webnovel

Dua

Araya memasukkan bukunya ke dalam laci, jam istirahat sedang berlangsung tetapi tidak ada niatan sedikitpun dari Araya untuk beranjak keluar kelas. Dia membuka kaca jendela, mendorongnya pelan; menikmati angin menerpa kulit wajahnya.

Kelas saat ini hanya di isi oleh kumpulan Devano serta Floren di sana. Araya tidak memiliki niat apapun, makanya dia hanya menikmati angin sepoi-sepoi seraya memakai AirPods di kedua telinganya, lagu Billie Eilish mengalun menemaninya.

Sampai satu orang pria berdiri tepat di sebelah mejanya, menatap remeh ke arahnya. "Drama apa lagi lo?"

Dengan malas dan ogah-ogahan, Araya membuka matanya, melihat ke arah Arga. Tanpa menjawab, Araya mengambil ponsel serta ikat rambut dari laci. Mendorong tubuh Arga menjauh kemudian mengelap tangannya menggunakan tisue basah. "Najis." Suara dingin Araya terdengar.

Orang yang memperhatikan sontak melotot, saling memberi sinyal pada satu sama lain. Araya memasukkan bekas tisue ke dalam tong sampah, dia menunjuk Arga lalu mengarahkan jarinya ke tempat sampah lagi sambil tersenyum miring.

Araya mengisyaratkan bahwa Arga sama saja dengan sampah yang dia buang tadi, tidak berguna.

Arga menggeram, "Aya bangsat berenti lo!" Bentak Arga marah.

Langkah Araya terhenti tepat di depan pintu. Membalikkan badan, "Lo bukan keluarga gue, ga usah sok dekat manggil gue Aya." Kemudian Araya melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.

Saka menatap Arga ngeri, apa lagi wajah sahabatnya itu memerah sampai ke telinganya. Suasana mencekam hasil perbuatan dua anak kembar itu, ada rasa sakit di hati Arga tetapi segera dia hilangkan. Devano masih menatap pintu kelas, Radit melirik teman-temannya sebelum memperhatikan layar ponsel lagi.

"Araya berubah." Suara Aska terdengar memecah keheningan, mereka semua melihat ke arah Arga bersamaan. Arga mengusap wajah serts rambutnya, "Gue yakin cuman drama murahan dia aja." Elak Arga.

Saka mendelik, "Menurut gue kok beda. Aura, cara bicara dan sikap dia beda banget."

"Tau apa lo?! Gue bilang drama, ya drama!"

Setelah membentak Saka, alhasil Arga keluar dari kelas untuk mencari udara segar guna menjernihkan pikirannya.

Araya sendiri berakhir ke arah kantin. Membeli batagor sepiring serta jus jeruk dan membawanya ke salah satu meja, Araya melirik sekitar sebentar kemudian mulai memakan batagornya dalam diam. Araya paham mengapa mereka menatap aneh ke arahanya, sebab tidak pernah sekalipun ada adegan di mana Araya akan memakan makanan kantin yang menurutnya tidak higienis.

Bodo amat, sekarang ini yang mengisi tubuh Araya adalah anak kost yang selalu hemat jadi apapun makanannya kalau murah plus enak, ya, gas aja.

***

Bel pulang sekolah berbunyi, seharian ini Araya tidak melakukan apapun. Dia hanya makan di kantin, masuk kelas seperti biasa, istirahat kedua dia menuju perpustakaan dan masuk kelas lagi. Para murid merasa was-was sedari tadi karena tumben sekali Araya tidak membuat masalah seharian ini.

Ketika Araya hendak pergi dari kelas, sebuah tangan mencekal, dia adalah Devano. Menatap setajam mungkin kepada Araya, gadis itu mendongak; sempat terpukau akan wajah tidak manusiawi milik Devano.

"Apa rencana lo?" Devano berkata dingin, seakan tersiram air dingin tepat di kepalanya lantas Araya mengerenyit. Berusaha menyentak tangan dingin Devano. Karena tenaga Devano lebih besar alhasil usaha Araya berakhir sia-sia.

"Gila ya lo? Lepasin tangan gue." Sentak Araya geram.

Devano seketika melepaskan tangan Araya yang memerah akibat ulahnya.

"Najisin."

Araya berdecak, mengelus pergelangan tangannya. Sebelum pergi, dia menyempatkan diri untuk melotot ke arah Devano dan teman-temannya.

Raut jijik Araya terekam jelas di kepala Devano, pria itu menatap kepergian gadis yang selalu tergila-gila padanya dengan tatapan aneh.

Sedari berjalan tadi Araya mengomel meruntuki sikap Devano tadi, padahal nih Araya diem aja deh, ga menganggu Floren atau nemepelin Devano tapi tetep aja di cap buruk.

Mengambil ikat rambut, Araya menyepol rambutnya asal menyisakan anak rambut di sekitar wajahnya, dia duduk di halte sembari menunggu ojek online. Memperhatikan sekitar sejenak, dunia baru ini jauh memiliki udara bersih, Araya menyukainya.

Sebuah motor hitam berhenti tepat di depan Araya, pemiliknya membuka kaca helm. Mata pria itu menatap Araya dan memberi isyarat untuk naik, Araya tersenyum miring, menyilangkan kakinya lalu tertawa remeh. "Lo buta? Naik cepat!"

Kini Araya menunjukkan layar ponselnya, "Lo buta? Gue naik ojol."

Arga melihat sejenak layar ponsel Araya; benar saja, gadis itu sudah memesan ojol terlebih dahulu. Melihat wajah bermasalah Arga lantas suara tawa terdengar dari arah Araya.

"Arga, kalau menurut lo gue drama or something. Mending mulai sekarang gunain otak minim lo itu, gue ga butuh lo."

Beruntungnya ojol yang Araya pesan sudah berenti tepat di depan motor Arga. Bergegas pergi, Araya segera menaiki ojol tersebut dan melaju pergi.

***

Malam harinya, Araya berdiri sambil membawa keranjang; sedang memilih camilan untuk dia makan nanti, Araya berjongkok menatap kumpulan keripik berbagai jenis. Selama memilih camilan, Araya tidak memperhatikan seorang pria mendekat.

"Lo nguntit gue lagi?"

Tanpa melihat sang penuduh, Araya mengambil dua bungkus camilan.

"Najis." Sahut Araya tanpa beban.

Dia meninggalkan Devano di sana, membawa keranjangnya ke kasir.

"Eh... Araya." Sapa si kasir.

Araya yang sedang mengeluarkan dompetnya terdiam bertepatan mendapatkan benda tersebut, mendongak menatap wajah teduh Floren.

Ahh.

Pantas saja Devano mengatakan hal unfaedah tadi.

"Ga usah sok kenal." Sindir Araya malas. Dendam melihat wajah Floren, padahal dia penyebab kematian Araya di cerita aslinya. "Dia bicara baik-baik, biasa aja jawabnya."

Araya memutar bola matanya, menatap ngeri Devano yang mengusap surai lembut Floren.

Seakan ingin cepat pulang, Araya meletakkan tiga lembar seratus ribu di atas meja kasir, lama-lama di sini bisa kena sawan Araya kelak. Mengambil plastik dari Floren, Araya pergi menjauh sembari bergidik.

"Najisin banget." Desah Araya.

Saat berbelok, tubuh Araya membeku. Di gang ini, Floren akan menyelamatkan antagonis pria. Benar saja, di sana sudah tergeletak seorang pria berbadan besar dengan penuh luka.

"Buset, beneran ada."