webnovel

Bagian 14

"Kukira kau menungguku di luar bersama snowfire," Kukerutkan wajahku ketika aku berbicara dengan suara bernada kecewa seraya duduk di tepi ranjang, berhadap-hadapan dengannya.

"Kakiku saja rasanya seperti ditusuk-tusuk, Maudy. Aku menyesal tidak menepati janji. Maafkan aku," Josh sedikit menundukkan pandangannya dariku. Hah! Dia ini selalu serius, bahkan dia tak mampu menangkap lawakan yang telah kusiratkan di raut wajahku.

"Bodoh," kuacak-acak rambutnya yang sudah tidak rapi.

"Ish, sakit Maudy," Pelan-pelan dia menyingkirkan tanganku dari atas kepalanya.

"Siapa suruh kau menganggap candaanku serius?"

"Aku serius tentang kau membuatku sakit," Pelan dia berbicara sepelan dia memerosotkan tubuh payahnya untuk kembali berbaring. Hey! Aku hanya mengacak-acak rambut bukan meninjunya. Kuperhatikan dia yang tengah memejamkan mata dan mengatur napasnya.

"Maaf," Akhirnya kuucapkan kata itu, dia diam tak menyahut. Hening membuat waktu berjalan lambat. Bunyi jarum jam yang berdetak terdengar seolah ingin menguasai ruang dan waktu. Aku tak tahan dengan situasi seperti ini. Tidak walaupun hanya beberapa detik.

"Kalau boleh tahu," kuputuskan untuk membuka mulut, aku tahu dia tidak tidur meskipun matanya terpejam rapat-rapat, "Kau sakit apa?" Kutanyakan hal yang ingin kuketahui sejak semalam. Semoga saja pertanyaanku benar dan dia mau menjawab, aku tidak mau pertanyaanku pada Josh berakhir sia-sia tanpa jawaban untuk kali ketiga.

"Anemia," Jawaban Josh membuatku terkejut, pantas saja Josh cepat lelah dan mudah sakit. Selain itu aku juga berpikir bahwa hari ini adalah hari keberuntunganku karena kudapatkan jawaban dari Josh.

"Bolehkah kukatakan satu kejujuran?" imbuhnya lagi, membuatku semakin terkejut.

"Kau pernah membohongiku?" Kujelingkan mataku. Pikiran negatif muncul begitu saja setelah kudengar pertanyaannya. Dengan sedikit menunduk, Josh pun berkata bahwa ketika dia pergi dan meninggalkan surat hari itu adalah karena mendadak dia jatuh sakit hingga memaksanya untuk dirawat selama beberapa hari. Sejak hari itu pula, Josh tahu bahwa dia mengidap anemia yang cukup kronis.

"Kenapa harus berbohong? Aku tidak suka,"

"Hanya satu alasanku, aku tidak mau kau khawatir," Selalu saja dia seperti itu. Cintanya padaku justru menghalangiku untuk tahu lebih banyak tentangnya.

"Aku ingin kau lebih baik Josh," lembut tuturku padanya, "Jangan pernah kau merahasiakan apa pun dariku. Aku tahu kau menyayangiku dan tidak ingin membuatku sedih. Tapi perlu kau tahu, aku merasa sakit dan tidak berguna karena di saat kau membutuhkanku, aku tidak bisa melakukan apa pun. Bahkan aku sama sekali tidak tahu,"

"Aku berpikir bahwa di saat kita tidak tahu adalah saat membahagiakan karena kita tidak perlu mengkhawatirkan apa pun,"

"Kenapa begitu?"

"Karena kenyataannya memang seperti itu. Papa membawa begitu banyak dokter untuk memeriksaku lebih lanjut. Hal ini membuatku mencemaskan diriku sendiri dan kalian semua,"

Kuperhatikan Josh yang memurung. Mata coklat keemasannya tak memancarkan binar-binar yang biasanya membuatku nyaman.

