Zizi sedang bersandar nyaman pada tumpukan bantal di atas kasur sambil membaca novel ketika pintu kamarnya dibuka. Matanya melebar lalu membulat melihat Andres yang membuka pintu bertelanjang dada dan hanya memakai celana boxer. Zizi menutup novelnya dengan tatapan masih melekat pada tubuh berototnya. Astaga. Ini pertama kalinya dia melihat otot di dadanya, perut six packnya, dan lengan kekarnya. Matanya terus mengikuti tubuh setengah telanjang itu yang kini berhenti berjalan di pinggir tempat tidur.
"Aku mau tidur denganmu."
Zizi menahan napas kemudian menelan ludah. Dia tidak bisa bergerak ketika bantal yang tersusun di punggung dan lehernya ditarik. Andres telah menaiki tempat tidur dan masuk ke dalam selimutnya. Tubuhnya berbaring miring dan tangannya menarik tubuh Zizi ke dalam pelukanya. Zizi merasakan panas dari sentuhan kulitnya. Andres merangsek dan bergerak-gerak di atas tubuhnya. Pria itu diam setelah kepalanya diletakkan di atas dadanya dan tangannya memeluk pinggangnya. Zizi mengangkat tangannya dan menyentuh keningnya. Panas.
"Kamu mau aku kompres?"
Andres bergumam tidak jelas sambil memeluknya lebih erat. Zizi mengartikannya sebagai penolakan.
Sudah lewat tengah malam. Zizi merasa panas tubuhnya semakin tinggi. Beberapa kali dia merasakan tubuhnya menggigil. Zizi membisikkan namanya, namun Andres tidak juga bangun. Dia mencoba membelai rambutnya lalu wajahnya. Pria ini masih tidak merespon. Zizi mengguncang-guncang tubuhnya. Andres kemudian bersuara dalam bahasa Spanyol.
"Aku tidak mengerti kamu bilang apa," gerutunya, putus asa.
Andres berkata lagi masih dalam bahasa Spanyol.
Zizi mendesah frustasi.
"Andres, kamu tahu siapa aku?" Tanyanya dengan suara yang lebih keras.
Zizi mendengarnya menyebut namanya lalu Andres mengucapkan beberapa kata lagi dalam bahasa Spanyol yang tidak dipahaminya. Ya Tuhan.
Zizi mendengar suara ketukan pintu. Dia sempat terkejut merasakan bantal yang dipeluknya panas dan memiliki tekstur yang lembut tapi keras dan halus di kulitnya. Dia sedang memeluk tubuh telanjang Andres yang juga memeluknya. Hanya bagian atas tubuhnya yang telanjang, Zizi mengoreksi. Zizi membuka rangkulan tangannya di pinggangnya lalu menggeser kepalanya ke atas bantal. Andres sedang tertidur pulas sehingga tubuhnya lebih mudah digerakkan.
Zizi memperbaiki sedikit penampilannya yang berantakan. Dia sempat menoleh ke jam dinding. Sudah jam 9:38 pagi. Dia membuka pintu dan melihat Ajudan berdiri di depan kamarnya. Dia bisa menangkap tatapan matanya yang sempat memindai penampilannya sekilas.
"Pak Andres ada di dalam?" Tanyanya.
Zizi membuka pintu lebih lebar dan menoleh ke belakang. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat kepala Andres yang berbaring menyamping di atas bantal dan kulit punggung atasnya yang lolos dari selimut. Tempat tidurnya terlihat berantakan. Selimut di posisinya tidur tadi terlihat kusut dan bantal-bantal berserakan. Pemandangan di depannya terlihat seperti mereka telah bersenang-senang semalaman.
"Maaf mengganggu." Suara Ajudan kembali mengagetkannya.
Ajudan telah berjalan pergi ketika Zizi menoleh.
"Dia demam!" Zizi memberitahu dengan suara dikeraskan. "Aku sudah menawarinya mengompres tapi ditolak. Dia juga melarangku pergi meminta bantuan."
Ajudan segera berjalan masuk. Dia hampir saja menabrak Zizi yang berdiri di ambang pintu.
Ajudan memeriksa kepala Andres dan bertanya dengan panik, "sejak kapan?"
"Semalam," jawab Zizi dengan suara bergetar.
Ajudan mencoba membangunkannya dengan cara perlahan lalu berubah keras sambil memanggil, "mister, mister!"
Andres menggumamkan kata dalam bahasa Spanyol masih dengan mata terpejam. Ajudan menjawabnya. Andres bergumam lagi. Ajudan kembali menjawab. Mereka terus berbicara selama hampir satu menit. Zizi hanya melihat. Dia sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.
Kemudian, Ajudan berbicara pada Zizi, "mister, pak Andres, menyuruh anda memeluknya."
