webnovel

Fake Friends for Future

Setelah bersahabat 3 tahun lamanya, Rea mengaku kalau ia jatuh cinta pada Al, sejak awal menatapnya di rooftop kampus. Pada dasarnya, pasangan sahabat jadi cinta sudah menjadi hal yang sangat lumrah. Tapi, apakah Al bisa menerima Rea? Sementara selama ini, Al kerap berpaling hati dari satu wanita, ke wanita yang lainnya. Sebuah cerita sahabat jadi cinta, yang tidak semulus seperti dalam cerita novel, sinetron, maupun film layar lebar. Inilah, cerita sahabat jadi cinta yang sesungguhnya .... Selamat menikmati karya terbaru saya ^.^ Salam hangat, dari Between Him and Us

Ajengkelin · สมัยใหม่
Not enough ratings
232 Chs

Teman Baru, Anggota Baru

"Who are you crying about?"

Rea menoleh, melihat siapa pria yang mengganggunya.

"Who are you?" tanya Rea, tidak mengenal pria yang kini sedang melangkah menghampirinya.

Pria itu duduk persis di samping Rea, mengusap air mata Rea dengan tangannya.

"Sedang patah hati?" tanya pria itu lagi.

***

"Mau aku antar pulang?"

"Tidak perlu. Terima kasih," jawab Rea, kemudian berlalu dan …

Bugh!

"Ups! Ma—"

"Re? Kamu belum pulang?"

Rea menoleh pada pria yang ditabraknya. Itu adalah Hans.

"H—hans?"

"Kamu kenapa belum pulang, Rea …? Ini sudah malam. Nanti mama kamu cari …," tutur Hans, seolah memberikan perhatian lebih kepada Rea.

"A—aku … menunggu Al. D—dia ingin mengantarku pulang," jawab Rea, menepuk bahu Aldy.

Hans beralih pada pria yang kini berada di sebelah Rea.

"Benar begitu?" tanya Hans memastikan.

"Iya. Aku akan mengantar Rea pulang," jawab Aldy, tegas.

"Baiklah kalau begitu," balas Hans seraya membenarkan kaca matanya. "Rea, hati-hati ya di jalan. Langsung pulang dan jangan mampir kemana-mana lagi."

"Iya."

Rea langsung berlalu, tidak lagi melihat Hans. Dan Aldy segera menyusulnya.

Langkah kaki Rea semakin cepat, tidak beraturan temponya.

"Rea, tunggu!" panggil Aldy, namun tidak membuat Rea menghentikan langkahnya.

Aldy menggelengkan kepalanya dan terus mengejar Rea sehingga berhasil menghalangi jalannya.

"Al, aku mau pulang," ucap Rea mencari celah untuk pergi.

"Aku sudha berjanji untuk mengantarmu pulang," ujar Aldy.

"Berjanji dengan siapa?" tanya Rea.

"Pria berkaca mata itu," jawab Aldy.

"Hey! Kamu juga berkaca mata, Al," gerutu Rea.

"Tapi aku tidak seculun dia," balas Aldy, tidak ingin disamakan oleh Hans.

"Aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang saja, aku sudah biasa pulang malam."

"Kamu ini susah sekali diberi tahu," gerutu Aldy, kemudian menarik pergelangan tangan Rea dan melangkahkan kakinya, mengajak Rea menuju ke area parkir sepeda motor.

"Kamu benar-benar pemaksa, ya!"

"Bukan pemaksa," balas Aldy, memakaikan helm kepada Rea. "Hanya ingin memastikan kamu aman sampai rumah. Aku paling tidak bisa melihat wanita menangis, apalagi mencari tempat untuk mengakhiri hidup seperti tadi."

"Apa?! Mengakhiri hidup, kamu bilang?! A—aku sama sekali tidak ingin mengakhiri hidup, Al … aku memang setiap hari berada di sana!" sanggah Rea.

"Untuk apa?!"

"Kamu ingin mengantarku pulang atau ingin mewawancarai aku?" tanya Rea berusaha mengalihkan pembahasan.

"Ouh … oke. Kalau kamu tidak ingin membahasnya. Yang penting, jangan melakukan hal bodoh, paham?"

'Dia selalu saja asal tebak,' batin Rea menggerutu.

Rea naik ke atas sepeda motor Aldy, dimana pria itu sudah menghidupkan mesinnya.

"Pegang yang benar, aku akan sedikit laju mengemudikannya," ujar Aldy.

Rea mengangguk dan memegang tali tas ransel yang berada di punggung Aldy.

Motor Aldy berlalu, meninggalkan area kampus, tempat keduanya menimba ilmu.

***

Ferdinan : Kamu sudah di rumah?

Sebuah pesan dari Ferdinan, tiba-tiba masuk ke dalam notifikasi layar ponsel Rea.

Rea baru saja masuk ke dalam kamarnya. Masih dengan almamater kampus dan tas yang menggantung di punggungnya.