"Aku bingung pada bercak-bercak merah di kulitku. Dan juga tubuhku yang sering sakit kalau dipegang. Papa masih mencarikanku dokter,"

"Kau akan sembuh dan kita akan pergi mengelilingi kebun tebu bersama Snowfire. Percayalah,"

***

Petang telah jatuh ketika aku selesai mandi. Kubiarkan rambut kecoklatanku tergerai. Langit jingga membiaskan berkas-berkas semburat sinar sang surya. Kunikmati pemandangan nan megah ini sembari berdiri di depan jendela kamarku yang terbuka lebar. Telingaku dimanjakan suara jangkrik yang mengerik dari balik sebongkah batu tepat di bawah jendela kamarku. Daun-daun pohon jambu kluthuk jatuh berguguran tertiup angin sore. Kupejamkan mataku untuk menikmati udara yang membelai lembut wajahku.

"Kau menyayangi papa tidak?" Suara Tuan Schoonhoven dari arah kamar Josh mengusik ketenangan yang baru saja kudapatkan. Kini aku beralih terfokuskan pada suara-suara dari kamar di ujung lorong itu.

"Tidak, papa tidak tampan sih. Aku mau papa yang lebih tampan," Josh meneruskan kalimatnya dengan tawa kecil yang lucu didengar telinga. Kehangatan yang membuatku merasa kecil dan malang.

Masih terekam jelas di otakku seperti apa wajah Ibu dan ayah yang sangat menyayangiku. Biasanya di jam seperti sekarang ini, aku sedang menikmati makan malam bersama mereka berdua di dipan ruang tengah. Diterangi lampu teplok kami berbagi cerita tentang hari-hari kami. Aku paling suka berbaring dan menyandarkan kepala di paha ibu, merasakan kehangatan kasih sayangnya yang sudah seperti ibu kandungku sendiri.

"Makanmu hati-hati. Lihat bajumu sampai kotor," kembali kudengar suara Tuan Schoonhoven. Hatiku mulai merasakan sakit, mengingat kembali bahwa sosok seperti Tuan Schoonhovenlah yang selalu kubayangkan sebagai ayah kandungku. Seperti yang dikatakan ibu setiap malam di ranjang empuk, berpenghangat perapian. Ayah adalah seorang pria tampan, dia adalah pria paling sempurna di mata ibu, ibu sangat menyukai mata ayah yang sangat mirip dengan mataku, ayah orang yang baik, penyayang dan romantis. Namun setiap bayangan yang tercipta berdasarkan cerita-cerita ibu lenyap dalam sekejap mata ketika ibu mengatakan bahwa laki-laki terkutuk yang melempar kami ke negeri ini adalah ayahku. Semua sirna sudah, aku bahkan tak punya ayah di angan-anganku.

Ayah angkatku, Tuan Mangunbrata adalah sosok pengisi kekosongan rindu kasih sayang yang belum pernah kudapatkan. Dia menghapus setiap luka yang ada dalam diriku. Aku rela menukar jutaan ayah kandungku demi dia, tapi sayang semua pergi juga. Dan memang aku sadar bahwa setiap yang datang pasti akan pergi tetapi kenapa semua hal yang terjadi padaku berjalan dengan cara menyakitkan dan berlangsung begitu cepat. Ini kuanggap tidak adil, bukankah Josh juga hanya seorang anak angkat? Kenapa dia mendapatkan kesempatan yang lebih daripada diriku? Aku juga mau memiliki ayah seperti Tuan Schoonhoven. Jujur saja, sebaik dan sesayang apa pun Tuan Mangunbrata, ayah angkatku itu tidak pernah menyuapi apalagi rela berjaga semalaman ketika aku sakit.

Jika mungkin, aku ingin sekali bertukar posisi dengan kekasihku itu. Seberbahaya apa anemia itu sampai Tuan Schoonhoven enggan bekerja demi menemani Josh?

"Benarkah kita juga akan mengajak Maudy?" sejurus aku tersentak dan terlempar dari pemikiranku.

Mengajakku? Josh akan mengajakku kemana? Seharusnya tadi aku tidak melamun jadi aku tidak perlu bertanya-tanya seperti sekarang.

