webnovel

Cinta 20 Hari

Terhitung sampai hari ini dua bulan sudah Dimas tak mengunjunginya. Sepi ketika rindu menggerogoti hati. Ratusan chat tak pernah dibalas. Begitu juga dengan telepon dan video call. Disaat kebanyakan orang bahagia dengan lahirnya anak pertama tapi berbeda dengan perasaan Rahma saat ini.

Rahma menginginkan disaat Syifa menangis ada yang membantunya menggendong, mengganti popok atau hanya sekadar menunggu ayunan.

Dan ia juga rindu pemilik bibir merah itu. Dimas. Pulanglah.

***

Assalamualaikum.

Rahma tak sabar menuju pintu berharap yang datang adalah orang yang ia tunggu- tunggu selama ini.

Sebelumnya ia telah merapikan rambutnya, lalu mengenakan kerudung instan berwarna merah muda. Sedikit mengoles pemerah bibir, lalu membuat shading di pipi. Ia juga mengenakan pakaian terbaiknya.

Pintu dibuka. Rahma langsung menubruk pria di depannya. Mendekap lama. Tak terasa air matanya mengalir deras.

"Kemana saja kamu selama ini, aku rindu," ucap Rahma pelan.

Tak ada jawaban.

Syifa sekarang sudah bisa tiarap, aku bangga mempunyai anak darimu. Ia sungguh hebat, perkembangannya sangat cepat.

Masih tak ada jawaban, hingga ia merasa itu bukan Dimas. Ia dapat mengenali dari bau parfum yang dipakai lelaki itu. Aroma tubuh mantan yang pernah disayanginya.

"Da ... Danu. Maafkan aku," ucap Rahma seraya melangkah mundur.

Wajah Rahma memerah. Malu bercampur kecewa.

"Tak apa. Aku kesini bersama Dimas dan Yanti. Katanya ada yang ingin dibicarakan," ucap Danu seraya menundukkan wajah.

Dekapan Rahma selama lima menit tadi membuat jantungnya berdebar. Ah ... andai waktu bisa diulang. Takkan ia melepas Rahma untuk Dimas. Menyesal kemudian tak da guna.

Kedua sejoli itu keluar dari mobil lalu berjalan berdampingan.

"Hai, lama tak berjumpa, aku di depan pintu saja. Nanti aku langsung gatal- gatal kalau ikutan masuk. Kulitku kan sensitif," ucap Yanti sembari tersenyum ke arah Dimas.

Wanita itu memakai wedges setinggi 3 senti. Dressnya berwarna biru muda senada dengan warna biru langit siang itu. Kelima jari kukunya memakai cat kuku berwarna hitam. Begitu juga dengan rambutnya yang kini pirang berkilat tertimpa sinar matahari.

Di sampingnya Dimas tampak mengenakan kaca mata hitam dengan kaos bermotif zebra dan celana pendek selutut. Setelah diteliti ada sedikit perbedaan di tubuh Dimas. Tato terukir jelas di lengan kanannya.

Yanti, nama itu terpampang nyata dengan ukiran berbentuk hati di huruf I. Kemudian terdapat tindikan di telinga dan ia memakai anting magnet berwarna hitam.

"Dimas, kau kah itu?" tanya Rahma takjub. Antara percaya dan tidak. Cubit aku. Apakah aku bermimpi?

Dimas tak menoleh sedikit pun, ia langsung meraih tangan Rahma dan menariknya masuk. Cengkeramannya sangat kuat.

"Lepaskan," ucap Rahma berontak mengigit tangan Dimas.

"Aku kangen tubuhmu," ucap Dimas menarik Rahma dalam pelukannya.

"Kau bukan Dimas yang kukenal ! Mana Dimasku ... mana !" teriak Rahma.

"Dimasmu telah mati. Jangan ingat dia lagi," jawab Dimas tak kalah nyaring.

Dimas menggendong Rahma ke ranjang dengan paksa. Ia mulai melepaskan kerudung Rahma dengan bengisnya. Bajunya pun dibuka hampir separuh.

"Jangan coba melawan ! Aku hanya ingin tubuhmu tidak lebih," ucap Dimas bagai serigala kelaparan.

Sepuluh menit berlalu dengan teriakan dan desahan. Danu hanya terdiam terpaku di depan pintu. Apa mau dikata? Rahma masih istri sah Dimas. Sementara Yanti menggedor pintu tak sabar.

