3 minggu berlalu.
Memupus rasa kehilangannya akan Ditha. Kendra melewati hari - harinya dengan lebih tenggelam kedalam rutinitas pekerjaannya, apalagi setelah Ditha pergi, pekerjaannya kini juga malah bertambah. Pekerjaan yang ditinggalkan Ditha, dia juga yang harus menghandlenya kini, dia ingin melupakan Ditha, melupakan kenangannya, yang entah ketika dia melihat kursi kosong di sebelahnya, Kendra seperti melihat bayangan Ditha disana, tersenyum padanya.
"Ngga pulang Ken?" Tanya mbak Dina dari mejanya, sebuah meja kantor biasa tanpa komputer diatasnya, hanya beberapa lembar kertas, buku-buku besar dan perlengkapan menulis.
Kendra sadar dari lamunannya, melongokkan kepala, melihat mbak Dina dari atas layar monitornya
Terlihat mbak Dina sudah siap menyandang tas slempang di pundaknya, bersiap untuk pulang. Jam kantor telah usai 10 menit yang lalu.
"Belum mbak, tinggal dikit lagi nanggung, takutnya besok moodnya berubah," jawab Kendra beralasan, matanya kembali menatap layar monitor dua puluh tujuh inch didepannya.
"Mau di temenin? " Tawar mbak Dina, yang berjalan pelan mendekat.
Wanita dengan umur kisaran tiga puluhan tahun lebih, masih muda. Dengan kacamata minus bulatnya dia terlihat cantik. Sudah bersuami, tapi belum mempunyai anak.
"Ah ngga usah mbak, kasihan nanti suaminya nungguin." Tolak Kendra, untuk apa juga mbak Dina menungguinnya, ah mungkin hanya basa – basi, mungkin dia merasa prihatin melihat dirinya, batin Kendra.
"Suamiku shift sore, jadi hari ini aku ngga dijemput." Papar mbak Dina yang kini sudah berdiri di dekat monitor komputer Kendra
"Terus mbak Dina pulang dengan siapa?" Kendra menanyakan itu, karena dia tahu mbak Dina ngga bisa naik motor.
Kendra menoleh menatap wajah mbak Dina yang tersenyum manis padanya.
"Hehe maunya tadi nebeng Kendra, tapi kalo Kendra masih lembur, ya sudah aku pesen ojol aja," katanya.
"Kalau mbak Dina mau nunggu bentar, kita pulang bareng?" Tawar Kendra.
"Masih lamakah? Kalau masih lama, ngga papa aku naik ojol aja, takutnya malah bikin kamu ngga fokus." Kata mbak Dina lagi.
Kendra melihat jam tangannya, merenung sejenak
Jam menunjuk 17:10
"10 menit lagi?" Kata Kendra.
"Ya sudah aku tungguin kalo gitu, aku tunggu di parkiran aja ya?" Sambar mbak Dina penuh semangat.
"Tunggu disini aja, diparkiran pasti juga sudah sepi orang mbak."
"Nanti malah gangguin kamu?" Ujar mbak Dina merasa tak enak.
"Enggak-lah," jawab Kendra pendek, matanya kembali ia benamkan dan fokus kelayar LED-nya.
Tak ada protes, mbak Dina akhirnya kembali ke mejanya, duduk lalu mengeluarkan ponselnya.
"Pernah ngobrol lagi sama Ditha ngga mbak?" Tanya Kendra, entah kenapa tiba - tiba saja ia ingin menanyakan hal itu. mungkin mbak Dina dan Ditha masih saling menjalin komunikasi.
Dan semenjak Ditha pergi, dia tak pernah sekalipun menghubungi Kendra, padahal Kendra sahabat dekatnya juga.
"Eh apa?" mbak Dina tergagap, rupanya di sedang serius menatap layar ponselnya, " sering ... sering, tanya - tanya kabar," sambung mbak Dina.
"Dia juga sering nanyain kamu loh?" Kata mbak Dina, matanya mencoba menangkap sosok Kendra dibalik layar monitor komputernya.
"Oh ya? Kok aku ngga pernah di hubungi ya mbak?" Tanya Kendra heran.
"Masih marah mungkin Ken?" Tebak mbak Dina asal, senyumnya sedikit terkembang. Ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Ah marah kenapa? Aku ngga pernah bermasalah dengannya?" Jawab Kendra heran.
Mbak Dina kembali diam. Matanya kembali serius menatap ke layar ponselnya, sepertinya dia sedang berbalas pesan dengan seseorang, bisa jadi itu suaminya.
Kendra yang awalnya ingin fokus menyelesaikan pekerjaannya malah jadi buyar, belum 10 menit, hasil kerjanya sudah ia simpan, kemudian ia matikan komputernya.
"Yuk ah mbak, pulang?" Ajak Kendra, sambil mematikan komputernya.
"Lho sudah selesai?" Mbak Dina melirik jam di ponselnya, baru 5 menit.
"Besok ajalah, mata Kendra capek." Jawab Kendra bohong, padahal hatinya kembali sesak mengenang Ditha.
