Luci menangis untuk waktu yang lama, sekitar satu jam penuh. Seluruh air matanya telah membasahi kemeja milik Spider yang selalu saja rapi dan dipenuhi oleh aroma parfum dengan aroma campuran antara bunga dan buah-buahan, satu parfum yang disukai Luci.
Alhasil gadis itu semakin menenggelamkan kepala dan wajahnya pada dada bidang milik Spider. Luci tidak ingin melepaskan Spider malam itu.
Setelah waktu berlalu cukup lama, dan setelah Luci sudah kelelahan karena memangis gadis itu pun melepaskan pelukannya. Wajahnya masih lesu apalagi setelah melihat kemeja milik Spider sudah basah.
'Ah, aku membuat masalah baru. Aku baru saja menjual pekerjaan orang tanpa izin, dan sekarang aku malah membasahi kemeja orang dengan air mata dan ingusku,' batin Luci dengan sedikit menyesal.
"Maaf, aku terlalu banyak bersedih. Kau bawa baju ganti? Biar kucucikan kemejamu." Luci menengadahkan tangannya untuk meminta kemeja Spider.
Wajahnya yang cantik telah membuat jantung Spider berdegup begitu kencang. Bahkan saat Luci menangis di dalam dekapannya tadi, Spider merasa bahwa jantungnya terlalu nakal untuk tidak menuruti kemauan Spider.
Spider ingin jantungnya tidak terlalu berisik, jadi nanti Luci tidak akan tau bahwa dia tengah gugup saat berpelukan dengan Luci. Tapi jantung Spider tidak pernah mau mendengarkannya.
"Eh, ta – tapi kau belum selesai merawatku. Tanganku – tanganku sangat sakit." Kali ini Spider menunjukkan kedua telapak tangannya.
Jika tadi yang berdarah adalah salah satu telapak tangan Spider, maka kali ini yang berdarah justru kedua tangan lelaki kekar itu.
Hal itu disebabkan karena Spider ingin sedikit berlama-lama dengan Luci. Jadi lelaki itu secara sengaja melukai sebelah tangannya yang lain agar berdarah-darah. Jadi Luci bisa memberikan perhatian lebih kepadanya.
'Lagi pula pacarnya Bee sudah meninggal. Aku akan segera masuk ke dalam hatinya jadi dia akan menjadi milikku,' batin Spider penuh semangat.
"Astaga, kenapa kau melukai tanganmu lagi?" Luci pun menutup mulutnya dengan terkejut. Matanya yang jernih dan selalu saja memabukkan itu kini berkaca-kaca.
"Eh – a – aku tidak tau. Tiba-tiba saja sudah berdarah. Bisakah kau merawatku sekarang? Rasanya sangat sakit. Aduh – aduh!" Spider pura-pura mengaduh. Padahal rasa sakit di tangannya itu bukan apa-apa bagi lelaki kekar sepertinya.
Tapi karena Luci merasa iba apalagi pada orang yang kesakitan, alhasil gadis itu segera meraih obat-obatan yang tadi dibawanya itu. Lalu dengan pelan-pelan gadis itu membersihkan luka-luka di telapak tangan Spider lagi.
"Apakah masih sakit?" tanya Luci dengan wajah sangat khawtir. Seolah-olah saat ini Luci sedang merawat seorang balita yang baru saja terjatuh dari sepeda karena terlalu bersemangat saat mengendarainya.
"Iya, sangat sakit. Aduh, tolong tiup lukanya, Bee." Spider tersipu saat mengatkannya. Tapi untunglah Luci tidak menyadarinya.
Luci pun mengangguk lalu menuruti permintaan Spider. Gadis itu meniup pelan-pelan luka Spider sembari membersihkan luka di tangan Spider.
Beberapa kali Spider pura-pura mengaduh agar Luci kembali meniupi luka di telapak tangannya. Dan ketika Spider melihat Luci begitu memperhatikannya, bunga-bunga seperti mekar di dalam hati Spider.
Bunga itu seolah merekah pada musim semi. Kehangatannya begitu membuat Spider merasa nyaman.
Apalagi ketika merasakan sentuhan lembut tangan Luci di telapak tangannya. Rasanya seperti bulu-bulu lembut yang sedang membelai Spider untuk terbang jauh ke swan dan menuju surga.
Keindahan momen itu hampir tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Spider telah mabuk kepayang merasakan asmara yang meletup di dalam hatinya.
Tanpa sadar lelaki itu pun memajukan bibirnya lalu mengecup puncak kepala Luci dengan dalam.
Luci yang sedang menempelkan hansaplast pun tersentak kaget. Buru-buru gadis itu mendongak lalu menatap Spider.
Kali ini bukan tatapan sayang yang Luci berikan kepada Spider, melainkan tatapan tanya, bingung, dan tidak mengerti. Iblis penggoda di wajah Luci seolah bingung harus melancarkan aksi apa ketika akan menyentuh Spider, seperti itu perumpamaannya.
