semuanya tampak sangat asing. Jujur saja aku sedikit takut. Namun bukankah ini menyenangkan. Berada di tempat yang sama sekali tidak kauketahui, yang bangunan dan orang-orangnya sangat asing bagimu. Bahkan udara yang kuhirup saat ini terasa sangat asing dihidungku.
Bukankah ini menyenangkan? Rasa takut ini, rasa gelisah ini. Jantungku yang berdetak sangat kencang seakan dapat mendobrak hancur tulang-tulang rusukku dan keluar kapan saja. Apakah ini yang dinamakan hidup? Apakah aku akhirnya bisa merasakan hidup yang sebenarnya?
"Ahh! Hidup itu menyenangkan!" Aku berteriak dan tertawa seperti orang gila.
~I wanna die wanna die but don't really wanna die~
Ponselku berdering, menyela kegilaan dan kebahagian yang tengah kurasakan.
"Ahaha ha ha, ya, Halo?" Kataku menahan tawa.
"Kau kelihatannya bersenang-senang ya." Ucap seorang lelaki yang berbicara di telepon. Suaranya terdengar masih muda, seperti siswa SMA atau anak kuliahan.
"Ah kau rupanya. Maaf aku terlalu terbawa suasana dan lupa untuk mengabarimu. Aku sudah sampai."
"Ya, aku tahu kok." Ujarnya.
"Kalau begitu mau bertemu sekarang?" Tanyaku.
"Belum saatnya." Kata lelaki itu bernada jahil. "Aku masih harus menyiapkan beberapa hal untuk nanti malam. Kau istirahat dan bersenang-senanglah dulu, lagi pula kau belum pernah pergi ke kota ini bukan?"
Aku bergumam mengiyakan.
"kalau begitu aku pergi dulu, dadah. Sampai jumpa nanti malam." Lelaki itu berbicara dengan cepat dan menutup teleponnya, tak membiarkanku mengucapkan sepatah kata pun. Meninggalkanku sendirian di kota yang asing ini.
"Ah ya sudahlah. Aku akan bersenang-senang dan melakukan hal yang kuinginkan." Ya benar, aku akan bersenang-senang. Untuk terakhir kalinya. Sebelum hidupku berakhir.
...
Namaku Hina. Aku hanyalah seorang gadis SMA biasa dengan kehidupan yang biasa. Aku pergi ke sini, tempat yang belum pernah kukunjungi ini, untuk bunuh diri. Ya benar, aku akan mengakhiri hidupku hari ini, malam ini. Bersama seseorang yang belum pernah kutemui. Lelaki di telepon tadi. Lelaki yang kutemui di sebuah situs secara daring. Dari sana kami mulai saling mengirim pesan dan menjadi cukup dekat. Kami berjanji untuk mengakhiri hidup kami bersama hari ini, malam ini. Jujur saja awalnya aku ragu. Aku tidak terlalu banyak mengetahui tentang dirinya dan kami juga tidak membahas tentang kehidupan pribadi kami. Hal yang kuketahui darinya hanyalah username Ryan_ yang ia gunakan dan fotonya yang ia kirim padaku kemarin.
Sekarang pukul lima sore. sinar oranye matahari masuk melalui kaca luar. Sinar yang menyilaukan setiap kucoba melihat keluar. Aku duduk di sebuah kafe. Menunggu lelaki itu. Aku sudah cukup bersenang-senang hari ini. Mengunjungi berbagai tempat, mencoba makanan-makanan yang belum pernah kumakan, hingga membeli beberapa suvenir lucu.
"Ahh hari ini melelahkan." Kataku seraya menyandar ke kursi yang empuk.
Minuman yang kupesan sejak tadi mulai mencair, air yang menetes mengenai bagian bawah ponselku.
Apa dia masih lama ya. Pikirku. Kuambil ponselku dan menghubunginya.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada di luar jangkauan. Mohon coba beberapa saat lagi." Ucap rekaman suara mbak-mbak operator.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat..."
"Nomor yang anda tuju..."
Ahh. Kataku kesal dan membanting ponsel ke meja. Aku menyandarkan kepalaku ke meja dan melihat ke arah jendela luar kafe. Sinar matahari sore begitu menyilaukan mata. Namun aku tidak peduli dan terus melanjutkan. Semuanya memutih. Seluruh dunia seakan berubah menjadi putih. Terasa sangat tenang dan damai. Apakah kematian akan terasa seperti ini? Apakah akan terasa sangat... "Awww!" Teriakku kesakitan. Mataku terasa perih, membuatku kembali bersandar dan menghindari cahayanya.
Mataku masih terasa sakit sambil terus kukucek dengan kuat. "Aw, aw" kataku meringis kesakitan.
"Selamat sore, Hana123." Ucap seseorang dari arah depan. Suaranya mengingatkanku pada seseorang.
Ah sial, aku tidak bisa berpikir dengan mata perih ini, sambil terus mengucek. Sesekali kucoba melihat ke arah suara itu. Dengan samar dapat kulihat seorang lelaki yang mengenakan jaket hoodie berwarna hitam. Pandanganku masih buram, sedangkan lelaki itu hanya diam di depanku tak bergerak ataupun mencoba membantu. Memperhatikan setiap penderitaanku.