"You're the best dad!" Sekali lagi kudengar perkataan Josh mampir di telingaku. Kali ini dadaku didesak panas yang menyeruak. Ayah yang terbaik, jujur saja kuakui bahwa aku iri pada Josh.

Ayahku, kenapa harus laki-laki busuk dari pinggiran Rotterdam itu? Kenapa ibu meninggal dunia? Kenapa harus ada Kak Rusli di keluarga Mangunbrata yang mengangkatku sebagai anak? Bukankah semua itu akan benar-benar menjadi anugerah bagiku jika hanya aku yang menempati posisi sebagai anak di keluarga Mangunbrata seperti halnya Josh di keluarga Schoonhoven? Atau setidaknya hidup ini akan sedikit lebih sempurna jika Kak Rusli tidak memiliki pemikiran bodoh mengenai Belanda

Jika aku menjadi Josh, maka aku tidak perlu merasa menjadi orang malang tidak berguna yang hanya bisa diam menikmati keberuntungan yang Josh dapatkan dan dia bagikan kepadaku. Aku benar-benar menyedihkan.

Kunikmati sensasi terbang yang kudapat saat bermain ayunan dari ban bekas besar dan digantung dengan tali pada sebuah pohon jambu biji di halaman depan rumahku yang dulu, tempatku bernaung dan menghabiskan waktu selama beberapa tahun sebagai seorang Mangunbrata. Aku duduk disana, menjejakkan kaki ke tanah sekuat mungkin hingga tubuhku terbawa tekanan melambung ke atas. Kupejamkan mataku ketika semilir angin datang membuaiku dalam ketenangan.

Sebenarnya hari ini Josh memintaku untuk menemaninya belajar,dia sudah lebih baik. Dia berkata tulangnya sudah tidak seperti ditusuk-tusuk lagi, kepalanya juga sudah tidak pening dan tubuhnya tidak nyeri seperti hari-hari sebelumnya. Tapi keluhan lain muncul darinya, keluhan yang membuatku harus menahan geli karena pemikiranku sendiri. Dia dibuat pusing oleh rambutnya yang rontok melebihi batas normal. Aku melihat sendiri seberapa parah kerontokkan yang dialaminya lewat bantal tidurnya yang dipenuhi rambut-rambut coklat keemasaan milik Josh.

"Mungkin karena kau tidak keramas seminggu lebih," begitulah komentarku, dengan sedikit melawak kalimat itu kukatakan. Dia berkata bahwa dia takut menjadi botak. Jujur saja aku juga tidak mau dia menjadi botak. Wajahnya mungkin akan semenyebalkan sikapnya, sengaja kujauhi dia beberapa waktu juga karena aku ingin menjernihkan pikiranku. Kukira saat otak dan hatiku menjadi aneh karena aku terlalu sering merindukan tempat ini, bosan melihat Josh dan Tuan Schoonhoven yang terus berbagi kasih sayang di depan mataku. Berada di ayunan penuh kenangan ini membuatku merasa seperti aku kembali ke masa laluku, menikmati hidupku bersama ayah, ibu dan Kak Rusli. Aku ingin kembali ke masa-masa itu, aku sangat merindukan mereka. Keluargaku.

"Maudy!" sebuah seruan mengejutkanku, membangunkan dari segala lamunan dan pemikiranku. Kubuka mataku dan kulihat Piet dengan seragam kebanggaannya berdiri di depan pagar rumah. Senyum kebahagiaan dan kertas putih datang bersama kehadirannya.

"Balasan dari Kak Rusli!" imbuhnya sembari mengangkat kertas putih itu ke udara.

"Benarkah?" seruku, sejurus aku melompat turun dari ayunan, berlari menghampirinya.

Untuk beberapa saat kami hanya saling memandang dan bertukar senyuman. Napas Piet naik-turun tak beraturan, keringat membasahi wajahnya membuatnya terlihat mengkilap. Dia pasti kerepotan mencariku.

"Ini," disodorkannya amplop surat di tangan kirinya kepadaku. Aku tersenyum padanya dengan mata berbinar-binar, tak percaya dengan amplop yang kini sudah berpindah tangan kepadaku. Awalnya kukira Kak Adnan memberiku alamat palsu atau Kak Rusli tidak mau berurusan lagi denganku, benar-benar ingin menghapusku dari kehidupannya.

