webnovel

Bagian 13

Aku iseng mengikuti Piet dan Richard yang ditugaskan Tuan Schoonhoven untuk mengambil kiriman barang-barang dari Jakarta di stasiun. Menggunakan sebuah mobil jeep milik Tuan Schoonhoven, awalnya Josh tidak menghendakiku pergi, namun karena papa kesayangannya berkata: "Biarkan dia bersenang-senang dan mengetahui dunia luar," akhirnya Josh pun terpaksa membiarkanku pergi bersama Piet. Aku tahu dia cemburu, dan sayangnya aku suka melihatnya cemburu. Karena dengan begitu, aku bisa tahu betapa dia menyayangiku.

Perjalanan dua jam lebih menggunakan mobil yang dikemudikan Piet terasa lebih cepat dibanding fakta waktu yang kami lewatkan. Pembicaraan menyenangkan disertai lawakan dan saling meledek, membuat suasana terasa sangat menyenangkan. Piet dan Richard juga menggoda hubunganku dengan Josh. Kekasihku itu menjadi bahan lawakan paling lama dan mengasyikkan sepanjang perjalanan.

"Maudy, kami mau ke kantornya dulu. Kau tunggu kami disini atau mau membantu kami mengangkat barang-barang?"

"Aku tidak berbakat untuk menjadi kuda pengangkut," gurauku sembari duduk di sebuah kursi di depan stasiun. Piet berdecak kesal sementara Richard mengacak-acak rambutku.

"Hati-hati," ujar Piet sebelum pergi , berlalu bersama Richard. Berjalan melewati sebuah lorong dengan kaki panjang mereka menuju ke sebuah ruangan di ujung lorong.

Kuedarkan pandanganku ke setiap tempat yang bisa dijangkau oleh mataku. Stasiun yang sepi, hanya ada capung dan lalat berterbangan di setiap sudut tempat, di atas onggokkan sampah di bawah pohon jati dekat selokan. Seseorang berkemeja coklat melintas di jalan depan pintu gerbang stasiun. Kuamati laki-laki dewasa berkulit sawo matang itu. Postur tubuh dan wajahnya sudah tak asing lagi bagiku. Aku mengenalnya.

"Kak Adnan!" seruku seraya beranjak dari kursi kayu tempatku duduk, orang yang kupanggil tetap melangkah dan baru berhenti ketika kuserukan namanya untuk kali ketiga. Lalu aku melangkah menghampirinya.

"Maudy?" Dia menyebut namaku dengan cara aneh, seaneh caranya memandangku yang kini telah berdiri di hadapannya. Aku tahu kenapa dia bersikap seperti ini.

"Apa kabar?" Tanyanya canggung.

"Aku baik. Ehm kak, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Bertanya?"

"Apa kakak akan ke Stovia lagi?"

"Tentu, aku baru saja mengecek jadwal keberangkatan kereta. Kenapa?" Teman Kak Rusli namun kurang akrab karena perbedaan paham itu mulai terlihat ramah. Ada seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Bisakah kakak beritahu aku dimana alamat baru Kak Rusli disana?" Ragu-ragu kuungkapkan permintaanku itu. Dia nampak berpikir, menimbang-nimbang jika ada akibat yang membahayakannya,

"Setidaknya nomor fax," kusambung lagi sejenak kemudian, berharap permintaan yang ini lebih mudah untuk dipertimbangkan.

"Akan kuusahakan," Senyuman ramahnya merekah lagi, mataku berbinar mendengar tanggapannya, "sekarang kau tinggal di rumah Meneer Schoonhovenkan? Akan kukirim surat untukmu,"

"Kirimkan pada Piet saja. Kau tahu diakan?"

"Ehm, baiklah. Serdadu gila pacarmu itukan? Ha ha ha," Dia tertawa lepas karena ledekannya padaku yang sama sekali tidak lucu. Mulutnya menganga seperti kudanil, aku sangat berhasrat untuk melemparkan ikan ke dalam sana. Perutku terasa geli membayangkan hal itu benar-benar kulakukan.