***

"Sudah cukup. Kamu kutalak 1 dan Syifa ... biar aku dan Yanti merawatnya," ucap Dimas seraya membenarkan kancing bajunya.

"Kamu tega, Dim! Dia masih perlu asi. Please, Dim. Kumohon," ucap Rahma mengiba seraya mengenakan jilbabnya lagi.

"Syifa akan hidup enak bersamaku. Aku bisa membelikan sofur untuknya. Dia tak akan bisa bertahan hidup di rumah reyot begini. Kumuh, bau!" bentak Dimas.

"Sudahlah. Terima saja ! Dengan begini kamu lebih mudah mencari laki-laki lain, atau mau balikan sama Danu juga bisa," tambah Yanti menyahut dari ruang tamu. Ruangan itu hanya bersekat anyaman bambu jadi terdengar jelas percakapan mereka.

Dimas keluar kamar dengan wajah berseri- seri. Seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. Diiringi dengan Rahma yang berjalan tertatih. Ia menghampiri Yanti lalu ....

Plaaaak !

Sebuah tamparan mendarat di pipi Yanti. Emosi Rahma tak terbendung. Wajahnya yang sayu berubah merah, ia lupa sudah menampar istri seorang anak kepala desa.

"Beraninya kau ...!" hardik Dimas seraya menarik lengan Rahma hingga perempuan itu terjatuh ke lantai.

Rahma ....

Danu yang sejak tadi hanya berdiri di samping pintu dan melihat drama ini refleks membantu Rahma bangkit berdiri.

"Cukup, Dim. Cukup! Tujuanmu sudah kesampaian kan? Ayo kita pulang," ucap Danu seraya melangkah keluar lalu menghidupkan mesin mobil.

"Maafkan aku tak bisa membantumu," Rahma, batin Danu.

"Beri aku waktu satu bulan. Hanya satu bulan. Setelah itu aku ikhlas dilepaskan ataupun dicerai," ucap Rahma memohon di kaki Yanti.

"Oke. Satu bulan," jawab Yanti menyanggupi.

"Memangnya ia bisa apa? Dimas sudah bertekuk lutut di kakiku," batin Yanti.

"Tapi Dimas harus tinggal di sini, Cuma satu bulan. Setelah itu Dimas untukmu selamanya," pinta Rahma.

"Oke. Mulai besok ya," ucap Yanti lalu menarik lengan Dimas dan melengos pergi.

***

Rahma memandangi surat perceraian yang tergeletak di meja. Ia enggan menanda tangani. Kemudian pandangannya beralih ke sebuah ayunan.

Kain ayunan itu terbuat dari sarung Abah yang diikatnya dengan dua buah tali di tengah ruangan.

Surah Alfatihah meluncur deras di mulutnya seketika ia terkenang Abah. Air matanya mulai menghangat.

Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan menangis lagi. Mungkin nasibku tidak seberuntung mereka yang menjadi isteri kedua. Tapi inilah takdirku.

***

Teeet ... teet.

Bunyi klakson mobil Dimas. Sesuai perjanjian ia akan tinggal di rumah itu selama 30 hari ke depan. Matahari seakan enggan menunjukkan sinarnya. Di balik rimbun pohon bambu Dimas memakirkan mobilnya.

"Apa yang akan aku lakukan di sini? Sisa 29 hari lagi ya," tanya Dimas bersemangat.

"Masuklah dulu. Nanti kuberi tau," jawab Rahma tersenyum.

Dimas masuk lalu duduk di sofa usang. Ia seperti teringat masa lalu. Seperti de ja vu. Sekelebat bayangannya dulu saat bercengkerama dengan Rahma. Tapi ia tak begitu menghiraukannya.

"Sarapan dulu, ya."

Dua piring nasi hangat terhidang di meja. Di piring lain ada osengan kangkung dan telor dadar beserta kopi hitam.

"Aku sudah kenyang makan burger buatan Yanti, jadi jangan sok ngingetin masa lalu! Basi tau nggak!" ucap Dimas kasar.

"Bukan begitu, kamu harus makan banyak agar bisa membantuku memetik daun sop di tempat Budeji," ucap Rahma santai.

"Daun sop? Maksudmu aku kesini mau di bikin jadi babu? Hah mending aku tagihan ama Yanti. Dapet duit bisa happy," jawab Dimas kesal.

