Mata Zizi melotot dan mulutnya terbuka. Dia terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kamu-mau-aku-memasak-untukmu?" Tanyanya masih tidak percaya.
"Iya," jawab Andres.
"Kamu yakin mau aku memasak?" Tanyanya lagi masih tetap tidak percaya.
"Iya," jawab Andres lagi sambil mengangguk.
Zizi tertawa sedih. "Kamu sudah tahu aku tidak bisa masak. Jangan membuatku merasa semakin payah. Kamu bebas menertawaiku sekarang. Tidak perlu menunggu masakanku yang gagal. Tertawa saja. Aku tidak apa-apa."
"Hey, apa yang kamu bicarakan? Kamu melantur."
"Aku tidak melantur! Aku tidak bisa memasak, tapi sekarang kamu memintaku memasak makan malam kita?" Zizi menggeleng-gelengkan kepala.
Andres menarik tangannya ke meja island.
Zizi marah. "Dengar. Kalau kamu memaksaku memasak, kamu harus menghabiskannya! Tidak peduli kamu muntah-muntah! Kamu harus menghabiskannya!"
"Iyyaa," jawabnya tetap sabar lalu mengecup keningnya.
Zizi merasa amarahnya sedikit mereda. Dia masih tidak percaya apa yang ada dalam pikiran pria itu. Dia melihatnya membuka kantong belanjaannya dan mengeluarkan dua bungkus mie instan.
"Dua cukup? Masih ada delapan lagi," tanya Andres lalu terkejut melihat wajah Zizi tersenyum mengembang.
"Itu mie instan favoritku!" Zizi memberitahu dengan penuh semangat lalu menambahkan, "tambah satu lagi."
Satu bungkus mie instan untuk satu orang terlalu sedikit, tapi dua bungkus kebanyakan. Tiga bungkus berdua itu pas.
"Dengan sawi?" Andres mengeluarkan satu ikat sawi hijau.
Zizi meloncat kegirangan lalu berteriak, "cabe rawit dan telur! Ya Tuhan!"
***
Andres duduk di ujung meja konter, menonton Bella memasak. Sedari tadi dia tidak sabar ingin bersuara dan melompat turun membantunya. Berkali-kali dia mengerutkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala. Madre mia! [Mama!] Gadis itu tidak memegang pisaunya dengan benar. Dia tidak sadar jarinya bisa terluka. Dios! [Ya Tuhan!] Dia tidak tahu cara memecahkan telur. Cangkang telurnya ikut terjatuh ke dalam mangkuknya. Untung saja telurnya sudah dicuci. Por Dios no! [Oh Tuhan, tidak!] Bagaimana bisa dia memasukkan potongan cabe, sawi, telur dan mie berbarengan ke dalam air mendidih. Bahan-bahan itu membutuhkan waktu masak yang berbeda. Ini adalah bentuk penyiksaan yang membuatnya hampir gila. Andres bertahan karena terlanjur berjanji tidak akan bergerak atau mengatakan sepatah katapun selama gadis itu memasak.
"Selesai."
Akhirnya Andres mendengar kata itu. Dia mendesah lega lalu bergerak turun.
Andres menyuarakan kekhawatiran sekaligus kekesalannya,"Bella, kamu tahu kamu membuatku khawatir."
Bella menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "Sudah kubilang tidak boleh berkomentar apapun. Aku sudah memasak ini ratusan kali selama aku hidup."
Andres menghela napas panjang. Dia mengutuki dirinya yang tiba-tiba saja memiliki ide bodoh ini setelah keluar dari ruang meeting. Dia merasa tubuhnya kembali melemah dan tidak yakin bisa memasak malam ini. Rasanya mampir di restoran Spanyol favoritnya jauh lebih aman. Bella pasti mau memakan menu mereka. Andres yakin lidah gadis itu tidak memiliki masalah dengan cita rasa masakan Spanyol. Terlebih lagi, dia terpaksa mengirim pesan pada ayah Bella, menanyakan merek mie instan favoritnya dan bagaimana biasanya dia memasaknya. Itu pertama kalinya dia menghubunginya setelah malam itu. Pria itu telah berkali-kali mengiriminya pesan dan mencoba menghubunginya untuk menanyakan keadaan putrinya, tapi Andres merasa tidak perlu membalas ataupun mengangkat panggilannya. Dia masih kecewa dan marah padanya.
Andres mengunyah pelan mie di dalam mulutnya. Dia terkejut bagaimana bisa cara memasak bar-barnya bisa terasa nikmat di lidahnya.
"Tidak enak?" Tanya Bella.
Bella kemudian menarik nampan di ujung meja dan menaruhnya di depan Andres. Wajahnya terlihat cemas.
"Kamu bisa memuntahkannya disini." Jari telunjuknya menunjuk pada nampan itu.
Andres menggeleng lalu berkata dengan enggan, "enak."
Dia masih tidak terima fakta ke sembilan bahwa gadis itu bisa memasak mie instan lebih enak darinya.
"Tidak usah berbohong. Aku sudah siap mendengar hinaan," ucapnya pasrah lalu memutar mienya dengan garpu dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Andres tersenyum. Dia mempertimbangkan untuk memintanya memasak mie instan lain kali. Benar kata ayahnya bahwa putrinya ini hanya bisa memasak mie instan tapi rasanya sangat enak. Pria itu juga sempat memberitahu bahwa dia merindukan mie instannya.
