webnovel

Kintamani

Selama ini Maya selalu mengkhawatirkan jika kedekatannya dengan Kendra akan membuat seseorang di dekat Kendra akan marah, namun giliran Kendra membalik ucapan Maya, dia tak langsung jujur mengakuinya, ada saja alasan untuk dia bisa menghindar, seolah status dirinya tak ingin ada yang tahu.

Membuat Kendra terus menerka-nerka, apakah Maya sudah ada tambatan hati? Jika iya, tentu dia tak akan sedekat ini dengannya.

Wanita yang telah mempunyai pasangan tentu akan cenderung menjaga jarak dengan lawan jenis yang tak begitu dikenalnya, atau pun orang-orang yang ingin mendekatinya.

Kalau dia masih single tentu kedekatan ini akan membuatnya lebih membuka diri, setidaknya dengan gestur yang menunjukkan ketertarikan dengan lawan jenisnya.

Tapi Maya tidak! Dia masih misteri dalam misteri. Apalagi informasi dari Bagas selama ini tak banyak membantu, Bagas juga seperti menutup – nutupi status Maya.

*

Kendra pun menurut.

Memang masih terlalu dini jika harus terus menunjukkan ketertarikan Kendra ke Maya, semua butuh proses tak boleh terburu-buru, dan yang terpenting Kendra harus mengetahui status Maya terlebih dahulu, agar langkah selanjutnya bisa ia putuskan, kedepannya harus bagaimana.

***

"Ngejar cewek itu harus sabar bray, jangan buru - buru menampakkan ketertarikan kita."

Bagas menyruput kopi dalam mug keramik bertulis Vita Love Bagas, OMG!

Kendra diam memperhatikan.

"Tunjukkan perhatian kita dulu, ingat ! Lu ngucapin 'tumben pake bando atau t-shirt nya bagus' itu sudah bentuk perhatian." Lanjutnya.

Bagas terlihat sedang dalam kondisi waras, mungkin bintang astrologi nya sedang sejajar dengan planet asalnya, dan entah kebetulan juga, malam itu bulan purnama!

"Apalagi kalau sampai membelai rambutnya ya cuk?" Timpal Kendra

"Itu clamitan namanya! Bisa di gampar lu, baru pendekatan udah pegang - pegang rambut." Semprot Bagas. Kendra nyengir

Setidaknya itu poin penting yang pernah di ajarkan Bagas, beri perhatian dulu jangan terburu nafsu untuk mengejar.

"Ayam saja butuh bujukan biji jagung agar mau mendekat, dia akan lari kalo terus - terusan lu kejar!"Pungkas Bagas.

"Apa Maya harus dibujuk pake biji jagung juga ya cuk?" Seloroh Kendra.

"Ngga gitu juga konsep nya bego!" Hampir saja Bagas menyiramkan kopi dalam mug nya ke Kendra, kalau saja tidak merasa sayang dengan isinya.

***

5 menit dari tempat mereka berhenti, tibalah mereka ditempat tujuan dan waktu sudah menunjuk...

09:59

Kendra memarkirkan motornya di parkiran pasar seni, tak terlalu jauh dari spot menikmati pemandangan. Karena sekarang parkir di bahu jalan tempat wisata Penelokan sudah dilarang, sebab mengakibatkan kemacetan, sebetulnya ada parkir khusus untuk mobil maupun motor, hanya jaraknya terlalu jauh.

Setelah menyeberang jalan paving, mereka berdua berjalan beberapa menit menyusuri trotoar dengan tembok pembatas setinggi dada, di mana di sebelah kiri adalah jalan yang terus menurun, berkelok, hingga ujungnya adalah persimpangan, yang jika ke kanan adalah ke dermaga penyeberangan untuk menuju ke desa Trunyan, sedangkan jika ke kiri akan menyusuri jalanan berkelok di bawah kaki gunung Batur, yang juga bisa dipakai untuk pergi mendaki gunung nya atau lurus sedikit kalau ingin berendam ke pemanTika air panas Toya Bungkak di dekat danau.

Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat terbuka dengan beberapa gazebo berdiri di sana, pelataran-nya sedikit menjorok ketengan - tengah lembah, dengan pagar besi sebagai pembatas nya, sebuah stepping melingkar menuju ke bawah pelataran, yang di sana juga terdapat ruang tepat bawah, seperti ampitheater. Dari sana view Gunung Batur dan Danau Batur terlihat lebih luas, tak terhalang oleh apa pun.

Maya masih sibuk mengabadikan pemandangan yang disuguhkan dengan ponsel nya, Kendra berjalan pelan dan sesekali berhenti, untuk menunggu Maya.

Kaldera Gunung sesekali tertutup sekumpulan awan, namun tak lama awan - awan itu berlalu tertiup angin, hari semakin panas, namun udara di sana masih terasa sejuk, bahkan ketika angin berembus sedikit kencang, udara akan terasa sangat dingin mengigit

"Capek!" Kata Maya menghampiri Kendra yang kini sudah duduk di kursi panjang. Maya kemudian duduk di dekat Kendra.