Kebahagiaan bergejolak dalam diriku, ada begitu banyak kata yang kubayangkan tertulis di selembar surat dari Kak Rusli. Kalimat wujud rasa rindunya kepadaku, ungkapan hati ibu yang tak sabar lagi untuk bisa bertemu denganku dan jauh dalam diriku, ada keinginan besar yakni kata bahwa mereka akan kembali untukku.

Sejenak kualihkan pandanganku dari surat yang telah kutarik keluar dari amplopnya itu ke sebuah lukisan laut senja di dinding kamarku. Keheningan membuat suara kertas yang kubuka dari lipatan-lipatan rapinya begitu terdengar dengan jelas. Kini tulisan rapi Kak Rusli telah terpampang rapi di depan mataku, surat yang cukup panjang menurutku. Kalimat salam sebagai awal dari semua pesannya bagiku. Kata-kata berikutnya perlahan tapi pasti sukses menghapus senyum kebahagiaanku. Semua sirna dan berubah menjadi sesak dalam dada, mendesak keluar hingga muncul menjadi genangan air mata di pelupuk mataku.

Kak Rusli bilang hidup mereka menjadi lebih baik sejak aku tidak ada di dekat mereka. Dia bilang dia tidak akan mengingatku lagi. Ibu baik-baik saja tapi setelah suratku datang,dia langsung jatuh sakit. Hanya ada luka yang kurasa setiap kali kubaca kata per kata yang terangkai dalam kalimat Kak Rusli. Yang paling menyakitkan adalah ketika akhirnya dia menyelesaikan pesannya dengan sebuah paragraf.

Apa kaoe terlaloe bodoh entoek menjadari betapa kaoe telah mempersoelit hidoep kami? Inikah caramoe membalas kebaikkan jang telah kami berikan? Bahkan tak ada kata maaf darimoe. Kaoe boeat kami kehilangan segalanja. Ajah. Dimana hatimoe, nona Maudy? Apa jang bisa kaoe lakoekan? Sadarkah, kaoe tidak hanja menghianati negerimoe sendiri tapi kaoe djoega orang jang tidak tahoe terimakasih.

Loepakan kami dan pergilah,

Pupus sudah semua imajinasi kebahagiaan. Bayangan-bayangan berakhir dengan bayangan. Bahkan fakta terasa lebih memilukan. Baru saja aku melayang tinggi berkat kehadiran surat ini dan kini aku justru jatuh hingga terperosok ke jurang luka terdalam yang kugali sendiri dengan harapan-harapanku.

Kak Rusli benar-benar membenciku, dia tidak mau menganggapku lagi sebagai adiknya. Tidak mengakui keberadaanku. Atau mungkin dia memang sudah seperti itu sejak dulu, dia tidak mengharapkanku. Keberadaan ayah dan ibu menjadi benteng baginya untuk mengungkapkan segala rasanya. Dan kini, setelah kematian ayah, dia mengait-ngaitkan segala hal dengan suratku, hubungan dan kedekatanku dengan Josh serta keluraga Schoonhoven. Dia benar-benar picik.

Emosi membuncah dalam dadaku, mendesak keluar dan aku tidak mampu untuk mengendalikannya. Tanpa kusadari, surat dari Kak Rusli telah menjadi bulatan tak beraturan dalam genggaman tanganku. Kubiarkan kertas itu terjatuh di lantai, di antara kedua kakiku. Ketika aku tertunduk menatap ubin kamarku yang sedikit berdebu, mataku mendapati selembar foto. Foto yang tak asing lagi bagiku. Foto kami, keluargaku. Aku, ayah Ibu dan Kak Rusli, di pendapa rumah setahun lalu ketika Kak Rusli hendak pergi ke Stovia. Kuraih foto yang tadi terjatuh bersama amplop itu dan kutemukan sebuah tulisan di sisi belakang foto.

Lakoekan djika kaoe ingin seperti ini lagi