Andres melihat piringnya ditarik.
Bella mulai bersuara panjang lebar, "kamu tidak perlu memaksa memakannya kalau tidak enak. Aku sungguh tidak keberatan. Aku tidak suka melihatmu memaksa diri untuk membuatku senang. Sungguh, aku malah merasa lebih nyaman kalau kamu berterus terang meskipun itu terdengar menyakitkan."
Andres menarik kembali piringnya lalu berusaha menjelaskan, "ini enak. Sungguh. Aku hanya sedang banyak pikiran."
"Kamu tidak berbohong?"
Andres menggeleng, "tidak."
Senyum tipis tersungging dari bibir gadisnya.
Selesai mencuci piring dan membersihkan meja island, mereka kembali ke gazebo untuk melihat bintang di langit sambil bertukar cerita kegiatan hari ini. Andres bersandar di sandaran kursi kayu panjang yang ditaruh Mustar tadi siang sambil memeluk gadis itu yang bersandar di pundaknya.
"Tubuhmu panas. Kamu baik-baik saja?" Tanya Bella di tengah obrolan mereka sambil menoleh padanya.
"Tidak apa-apa. Mungkin karena memelukmu," jawabnya sambil mengerling.
Pukulan pelan mendarat di dadanya.
"Kamu tidak bisa sehari saja tidak berkata mesum?" Tanya Bella yang sekarang sudah kembali mendekam dalam pelukannya.
Beberapa menit kemudian, Bella kembali melepaskan diri dan menaruh punggung tangannya di keningnya.
"Kamu panas." Dia memberitahunya lagi.
Andres menggeleng, "aku tidak apa-apa. Hanya sedikit kecapaian."
"Tidak. Kamu tidak pernah sepanas ini," katanya dengan tangannya yang kini menyentuh lehernya.
Bella berdiri dan menarik tangannya. Andres bangkit dengan malas. Dia merasa bumi berputar. Dia segera duduk kembali. Andres mendengar Bella memanggil namanya.
"Aku tidak apa-apa," katanya lagi dengan suara serak.
Andres mengerjapkan matanya untuk melihat lebih jelas. Air mata gadis itu mengalir pelan di kedua pipinya. Andres segera berdiri dan memeluknya. Kepalanya sempat berputar-putar tapi dia bertahan tetap berdiri.
"Aku tidak apa-apa. Hanya kecapean." Dia memberitahunya lagi.
Bella menangis sesenggukan. Air matanya membasahi bagian depan kaos Andres.
"Kamu sakit?" Tanya Bella setelah tangisnya mereda.
Andres tidak bisa berbohong. Dia mengangguk.
Gadis itu kembali memeluknya dan menangis semakin keras. Andres merasakan pukulan di dadanya.
"Kamu tega! Kamu jahat! Bagaimana kamu bisa membuatku jatuh cinta kalau kamu tahu akan pergi meninggalkanku?! Mengapa kamu melakukan ini? Apa salahku? Mengapa kamu memilihku? Aku lebih baik tidak pernah mencintai seseorang seumur hidupku dari pada mencintai seseorang yang tidak bisa aku miliki! Kamu jahat, Andres! Aku membencimu!"
Andres tidak bisa bergerak. Dia masih mencerna apa yang baru saja didengarnya. Gadis itu mengatakan dia telah membuatnya jatuh cinta? Gadis itu jatuh cinta padanya?
Pukulan tangan Bella berhenti. Amarahnya juga berhenti. Namun isakan tangisnya masih terdengar pilu. Bella perlahan menyandarkan kepalanya di dada Andres dan melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya.
"Berapa hari lagi kamu bisa bertahan?" Bisiknya dengan suara terpenggal karena isakan tangisnya.
Andres menghela napas. Dia merangkul pundaknya dan memeluknya lebih erat. Iya, dia yakin gadis ini telah jatuh cinta padanya.
Andres merasakan air mata Bella kembali mengalir di dadanya. Dengan segera Andres melepas pelukannya dan menarik tubuhnya ke belakang.
"Dengar." Andres merengkuh kedua pipinya yang basah dan menatap ke dalam matanya yang memerah. "Aku tidak sekarat. Aku hanya anemia. Aku hanya kecapean dan mungkin sekarang sedang demam. Aku tidak akan mati dan meninggalkanmu seperti Will dalam novel itu."
Dia merasa perlu menjelaskan itu padanya agar pikirannya tidak melantur ke mana-mana. Dia juga akan menyuruhnya berhenti membaca novel itu.
"Lalu mengapa kamu membacanya?!" Tanya Bella marah dengan isakan tangis yang masih tersisa.
Andres menjawab, "aku hanya teringat dengan gadis bergaun merah."
"Kamu tidak sakit parah?" Tanyanya lagi.
Andres menggeleng.
"Kamu tidak akan meninggalkanku?"
"Tidak."
"Janji?"
Andres mengangguk lagi dan menjawab, "aku janji tidak akan meninggalkanmu."
Dia membiarkan gadis itu menurunkan kedua tangannya lalu memeluknya lagi. Dios [ya Tuhan].