webnovel

Run

"Jadi apa maksudmu sekarang? Pelamar ini akan jadi istriku? Begitu?"

"Ya tidak. ART itu penting. Mereka bisa banyak hal asal kau tahu."

"Mana ini usianya 25 tahunan semua lagi," kata Roy sembari membolak-balikkan formulir itu, dan hampir semua pelamar adalah wanita dewasa yang cantik seolah disortir.

"Aku cuma ingin mencari yang usianya dekat dengan Viola agar dia merasa memiliki teman nyata. Kau mau dia berteman dengan wanita-wanita ini? Apa kau gila? Dia akan marah besar padaku!"

"Kau tinggal pilih yang paling muda kan? Kenapa kau mempersulit hal yang mudah."

"Ya ya baiklah. Terima kasih sudah membantuku," sarkasnya.

Klik.

Roy berterima kasih dengan setengah hati. Jika ia menyewa wanita dewasa, Viola akan mengiranya itu pacarnya. Sedang dia tidak ingin kakaknya pacaran dulu. Ini dilemma. Hingga Roy menemukan formulir Maya Forenzo. Dia yang paling muda diantara semua kandidat, usianya 20 tahun.

***

"Aku berjalan di trotoar ini lagi."

Viola mendengus. Dikibas-kibasnya telapak tangannya berkali-kali di hadapan wajah. Jalanan dipenuhi polutan asing. Asap kendaraan, asap rokok, bau makanan menyengat warung-warung. Campur aduk, membaur tak sedap. Ibu kota yang pengap akan rutinitasnya. Membawa kaki melangkah lambat. Terhambat beberapa hal.

Wajahnya kini lebih cerah. Tidak lagi pucat pasi seperti dahulu. Bersama kehidupan. Perlahan semuanya berubah. Tanpa disadari dan tanpa rencana. Viola tidak ingin menyesal lagi. Atau menyingkirkan sesuatu lagi. Sudah cukup seperti ini. Sederhana saja. Ia akan segera menyelesaikan drama tragedi masa lalunya. Dan menggantinya dengan kenangan baru.

Karena kebahagiaan tak bisa ia miliki selamanya. Dan tak bisa ia rampas selalu. Setidaknya kepercayaan dan kehangatan masih ia dapatkan. Meski harus bekerja keras untuk itu. Air mata yang terlanjur mengalir, biarlah. Itu haknya. Terlupa akan hari-hari sulit, tapi itulah yang membuatnya semakin jelas. Jika kau berdiam diri tak membuat masalah, itu bukan hidup namanya. Kau hanya berusaha jadi sempurna. Sedangkan, tidak ada makhluk yang sempurna. Jangan membohongi diri sendiri. Karena itu lebih menyakitkan.

Cahaya yang dulu ia hindari. Keramaian yang dulu ia takuti. Dan belati yang membuat traumatis. Adalah proses menuju dewasa. Setiap orang pasti punya jalan berbeda. Begitu juga Viola. Mungkin dengan melewati itu semua ia jadi lebih baik. Dan memang begitulah. Garis Tuhan pastinya berjalan sesuai naskah-Nya bukan? Hal yang baik selalu diikuti dengan hal buruk, begitu juga sebaliknya.

Sama halnya dengan jalanan ini. Aku mendapati asap yang beterbangan layaknya oksigen yang wajib di hirup. Namun, bukan berarti udara bersih habis kan? Masih ada Cemara, Pinus, Akasia, Randu, dan Anggrek. Berdiri di sepanjang tepi jalan. Semak-semak hijau, meski belukar. Masih banyak ditemui.

Viola terhenti, kakinya entah mengikuti hati atau pikirannya. Ia memandangi gedung-gedung pencakar langit, anak-anak sekolah dasar yang menyeberangi jalan bersama guru mereka. Pasangan kakek-nenek yang tersenyum lebar, bahagia meski usia memakan. Pengamen-pengamen kecil yang hidupnya tidak lebih baik dari dirinya. Berjuang demi sepeser rupiah dan sesuap nasi. Tertawa layaknya mereka mendapatkan segalanya. Namun bukan, senyuman itu bukan karena materi. Melainkan sesuatu dalam hati mereka. Yang membuatnya memutuskan untuk tersenyum daripada menangis. Karena pada dasarnya hidup ini memang sulit. Tidak hanya ia seorang. Masih banyak orang yang hidup lebih sulit darinya.

