"Nih, uang belanja hari ini!" bang Anwar melempar uang dua puluh lima ribu ke atas kasur, tepat saat aku sedang mengganti popok Ayla anak ke tiga kami.
"Masa segini sih, Bang? Belum beli pampers Ayla, jajan si kembar terus..." belum lagi aku menuntaskan keluhanku, bang Anwar mendekatiku.
"Terus gue harus apa? Gue cuma punya uang segitu?!" bentaknya dengan mata membulat sempurna, aku tahu dia sedang marah besar kalau sudah bilang 'lo, gue'.
Aku memilih diam tak menjawabnya, bukan karena aku takut tapi aku melihat Ayla yang kini menjerit seperti ketakutan saat mendengar suara ayahnya yang meninggi. Aku mengalah demi anakku ini sedangkan bang Anwar seolah tak peduli dengan tangisan anaknya, dengan cueknya ia pergi begitu saja.
Selama berumah tangga, bang Anwar memang menafkahiku semaunya. Bukan aku tak terima tapi sepertinya ia tidak punya keinginan untuk berusaha mendapatkan penghasilan yang lebih demi keluarga. Pekerjaannya sebagai supir angkot memang tak menentu tapi seharusnya ia bisa lebih giat sedikit, toh angkot pun milik pribadi, pemberian dari abahku. Aku pun sengaja mau hamil kembali setelah melahirkan si kembar Raka dan Rai yang kini sudah berusia empat tahun demi melihat kesungguhan bang Anwar mencari nafkah. Aku pikir mungkin bila punya anak lagi, suamiku itu akan semakin giat bekerjanya namun ternyata aku salah, ia tetap saja malas. Justru semakin semaunya karena merasa angkot punya sendiri. Bangun siang, hanya jalan berapa jam lalu pulang minta makan. Selepas makan, biasanya ia ketiduran sampai malam. Setelah bangun biasanya ia malah nongkrong dengan teman-temannya atau kalaupun di rumah malah asik dengan hapenya, sulit sekali memintanya bermain dengan anak-anak atau sekedar membantu pekerjaan rumahku.
Itu salah satu keluhanku pada sifat dan kebiasaan suamiku yang bila kurincikan masih panjang sekali daftarnya. Lima tahun aku berusaha memahami semua prilakunya, berharap suatu hari dia bisa berubah namun nyatanya tak ada perubahan sedikit pun yang nampak dan tidak ada keinginan darinya untuk berubah padahal sering kali aku menyindir bahkan berkata langsung padanya tapi sepertinya ia termasuk orang yang bebal tak pernah mengindahkan semua ucapanku.
Terkadang di saat aku berada di titik terlelah dan jenuh dengan kondisi rumah tanggaku ini, ingin sekali aku mengakhiri semuanya. Pergi meninggalkan bang Anwar namun kembali kutatap wajah anak-anakku yang masih membutuhkan sosok ayah walaupun ayahnya seringkali cuek dan acuh pada mereka.
***
"Bu, aku mau jajan!" rengek Rai usai pulang bermain.
"Abang juga mau, Bu!" susul Raka ikut merajuk.
"Kalian makan dulu, ya?! Baru boleh jajan." ucapku untuk melupakan keinginan mereka untuk jajan.
Bukannya apa, uang dari bang Anwar tadi hanya cukup untuk membeli beras yang kebetulan hari ini habis juga pampers Ayla yang masih berumur enam bulan. Terkadang bila uang dari suamiku tak cukup, aku terpaksa tak memakaikannya pampers, aku yang harus bolak-balik mengepel dan mengganti baju putriku itu. Untung saja ia minum ASI sehingga kami tidak keteteran untuk membeli susu formula. Hanya kini Ayla sudah mulai makan, harus ada tambahan untuk membeli bahan makanan atau cemilan untuknya. Sedang aku pikirkan cara untuk menjelaskannya pada bang Anwar tentang kebutuhan kami yang otomatis akan bertambah.
"Ibu, katanya mau makan. Ayo!" Raka menyadarkanku.
Raka menarik daster yang sudah lama tak pernah kuganti, sudah banyak sobekan di sana sini tapi selama masih layak, tetap aku pakai karena memang belum ada uang untuk menggantinya dengan daster baru.
"Oh iya, sebentar ya?!" gegas aku berlari ke dapur.
Ternyata tidak ada makanan di sana, bahan makanan pun kosong karena aku belum belanja. Kubuka lemari makan, hanya ada 1 bungkus mie instan tersisa. Segera aku buatkan untuk anakku.
"Itu mie buat siapa, Bu?" tanya Rai yang menghampiriku ke dapur.
"Buat Abang," jawabku sambil membuka bumbu mie instan itu.
"Aku mana? Kan aku juga laper!" seru Rai memegangi perutnya.