Kendra menyodorkan sebotol air mineral yang masih tersegel ke Maya, yang tadi sempat dibelinya dari pedagang asongan yang biasa mangkal dan berkeliling di sana.

Maya meraih botol pemberian Kendra, meneguk isinya setelah sebelumnya ia membuka tutup botol nya.

Untuk beberapa saat mereka diam. Maya selepas minum tadi langsung tenggelam dalam layar ponsel nya. Sepertinya foto-foto yang sempat ia upload di IG-nya mendapat banyak komentar.

Tak jarang ia senyum - senyum sendiri. Kendra hanya mengamatinya lewat sudut matanya, tak ingin sekali pun untuk mengusiknya.

Kendra berdiri. Berjalan pelan menuju pagar besi di ujung pelataran, meninggalkan Maya yang masih serius dengan sosmed nya, dengan siku tertekuk ia sandarkan dadanya pada pagar, sambil matanya menyapu pemandangan yang tersaji nun jauh di sana, dari ujung timur hingga ke ujung barat.

"Hey! Kok ditinggal ?" Maya menepuk bahu Kendra dari belakang, wajah Maya merengut.

"Aku lihat kamu sedang asyik tadi, jadi aku tak mau mengganggunya," jawab Kendra.

"Cuma jawab komentar-komentar temen, mereka bilang view nya bagus," wajah Maya berubah binar.

"Mau turun ke bawah?" Ajak Kendra. Tangannya menunjuk jalanan berkelok yang ada di bawah kaki mereka.

Maya menatap kelokan jalan dengan pandangan ngeri. Dia melihat jauh di bawah sana, di ujung jalan ter jauh kendaraan-kendaraan terlihat sangat kecil.

"Ngga ah takut, jalannya ngeri?" Maya menggeleng.

Kendra tersenyum, sebetulnya ia juga tak mengharap Maya akan setuju.

"Pulang yuk? Udah siang ini," ajak Maya, sepertinya dia sudah merasa puas menikmati pemandangan disana, Kendra mengangguk. Perutnya juga sudah mulai bersuara minta di isi.

"Sudah puas?" Tanya Kendra, memberi waktu andai Maya masih ingin sedikit lebih lama disana.

"Sudah!" Jawabnya pendek.

Perlahan mereka berjalan meninggalkan tempat itu menyusuri trotoar dengan innercourt berisi tanaman bunga di tengahnya, suasana sudah mulai ramai pengunjung, ketika Kendra dan Maya meninggalkan tempat itu.

"Makan nya ntar kalo sudah sampai Denpasar aja ya Nay?" Kata Kendra.

Motor meluncur menuruni jalan menurun, treknya sekarang adalah turunan. Kendra mengambil jalur Tampak Siring - Goa Gajah - Mas Ubud - Sukawati - Batu Bulan.

"Boleh." Jawab Maya tanpa protes. Mungkin perutnya belum terasa lapar, karena sebelum berangkat tadi mereka sempat sarapan di restoran cepat saji.

***

Satu setengah jam perjalanan kemuTika

Tak banyak yang mereka bahas, hanya sesekali saja pertanyaan Maya Kendra jawab tentang daerah apa saja yang sedang mereka lalui.

Sempat tadi di daerah Ubud Kendra mengajak Maya singgah ke Monkey Forest, tapi Maya menolak.

Beralasan.

"Aku udah bersama salah satunya!" Begitu ledek nya ke Kendra, dan Kendra hanya tertawa.

Tiba di persimpangan lampu merah Tohpati. Waktu sudah ada dikisaran...

13:41

"Mau makan apa Nay?" Tanya Kendra sambil menunggu lampu berubah hijau.

"Manut, tapi pengennya sih bakso atau mie gitu?" kata Maya menggunakan bahasa Jawa, yang artinya 'nurut'.

Maya memang aslinya dari Jawa Tengah, daerah tempatnya tinggal di sekitaran kaki gunung Sumbing sana, daerah Temanggung tepatnya.

Selepas pendidikan ia merantau ke Jakarta, di mana salah satu kakaknya yang nomor dua telah terlebih dahulu merantau ke sana. Begitu sekilas informasi yang ia pernah dapat dari cerita Maya.

"Ya kalo itu bukan manut namanya neng?"

"Neng-neng emangnya aku boneng !" Maya protes, wajahnya merengut - sepertinya dia ngga suka dipanggil dengan sebutan neng, ok got it!

Kendra tersenyum

"Bakso ya?" Tanya Kendra.

"Ya," jawab Maya pendek.

"Atau Mie?" Goda Kendra

Aduh, kembali pinggang Kendra jadi sasaran cubitan Maya

**

Sebetulnya tak susah mencari tempat makan bakso, cuma yang harganya pas dengan rasa, itu yang susah dicari, banyak bakso premium bertebaran, hanya kadang rasanya tak sesuai ekspektasi, memang semua kembali ke selera, tapi untuk apa bayar mahal kalau ternyata rasanya kalah jauh dengan yang di gerobak dorong keliling, atau yang sekedar mangkal di bawah pohon rindang.

Tapi sekali lagi, semua kembali ke selera.