Mataku mulai pulih. Rasa sakitnya perlahan hilang dan penglihatanku mulai kembali normal. Kubawa pandanganku ke depan. Kini aku dapat melihat wajahnya dan mata kami berpapasan.
"Sudah selesai bermain-mainnya?" Tanyanya dengan ekspresi jahil. Ia tersenyum lebar melihat semua penderitaan yang kualami.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Tanya lelaki itu.
"Tunggu sebentar." Aku bergegas mengambil ponsel. Mencari-cari sesuatu. "Ah! Kau Ryan garis bawah!"
"Panggil Ryan saja." Ujarnya.
"Ah baik, Ryan. Aku Hana123, panggil saja Hana. Senang bertemu denganmu." Kataku.
"Ya, aku juga."
...
Hari mulai gelap. langit yang tadinya oranye mulai membiru, memberikan giliran pada kegelapan untuk mewarnai langit. Aku masih di kafe itu sejak tadi, bersama dengan Ryan. Suasananya menjadi canggung. Tak ada yang berbicara. Lelaki itu hanya diam sambil membaca buku yang ia bawa. Aku tidak tahu buku apa yang ia baca karena sampul depannya yang sudah rusak. Ia tampak serius membacanya.
"Anu, kapan kita akan melakukannya." Tanyaku menyela.
Ryan menutup bukunya. Memasukkannya ke dalam tas. "Kau ini tidak sabaran ya." Ucapnya. "Ayo ikut aku."
Ryan berdiri dan langsung berjalan keluar. Aku membereskan barang-barangku dengan cepat dan bergegas mengikutinya.
Lelaki itu terus berjalan. Melewati jalan demi jalan, bangunan demi bangunan. Sedangkan aku yang tidak tahu kemana kami akan pergi hanya bisa mengikuti dari belakang. Aku dapat melihat punggungnya. Lelaki itu lebih tinggi dariku, hampir sekitar 180 sentimeter. Apabila dibandingkan dengannya mungkin aku lebih pendek dari pundaknya. Dia terus berjalan. Tanpa sepatah kata pun yang terucap. Berjalan dalam kesunyian di keramaian malam kota itu.
"Hana." Panggil lelaki itu. Ia menghentikan langkahnya. "Mau makan malam terlebih dahulu?"
"Tenang saja, aku yang traktir. Lagipula kau sudah menghabiskan banyak uang hanya untuk ke sini." Ujarnya.
aku hanya diam tanpa memberi respon.
"Bagaimana? Makan malam terakhir sebelum semuanya berakhir." Tawarnya.
"Baiklah." Jawabku mengiyakan.
...
"Selamat datang, silahkan dilihat terlebih dahulu menunya." Ucap seorang pelayan yang menghampiri meja kami.
"Tidak usah." Tolak Ryan. "Tolong dua porsi menu makan malam terbaik yang ada di restoran ini."
"Baik, dua porsi menu makan malam terbaik, sudah termasuk makanan dan minuman. Ada lagi?" Tanya wanita itu.
"Tidak dari saya." Ucap Ryan. Ia kemudian menatap ke arahku.
"Tidak, sudah cukup." Kataku
"Baiklah, mohon ditunggu terlebih dahulu." Pelayan itu pergi. Meninggalkan kami berdua di meja.
"Ryan apa kau tidak terlalu berlebihan. makan malam terbaik, itu, pasti sangat mahal." Kataku komplain.
Ryan tertawa. "Tidak apa-apa. Lagipula selain sekarang, kapan lagi, bukan?"
Ryan ada benarnya. Ini adalah terakhir kalinya kami akan merasakan yang namanya makan malam. Aku juga merasa ini adalah satu hal yang sangat ia inginkan. Hal yang ingin dilakukan sebelum mati. Hal Yang akan sangat kau sesali jika kau tidak pernah melakukannya selama hidup. Terlebih lagi jika kau sudah memutuskan untuk mengakhiri hidup. Aku sudah cukup bersenang-senang seharian ini, kurasa aku juga perlu membiarkan Ryan melakukan hal-hal yang ia inginkan. Pikirku dalam hati.
"Terima kasih telah makan di restoran kami." Ucap seorang pelayan. Aku senyum mengiyakan.
"Sebelum itu," pelayan itu memegang tanganku, menahanku pergi. "saya ingin mengucapkan selamat karena anda berdua adalah pasangan yang beruntung dan mendapatkan dua buah kupon gratis untuk makan di restoran kami." Ucapnya sambil menyerahkan dua buah kertas kupon tersebut.
"Tidak usah." Kataku. "Lagipula kami tidak akan datang kembali ke restoran ini."
"Apakah ada masalah? Apa makanannya tidak enak?" Tanyannya kembali bertubi-tubi.
"Tidak kok, tidak ada masalah dan makanannya sangat enak." Kataku beralasan.
"Kalau begitu silahkan diterima dan datanglah kembali kapan saja." Ia kembali menyerahkan dua kupon itu.
"Sudah kubil..."
"Terima saja, Hana." Potong Ryan. "Ia terlihat tidak akan berhenti sebelum kau menerimanya."
Yang dia katakan benar juga. "Baiklah." Kataku seraya mengambil dua kertas kupon yang sejak tadi menunggu untuk kuambil dan langsung memasukkannya ke dalam tas.
"Terima kasih, semoga hari anda menyenangkan." Ucap wanita pelayan itu.
.