"Rea …! Lekas mandi dan makan! Tugasnya nanti, setelah makan!" seru sang Mama memerintahkannya.

"Iya, Ma …," jawab Rea dengan sedikit berteriak.

Rea melepas tas dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia memilih untuk memainkan ponselnya lebih dulu, untuk membalas pesan dari Ferdinan.

Rea : Sudah. Ada apa? Tumben kamu bertanya. Tidak perlu memberi perhatian lebih kepadaku.

Balas Rea, kemudian meletakkan ponselnya di atas perut.

Sementara … ia masih menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sayu dan begitu sendu. Lagi-lagi kenangan masa lalu mengingatkannya kembali.

Drrrt!

Ponselnya kembali bergetar, itu adalah balasan pesan dari Ferdinan.

Ferdinan : Jangan halu! Aku hanya mewakili pertanyaan dari Hans. Jangan lupa mandi dan makan. Selesaikan tugas setelahnya. Gila juga, ya. Bilangnya tidak kenal dan tidak mengingatmu, tapi dia tahu aktivitas kamu.

Rea tersenyum membaca pesan itu.

Ia meraih guling dan memeluknya. Kembali menjatuhkan air mata, masih saja tidak bisa melupakan Hans dari bayanga hidupnya.

***

Rea diam.

"Kapan dibukanya rapat ini, Re?" tanya Ferdinan.

"Itu siapa? Kenapa dia ada di divisi musik?" tanya Rea berbisik pada Ferdinan.

"Namanya Aldy, mahasiswa pindahan. Katanya, dia multitalenta," jawab Ferdinan, juga ikut berbisik.

"Katanya siapa?!"

"Hans."

"Kok? Kenapa Hans?!"

"Hans yang membawanya. Hans bilang, ia ingin bergabung dengan band Hans, tapi syaratnya harus masuk ke dalam divisi musik," tutur Ferdinan.

"Kalau dia masuk ke band Hans, otomatis jadi saingan berat kita. Ah! Jadi ada kubu kalau seperti ini," gerutu Rea.

"Jadikan saja dia wakil ketua divisi musik. Aku yakin, dia tidak akan bisa lepas dari kamu."

"Aku?!"

"Maksudnya … dia akan tertarik masuk ke dalam band kita dan tidak bisa lepas dari band kita," lanjut Ferdinan dengan kedipan mata, menggoda.

Rea menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sahabatnya itu.

"Baiklah, semuanya. Mohon perhatian sebentar," tegas Rea, membuka rapat pada sore hari ini.

"Rapat kita mulai, ya," timpat Ferdinan.

"Hari ini … kita kedatangan teman baru, anggota baru, di divisi musik. Dia adalah mahasiswa baru di jurusan Teknik Me—"

"Kamu bilang kamu tidak kenal siapa dia. Kenapa sekarang jadi kamu yang memperkenalkannya?" tanya Ferdinan membuat Rea bungkam.

Mata Rea membesar, jelas sangat malu.

Ia hanya bisa menyeringai kepada teman-temannya di divisi musik, yang saat ini sedang hadir dalam rapat perdana mereka.

"Aldy, silakan memperkenalkan diri kamu," ucap Rea mengalihkan perkenalan tersebut kepada orang yang bersangkutan.

Aldy tersenyum pada Rea, yang sama sekali tidak menolehnya. Itu karena ia malu.

"Perkenalkan, nama saya Rajaz Ainnaldy. Teman-teman bisa memanggil saya Aldy. Saya sangat berminat masuk ke divisi musik ini karena saya juga seorang musisi. Katanya … ketua divisi musiknya adalah kamu, Rea," papar Aldy, yang dimaksud sebagai teman baru, anggota baru,

"Katanya siapa lagi?" tanya Rea langsung menyanggahnya.

"Ketua umum. Pria berkacamata yang bertemu dengan kita tadi malam," jawab Aldy.

"Ouh … jadi benar sudah saling kenal …," bisik Ferdinan menggoda Rea. "Pantas saja, Hans memintanya untuk bergabung dengan band nya, bukan band kita."

"Jadi yang benar, yang mana?! Al yang meminta atau Hans?! Ucapanmu mana yang bisa aku percaya, Fer?" gerutu Rea, yang memang selalu kesal dengan Ferdinan yang kerap mengganggunya.

"Permisi, maaf. Apa aku boleh bergabung?"

Rea, Ferdinan dan seluruh anggota divisi musik menoleh pada seseorang yang izin untuk bergabung rapat.

Rea menarik napasnya, panjang.

Lagi-lagi hari ini ia harus bertemu dengan Hans. Seseorang yang seharusnya ia lupa, namun jelas sangat tidak bisa, jika Hans terus-terusan menampakkan dirinya di hadapan Rea.

"Ini rapat internal. Aku tidak ingin ada orang luar tahu, termasuk ketua umum di organisasi yang menaungi divisi musik."