"Ini juga bakal dapat duit, koq! Ayolah, tinggal 29 hari lagi. Bisa dong. Plisss," ucap Rahma seraya memohon.

Akhirnya Dimas luluh juga. Ia mulai menyuap nasi ke mulutnya. Tiada suara. Hening hingga makanannya habis.

***

Syifa terbangun dari tidurnya. Dengan sigap Rahma menggendongnya lalu pergi ke kebun daun seledri yang tak jauh dari rumahnya. Selama bekerja Rahma menitipkan Syifa di rumah Budeji.

Satu per satu daun seledri di patah dari pangkalnya lalu di ikat per 20 helai yang di hargai seribu rupiah.

Dari sana Rahma mendapat upah 30.000 rupiah per 100 ikat.

"Kok kamu mau kerja kotor-kotoran begini?" tanya Dimas seraya mengikat daun yang ada di hadapannya.

"Beginilah aku mencari uang untuk Syifa. Yang penting halal," ucap Rahma.

"Aku selalu mengirimimu uang, apa tidak sampai? Atau kamu menolaknya?" tanya Dimas heran.

"Tak pernah sampai sekalipun, Ya sudah, jangan dipikirkan yang penting itu kedatanganmu, bukan uangnya," jawab Rahma tanpa menoleh.

Dimas tertegun. Dadanya terasa sesak. Ternyata debaran itu masih ada.

***

"Bisa hangatkan Asi buat Syifa ? Tolonglah, aku mau salat sebentar," ucap Rahma.

"Baiklah, sisa 27 hari lagi, ya."

"Sesekali boleh dong, dibikinkan susu sama Ayah, ya kan, De?" ucap Rahma sembari menaruh Syifa di ranjang.

Selama tiga hari Dimas tinggal di situ, tak pernah terdengar sekali pun jerit tangis Syifa. Mungkin ia senang melihat Ayah dan Ibunya serumah.

***

"Tolong gantikan pampersnya, aku mau beli beras," ucap Rahma.

"Aku nggak bisa, aku nggak paham," jawab Dimas tanpa basa- basi.

"Ikuti saja petunjuknya di luar kemasan," jawab Rahma sembari menutup pintu.

Tapi ia kembali membuka pintu itu sedikit untuk mengintip,nampak Dimas menggantikan popok Syifa. Pria itu terlihat ingin muntah ketika tahu banyak sekali pup nya Syifa. Rahma tersenyum sumringah.

"Bersabarlah Dim, sisa 25 hari lagi," batin Rahma.

***

"Kok belum tidur?" tanya Dimas sewaktu melihat Rahma masih mengoyang- goyang ayunan.

"Badannya hangat, sepertinya Syifa pilek," jawab Rahma.

"Ya sudah, biar aku yang menidurkannya. Kamu tidur sana ke kamar," usir Dimas mengambil alih ayunan.

Rahma tersenyum. Ia enggan ke kamar. Ia tak ingin melewatkan momentum langka itu. Perempuan itu malah tertidur di sofa usang dekat ayunan. Sejam berlalu Syifa sudah tertidur. Dipindahkannya Syifa ke ranjang.

Sejenak Dimas ragu untuk membangunkan Rahma. Beberapa kali ia menjawil lengan perempuan itu hingga habis kesabarannya.

Dimas menggendong Rahma ke kamar. Debaran itu datang lagi. Sesak. Rahma malah merapatkan pelukannya di leher Dimas.

"Jangan macam- macam kalau tak mau kujatuhkan," ancam Dimas.

"Bersabarlah, sisa 20 hari lagi," ucap Rahma berbisik di telinga Dimas seraya melepaskan pelukannya.

***

Mengganti popok, memanaskan asi, membantu mengikat daun seledri, mengajak Syifa main sudah menjadi pekerjaan Dimas. Ia tampak terbiasa. Tapi satu permintaan Rahma yang sangat ia susah lakukan yaitu menjadi Imam di setiap salat lima waktu.

Pernah juga Rahma meminta Dimas melepas antingnya dan menghapus tato. Tapi tak kunjung jua ia laksanakan.

"Ya sudah, lepas gelang benang hitam itu saja," pinta Rahma menunjuk gelang di kaki Dimas.

Dan Dimas melakukannya. Nampak wajah Dimas yang dulu kelam kini sedikit bercahaya. Apakah itu perbuatan Yanti?

Akankah cinta tumbuh di sisa waktu hanya 20 hari?