webnovel

CHAPTER 15 - Pengawas Ujian Pagi

Sudut Pandang Theo

8 jam yang lalu.

Pada pagi hari ini, seluruh pemain mulai memasuki tahap ujian strategi sebelum masuk ke latihan teori. Kali ini mereka diminta memainkan permainan puzzle mulai dari tingkat kesulitan sangat mudah hingga sangat sulit guna melatih otak cerebellum. Kemarin mereka telah diberikan waktu membaca buku yang mereka minat akan tetapi sesuai materi.

Setiap pelatih pun memantau perkembangan aktivitas otak mereka melalui sebuah pendeteksi dengan sinar X-ray dan pendeteksi aktivitas jaringan otak mereka melalui layar monitor yang terpampang di hadapan mereka. Kini mereka memantau anak didiknya dalam satu ruangan hening dan gelap yang dipisahkan oleh sebuah kaca satu sama lain.

Meskipun antara kelas dan ruang pemantauan terpaut jauh jaraknya, akan tetapi segala gerak-gerik yang dilancarkan tiap pemain dapat terlihat dan terdeteksi melalui CCTV. Apabila terpantau kecurangan, akan diberikan sanksi tegas. Namun sejauh ini belum terlihat adanya kecurangan. Tiap pemain tampak memainkan puzzle di layar monitor mereka dengan konsentrasi penuh. Tidak pula menoleh ke kanan-kiri seolah-olah sekitarnya tidak ada.

Setiap lima kelas yang berisikan 25 anak yang dipantau oleh satu persatu pelatih di tiap kelas.

Theo memantau aktivitas kelas B dengan seksama.

Setiap wajah dan nama mereka yang diikuti oleh aktivitas yang terjadi pada otak cerebellum dan detak jantung mereka memiliki intensitas yang berbeda satu sama lainnya. Ada yang tetap stabil dari awal, ada pula yang naik menjadi 5% karena terbawa oleh alur permainan puzzle, dan lainnya. Hal itu mewarnai setiap pemandangan monitor di hadapan Theo.

Dengan secangkir kopi, Theo terduduk santai masih dengan konsentrasi menatap itu semua.

Kelas ini berlangsung selama tujuh jam dengan tujuan melatih ketanggapan dan kecerdasan otak pemain.

Seketika layar monitor milik Theo menampilkan jumlah kenaikan cukup signifikan dalam bentuk garis mengenai detak jantung salah satu pemain bernama Abercio. Pemuda itu dikenal dengan otaknya yang cepat tanggap dan tenang selama simulasi. Akan tetapi kali ini dirinya berbeda.

Tatapan Theo beralih ke data milik Abercio yang mulai naik-turun itu.

Perkembangan saraf otaknya pun berubah lebih rumit menandakan dirinya sedang kesusahan.

"Hmm," Theo memerhatikan Abercio melalui layar monitornya.

Tak lama kemudian di sisi kamera lain, ia tampak berdiam, tidak melanjutkan puzzle nya sesaat. Matanya terpejam. Tampak seperti sedang menenangkan diri di kala situasi rumit dan mengambil udara segar. Kemudian jari-jemarinya mengetuk meja.

Selama dua menit lamanya, tingkat detak jantung dan perkembangan saraf otaknya berubah stabil. Lalu disusul dengan kedua matanya yang terbuka. Ia pun kembali menyusun kepingan puzzle-nya di monitor layar seutuhnya.

Theo tersenyum miring. "Unik, ya.

"Pemain dari kasta atas memang begitu kali, ya. Punya cara yang unik dalam mengatasi kecemasannya," batinnya.

Situasi monitor pagi pun berjalan normal selama tujuh jam lamanya, tentunya dengan terduduk di atas bangku putar yang agak empuk. Ditemani secangkir kopi dan cahaya monitor. Bagi Theo, ini merupakan pekerjaan yang cukup melelahkan sebab tulang ekornya mudah nyeri karena terduduk lama. Apalagi radiasi monitor yang besar ini mampu merusak kulit wajahnya. Untung saja rutinitas memakai serum pencegah radiasi blue light kerap dilakukan olehnya.

**

Tanpa disadari waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sore hari.

Pengawasan sesi pagi hari telah selesai. Kini saatnya para pemain beristirahat dan melanjutkan ujian strategi di hari lusa pagi. Sama halnya dengan para pelatih, mereka pun meninggalkan ruangannya dan waktu bebas. Ada yang ke kantin, ada pula langsung ke ruang kerja mereka.

"Theo!" sapa Duncan menghampiri Theo yang baru keluar dari ruang mentornya.

Tatapannya mendapati Duncan bersama dengan Jane. Wajah mereka yang masih tersenyum ceria menyambut wajah datar Theo yang lelah.

"Apakah kau mau bersama kami?" tanya Duncan.

"Ke mana?" tanya Theo bingung.

"Ke kantin, lah. Kami lapar," jawab Jane.

"Sama, sih, aku juga mau ke kantin," ucap Theo sambil melirik ke sana kemari sambil menyentuh kepala belakangnya.

"Yaudah, barengan aja, yuk!" seru Duncan.

"Tapi maaf aku sedang ingin waktu sendiri untuk saat ini. Mungkin di lain waktu," ucap Theo.

"Oh, begitu, ya," ucap Jane. "Sayang sekali, lho kau tidak ikut."

"Yaudah deh, kami duluan ya. Sampai jumpa nanti!" seru Duncan sambil melambaikan tangannya ke arah Theo.

"Sampai jumpa kawan!" seru Jane kepada Theo.