Aku menarik napas panjang, Raka dan Rai memang belum makan. Selesai mandi tadi mereka langsung main, sudah jam sepuluh sekarang tentu saja mereka lapar.
"Makan berdua aja, ya?!" bujukku pada Rai.
"Enggak mau! Itu punya aku." tiba-tiba Raka datang.
"Aku juga mau makan." Rai semakin merengek.
"Ya udah, udah. Nanti pakai nasi ya? Biar kenyang, biar bisa dibagi dua mienya." aku terus membujuk si kembar.
Keduanya kompak menggeleng, wajah mereka cemberut. Mie yang kumasak sudah matang, langsung kubagi dua dan aku sajikan dua piring nasi di depan mereka.
"Ayo, makan! Kalau gak mau buat Ibu aja." gertakku pada mereka.
Dengan berat hati, si kembar pun makan mie bagian mereka masing-masing. Mencampurkannya dengan nasi supaya kenyang seperti perintahku.
Selesai makan, si kembar ternyata masih ingat dengan keinginan jajannya. Mereka menagihku dan tak berhenti menangis sampai ayahnya datang, sepertinya ia habis pulang mencuci mobil angkotnya.
"Kenapa sih, ribut aja!" sentaknya begitu masuk ke rumah yang gaduh dengan suara tangisan si kembar.
"Mau jajan, Yah!" ucap Rai sambil tersedu.
"Mintalah sama Ibu kamu." jawab bang Anwar enteng.
"Uangnya habis untuk beli beras, pampers sama telur buat makan." sahutku dengan nada kesal.
Bang Anwar sempat menatapku tajam lalu membawa keluar Raka dan Rai "Ya udah, ayo jajan!"
Si kembar pulang dengan wajah senang, dibukanya satu plastik berisi jajanan. Bang Anwar memberikan sebungkus kopi padaku.
"Bikinin kopi!" titahnya dengan asap rokok yang mengepul saat aku sedang menggendong Ayla.
"Asap kamu tuh!" aku terbatuk sambil mengibas-ngibaskan asap rokok agar tak terkena Ayla.
Sudah berapa kali aku memperingatkannya untuk merokok di luar agar tak terhirup asapnya oleh anak-anak yang masih kecil ini namun lagi-lagi suamiku itu bebal dan masa bodo.
"Nih!" kuletakkan secangkir kopi di sampingnya yang sedang duduk di teras.
"Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membicarakan soal kebutuhan makan Ayla," batinku berucap.
"Bang..." sengaja kulembutkan suaraku.
Bang Anwar hanya melirikku sekilas lalu kembali sibuk dengan hapenya. Ia tak menjawab panggilanku.
"Bang, Ayla kan sudah mulai makan. Aku mau minta uang lebih untuk beli makanan dia," ucapku pelan-pelan agar tak memancing emosinya.
"Memangnya mau makan apa? Bukannya sama aja?!" walau tanpa suara tinggi tapi aku tahu bang Anwar tidak suka mendengarkan permintaanku ini.
"Bedalah, Bang. Kan harus bikin bubur dengan isian empat sehat lima sempurna," tuturku mencoba menjelaskan.
"Halah! Jangan kebanyakan gaya kamu. Kamu tuh gak usah ngikutin gaya hidup artis-artis yang sering kamu tonton tuh di TV, di hape." sengitnya kasar.
Kapan aku memang nonton TV? Setiap hari TV dikuasai anak-anak, main hape? Sungguh aku tak punya waktu untuk itu, paling hanya buka sekilas kalau sedang mengASIhi Ayla.
"Bukan lihat artis, Bang! Itu kata bidan." aku berani menjawabnya, kesal sudah. Untuk keperluan anaknya sendiri disepelekan.
"Beli aja di tukang bubur. Paling tiga ribu, buat bayi ini." bang Anwar masih tak mau kalah.
"Memang Ayla makan bubur aja, Bang?! Dia juga perlu cemilan biskuit, buah." sekalian ku utarakan semua.
"Kan, mulai dah! Kerjaan lo tuh nuntut aja, lo pikir gue gak pusing mikirin semua kebutuhan lo pada?!" teriak bang Anwar membuat beberapa orang yang lewat memperhatikan ke arah kami.
Bila sedang marah, ia memang tak peduli dengan apapun. Di depan umum pun dia bisa dengan bebasnya membentakku, itu yang membuatku semakin membencinya. Harga diriku terasa diinjak-injak oleh orang yang seharusnya menjaga seluruh kehormatanku sebagai istri.
Aku muak! Berlari masuk ke kamar, hanya menangis yang bisa kulakukan saat sedang merasa sakit hati seperti sekarang.
"Apakah suami yang lain ada yang sama seperti suamiku? Tak peduli pada kebutuhan anaknya sendiri?"
****