Nadia tidak suka tatapan ini. Dia tidak bisa menatapnya lama-lama dengan tatapan seperti ini yang mengarah padanya.
"Lalu?"
Pria itu mendesah lalu melanjutkan, "Andres marah. Dia tahu aku yang memberitahu teman-teman dan merencanakan balas dendam."
"Itu bukan balas dendam."
"Awalnya seperti bukan, hanya iseng, tapi akhirnya-"
Pria itu menghela napas berkali-kali.
"Boleh?" Pria itu bertanya setelah menatap genggaman tangan mereka.
Nadia mengangguk. Pria itu mencium tangannya sambil memejamkan mata. Nadia membiarkannya hingga dia berhenti sendiri. Wajahnya kembali tenang.
"Persahabatanku dengan Andres berakhir."
Pria itu menoleh ke tampat lain. Pandangan matanya kosong.
"Dika," panggil Nadia. Pandangannya kembali padanya.
"Andres butuh waktu. Dia masih terbawa emosi. Dia pasti mau memaafkanmu. Kamu hanya butuh menunggu dan terus berusaha."
Pria itu mencerna ucapannya, lalu balik bertanya, "menunggu dan terus berusaha?"
"Iya," Nadia mengangguk.
"Kamu yakin itu akan berhasil?"
Nadia menggangguk lagi. Pria itu tersenyum lalu tertawa, tertawa senang.
"Ya, aku akan terus menunggu dan terus berusaha." Katanya mantap.
Butuh beberapa detik bagi Nadia untuk memahami ke mana arah pembicaraannya sekarang. Dia menarik kedua tangannya dan bersedekap.
"Dengar! Aku bicara tentang masalahmu dengan Andres! Aku tidak akan pernah memberimu maaf sampai kapanpun!" Teriaknya kesal.
"Aku tahu." Jawab pria itu masih sambil tersenyum.
Nadia lalu menoleh ke depan, menatap layar televisi yang entah sejak kapan dimatikan. Seingatnya sebelum pria ini masuk, dia sedang menonton ceramah agama. Kehadiran ibunya yang mendekat mengalihkan pikirannya. Ibunya telah siap berangkat mengajar. Dia menciumi wajah Nadia lalu mengabsen deretan pesan yang diucapkannya sama setiap pagi. Nadia merasa malu ketika pertama kali pria itu ikut mendengarkan, tapi sekarang dia sudah terbiasa.
"Nak Dika, tolong pastikan Nadia sarapan. Semalam dia tidak mau makan malam. Perawat biasanya tidak berani memaksa."
Nadia berteriak kesal lagi, "Ma!"
Dia tidak menyangka mamanya akan menitipkannya lagi pada pria itu, padahal dia sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi.
"Siap, tante. Saya tidak akan pergi sebelum Nadia sarapan."
Nadia melirik jam, masih kurang satu jam lagi sarapannya diantarkan. Pandangan mata Nadia mengikuti mamanya hingga pintu kamarnya tertutup. Mata pria itu masih menatapnya. Nadia merasa gugup dan malu. Dia menarik selimut dan menutupi wajahnya. Nadia mengira pria itu akan tertawa atau mencemoohnya. Hening. Pria itu tidak mengatakan apapun. Nadia membuka selimutnya dan menemukannya sedang menatap tubuhnya dengan gemetaran dan tarikan napas yang cepat.
"Dika!" Nadia berteriak.
Dia menggoyang-goyang tubuhnya hingga pria itu sadar dan menoleh padanya. Air matanya mengalir.
Pria itu berdiri dan melepas cengkeraman tangannya.
"Dika, jangan pergi!" Dia berteriak.
Pria itu terus melangkah.
Nadia berteriak lebih kencang, sekeras yang dia bisa. Pria itu kembali seperti tidak mendengarnya. Nadia berusaha bangun, tapi tidak bisa. Dia baru sadar dia tidak punya kaki lagi. Dia juga tidak pernah mencoba bangun sebelumnya. Dia mencengkeram pinggiran tempat tidurnya. Dia mungkin masih bisa merangkak, atau bergerak dengan cara lainnya. Terdengar suara benda jatuh. Nadia melihat pria itu berlari ke arahnya. Nadia merasa kepalanya sakit dan dia merasa mual.
"Jangan pergi!" Dia memaksakan suaranya keluar sebelum dia jatuh ke dalam lubang yang gelap.
Nadia terbangun mendengar namanya dipanggil dan merasakan goncangan di tubuhnya dan cengkeraman di kulitnya. Tatapan pria itu mengerikan. Nadia melihat mata merah dan air matanya sebelum wajahnya mendekat padanya. Nadia merasakan sesuatu menekan bibirnya. Pria itu mencium bibirnya. Pria itu mengangkat wajahnya, melihat wajahnya lagi, tersenyum lalu menciumnya lagi. Ini ciuman pertamanya. Pria ini mengambil ciuman pertama dan keduanya.
"Aku tidak akan pergi meninggalkanmu." Bisik pria itu.
Dia lalu mengangkat tubuhnya kembali ke atas tempat tidur dan menyelimutinya. Dia mengecek wajahnya sebelum kembali duduk di atas kursi di sampingnya. Tangannya mengusap air matanya lalu mengusap wajahnya. Matanya menatap selimutnya lagi.
"Dika," panggil Nadia.
Itu berhasil mengalihkan tatapannya.
"Apapun yang terjadi, jangan bunuh diri." Pinta Nadia sambil mengulurkan tangannya.