Jaket yang menempel di sandaran kursi tempatnya duduk telah ia kenakan, kemudian memasukkan barang-barang miliknya ke dalam backpack, terus menggendongnya dibelakang.
Setelah merapikan meja, ia keluar dari sana - menggeliat sebentar - melonggarkan kembali sendi - sendi dan ototnya.
Mbak Dina hanya tersenyum melihat semua yang di kerjakan Kendra.
"Kendra kenapa menolak Ditha?" Sekonyong-konyong mbak Dina bertanya, yang membuat Kendra menjadi kikuk.
Ditha pasti sudah cerita banyak ke mbak Dina, karena masalah itu hanya dia dan Ditha saja yang tahu.
"Ditha kan udah punya cowok mbak." Jawab Kendra ragu.
"Tapi benerkan, bukan karena Kendra...?" Mbak Dina tak berani meneruskan, takut Kendra menjadi tersinggung, tapi matanya sempat sekilas melihat kearah resleting celana Kendra.
Kendra diam berdiri di tempatnya. Senyumnya tersungging tipis, mbak Dina mulai nakal pikir Kendra, tapi dia sebetulnya tahu apa lanjutan dari ucapan mbak Dina.
Ditha ternyata masih belum menerima keputusannya.
Sebetulnya ada hal yang lebih mendasar dari sekedar 'dia sudah punya cowok', gap yang terlalu jauh antara Kendra - Joe dan Ditha, yang membuat dirinya harus berpikir puluhan kali untuk menerima Ditha.
Bayangkan! Untuk ulang tahun saja, Joe memberi kado Ditha mobil, sedangkan dirinya, boneka beruang berukuran besar dan coklat saja rasanya sudah cukup mahal.
"Ditha cerita apa sama mbak Dina?" Mata Kendra menatap mbak Dina penuh selidik.
"Tak banyak, tapi sepertinya dia masih merasa kecewa sama Kendra."
"Itu terbaik buatnya mbak, malah kalau nanti dia tetap disini, kekecewaannya malah akan lebih menyakitkan." Kata Kendra berusaha menganalogikan keadaan yang terjadi.
"Darimana Kendra bisa tahu?" Tanya mbak Dina
"Apa sih mbak, yang diharapkan Ditha dari Kendra?" Akhirnya Kendra mengakui semua.
"Apa dia tak pernah cerita ke Kendra, kalau Joe itu kadang bersikap kasar padanya?"
Kendra menggeleng, dahinya mengerut tajam.
Dia dan Ditha lebih banyak menghabiskan waktu berdua diruangan ini, tapi kenapa tak pernah sekalipun Ditha menceritakan perihal hubungannya dengan Joe, apa alasan dia menyembunyikan itu darinya, andaikata menurut Ditha itu bukan urusan Kendra, tapi kenapa mbak Dina bisa tahu?
Tiba-tiba saja ada rasa sesal dihatinya, kenapa dia tak pernah menanyakan itu? Menanyakan hubungannya dengan Joe seperti apa? Ah boro – boro menanyakan itu, Kendra terlalu sibuk mengalihkan pikirannya, menahan agar nafsunya tak berontak menjadi liar.
"Tapi setidaknya dari segi materi dia kan ngga kekurangan mbak, yah ada konsekwensinya lah untuk itu," ujarnya, Kendra pikir itu sebuah konsekwensi dari sebuah pilihan hidup, kaya bergelimang harta konsekwensinya kemungkinan batin tersiksa, atau miskin tapi konsekwensi materi yang sengsara, kondisi terakhir mungkin dia rtujukan kedirinya.
"Padahal ada pilihan tengahnya, sederhana tapi bahagia, tapi kenapa justru itu tak dijadikan opsi." Mbak Dina tersenyum.
Kendra tertawa lirih. Mbak Dina seolah bisa menebak jalan pikirannya.
"Untuk Ditha, Kendra memang tak berani mbak, jaminan bahagia tak hanya dari cinta, tapi juga harta dan Ditha butuh keduanya," sambung Kendra.
"Berarti Kendra tak mengenal Ditha terlalu dalam?" Mbak Dina menatap Kendra penuh selidik.
"Bukan tak mau mengenal lebih dalam mbak, pikiran Kendra sudah terlalu sibuk untuk membujuk otak Kendra, agar tak terlalu jauh bernafsu?" Ujar Kendra jujur.
Giliran alis mbak Dina yang mengerut, menelaah ucapan Kendra.
"Kendra masih normal mbak!" Pekiknya, sambil tertawa.
Tawa mbak Dina pun pecah, begitu tahu dengan apa yang dimaksud oleh Kendra.
Dia merasa salut dengan keteguhan hati Kendra selama ini, dengan apa yang selalu Ditha suguhkan, diruangan tertutup yang lebih banyak mereka habiskan berdua didalamnya, tak akan ada yang tahu, seandainya mereka melakukan hal yang tak pantas, apalagi sinyal yang di berikan Ditha selalu hijau.
"Yuk ah pulang, keburu gelap ntar." Kendra melirik jamnya 18:01. Lemburnya sebentar ini malah ngobrolnya yang lama.
Mbak Dina hanya mengangguk, sambil berjalan menuju ke arah pintu keluar.
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!