"Kenapa tiba-tiba aku jadi seperti orang dewasa?" gumam Viola pada dirinya sendiri.

Viola berhenti di halte. Ia duduk dengan senyuman mengembang di sudut bibirnya. Seolah tidak ada yang berubah darinya. Ia menunggu bis seperti biasa. Menuju sekolah, belajar dan bermain di sana. Meski sebentar lagi kehidupan sekolahnya akan berakhir. Dulu, ia sangat ingin segera menghabiskan masa puber yang dikira membosankan. Namun setelah hampir meninggalkan masa itu, ia sendiri yang tidak rela. Ah ternyata benar ucapan kakak. Aku masih labil. Mengingat itu, lagi-lagi membuat Viola menahan senyum dan merindukan kakaknya. Padahal, ia baru saja meninggalkan apartemen beberapa menit yang lalu.

Viola menghela napas. Ia duduk di bangku halte yang lumayan ramai. Tiba-tiba seseorang memegang bahunya seraya mengejutkannya. Hingga ia terlonjak kaget. Viola menoleh.

"Kau!"

"Kenapa kau terkejut begitu?" pria itu cengengesan.

"Apa kau Aram? Aramba?" tanya Viola hati-hati. Namun sedetik kemudian ia menggeleng dan membenahi pertanyaannya. "Oh bukan! Apa kau Alfa? Ah bukan juga!"

Viola bimbang. Sebenarnya siapa pria yang duduk di sampingnya itu? Ia sangat mengenal sosoknya. Tapi kenapa ia tak ingat? Apakah ini seperti kejadian 'Lupa' lagi? Viola menggeleng, menggigit jari-jari kukunya. Mendadak dua pria penting dalam hidupnya menjadi sangat mirip. Apakah karena sudah lama tidak berjumpa?

"Apa kau Alfa? Atau Aram? Kenapa kalian jadi sangat mirip ya? Aku benar-benar lupa bagaimana wajah kalian berdua" Viola berkata dengan penuh kekhawatiran.

Pria itu menghela napas. "Tidak apa-apa jika tak ingat. Setidaknya kau masih ingat nama keduanya. Bagaimana dengan kencanmu kemarin?"

"Kau pasti Aram?. Hanya Aram yang mengajukan permintaan bodoh itu dengan tongkat anehnya." sahut Viola menggebu-gebu. "Tapi Alfa kan juga...."

"Tidak masalah kau memanggilku siapa. Aku lega. Sekarang kau lebih baik."

"Eh?"

"Kau tahu?" kata pria itu sambil memandangi lalu lalang kendaraan jalan raya. "Ketika usiaku dua belas tahun. Ibuku mengajakku ke rumah sakit. Ku kira ibu ingin mengecek kesehatan fisikku. Tapi ternyata, ibu ingin aku dirawat di sana selamanya. Ibuku menganggapku gila. Yang kukira rumah sakit biasa, ternyata tempat itu adalah rumah sakit jiwa." pria itu tersenyum miris.

Viola terdiam lama. Merasa prihatin.

"Kau tidak seperti biasanya. Kenapa tiba-tiba menceritakan masa lalumu? Apa kau kesulitan akan sesuatu?"

"Tidak. Aku hanya ingin memberitahumu saja. Aku tidak pernah menceritakan ini pada orang lain. Sama sepertimu dulu. Aku tak mempercayai siapapun."

"Jadi...kau percaya padaku." Viola memalingkan wajahnya yang memerah.

Pria itu tersenyum geli melihat gesturnya. "Apa kau sudah menemukan jawabannya?"

"Jawaban apa?"

"Cahaya, Kabut, Hadiah, Kereta, Tongkat, Pena dan Cinta."

"Bukankah itu hanya karangan konyol?"

"Ehmm…." ia berpikir. "Sepertinya. Hehe."

Viola tertawa kecil.

Ia mengingat semua perjalanannya selama ini. Cahaya di semak-semak malam itu. Kabut yang membuatnya tersesat mencari kakak. Sebuah hadiah kasih sayang dari kakak juga, kereta yang membawanya kala itu bersama Alfa, tongkat harapan milik Aram. Dan pena di atas mejanya kemarin.

"Tapi aku belum mendapatkan poin yang terakhir." Viola tersenyum penuh arti.

"Itu mudah. Karena kau sudah mendapatkannya sekarang."

"Apa maksudmu?"

"Kau masih bingung siapa aku?"

"Kau pasti seorang siswa. Kau mengenakan seragam yang sama denganku."