***

Sebuah surat kukirim kepada Kak Rusli di hari yang sama setelah Piet memberikan selembar surat dari Kak Adnan kepadaku. Baru kuketahui kalau orang liberalis seperti dia adalah penepat janji yang akurat. Dia hanya menuliskan apa yang kuminta. Di suratnya tertera jelas alamat rumah dan tidak ada nomor faksimilnya, mungkin dia tidak bisa mendapatkannya tapi itu sangat berarti bagiku, alamat Kak Rusli. Di surat itu tidak ada hal lain, hanya alamat saja tanpa salam pembuka apalagi salam penutup.

Tidak berniat apa pun selain kusampaikan pesan rinduku kepada Kak Rusli dan ibu. Sungguh, aku sangat merindukan mereka. Tapi, kenapa mereka begitu tega meninggalkanku sendirian disini, hanya karena selembar kertas pemberian Josh? Kutanyakan kabar mereka berdua disana dan kapan mereka akan kembali, lalu kuberitahukan bahwa sekarang aku baik-baik saja. Kututup suratku dengan wujud cintaku kepada Kak Rusli dan ibu yaitu: "Apa jang haroes koelakoekan soepaja kalian memaafkankoe?"

Kuberikan surat yang kukirim menggunakan alamat Piet. Serdadu muda itu juga yang akan membawanya ke kantor pos untuk dikirimkan kepada kakakku.

"Pasti mereka juga merindukanmu. Percayalah," Begitu kata Piet sebelum dia melenggang pergi bersama suratku.

"Josh!" seruku sembari membuka pintu kamarnya yang tak terkunci. Aku dan dia langsung salah tingkah karena dia tengah bertelanjang dada di depan cermin, dengan sebuah kemeja putih di genggaman tangan kanannya. Entah setan macam apa yang merasuk dalam diriku, hingga aku bukannya berbalik lalu keluar atau setidaknya menutup mataku melainkan justru terdiam dan tetap menatapnya, sempat kuperhatikan lengannya sebelum akhirnya dia bergerak ke balik lemari pakaiaannya. Entah mataku sakit atau terhalang penglihatan setan, aku melihat adanya beberapa bercak merah di lengan putih Josh yang panjang, nampak seperti bekas luka bakar baru.

"Seharusnya kau mengetuk pintu dulu," ucap Josh ketika dia muncul dari balik lemari dengan sebuah kemeja putih yang telah dia kenakan, menutupi tubuhnya yang sempat kulihat tadi.

"Apa kau ingin melihatku tanpa celana juga?" Dia menyeringai saat sudah berdiri tegap tepat di hadapanku. Sejak kapan dia suka menggodaku?

"Maaf," kata itu kuucapkan malu-malu dengan seulas senyuman aneh tersungging di ujung bibirku.

"Kenapa menemuiku?" Tanpa menjawab permintaan maafku, dia langsung mengubah topik pembicaraan. Satu kebiasaan Josh yang kubenci.

"Hanya ingin saja,"

"Itu bukan jawaban," Dia beralih ke ranjangnya untuk mengambil lalu memakai mantel coklatnya.

"Apa kau terkena alergi?" Pertanyaan itu meluncur ketika kulihat lagi bercak merah di punggung tangan kanannya. Josh tahu maksudku sesaat setelah dia mengikuti arah mataku, memperhatikan letak bercaknya.

"Ehn," Dia bergegas membenarkan posisi lengan mantelnya yang mampu menutup hingga telapak tangannya nyaris terbenam keseluruhan, "Iya, aku alergi dingin," terbata-bata dia berbicara, keningku berkerut karenanya. Mungkin alergi dingin adalah alasan kenapa dia tak bisa lepas dari mantel dan garbadin selama ini. Masuk akal meskipun Hindia Belanda adalah tempat tropis yang panas, aku penasaran apakah tubuhnya akan mengembang dan merah saat dia tinggal di Nederland di musim dingin?

"Tadi pagi aku mandi pakai air dingin, biasanya air hangat," Josh menambahkan lagi dengan cara bicaranya yang lebih aneh meskipun aku tidak mempertanyakan maupun meragukan jawaban pertamanya.

