2 Penampilan sang janda

"Bang, bangun! Sholat jumat." aku membangunkan bang Anwar yang tertidur di depan TV usai pulang narik angkot.

"Hem!" sahutnya dengan mata yang masih terpejam.

"Bang, adzan udah dari tadi loh. Mandi dulu sana, masa kalah sama anak kecil?" sindirku sambil melihat beberapa anak kecil yang lewat depan rumah dengan pakaian koko dan sajadah lengkap.

Hanya terdengar suara berdecak kemudian disusul suara dengkuran yang semakin kencang. Segera aku tutup pintu, takut dilihat orang-orang, seharusnya suamiku berangkat sholat jumat tapi malah tertidur pulas, aku yang malu sebagai istrinya.

"Astaghfirullah!" aku mengusap dada.

Aku memang belum bisa menjadi istri yang shalehah, ibadahku pun tidak sempurna. Sering kali aku juga meninggalkan sholat tapi setidaknya dalam lima waktu pasti aku kerjakan, tidak seperti bang Anwar yang benar-benar tidak pernah mengerjakan sholat lima waktu, sholat jumat yang seminggu sekali saja selalu ia tinggalkan.

"Bang, Abang sholat jumat lah. Masa sholat yang seminggu sekali aja gak mau? Menurut ulama, tiga kali meninggalkan sholat jumat itu kafir loh, Bang!" aku pernah menasehati bang Anwar seperti itu.

Dan hasilnya? Nihil!

Ia cuek saja, asik bermain hape. Aku walaupun begini dulu sempat mondok saat sekolah dasar. Abah dan Umi memang mendidik agamaku keras cuma akunya yang memang bandel. Saat sudah SMP, aku memaksa keluar dari pondok karena merasa terkekang, tidak bisa pulang. Aku memilih bermain dengan teman-temanku, mencari kakak kelas ganteng di sekolah untuk dijadikan gebetan -istilah anak zaman sekarang-. Di pondok aku tidak bisa melakukan itu karena isinya santriwati semua.

Aku menyesali masa mudaku itu, mungkin ini alasan mengapa aku mendapat suami model bang Anwar. Suami yang tidak bisa menjadi imam. Aku merutuki kebodohanku yang lain, saat mengingat abah pernah mengenalkanku pada ustadz Fikri, salah satu pengajar baru di pesantren dekat rumah kami dulu. Aku yang baru lulus SMA saat itu merasa abah berlebihan, aku masih ingin menikmati masa muda tapi disuruh memikirkan menikah dengan ustadz Fikri pula yang umurnya jauh di atasku dan aku merasa saat itu sosok ustadz Fikri begitu kolot. Tidak seperti teman-teman lelakiku yang gaul, berpakaian modis juga naik motor gede. Kurang lebih seperti itulah dulu gambaran lelaki idamanku. Sehingga melihat sosok ustadz Fikri yang alim, yang kesehariannya hanya berada di pondok membawa kitab dan sarungan bukan tipe 'aku banget' istilahnya.

Tapi lihat sekarang? Beberapa bulan lalu aku menemukan instagram ustadz Fikri yang ternyata sekarang tinggal di Mesir dan memboyong anak istrinya ke sana. Aku lihat istrinya justru lebih muda dariku, seorang perempuan bercadar yang tampak begitu sholehah, setiap melihat foto-foto mereka, aku merasakan sebuah keluarga yang harmonis. Pernah aku lihat video ustadz Fikri yang bangun tengah malam saat anaknya rewel lalu dibacakan Alquran dan juga sholawat. Seketika hatiku menangis, andai saja dulu...

"Mir! Mirna!" panggilan itu menyadarkanku, gegas aku usap air mata yang sempat menetes saat melamun tadi.

"Kenapa Bang?" ku hampiri bang Anwar yang baru terbangun.

"Laper, aku mau makan!" ucapnya dingin.

Aku menurutinya, pergi ke dapur mengambilkan makan untuknya tak lupa aku sediakan juga air es yang memang kesukaan bang Anwar.

"Kenapa gak sholat jumat sih, Bang?" aku masih ingin membahas itu, kesalku belum hilang saat membangunkan bang Anwar untuk sholat jumat tadi.

"Aku capek, ngantuk. Semalam kan habis benerin angkot yang mogok tuh," jawabnya dengan mulut yang penuh.

