webnovel

DREAM TRAIT

Langkah demi langkah aku dapati kecemasan yang menetap. Aku ingin segera membuka pintu ruangan yang tertutup itu. Aku ingin melihat secepatnya, soal Ayah Ibuku yang terkena musibah itu. Benarkah itu adalah ruangan yang di mana nenazah Ayah Ibuku di sana? Air mata sudah aku biarkan turun begitu saja. Aku berjalan seakan menghilangkan peningku. Aku serantanan kualahan dengan diriku yang seperti mau tumbang. Ya Allah, aku tidak kuat. Aku buka pintu yang tertutup dengan tulisan di atas pintu ruang jenazah. Aku menelan ludah dengan penuh ragu. Membuka pelan dan aku dapati ada empat orang yang berbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh. Itu bukan selimut, bukan pula kafan. Namun entah itu kain apa? Aku mendekati satu persatu jenazah itu. Tanganku sudah dingin seperti es. Aku penuh dengan kegugupan. Sungguh aku tidak berani melihat ini. Hatiku rasanya gegabah, ingin rasanya memeluk Ayah Ibuku untuk terakhir kalinya di sini. Aku mungkin akan hidup bukan lagi seperti putri raja namun aku lebih rendah dari pada anak miskin yang ada di desa. Aku sangat nestapa. Namun setidaknya aku bisa mencium punggung tangan Ayah dan Ibuku lalu memeluk terakhir kali untuk segala rindu ke depanku yang sudah jelas tidak akan lagi mendapatkan kasih sayang dan cinta Ayah Ibuku lagi. Jenazah pertama aku buka, penuh hati-hati namun ternyata itu bukanlah Ayah atau Ibu. Namun ketika jenazah ke tiga dan ke empat, ternyata itu adalah orang tuaku. Mimpikah ini?

Gertita_Rajina · สมัยใหม่
Not enough ratings
5 Chs

Syarat Ibu

"Fana, nanti kamu harus ikut loh ya, awas kalau tidak!!!"

Aku mengangkat bahu sambil melirik dengan senyum asem.

Aku juga lagi bingung harus pergi ataukah tidak. Mana lagi ini belajar kelompoknya itu malam. Mana bisa aku pergi? Mana boleh juga aku pergi?

Ayah Ibuku itu paling tidak suka kalau yang namanya aku alasan keluar rumah. Meski hanya kerja kelompok.

Tahun kemarin sebelum kenaikan karena ada praktek menari dan harus pergi ke Rumah Inayah, aku tidak dibolehin padahal jamnya juga masih siang.

Kalau ini? Ini malam, ayolah Fana. Kamu harus tahu, kalau orang tuamu tidak akan pernah memberikan izinnya.

"Maaf ya, kalau memang aku tidak bisa datang ...."

Aku memasang wajah melas dihadapan empat sahabatku itu, berharap mereka akan memberi kelonggaran kalau memang aku tidak datang.

"Kebiasaan tuh bah, ini anak selalu malas nongol kalau waktu belajar kelompok."

Naina memasang wajah yang terlihat seperti kesal.

Sejujurnya aku tidak ingin juga mengecewakan mereka, apalagi mereka berempat itu sahabatku dari awal masuk SMA.

"Ya, maaf ya Nai. Kalian tolong jangan kecewa. Pleaasss ... aku kalau memang diizinin baru bisa keluar tapi kalau tidak ya tidak. Tapi aku tidak pernah keluar, kalian tau sendiri kan? Aku anak rumahan."

Naina tersenyum namun terpaksa.

Tapi aku yakin, Naina tau keadaan. Lagian dia yang selama ini paling dekat sama aku dari pada tiga sahabat kami yang lain.

"Iya tidak apa."

Naina menaruh telapak tangan kananya di punggung tanganku. Sementara aku tersenyum dan menunduk.

"Eh, sebentar. Begini saja. Kalau kami jemput kamu pakai mobil bareng-bareng. Kamu mau kan, maksudnya ... kamu akan dapat izin kan?"

Aku berfikir sejenak.

Aku tidak pernah melakukan ini soalnya. Tetapi kalau memang ini berhasil. Mengapa dari dulu, kita berempat tidak melakukannya?

"Hmm, bisa dicoba sih. Tapi jangan kecewa ya, kalau semisal Ayah sama Ibuku tidak ngasih izin ...."

"Siaaaap, Putri Raja."

***

"Ibu, Fana ada rencana malam ini. Boleh-"

"Tidak boleh, Fana. Kamu itu gadis, jangan sering keluar rumah. Oh iya. Kalau bisa, kamu pakai hijab mulai besok. Kamu sudah kelas tiga loh!"

Aku menelan ludah.

Ibuku ini tidak pernah yang namanya mengizinkan.

Lihat mereka semua terbang bebas mengepakkan sayap mereka dengan bahagia. Mereka bisa ke mana-mana dengan tanpa rasa takut.

Sementara aku? Lihat, aku seperti burung yang terkurung dalam sangkar dan tidak pernah dilepaskan. Kalaupun dilepaskan itu hanya untuk memakan sesuatu alias memakan ilmu.

Terkadang aku iri dengan mereka yang bisa keluar rumah dengan bebas, yang diperbolehkan oleh orang tuanya untuk melakukan apapun dan tentunya tidak melanggar batasan, itu sudah cukup.

Fana, jangan terlalu berkhayal. Kamu tidak akan pernah bisa melakukan seperti mereka semua. Kamu berbeda Fana. Syukurilah dunia kecilmu yang menjadi putri raja dengan semua kebutuhan terpenuhi.

