webnovel

Satu

Rana mengusap mata kantuknya, menumpuhkan kepala di atas kedua lututnya sembari merutuki akhir dari nasib Araya dari novel Still Love yang Ina terbitkan. Lagi, Rana mendengus kasar. Alhasil Rana hanya bisa memejamkan mata sembari menikmati semilir angin dari kipas dari sudut ruangan.

Berandai-andai jika dia bisa menjadi Araya, maka Rana tidak akan pernah sekalipun mencintai Devano si pemeran utama pria. Mungkin saja, Rana juga akan mencari cinta sejati terlepas dari lingkup cowok pemeran utama pria.

Ya, lagi pula mana mungkin Rana bisa menjadi Araya. Tidak ada hal seperti itu di dunia modern saat ini. Tersenyum miris, alhasil Rana tertidur masih dengan posisi tidak nyaman itu.

Tanpa rasa waspada, ternyata buku novel tersebut mengeluarkan cahaya putih ke emasan lalu melingkupi tubuh Rana seluruhnya. Menelan habis seluruh kamar.

***

Rana membuka kelopak matanya kaget, tersentak sekaligus was-was. Melihat pemandangan asing di penglihatannya, seolah-olah mengingatkan sesuatu; tubuhnya terasa sakit seperti tersengat aliran listrik.

Menoleh linglung, mata Rana berkedip beberapa kali, tak lupa pula dia mengucek matanya berpikir bahwa ini adalah ilusi semata. Namun, mau seberapa kali dia berkedip atau mengucek matanya, ilusi ini tidak hilang sama sekali.

Kamar luas dengan interior mewah mengisi ruangan, tirai balkon terbuka lebar, lantas cahaya menembus secara serakah untuk menerangi ruangan putih itu.

"Sumpah ga lucu." Gumam Rana sarkas. Matanya beralih melihat ke arah nakas, terdapat satu bingkai foto seorang gadis sedang tersenyum seraya memberikan jempol ke arah kamera. Sontak saja Rana mengambil bingkai foto tersebut, alisnya mengerenyit. "Ha ha ha... ga lucu. Skripsi gue belum di acc dosen."

Rana berkata seperti itu sembari memasang wajah bermasalah. Foto ini, serta deskripsi kamar ini sangat mirip dengan tempat Araya mengurung dirinya saat Devano baru saja mengumumkan soal kekasih barunya, yaitu Floren.

Terkekeh sarkas, Rana menyingkap selimut bercorak lobak tersebut dan bergegas menuju lemari.

Menatap datar pantulan dirinya di kaca. Rana memiringkan kepala ke kiri, pantulan dirinya juga melakukan hal yang sama. Ini bukanlah wajah kantung mata miliknya melainkan wajah bersih dengan kulit mulus serta tidak memiliki kantung mata seperti dirinya.

"S--skripsi g--gue...."

Rana jatuh terduduk, menarik rambut panjangnya. Menitikkan air mata, Rana yakin ini bukan mimpi, mana ada mimpi jika dia menampar dirinya terasa sakit. Tidak, hal yang paling penting di sini adalah skripsi yang sudah dia kerjakan apa gunanya?!

Hell, Rana ingin merobek hasil kerja keras dia selama beberapa minggu ini menjadi butiran kecil.

"Sayang kamu udah bangun?"

Sebuah suara lembut mengalun indah menembus telinga, Rana mengalihkan pandangan ke arah wanita yang dia yakini adalah Ibu dari pemilik raga yang Rana pakai saat ini.

"I--iya Bun." Tersenyum kikuk, Rana membalas.

Wanita itu tersenyum, membantu putrinya berdiri lalu menyuruh para maid membantu untuk mempersiapkan Araya ke sekolah. Arum menempuk puncak kepala putrinya beberapa kali lalu pergi keluar kamar; meninggalkan Araya alias Rana untuk mandi.

Rana hanya terdiam kaku, pasalnya baru kali ini dia di layani oleh seseorang. Sampai mengenakan seragam saja, Rana di bantu oleh para maid. Setelah selesai, Rana mengucapkan terima kasih membuat para maid tadi tertegun.

Wah, Rana berdecak. Mengingat sifat asli Araya asli, gadis sombong dan semena-mena itu mana mau mengucapkan kata terima kasih.

Menghela nafas lagi, apakah Tuhan mengabulkan do'anya sebelum tidur tadi malam jika Rana menjadi Araya maka Rana akan membuat kehidupan bahagia sendiri tanpa kematian tragis di akhir cerita.

Tangan Rana mengepal, jika ini kesempatan yang Tuhan berikan. Maka Rana akan menggunakan sebaik mungkin agar mendapat kehidupan bahagianya, Rana juga berterima kasih dalam hati untuk Araya asli karena sudah memberikan tubuh ini kepada Rana.

Gadis itu menuruni tangga dan langsung menuju ruang makan, di sana sudah ada dua orang dewasa dan satu cowok berperwakan dingin menatap tajam Rana; atau Araya.

Araya mengambil jarak satu kursi dari pria berwajah mirip dengannya itu. Arum mengerutkan kening melihat kelakuan putri cantiknya tetapi dia hanya diam memperhatikan.

Arga berdecak jijik, melihat keterdiaman kembarannya itu malah semakin membuat Arga benci. "Ber--"

"Gue naik taksi." Sambar Araya bahkan sebelum Arga selesai berbicara.

Regan menatap putrinya aneh, dari nada suara bahkan wajah sekarang Araya sangat dingin. Emosi di wajahnya tidak terlihat sama sekali. Tentu saja, Rana di kehidupan nyatanya adalah gadis tanpa emosi, selalu menunjukkan tampang dingin tidak perduli.

Araya meminum susu dalam hitungan detik, dia menatap dingin ke arah Arga sejenak dan bergegas menyalimi kedua orang tuanya. "Aya berangkat."

Arga memperhatikan punggung kembarannya dalam kening mengerut, kedua orang tuanya saja saling bertatapan melihat perubahan putri mereka dalam satu malam.

***

Araya turun dari taksi setelah memberikan ongkos perjalanan, ternyata deskripsi Ila sama persis dengan kenyataan di hadapannya. Kaki Araya memasuki gerbang, melangkah percaya diri seraya menyelipkan rambut gelombangnya ke daun telinga.

Tatapan para siswa melihat secara terang-terangan ke arah Araya, si malaikat pencabut nyawa itu. Jangan tanya perihal julukan tersebut.

Dari arah parkiran, segerombolan pria menatap Araya heran. Pasalnya tumben sekali gadis itu berangkat tanpa kembarannya. Mereka sudah siap pasang badan ketika Araya sudah dekat karena Floren sedang berada di tempat mereka berkumpul.

Namun sangat aneh ketika Araya hanya melewati mereka, tanpa melirik sama sekali.

"Dit, matahari terbit dari mana?" Saka bertanya. Aska yang sedari tadi tidak perduli saja langsung memperhatikan punggung Araya. Floren juga ikut menatap punggung Araya kaku.

Devano mengedikkan bahu acuh, walau sedikit ada rasa janggal di hatinya.

Araya sendiri langsung memasuki kelas dan duduk diam di sudut kelas, bangku kosong tersebut tidak berpenghuni, sengaja Araya duduk di sana. Pasalnya meja milik Araya berada di jangkauan Devano, si pemeran utama.

Masa bodoh tentang itu, Araya membuka buku catatan dan sedikit kagum melihat tulisan rapi dan di tiap lembar pasti akan mendapat nilai A atau B. Syukurlah Araya dulu pintar.