Mereka berdua meninggalkan Theo sendiri di Koridor lantai tujuh.

Setelah wujud mereka menghilang, Theo pun melanjutkan langkahnya menuju elevator seorang diri.

Hubungan antara Theo, dengan Jane dan Duncan berubah biasa saja. Berbeda sejak awal pertemuan yang dekat. Hal ini dikarenakan curhatan Duncan kepada Theo yang mengatakan bahwa ia memiliki hati kepada Jane dalam persahabatan ketiga orang ini. Maka dari itu demi menjaga perasaan Duncan, Theo pun menjaga jarak dengan mereka berdua. Selain itu, manfaat untuk Theo ialah dapat menikmati waktu sendiri lebih banyak.

"Menjadi diri sendiri lebih baik, ketimbang harus mengikuti keinginan orang lain,"

Itulah prinsip hidup Theo.

Setibanya di dalam elevator yang sepi, Theo langsung mengetuk lantai dua di papan angka di samping kanan elevator. Hanya menunggu beberapa detik saja, elevator inipun tiba di lantai satu. Seketika harum roti bakar tercium memekakkan indera penciuman Theo yang sensitif. Beberapa langkah, dirinya bertemu dengan lokasi kantin yang cukup ramai. Mulai dari pelatih dan pemain yang memberi makanan dan minuman guna mengisi energi mereka di sore hari.

"Selamat sore, Pelatih Theo!" sapa salah satu pemain kepada Theo dengan salam tangan ke dada kanan atas.

Theo hanya tersenyum.

Beberapa pemain pun kerap menyapa dirinya setibanya di kantin. Namun Theo hanya menjawab sapaan mereka dengan segaris senyuman terpaksa di wajahnya. Ya, biar tidak terlihat sombong.

Ia pun mulai berbaris mengantre memesan makanan dan minuman. Karena ia hanya memesan roti dan minuman kemasan, ia tidak perlu mengambil nampan.

"Selamat sore, Pelatih Theo. Silakan mau pesan apa?" tanya pelayan pria separuh baya di balik Stan kantin dengan wajah ramah.

"Hari ini ada roti apa, ya?" tanya Theo.

"Oh, hari ini kami menyediakan roti Crepe Blueberry dan roti isi cokelat," jawab pria paruh baya itu.

"Saya pesan roti Crepe Blueberry satu," ucap Theo.

"Baiklah, untuk minumannya kami saat ini hanya tersedia bentuk kemasan kotak, yaitu teh apel, jus buah aprikot, dan air mineral botol," katanya.

"Teh apel enak, lho, Pelatih!" seru pria itu dengan kalimat rayuan dan meyakinkan Theo agar membeli teh apel.

"Baiklah, Teh apel satu dan air mineral satu," ucap Theo. Ia akui bahwa ia akan merasa lengah apabila seseorang membujuknya dengan rayuan makanan. "Tapi semua dibungkus ya."

"Baiklah, Pelatih," ucap pria itu. Tak lama kemudian sebungkus kertas daur ulang berwarna cokelat yang berisikan satu porsi roti Crepe Blueberry, sekotak teh apel, dan sebotol air mineral diberikan kepada Theo.

Theo pun mengambil kertas tersebut. Lalu tak lupa berkata, "Terima kasih."

"Sama-sama, selamat menikmati, Pelatih Theo!" sahutnya.

Theo tersenyum tipis. Lalu ia berbalik badan meninggalkan kantin.

Ia berjalan menuju elevator kembali. Setibanya di dalam sana, Ia mengetuk tombol 'Lantai G' yakni lantai dasar. Setibanya di sana sambil membawa kertas makanan dan minumannya, Ia berjalan menyusuri koridor gedung ditemani oleh kesunyian dan cahaya mentari sore yang merambat melalui jendela kaca transparan.

Theo melihat jam tangannya yang menunjukkan waktu telah 15.33 sore.

"Bisa lah makan setengah jam sebelum materi susulan," batinnya.

Kedua kakinya melangkah menuju taman, tempat dirinya meluapkan masalahnya dan menyendiri. Ia berniat untuk menikmati makanan dan minumannya di sana. Setibanya di taman andalannya, Ia mendorong pintu kaca transparan. Akan tetapi, tiba-tiba langkahnya terhenti

Seketika sensor penciumannya yang sensitif menangkap sesuatu yang asing.

"Seperti adanya kehadiran seseorang sebelumnya," gumamnya sambil mengernyitkan dahi.

Sensor penciumannya semakin menguat.

"Bau ini... Seperti bau...., "

Keheningan terjadi sesaat sembari Theo mendeteksi penciumannya.

"Eireen, Andrei dan Andrea ...," lanjutnya. Seketika kedua matanya membulat. "Apa yang mereka lakukan di sini?!"

Aromanya tidak terlalu kuat, seperti sudah terpaut lebih dari empat jam. Kekesalannya semakin meluap. Namun hal itupun telah terjadi, tidak bisa diputar-balikan.

"Ya, lagipula mereka tidak tahu peraturan dan etika masuk ke taman ini," lanjutnya dalam batin.

Theo pun menghela napas panjang meluapkan kekesalannya.

"Baiklah, aku harus mengisi energiku sebelum memberikan mereka materi susulan," batinnya yang berusaha memaklumi. Ia melanjutkan langkahnya menuju teras kayu menghadap aneka tanaman segar.

"Temani aku, ya, Tiki!" ucapnya saat dirinya berhadapan dengan tanaman bunga matahari yang menjulang ceria dengan sebuah foto tua menampilkan bocah lelaki tersenyum riang sambil memegang ikan trout.

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts