webnovel

Pendakian dimulai, sampai bertemu di pos bayangan!

Rombongan peserta kemah beserta para guru, sampai di pintu masuk Gunung Gede melalui jalur Cibodas tepat pukul 18.00 WIB. Mereka segera turun dari bis dan menurunkan tas mereka dari bagasi bis. Panitia pun saling membantu memastikan tidak ada barang yang tertinggal di bis. Hal ini dilakukan, karena bis mereka akan kembali pulang dan akan menjemput mereka kembali di hari Minggu. Saat mereka menyelesaikan kegiatan pendakian dan perkemahan ini. Para guru, segera memberi komando bagi para peserta untuk berkumpul di mushola terdekat. Setelah itu, mereka melaksanakan sholat maghrib bersama dan sejenak meluruskan badan dan mengistirahatkan kaki mereka. Pendakian mereka akan dimulai tepat ba'da isya.

**

Para peserta sangat bersemangat untuk memulai pendakian. Pak Gunawan mengumpulkan para muridnya yang juga menjadi peserta pendakian, kemudian meletakkan tangannya di tengah. Memberi komando untuk para peserta juga melakukan hal yang sama.

"Kita mulai pendakian kita kali ini. Bismillah semoga semuanya berjalan lancar dan aman. Pecinta Alam SEMESTA!" teriakan Pak Gunawan, disambut oleh para peserta.

"Optimis dan pantang menyerah!" sorak suara para peserta membuat bulu kuduk Amira berdiri dan memacu adrenalinnya.

Barisan sesuai kelompok dan formasi pun mulai berjalan beriringan memasuki pintu masuk pendakian. Amira, Kiki, Pak Deden dan Gusti berada di posisi terdepan. Memastikan dan menjadi pemandu pendakian bagi para peserta. Di posisi tengah, Bu Yuni dan Bu Ina memastikan kondisi peserta selama dalam pendakian. Di barisan paling belakang, Pak Gunawan, Hafizh, Soni, Pandu dan Arik, bertugas mengawasi peserta pendakian yang tertinggal di belakang. Pukul 19.35 WIB, perjalanan mereka dimulai. Ada beberapa pendaki yang memulai pendakian bersama mereka. Tiba-tiba terdengar suara geluduk dari langit. Pak Gunawan segera menengadahkan kepalanya ke atas. Bibirnya langsung berkomat-kamit melantunkan doa dengan khusyu. Kemudian, ia kembali melangkahkan kakinya, meneruskan pendakian.

**

Hafizh melirik jam tangan hitam anti air miliknya, saat gerimis mulai menyentuh kulit tangannya. Pukul 20.55, seharusnya mereka sudah sampai di pos pertama. Hafizh dan Gusti yang pernah melakukan survei waktu pendakian, sudah memperkirakan timing pendakian mereka. Jalanan yang agak licin ditambah lagi jumlah rombongan yang cukup banyak, menjadi asumsi alasan keterlambatan pendakian ini. Ia mulai resah, mengingat tiga perempat dari jumlah peserta adalah perempuan.

"Pak Gun, kalau ternyata kita belum sampai ke pos pertama saat hujan turun, kita buka tenda di lahan seadanya, gimana, Pak?" Pak Gun, panggilan dari Pak Gunawan, terdiam mendengar pendapat Hafizh.

"Iya saya setuju sama kamu. Kamu ingat di dekat sini ada area lumayan besar buat kita buka tenda?" Pak Gun bertanya kembali untuk memastikan kepada Hafizh. Hafizh mengangguk.

"Baik, saya bicara sama tim Alpha dulu." Pak Gunawan segera mengeluarkan walkie talkie dari saku bajunya.

"Tim Alpha, masuk!" Pak Gunawan mendekatkan bibirnya ke arah walkie talkie.

"Iya, gimana tim Charlie!" jawab Pak Deden.

"Hujan mulai turun. Hafizh bilang ada area kosong untuk kita buka tenda. Kurang lebih sepuluh menit lagi sampai di situ. Bagaimana?" Pak Gunawan, Hafizh dan tim Charlie lainnya, menunggu jawaban tim Alpha. Sejenak mereka terdiam. Baik tim Alpha dan tim Charlie.

"Tim Beta setuju! Ada beberapa anak disini yang juga mulai kesemutan kakinya." Mendengar itu, Tim Alpha segera bersuara dari speaker walkie talkie.

"Baik, Gusti akan mengarahkan ke area itu. Terimakasih." Pak Deden pun menutup pembicaraan itu dan memberi komando supaya rombongan berusaha untuk mempercepat langkahnya.

**

Para peserta segera membuka tenda mereka dan merangkainya saat mereka sampai di area yang menjadi tempat mereka beristirahat sementara. Mereka berlomba dengan rintik hujan yang makin lama membawa pasukannya dari langit. Amira tengah sibuk mengabsen dan mengawasi peserta. Khawatir ada yang tertinggal dari belakang.

"Tim Charlie dan kelompok tiga belum sampai. Posisi aman?" ucapnya dari walkie talkie.

"Lapor, Ella dari kelompok tiga, kakinya kram. Jadi harus dipapah." suara Pak Gunawan terdengar khawatir.

"Baik, mohon laporannya kalau butuh bantuan." Amira segera kembali mengabsen para peserta dan memastikan kondisi mereka.

"Tenang, Ra, insyaAllah Hafizh tahu harus gimana." Gusti berbisik ke telinga kanan Amira yang daritadi memasang raut serius dengan mata waspada. Menunggu mereka yang belum sampai di pos darurat itu.

"Hujan udah mulai deras soalnya, Gus. Gimana enggak khawatir." Amira kembali mengarahkan matanya kesana dan kemari, menunggu ketidakpastian kedatangan teman-temannya yang lain. Akhirnya Gusti pun mengikuti gerakan Amira. Menemani temannya yang sedang tak karuan.

"Lu enggak usah ikutin gerakan gue, Gusti!" Gusti pun terkekeh. Tak lama setelah itu, rombongan kelompok tiga dan tim panitia datang dari arah yang sama saat mereka datang. Terlihat olehnya, Ella dipapah oleh satu teman sekelompoknya di sebelah kiri dan Soni di sebelah kanan.

"Hafizh mana Pak Gun?" suara Amira mengagetkan Pak Gun.

"Loh, tadi dia ada di belakang saya kok. Ditunggu aja, Ra, mungkin tali sepatunya lepas tadi." Pak Gun pun segera membantu Ella dan segera melaporkan kedatangannya kepada rekan gurunya yang lain.

Benar apa kata Pak Gunawan, Hafizh muncul dari gelapnya hutan dengan barang bawaannya yang cukup banyak. Bagaimana tidak? Ia juga membawakan tas milik Soni yang isinya, bahkan lebih banyak dari tas miliknya sendiri. Amira segera menghela napas lega.

"Lama lu, Fizh, Amira daritadi nungguin 'tuh." Gusti menggoda temannya yang pendiam itu. Hafizh tersenyum simpul. Amira berdeham.

"Pak, mohon maaf nih, tugas panitia emang ngapain?" ucap Amira yang mengundang tawa mereka bertiga. Ketiganya pun menuju ke tenda masing-masing segera setelah hujan semakin deras dan kilat saling menyambar satu dengan yang lainnya.

**

Di tendanya, Hafizh masih terjaga dengan handphone dalam genggaman. Tangannya masih lincah mengetikkan huruf demi huruf yang terangkai menjadi kalimat. Ia dan ibunya tengah bertanya kabar malam itu.

"Kamu hati-hati ya, Fizh. Berdoa terus." Hafizh pun tersenyum simpul melihat pesan dari ibunya. Hafizh membalasnya dan segera mematikan handphone-nya saat ia lihat jam di layar handphone menunjukkan pukul 23.13 WIB. Perlahan, ia memejamkan matanya. Mengistirahatkan sendi-sendi dan otot-otot yang seharian ini bekerja. Dalam angannya, sekilas, wajah manis Amira, terlintas dalam pikirannya. Ia bahkan tidak membayangkan apapun tentang temannya itu. Hafizh pun segera menepuk pipinya, menyadarkan diri dan lamunan malamnya. Segera ia ulang gerakan memejamkan matanya. Ia pun tertidur pulas seperti putri tidur.

Amira masih tak jengah menatap layar handphonenya saat semua penghuni di tendanya, sudah tertidur pulas. Ia menunggu ibunya menelepon lagi. Tadi sore, saat Amira di bis, ibunya memang sempat meneleponnya dan mendoakannya untuk berhati-hati selama kegiatan pendakiannya. Jam di handphone-nya sudah menunjukkan pukul 23.30. Tepat setengah jam sebelum tengah malam.

"Ibu pasti sudah tidur." Amira pun segera mematikkan handphone-nya. Sejenak ia menatap langit-langit tenda. Menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Besok pagi, ia akan memulai hari yang baru.

Pendakian dimulai. Amira dan teman-teman pantang menyerah dan bekerja sama agar semuanya selamat. Hafizh pun tak pernah hilang dari rombongan. Dimana ada yang butuh, disianalah ia berada. Namun, cuaca hujan dan petir yang menggelegar, mengharuskan mereka menghentikkan pendakian untuk sementara.

Nindita_Wardanicreators' thoughts