Zizi mengangguk paham. Dia segera naik ke atas kasur, masuk dalam selimut, dan memeluk Andres. Dia mendengar Andres bergumam lagi.
"Dia bilang jangan pergi." Ajudan memberi tahu sebelum ke luar kamar.
"Iya, aku tidak akan pergi." Zizi mengucapkannya sambil memeluknya lebih erat.
Mata Zizi terasa perih. Dia mencium ubun-ubun pria yang kini tertidur di pelukannya lalu membiarkan air matanya mengalir. Dia tidak tahu apa masih percaya ketika semalam Andres mengatakan dia tidak sekarat. Rasanya lebih mudah mempercayai perasaannya sendiri. Dia masih ingat betapa terkejut dan paniknya Ajudan ketika dia memberi tahu Andres demam. Jika hanya demam biasa, anemia dan kecapaian, Ajudan tidak akan sepanik itu. Pria biasanya lebih bisa mengontrol emosi. Zizi tidak tahu harus bagaimana. Dia belum siap menghadapi sesuatu yang menyakitkan. Dia belum siap kehilangan Andres. Dia memang baru bertemu dan bersamanya selama lima hari. Tapi, dia merasa seperti telah bersama pria ini seumur hidupnya. Dia merasa seperti telah mengenalnya bertahun-tahun.
Zizi merasa tubuh Andres bergerak. Andres melepaskan pelukannya dan mengangkat kepalanya ke atas, berbaring sejajar dengan wajahnya. Dia bergumam lagi dalam bahasa Spanyol.
Zizi melihatnya memejamkan mata sambil menggeleng pelan dan akhirnya berkata dengan suara bisikan, "jangan menangis."
Jemarinya yang panas menyentuh pipi Zizi dan mengusap air matanya. Air mata Zizi mengalir lebih deras.
"Aku baik-baik saja."
Zizi menggeleng.
"Percayalah. Aku baik-baik saja."
Semakin Andres memberitahunya dia baik-baik saja, Zizi semakin yakin dia tidak sedang baik-baik saja. Pria ini pembohong yang payah!
"Kamu keras kepala!" Suara Andres terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.
Zizi melihatnya melebarkan sudut bibirnya dan membentuk senyuman samar. Andres mendekatkan kepalanya dan menyatukan kening mereka. Hembusan napas beratnya seakan membakar bibirnya. Zizi menatap matanya dari balik bulu matanya yang bertautan dengannya.
"Kamu mencintaiku?"
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat kulit Zizi meremang dan jantungnya berdegup kencang. Aku mencintainya? Benarkah aku mencintainya? Zizi ikut bertanya dalam hati. Sentuhan panas dari kulit yang lembut menekan bibirnya. Zizi membuka bibir atasnya dan ikut menghisap pelan bibir panasnya. Hanya satu kecupan yang lama. Kemudian, mereka kembali berpandangan.
Andres tersenyum sambil menghembuskan napas yang terdengar seperti suara kekehan tawa lalu menjawab pertanyaannya sendiri, "ya. Kamu mencintaiku."
***
Mustar tersenyum mendengar ucapan majikannya pada kekasihnya yang berbaring bersamanya, 'ya. Kamu mencintaiku.'. Akhirnya bule itu menemukan belahan jiwanya. Dia memasukkan dua handphone majikannya ke dalam saku jasnya lalu berjalan pergi meninggalkan kamar itu. Dia bahagia, mungkin lebih tepatnya berusaha ikut berbahagia, melihat orang lain bahagia bersama orang yang mereka cintai. Ini adalah satu-satunya cara, cara terakhirnya agar bisa ikut merasakan kebahagiaan dari mencintai seseorang. Dia bahagia melihat cinta berbalas. Dia bahagia melihat cinta tumbuh dan mekar bersama. Biarlah, biarlah dirinya sendiri di dunia ini yang merasakan cinta sendiri, cinta dalam hati, cinta tak terbalas, cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan cinta yang terlarang. Apapun istilahnya, rasa sakitnya sama.
Mustar menghela napas. Bayangan seorang perempuan kembali hadir dalam benaknya. Perempuan itu tersenyum padanya lalu muncul seorang pria memeluknya dari belakang diikuti empat orang anak. Mustar menghela napas lagi. Jika membayangkan perempuan itu adalah sebentuk rindu, maka rindunya telah menggunung dan menguburnya dalam kehampaan. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mencintai tapi tidak bisa mengungkapkan cinta. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang dicintai tidak bisa melihat cinta yang dipendam untuknya. Mustar berhenti melangkah lalu memejamkan mata. Seandainya Tuhan memberinya dua permintaan, dia ingin memberitahu perempuan itu bahwa dia mencintainya dan dia ingin perempuan itu segera melupakan ucapannya.