"Fana ...."

Ibuku memegang pundak kananku secara tiba-tiba. Rasanya aku benar-benar mau pingsan. Entah kenapa aku bisa melamun sampai tidak mengedipkan mata seperti itu. Padahal Ibu juga memegang pundak kananku biasa saja.

"Iya Ibu ...."

"Kamu itu kenapa melamun? Ayo bawa teh hangat Ayahmu itu ke kamarnya."

Aku mengangguk sambil berlalu memegang secangkir teh.

***

"Assalamualaikum, Tante ...."

Aku melihat Fani, Aurel, Naina, Shafa, Arul dan Rey datang ke rumah dengan ramai-ramai.

Ya Allah mereka semua benar-benar nekat untuk datang ke rumahku.

Aku berdiri di dekat tirai tengah yang tertutup. Aku hanya bisa mengamati mereka semua dari sini.

Aku takut kalau Ibu nanti tanya banyak kenapa mereka semua datang ke sini. Lalu mengapa mereka berani datang ke rumah ini? Kenapa aku mengizinkan semua itu?

Pasti Ibuku akan tanya lebih banyak dari itu. Ya Allah, bagaimana kalau nanti Ibu akan bilang ke Ayah lalu Ayah akan marah.

"Wa'alaikumsalam. Ini dari mana?"

Mataku melirik seketika, lalu menutup celah tirai yang sedikit terlihat.

"Habis dari rumah kami masing-masing, Tan ...."

Aku menelan ludah.

Ya Allah apa yang akan mereka katakan?

"Kalian ke sini mau mencari Fana ya?"

"Iya Tante, kami mau belajar kelompok buat menggambar dan beberapa tugas besok. Apa diperbolehkan Tante?"

Badanku sudah gemetaran, aku sudah takut dan gelisah sendiri. Apa yang akan di katakan Ibu?

"Fana ...."

Cepat-cepat aku merapikan rambutku yang yang panjangnya sepinggang. Lalu menaruhnya sebagian rambutku itu ke depan dada kanan. Barulah aku membalik badan ke arah tirai yang tadi aku tutup celahnya.

"Iya, Ibu."

Aku keluar dari balik tirai ruang utama hanya menggunakan baju tidur lengan panjang serta celana panjang juga. Yang di mana sama-sama berwarna putih dengan campuran silver.

"Fana ...."

Mereka kompak menyebut namaku, yang aku respon hanyalah senyuman namun mataku sedikit bersembunyi karena ada Ibu yang takutnya marahin aku.

"Kamu yang nyuruh mereka semua ke sini?"

Aku menggeleng, sambil menunduk kemudian kepalaku terangkat kembali.

"Bukan Ibu, Fana tidak menyuruh."

Singkat jawabku.

Mereka semua yang melihatku. Sebagian mereka ada yang berisyarat kalau aku disuruh untuk bilang saja memang benar tujuan mereka ke sini adalah menjemputku untuk belajar kelompok.

Lalu ada juga yang membrikan isyarat agar aku wajib ikut apapun alasannya.

"Kamu mau belajar?"

Hatiku mulai girang secara tiba-tiba.

Aduh, apa Ibu mengizinkan ya? Sebentar Fana. Kamu jangan terlalu cepat. Pelan-pelan kalau bicaranya.

"Iya Ibu, tetapi Ibu melarang."

Rasa girang di hatiku pudar kembali saat ingat Ayah dan Ibuku melarang keras aku keluar di hari itu.

"Ibu akan mengizinkan. Tapi kamu mulai besok wajib patuh sama Ibu."

Aku yang selekas menyembunyikan mata, seketika menatap penuh wajah Ibuku tentunya sambil tersenyum.

"Kan, Fana biasanya juga patuh sama Ibu ...."

Aku mencoba mengingat saja. Apa memang aku ada yang belum aku kerjakan dari nasehat Ibu? Perasaan tidak.

"Iya, Nak. Tetapi kamu belum melengkapi nasehat Ibu satu hal."

Sebentar, apa lagi?

Aku berfikir sambil menundukkan kepala.

"Memang nasehat yang apa, Ibu?"

"Itu, hijab kamu. Lupa? Katanya besok terus besoknya lagi, kamu tidak pakai. Sekarang wajib pakai kalau mau keluar ke mana-mana."

Aku menunduk. Memang salah juga. Aku soalnya gerah memakai hijab terus. Jadi hanya mencoba sehari saja waktu itu.

"Baiklah Ibu, Fana berjanji mulai besok memakai hijab. Kalau lupa, Fananya tolong Ibu ingetin."

"Lho, kok besok. Setiap kamu keluar, kamu harus memakai hijab. Kalau di rumah tidak apa tidak memakai hijab, soalnya yang melihat adalah orang muhrim kamu."

Aku hanya mengangguk. Brarti ini pada intinya, aku hanya memakai hijab kalau ketemu yang bukan muhrimku?

"Ke SMA memakai hijab, Ibu?"

Ibu mengangguk.

"Masa tidak, kamu kan sudah janji ke Ibu pakai hijab. Tetapi bukan hanya malam ini atau besok saja loh ya. Tetapi terus ...."

Aku mengeluarkan nafas berat, membayangkan bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku dengan hijab.

Mana lagi kalau di SMA. Ya Allah, di sana itu tidak ada yang satupun memakai hijab. Apa kata mereka semua nanti?

"Ibu ... kalau setiap keluar pakai hijab. Masa ke SMA juga pakai. Fana nanti terlihat aneh ...."