"Sebaiknya kau ke dokter,"

"Aku sudah punya obatnya. Hey! Aku tahu sebenarnya kau memanggilku untuk sarapankan?"

Kuanggukkan kepala untuk membenarkan kata-katanya. Mata coklat teduhnya berbinar kemudian dia meraih tanganku, menggandengku sepanjang langkah kami menuju ruang makan.

Tuan Schoonhoven mengucapkan selamat makan dalam bahasa Inggris bahkan logatnya pun sudah terdengar layaknya penduduk asli dari negeri itu. Dia tersenyum padaku, ramah sekali begitu juga dengan Mavrouw Alex, sepertinya keadaan rumah mulai membaik bahkan lebih baik dari sebelumnya. Kurasakan Mavrouw memang mulai ramah dan mau menerimaku, namun jika kuperhatikan lebih lanjut, sikapnya kepada Josh tidak lebih baik, bahkan cenderung memburuk. Kenapa begitu sulit baginya untuk menerima anak yang begitu disayangi suaminya?

"Josh, are you okay?" Ini untuk kali pertama kulihat Tuan Schoonhoven berbicara di tengah acara makan. Dia memperhatikan Josh, aku dan Mavrouw Alex pun turut mengalihkan pandangan kepada Josh yang langsung tersenyum kepada papanya.

"There's no problem," Josh mengangkat bahunya, wajahnya menunjukkan raut bingung. Kuteliti setiap detail wajahnya, tidak ada yang aneh dari Josh. Jadi apa yang dipertanyakan Tuan Schoonhoven?

"Are you sure?" Tuan Schoonhoven meminta penegasan. Hey! Hentikan percakapan berbahasa asing ini, aku mengerti tapi aku muak mendengarnya karena harus menerjemahkan katanya satu per satu. Syukurlah Josh mengakhirinya dengan satu anggukkan penuh arti dan seulas senyum terbentuk di wajahnya hingga membuat bibirnya nampak sebagai satu garis merah tipis di wajah putihnya.

Kunikmati keheningan selama sarapan berbeda dengan tema English pagi ini. Sesekali kuperhatikan Josh yang duduk di sampingku, meliriknya lewat sudut mata kananku. Ingin kutemukan dimana letak hal yang dipertanyakan Tuan Schoonhoven tadi. Tidak mungkin dia bertanya tanpa ada alasan , pasti ada hal yang berbeda dari Josh. Aku ingin tahu karena kurasa kekasihku ini memang memiliki begitu banyak rahasia. Kutelisik mulai dari ujung rambut pirangnya, kening, alis, mata coklat keemasaannya, hidung mancungnya, bibir merahnya, lehernya yang nyaris separuh tertutup oleh kerah mantel barunya, tapi memang tak ada hal baru disana kecuali mantel barunya. Wajahnya juga masih mempesona dan membuatku bahagia setiap kali memperhatikannya.

Kuturunkan pandanganku ke piring makanku, memandang hampa setangkup roti berselaiku yang masih separuh. Sejenak kulirikkan mataku ke kiri lalu ke kanan, tepat di piring Josh. Kudapatkan sesuatu, mungkin ini yang disebut keanehan dan menjadi alasan pertanyaan Tuan Schoonhoven tadi. Tangan Josh begitu kaku, jemari-jemari tangan kanannya seolah tak mampu memegang pisau sebagaimana mestinya. Seperti ada duri-duri transparan yang membuat Josh enggan untuk memegang gagang pisaunya. Dia sebenarnya kenapa?

***

"Akan sangat menyenangkan jika pesta pernikahan kalian diadakan di bukit cinta!" Richard berseru, dia mengedipkan sebelah matanya kepadaku dan Josh. Piet tergelak mendengarnya sementara aku dan Josh saling memandang, kami tak memahami apa yang dimaksud Richard dengan bukit cinta. Lagipula, lelucon tentang pernikahanku dan Josh yang mereka obral sejak setengah jam yang lalu pun terdengar sama sekali tidak lucu.