Pria itu menyambutnya lalu mengangguk.
"Berjanjilah kamu tidak akan pernah melakukannya." Pintanya lagi.
Pria itu diam sebelum menjawab, "kamu akan memaafkanku?"
"Jika yang kamu inginkan itu ucapan, ya, aku memaafkanmu."
Pria itu menggeleng.
"Berusahalah terus dan,"
"terus menunggu." Pria itu menyelesaikannya lalu mengangguk.
"Iya, aku janji tidak akan melakukannya." Ucapnya kemudian.
Nadia berkata setelah beberapa lama, "kalau kamu tidak bisa hidup untuk dirimu sendiri, hiduplah untuk orang lain."
Pria itu menjawab, "iya, aku hidup untukmu."
Nadia menarik tangannya dan berkata marah, "kamu tidak bisa melakukan itu!"
"Mengapa tidak?" Kejar pria itu.
"Aku bukan siapa-siapa! Kamu hanya bisa melakukannya untuk orang yang kamu cintai atau orang yang mencintaimu. Aku membencimu." Nadia menoleh ke arah jendela.
Pria itu menghela napas. Lama tidak ada suara. Nadia menoleh padanya. Pria itu sedang menatapnya.
"Aku mencintaimu." Ucap pria itu.
Napas Nadia tercekat. Detik berikutnya Nadia tertawa. Dia tertawa keras hingga tempat tidurnya bergoyang, hingga ada air matanya yang keluar. Pria itupun ikut tertawa meski hanya tawa kecil. Nadia kemudian menghapus air matanya. Sisa tawanya masih tertinggal.
"Kamu lucu." Akunya.
"Ya, aku suka bercanda. Tapi tadi itu tidak."
Tawanya berhenti. "Jangan teruskan. Aku tidak suka kamu mengambil terlalu banyak dariku."
Tatapan pria itu jatuh ke bawah. Dia nampak berpikir.
"Apa yang akan terjadi kalau aku melanjutkan?" Tanyanya.
Nadia menelan ludah, "aku akan mengusirmu."
"Menganggapku tidak ada?"
"Lebih dari itu."
"Kalau aku berhenti?" Tanyanya lagi.
Apa yang akan aku lakukan kalau dia berhenti berusaha setelah dia menyatakan perasaannya? Nadia bertanya pada dirinya sendiri.
"Kamu boleh tinggal."
"Aku memilih berhenti."
Nadia mengangguk. "Itu keputusan yang tepat."
"Kita berteman?"
"Tidak. Kita musuh."
Kini giliran pria itu tertawa, tapi Nadia tidak ikut tertawa. Tidak ada yang lucu di sana.
"Kamu tahu ada pepatah yang mengatakan bahwa hanya ada garis tipis yang memisahkan antara cinta dan benci."
"Kamu memilih berhenti!" Nadia mengingatkan.
"Ya, maaf. Tadi itu usaha terakhirku." Jawabnya sambil mengusap belakang lehernya.
"Bagaimana kalau kamu mencintaiku?" Tanyanya kemudian.
Nadia menjawab dengan mantap, "itu tidak akan terjadi."
Pria itu mengangguk-angguk sambil membenarkan, "ya, itu tidak akan terjadi."
Tarikan napasnya tiba-tiba saja terasa ngilu. Nadia segera mengalihkan tatapannya lagi pada langit di luar jendela.
"Apa seorang musuh memberi hadiah di hari valentine?" Pertanyaan itu didengarnya setelah beberapa menit berlalu.
Nadia menoleh, "tanggal berapa sekarang?"
"14 Februari."
"Tidak." Jawab Nadia lalu melanjutkan, "kamu hanya memberinya hukuman."
Pria itu tersenyum. Nadia merasa khawatir pria itu benar-benar mengikutinya dan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkannya.
"Aku penasaran dengan wajah Andres." Kata Nadia setelah beberapa menit berlalu.
"Dia sudah punya kekasih dan kalian beda agama."
Jawabannya membuat Nadia tertawa. Pria itu jelas-jelas menunjukkan rasa cemburu.
"Aku hanya penasaran. Aku ingin melihat fotonya."
"Aku tidak bawa handphone."
"Kamu bisa mengambilnya."
"Aku sudah janji pada ibumu tidak akan meninggalkanmu sebelum kamu sarapan."
"Aku tidak mau sarapan sebelum kamu menunjukkan fotonya."
Pria itu mendesah, "baiklah. Aku ambil."
Nadia senang pria itu mau mengalah.
"Jangan lama-lama." Nadia khawatir pria itu kembali memikirkan hal yang tidak-tidak di saat sendirian. Membiarkannya pergi juga sama beresikonya. Jika dia melihat sesuatu yang mengingatkannya pada sisi gelap hidupnya, pria itu akan kehilangan kendali lagi.
Pria itu mengangguk dan pergi ke luar.
Nadia menghembuskan napas panjang setelah pintu kamarnya kembali ditutup. Dia menyentuh bibirnya dengan dua jarinya. Rasanya tidak sama seperti saat bibir pria itu menyentuhnya. Dia memegang dadanya dan menekan tiga ujung jarinya. Rasanya tidak sama seperti ketika jari-jarinya menekan dada pria itu.
Selamat hari Valentine!!!
❤❤❤❤❤❤❤❤
Cerita hari ini seperti coklat. Rasanya pahit dan manis. ☺☺☺