"Apa yang kau – " Luci mengernyit tanpa bisa meneruskan kata-katanya sementara di tangannya masih berada sebelah telapak tangan Spider yang belum selesai diobati.
Merasa terpojok Spider pun mencari cara. Lelaki itu mengerutkan kening untuk beberapa saat, sampai akhirnya wajahnya kembali tenang.
"Aku melihat kotoran di rambutmu, jadi aku berusaha membuangnya. Tanganku terlalu sakit untuk melakukannya. Aduh – aduh!" Spider pun merintih dengan pura-pura lagi, sembari sesekali melirik pada Luci.
Luci belum memperlihatkan sebuah reaksi yang positif. Gadis itu masih saja menyipitkan mata kepada Spider seolah ingin menguliti setiap fakta yang sedang disembunyikan oleh lelaki itu. Tapi pada akhirnya Luci pun terkekeh.
"Haha, apakah kotorannya sudah pergi?" tanya Luci lalu menempelkan hansaplast terakhir di telapak tangan Spider yang berdarah karena tusukan kukunya sendiri itu.
"Iya, sudah pergi." Spider terdengar lesu ketika mengatakannya karena dia sudah tidak memiliki alasan lagi untuk mencium Luci sekarang ini.
Spider pun mengamati telapak tangannya. Di telapak tangannya yang kasar – karena sering memegang benda-benda tajam – itu sekarang ini melekat hansaplast berwarna merah muda dengan lambang hati yang imut-imut.
Spider tidak berfokus pada warna merah muda di hansaplast itu, tapi lelaki tersebut terlalu terpana dengan lambang hati merah yang membuncah di seluruh hansaplast itu.
Bagi Spider itu adalah salah satu tanda bahwa sekarang Luci sudah memberikan hatinya untuk Spider.
"Terimakasih untuk hatinya." Spider berbisik dengan mata masih mengawasi kedua telapak tangannya dengan pandangan berbinar-binar.
"Oh, itu – maaf aku tidak bisa menemukan hansaplast lain yang berwana netral. Aku berusaha mencarinya tapi hanya itu yang tersisa. Kau bisa menggantinya di rumah nanti." Luci pun tersenyum kemudian bangkit.
Gadis itu meletakkan kembali obat-obatan yang berada di pangkuannya ke tempat semula yakni ke dalam sebuah laci meja yang terletak di depan kamarnya.
"Aku suka hatinya. Aku tidak akan menggantinya, jangan khwatir," ucap Spider dengan mata masih memandangi pada dua hansaplast yang melekat pada masing-masing telapak tangannya itu.
"Benarkah? Kupikir kau suka warna yang netral," tebak Luci. "Nah, sekarang sudah malam. Kau tidak ingin pulang?" lanjutnya.
"Kau ingin aku pulang?" Spider terdengar sangat terluka. Matanya yang dipenuhi oleh letupan kembang api itu sekarang sudah keruh dan sangat gelap. Kegelapannya bahkan bisa mengalahkan kegelapan lautan terdalam di dunia sekalipun.
"Yeah, ini sudah malam. Aku juga harus segera tidur. Huahhhem!" Luci meregangkan tubuh lalu menguap.
Spider berpikir sejenak. Dia tidak ingin pulang begitu saja malam ini. Lelaki itu ingin lebih berlama-lama dengan Luci.
Karena kesempatan emas seperti ini tidak akan terulang dua kali. Dia juga sudah melukai kedua tangannya demi kesempatan.
'Apa aku perlu melukai tubuhku juga agar dia membiarkanku tinggal?' pikir Spider dengan perhitungan yang matang.
Tapi dia belum bisa menemukan satu alasan pun yang tepat.
Jika dia melukai tubuhnya sendiri maka itu akan runyam. Kehidupan gelap milik Spider mengharuskan lelaki itu berada di dalam kondisi prima karena di setiap saat nyawanya bisa saja terancam jika dia lengah.
Akhirnya setelah berpikir lama Spider pun menemukan sebuah alasan baru.
"Bajuku – kau membasahi bajuku. Kau harus mencucinya kan?" tanya Spider dengan masih berakting kesakitan lalu memegangi kedua tangannya.
"Oh – iya, aku lupa. Tapi kau bawa baju ganti kan?"
Spider menggeleng.
"Kau punya baju yang pas untukku?" Spider memasang wajah sangat memelas.
"Itu …. Sepertinya ada sih satu. Sebentar." Luci pun bangkit untuk menuju ke dalam kamarnya demi mengobrak-abrik lemarinya.
Setelah lima menit berlalu akhirnya Luci keluar dengan membawa sebuah kaos oblong besar. Kaos itu tadinya ingin Luci berikan pada salah satu mantannya dulu, tapi mantan pacarnya keburu terbukti berselingkuh.
"Ini pakailah!" Luci menyodorkan kaos oblong itu ke arah Spider.
"Eh, begini – tanganmu masih sakit. Bisakah kau menggantikan bajuku?" Spider memasang wajah seperti anak kecil yang sedang mengharapkan permen.
***