Hari ini aku dan Josh menculik dan memaksa dua serdadu muda ini untuk menemaniku dan Josh bercakap-cakap di pos mereka. Sebenarnya mereka harus pergi ke pusat kota untuk mengawal pengiriman tebu ke pabrik gula.

"Bukit pinggir desa," Piet menjelaskan ketika aku dan Josh menunjukkan ekspresi bertanya kepadanya, "Tempat Josh berkata Ik hou van jij, padamu Maudy,"

"Berhenti membuat lelucon seperti itu," Josh memperingatkan, nampak sudah gurat-gurat kejengkelan di wajahnya.

"Ini doa, bukan lelucon, Josh. Apa kau tidak mau menikahi gadis tercantik ini?" Piet merangkul bahuku dengan lengan besarnya yang berotot, "Kau tahu? Adikku ini," Dia menunjukku dengan jemarinya hingga menyentuh pipiku, "Gadis tercantik dan terbaik. Kau tidak boleh menyakitinya. Cukup dengan sur,"

"Piet," Kusingkirkan lengan Piet dari bahuku kemudian kuamit lengan Josh erat-erat. Aku tidak mau Piet menyelesaikan kalimatnya yang akan membongkar ulang tentang surat itu.

"Josh selalu membuatku bahagia," sejenak kulirik wajah Josh, memerah dia. Lucu sekali, membuatku ingin mencubitnya, "Jangan pernah kau ragukan ini,"

"Hei!" Josh mengeluh penuh dengusan napas, mengisi jeda sebelum dia berbicara lagi,

"Hentikan percakapan bodoh ini. Aku tidak suka dan juga belum ingin menikah,"

"Kamikan hanya berandai-andai," Richard menggerutu, dia tidak suka sikap Josh yang sulit untuk diajak bercanda.

Sesaat hening merajai kami dalam diam. Gemerosok daun jati memecah keheningan. Kuperhatikan langit yang memerah di ufuk barat. Sang surya bergerak perlahan hendak bersembunyi di balik garis cakrawala. Kelelawar berkelebat terbang melewati udara di depan pos tempat kami berkumpul.

"Bolehkah aku bertanya sebelum hari gelap dan kalian harus pulang?" Piet membuka mulut, langsung kuperhatikan dia bersamaan dengan Josh yang mengangkat wajah untuk melakukan hal yang sama.

"Apa Tuan Schoonhoven tahu tentang hubungan kalian?" Aku tersentak mendengarnya, seolah mendapat tamparan keras dari pertanyaan itu. Kuperhatikan Josh yang beradu pandang dengan Piet.

"Papa belum tahu," lirih Josh mengatakannya tapi ketegasan sikap tersirat jelas dari sorot matanya. Kening Richard berkerut, Piet mendengus kesal sembari memalingkan wajah sejenak.

"Aku belum tahu bagaimana harus berbicara kepada papa," imbuh Josh lagi.

"Kau bodoh!" Umpat Piet, bola matanya memerah, "Seharusnya kau mengatakannya. Maudy sudah tinggal di rumah kalian, sampai kapan kalian akan bermain-main seperti ini?" Piet menggebu-gebu ketika berbicara. Belum pernah kulihat dia sampai seperti ini. Ku

Kuputar bola mataku untuk melihat Josh, dia menahan napas, kuturunkan pandanganku dan kudapati telapak tangannya terkepal.

"Apa kau tidak serius? Untuk apa kau menyembunyikan semua ini dari papamu? Kau malu bersama Maudy? Seharusnya kalau kau benar-benar menyayangi, kau memberitahu ayahmu. Untuk apa kau mengajaknya tinggal bersamamu? Kasihan? asal kau tahu,.."