"Itu kan selesai jam sembilan, kenapa Abang lanjut nongkrong bukan tidur?" aku mendelik, merasa itu hanya alasan bang Anwar saja.

Bang Anwar bergumam tak jelas karena ia bicara sambil mengunyah.

"Apa Bang? Abang bilang apa?" tanyaku yang penasaran jawaban bang Anwar.

Bukan jawaban yang aku dapatkan kali ini namun ia membanting sendok ke piring hingga terdengar bunyi keras membuatku terkejut.

Bang Anwar pun tersedak, buru-buru ia minum "Udah tahu gue lagi makan, lo ajak ngomong mulu. Udah sana lo!"

Kebetulan Ayla yang sedang tidur di kamar pun bangun, aku segera berlari menemuinya. Rasa benciku pada bang Anwar semakin menjadi.

***

"Mir, aku mampir ke rumah ya!" pesan dari Ayu, teman SMA-ku dulu.

Ayu salah satu teman sekolah yang sekarang intens berkomunikasi denganku, setelah lama kita hilang kontak akhirnya kami bertemu lagi saat salah satu teman memasukkan kami ke dalam grup alumni kelas di aplikasi WA.

Motor Nmax putih parkir di depan rumahku. Aku mengeceknya, Ayu turun dari motor itu sambil melepas kacamata hitamnya. Pakaiannya yang keren sangat kontras denganku yang berdaster ini, seketika aku merasa malu saat menyambutnya.

"Duh ... Gila ya, panas banget!" keluh Ayu sembari mengibas-ngibas tangannya.

"Ya udah cepet masuk sini, ademin di kipas." aku memintanya masuk dan mengarahkan kipas angin ke Ayu yang sudah duduk di sofaku yang usang. Sofa pemberian dari kak Nurul, kakak pertamaku.

"Minum, Yu!" aku hidangkan sirup yang untungnya masih ada di kulkas.

"Seger banget pas panas-panas gini," ucap Ayu lalu menyeruput sirup buatanku.

"Ini anak kamu yang bungsu?" Ayu mencolek-colek Ayla yang duduk di pangkuanku.

"Iya," jawabku singkat.

"Terus katanya ada yang kembar, mana?" tanya Ayu sambil memindai sekeliling, mencari keberadaan anakku yang lain.

"Kalau jam segini sih lagi asik main di luar, Yu! Oh ya, ada apa nih? Tumben mampir?" aku langsung menanyakan kedatangan Ayu yang tiba-tiba ini.

"Gak pa-pa, lagi pengen main aja. Kebetulan dari salon yang deket sini, eh inget kamu!" jawabnya santai.

Aku tersenyum kecut mendengar ucapan Ayu tentang salon. Sudah berabad-abad lamanya aku tidak pernah ke sana. Mungkin semenjak menikah, aku sudah tidak mengenal lagi tempat itu. Untuk sehari-hari saja sulit, apalagi semenjak punya anak yang otomatis kebutuhan semakin meningkat, sudah tidak ada lagi budget untuk hal-hal seperti itu.

"Kapan-kapan kita ke sana bareng, yuk?! Salonnya top loh, hasilnya oke." ajakan Ayu itu membuatku panas.

Aku mendadak merasa kesal bukan pada Ayu tapi justru pada diriku sendiri yang tidak bisa melakukan kegiatan seperti teman-temanku yang lain. Setiap harinya aku hanya sibuk mengurus rumah dan anak, sungguh aku pun butuh waktu untuk menyenangkan diriku sendiri, contohnya ke salon seperti Ayu ini. Tampilannya begitu fresh dengan rambut yang tertata rapi dan wangi tidak seperti rambutku yang selalu kuikat asal dan bau asap, untuk keramas saja jarang karena aku memang tak bisa berlama-lama di kamar mandi, sudah diteriaki anak-anak pastinya.

"Kamu kan tahu kesibukan aku sekarang, Yu! Repot sama anak tiga." jawabku beralasan.

Ayu memandangiku dari atas hingga bawah lalu tersenyum simpul.

"Aku persis seperti kamu satu tahun yang lalu," ucapnya masih sambil tersenyum.

"Terus? Sekarang udah santai ya? Seneng banget kelihatannya juga." aku jadi penasaran.

"Iya, setelah aku jadi janda!" ucapan Ayu begitu menohok.

"Haruskah aku menjadi janda agar bisa seperti Ayu?"

****

avataravatar
Next chapter