Piet terus memberondong Josh dengan pertanyaan-pertanyaan dan kalimat lain yang semakin membuat Josh tersudut. Aku tidak suka keadaan seperti ini. Tetapi, jauh di dalam diriku, aku sendiri mulai ragu. Benar apa yang dikatakan Piet, semua berjalan seperti permainan belaka. Aku takut, aku terlalu berharap tapi kenyataan yang kuterima nanti justru berbeda. Apa semua bisa berjalan baik? Tuan Schoonhoven memang baik, bahkan dia mengizinkanku tinggal di rumahnya. Tapi apakah ada jaminan bahwa dia juga mau menerimaku yang tak jelas asal usulnya ini sebagai kekasih Josh, putra kesayangannya? Kalaupun Tuan Schoonhoven menerimaku, apakah Mavrouw Alex juga akan bersikap sama? Ada dua kemungkinan yang terpikir olehku tentang Mavrouw Alex. Pertama, dia akan menolak dan mengusirku. Kedua, dia tidak peduli karena dia sendiri tak mau berurusan dengan apa pun yang berhubungan dengan Josh.

"Ini hanya soal waktu. Berhenti berbicara seperti itu!" Josh menggertak. Suara lantangnya membuatku terperanjat, aku lepas dari pemikiran dan kembali ke kesadaran. Kudapati Josh berdiri lalu meraih lenganku, "Kita harus pulang," Dia mengajakku pergi tanpa berpamitan sedikit pun kepada Piet dan Richard.

Tersaruk-saruk aku mengikuti langkah cepat Josh, tangannya masih mencengkram erat pergelangan tanganku. Petang mulai turun, keremangan membuatku melihat sosok Josh dalam bentuk siluet hitam. Jangkrik mengerik dari balik bebatuan di semak-semak, tempat persembunyiannya. Menambah keriuhan di antara derap sepatu kami yang beradu dengan tanah. Sesekali aku nyaris terjatuh karena terantuk batu dan Josh tetap saja menarikku. Aku benci dia yang seperti ini.

Kenapa Josh mudah sekali terpancing emosi? Aku tahu dia kurang menyukai Piet karena kedekatanku dengan serdadu muda itu, tapi tidak seharusnya dia bersikap acuh padanya. Bagaimana lagi harus kukatakan kepada Josh bahwa Piet sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri?

"Ah!" Mendadak Josh menjerit dan melompat ke balik punggungku. Mengejutkanku.

"Ada apa?" Tanyaku cemas, setengah ketakutan juga. Josh, jangan bilang kau melihat hantu. Ini tempat sepi dan gelap, jadi jangan bermain-main.

"Sesuatu terbang di depan wajahku," Dia memperagakan bagaimana benda terbang yang membuatnya was-was tak karuan itu melintas di depan wajahnya dengan menggerakkan telapak tangannya, "Kurasa itu kupu-kupu," Josh menekan 'kupu-kupu' seakan nama serangga itu sepadan dengan serangan udara. Kuhela napasku setelah mendengarnya. Josh, dia membuatku hampir terkena serangan jantung hanya karena ketakutannya kepada kupu-kupu.

"Tidak ada kupu-kupu di malam hari, pasti itu kelelawar. Cepatlah! Ini sudah malam," Kuomeli saja dia, kini posisi berbalik. Aku yang menarik lengannya.

Kami kembali diam. Malam telah jatuh dan resah mulai menjalar di benakku. Apakah Tuan Schoonhoven akan marah? Dia tidak suka Josh keluar malam. Aku ingin berjalan lebih cepat, kalau perlu berlari saja. Tapi, Josh justru meminta untuk memelankan langkah. Dimana otak anak ini? Kenapa dia selalu saja membuatku kesal?

"Papamu akan marah kalau kita terlambat," Sejurus kuhentikan langkahku, dia nyaris menabrakku karenanya.

"Papa tidak pernah marah padaku,"

"Kau hanya mementingkan dirimu sendiri," Kalimat itu meluncur begitu saja bersamaan dengan rentetan emosi yang mendesak dari dadaku. Kubiarkan saja kebingungan menguasai sorot mata dan air mukanya.

"Kenapa kau berbicara seperti itu?"

"Karena kenyataannya memang seperti itu," Kutatap bola matanya yang membiaskan cahaya rembulan. Kami beradu pandang dalam kelengangan malam. Kebisuan di antara kami hanya diusik oleh jangkrik yang mengerik, membuat musik berduet dengan burung hantu yang suaranya seperti menertawakan pertengkaranku dengan Josh. Kusudahi adegan ini dengan melanjutkan langkah dalam sunyinya malam. Awalnya aku ingin melangkah cepat jauh di depan Josh namun ketika kutengok langkahnya yang terseok-seok dan sesekali dia meringis seperti menahan sakit, membuatku tidak tega. Kuabaikan sejenak marahku kepadanya, jujur saja aku sangat mengkhawatirkannya meskipun itu tak kutunjukkan pada perhatianku padanya. Ada apa denganmu, Josh?

Kurebahkan tubuh payahku yang sedikit lebih segar setelah aku mandi dan keramas. Kemanjaan sejenak membuatku merasa lebih baik, setidaknya kepalaku terasa lebih dingin sekarang. Kuterawang langit-langit kamarku yang putih bersih, benar-benar bersih sampai tak ada setitik noda pun disana. Cicak berceracak di sudut langit-langit dan dua cicak lain berkejar-kejaran. Dalam diam, mendadak kantuk menyerang mataku, memaksa kelopak mataku untuk tertutup. Menarik diriku dari kesadaran sesaat setelah mata beratku terpejam. Ringan terasa menjemput tubuhku seolah aku melayang. Masuk dalam kenyamanan tidur lelap bersama mimpi.

"Cepat jemput dokter Frank!"

Gertakan berupa perintah dari Tuan Schoonhoven dari ujung lorong depan kamarku membuatku tersentak dari tidur. Ketika kesadaran nyaris menguasai diriku, kudapati diriku telah duduk di tepi ranjang dengan kaki menapak di lantai seakan bersiap untuk berlari. Derap langkah berlalu cepat melewati lantai lorong di depan kamarku. Keributan yang belum pernah kurasakan sebelumnya sejak pertama kali kuinjakkan kaki di rumah ini. Keningku berkerut saat kutengok jam dinding yang jarum-jarum penunjuk waktunya menunjukkan pukul setengah satu pagi. Ternyata aku sudah tidur cukup lama.

"Apakah dia tidak bisa memilih waktu yang tepat untuk menyusahkan orang lain?"

Dari arah berlawanan kudengar Mavrouw Alex mengomel. Suara sandalnya beradu dengan lantai ubin menuju ujung lorong. Ada apa disana? Diriku tersentak ketika berhasil menyadari fakta tentang ujung lorong itu. Kamar Josh.

Terenyuh. Aku tak mampu berucap sepatah kata pun. Tubuhku kaku, darahku berdesir dan membuat jantungku berdegup kencang, dingin merayap di balik punggungku sementara dadaku sesak didesak panas. Mataku pun didera rasa yang sama, panas disana membuat pandanganku memburam. Air mata menggenang di pelupuk mataku membuatku tak mampu melihat sosok Josh dengan jelas. Kabur, wajah Josh yang berbaring di atas ranjang, matanya terpejam tetapi bibirnya gemetar. Sesekali digigitnya bibir bawahnya seolah menahan sakit yang tak kuasa lagi dia rasa. Tuan Schoonhoven duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangan Josh seolah ingin memberikan kekuatan. Seorang pria paruh baya yang belum pernah kulihat, bernama Frank dan beraksen Inggris tengah sibuk memeriksa Josh. Dia menekan-nekankan stetoskopnya ke dada Josh, memeriksa denyut nadi dan menyorotkan senter kecil ke bola mata Josh, terakhir dia memberikan suntikan lewat lengan tangan kanan Josh.

"Bawa dia ke rumah sakit jika dia tidak lebih baik besok," Begitu katanya sembari membereskan peralatan-peralatannya, memasukkannya ke dalam tas hitam di atas meja di samping ranjang Josh. Aku beradu pandang dengan dokter beraut ramah itu di depan pintu ketika dia keluar kamar dengan menjinjing tasnya. Senyuman tulus pernah arti dia berikan padaku sebelum dia berlalu. Hening menguasai waktu, yang kudengar dalam gelap malam ini hanyalah suara sepatu dokter Frank yang beradu dengan lantai. Perlahan dan lambat laun suara itu memelan sampai akhirnya lenyap tak menggema bersamaan dengan menghilangnya sang dokter di tikungan lorong.

"Maudy kau disana?" suara Tuan Schoonhoven yang sangat lembut mengejutkanku, menimbulkan pertanyaan dalam benakku: "sejak kapan dia tahu aku berada disini?' Ragu, kulangkahkan kaki, selangkah demi selangkah mendekati tempat Josh terbaring lemah. Tanpa kuinsyafi, kini aku telah berdiri di samping ranjang Josh di dekat Tuan Schoonhoven yang duduk sembari membelai lembut kening Josh, mengatur rambut basah Josh yang menempel karena keringat disana. Seakan takut bagian lembut dari tubuh Josh itu akan mengusik putranya dari tidur nyenyak.

"Bisakah kau jaga dia sebentar?" Mata sendu Tuan Schoonhoven menatapku, memohon. Kuanggukkan kepalaku, menyetujui lalu Tuan Schoonhoven beranjak dari tepi ranjang Josh setelah mengecup kening Josh. Berat baginya untuk meninggalkan Josh meskipun hanya sejenak.

Kuperhatikan wajah Josh secara detail. Dalam keremangan malam yang hanya diteringai lampu kamar yang bersinar redup memberikan ketenangan, wajah Josh masih terlihat jelas olehku. Wajah yang berbeda dari biasanya. Kelopak mata yang menutupi mata sayunya nan indah kini nampak membiru seperti lebam, bibirnya yang tak lagi gemetar, wajahnya pucat pasi nyaris seperti wajah ayah di hari terakhir aku melihatnya.

"Josh," lirik kusebut namanya , bahkan telingaku sendiri nyaris tak mendengarnya. Kini aku duduk di tempat Tuan Schoonhoven tadi duduk. Perlahan kusentuh pipinya yang putih, demamnya sangat tinggi. Miris aku melihatnya. Kugenggam tangannya yang justru sedingin es. Nampak bercak merah di punggung tangannya.

Memoriku beralih ke hari dimana aku tanpa sengaja melihat Josh bertelanjang dada. Mengingat satu fakta tentang alergi yang dia katakan. Perlahan kuraih lengan bajunya, berhati-hati supaya dia tidak terusik ketika kugulung lengan piyamanya. Aku terkejut mendapati bercak-bercak merah memenuhi lengannya. Ingin kusentuh bercak yang juga sedikit menonjol itu. Belum pernah kulihat alergi seperti ini.

"Maudy," lirih suara Josh kudengar. Segera kuurungkan niatku dan kudapati dia yang telah membuka mata, matanya yang kini nampak kemerah-merahan. Sebuah senyuman manis dan tulus dia berikan kepadaku.

"Kau bangun Josh?" Tanyaku diiringi senyuman balasanku atas senyumannya tadi.

"Kenapa kau disini?"

"Kau tidur saja," Kutahan dia yang bersusah payah menopang tubuhnya untuk duduk, dia menurut dan kembali menyandarkan kepala pada bantal.

"Papamu menyuruhku untuk menjagamu sebentar. Apa kau ingin sesuatu? Minum mungkin,"

"Aku lelah, ingin tidur lagi. Sebaiknya kau ke kamarmu,"

"Tapi,"

"Aku baik Maudy," dia memotong dengan suaranya yang semakin lirih, "besok kita berjalan - jalan. Jadi tidurlah, aku tidak mau menunggu lama,"

"Aku berharap kita bisa pergi besok," lirih aku berbicara. Leherku seperti dicekat setiap mendengar cara Josh berbicara dalam keadaannya yang seperti ini. Tak kuasa diriku untuk terus menahan air mata yang entah sejak kapan menggenang di pelupuk mataku.

"Have a nice dream shawty,"

Aku tersenyum miris untuk membalas kata-kata manisnya. Entah naluri apa yang mendesakku, perlahan kucondongkan tubuhku, kudekatkan wajahku ke wajahnya. Bisa kurasakan hembusan napas pelan dan hangatnya di permukaan kulit wajahku. Kupejamkan mataku untuk kemudian kukecup lembut keningnya yang panas karena demam.

"Maaf atas pertengkaran itu," Bisiknya di telingaku, memberikan kesejukkan tersendiri di relung hatiku. Ya, Josh aku juga menyesali perdebatan di petang itu. Maaf telah memaksa untuk terburu-buru padahal dia begitu kelelahan. Ingin kutanyakan ada apa dengannya tapi aku tidak mau merusak suasana. Maka kuputuskan untuk beranjak dari kamar Josh, membiarkannya tidur seperti yang dia inginkan.

Aku terperanjat nyaris berteriak ketika kubalikkan badan setelah menutup pintu kamar Josh. Jantungku sempat terpacu tapi akhirnya normal kembali setelah kusadari sosok tinggi besar yang mengejutkanku adalah Tuan Schoonhoven. Kukatakan alasanku keluar sebelum dia bertanya dan dia puas mendengar kebenaran itu.

Pagi harinya aku terbangun lebih awal dari biasanya, mendahului sinar mentari pagi yang selalu menerobos masuk dan membangunkanku. Kali ini aku yang menyapa pagi, kusingkapkan tirai jendela kamarku, kubuka daun pintu jendela yang lebar dan tinggi. Kicauan burung-burung menyambutku.

"Tuanmu sakit lagi, berdoalah supaya dia cepat sembuh," suara seorang pria dari ujung halaman di depanku tertangkap oleh telingaku. Kulihat seorang pembantu rumah yang tengah memandikan snowfire di bawah pohon belimbing wuluh, "Dia tampan dan baik hati. Semoga Gusti melindunginya,"

Aku tersenyum mendengar perkataan pria tua berpeci itu, Josh memang orang yang mudah disayangi dan aku bahagia karena dia menyayangiku.

Seperti yang kuduga semalam, Josh masih terbaring di kamarnya. Dia tengah melumat perlahan bubur yang disuapkan sedikit demi sedikit oleh Tuan Schoonhoven yang telah berpakaian rapi menggunakan setelan kemeja dan celana putih. Aku tetap berdiri di depan pintu seperti tukang intip sampai akhirnya Josh melihat dan memanggilku. Tuan Schoonhoven turut mengizinkanku masuk. Kami berbincang-bincang membicarakan topik ringan bahkan cenderung aneh. Sesekali tawa riuh memenuhi ruangan. Suasana yang berbeda dari semalam. Aku senang Josh sudah membaik meskipun dia masih belum beranjak dari ranjang empuk dan hangatnya.

"Meneer," seorang wanita memakai kebaya mencuri perhatian kami, dia tukang bersih-bersih di rumah ini, "Ada pegawai dari kantor," ramah dan penuh hormat dia berbicara kepada Tuan Schoonhoven.

"Suruh dia pergi, aku akan ke kantor nanti siang. Sekarang kau,"

"Papa," Josh memotong sebelum Tuan Schoonhoven menyelesaikan kata-katanya,

"Bolehkah Maudy saja yang menyuapiku?" Dia berbicara dengan cara manja kepada ayahnya lalu sedikit mengerlingkan mata kepadaku.

"Kau mengusir papamu he?" Tuan Schoonhoven menggeram, aku tahu itu hanya candaan tapi mampu juga membuatku bergidik.

"Aku ingin berdua dengan Maudy dan papa bekerja,"

"Kau mulai belajar menasehati,"

"Terkadang permintaan orang yang sakit kalau tidak dituruti akan membuat penyakitnya semakin parah,"

Tuan Schoonhoven tertawa kecil mendengarnya sementara aku tersenyum menahan geli yang menggelitik perutku. Dia mengecup lembut kening Josh. Dahiku berkerut melihat reaksi Josh yang justru meringis menahan sakit.

"Jangan nakal," pesan Tuan Schoonhoven sebelum meraih gagang pintu, melambaikan tangan kepada kami kemudian berlalu pergi. Sosoknya lenyap di balik pintu yang tertutup.