webnovel

Bab 13. Perubahan Dimas

Derap langkah Dimas terhenti, seketika membeku disaat melihat Danu sedang mengumandangkan azan di telinga bayi kecil yang masih merah. Di ruangan yang serba putih itu Danu nampak gembira. Seakan bayi yang di gendong adalah anaknya terlihat ia sangat hati- hati ketika meletakan bayi itu di box.

Seiring azan selesai, jatuhlah air mata Dimas. Dia ragu ingin masuk, ketika tangannya sudah memegang grendel pintu. Rasa bersalah, takut tak di terima, menyesal, berkecamuk jadi satu di pikirannya.

Tapi sampai kapan begini? Dimas harus melakukan sesuatu. Bukan hanya berdamai dengan pikirannya tapi juga dengan kenyataan.

Perlahan pintu terbuka.

"Mau sampai kapan kamu di situ? Masuklah! Bayimu sedang mencari ayahnya. Jagalah Rahma, biar aku saja yang mengurus Pak Bayu,"ucap Danu.

Dimas refleks merangkul Danu lalu mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama,"ucap Danu seraya menutup pintu lalu pergi.

Dimas tertegun memandangi wajah Rahma yang baru siuman. Gurat kesedihan sangat nampak di wajah istri keduanya itu. Ia langsung mendekap tubuh Rahma.

Maafkan aku melukis luka, membuatmu bersedih. Mengundang air mata. Cinta, tak mengapa kau marah. Tapi satu kupinta jangan kau usaikan kita.

Lagi. Air mata Dimas menetes. Tatkala tangannya memegang pipi Rahma. Hidung mereka bertemu. Meniadakan jarak. Tetesan bening jatuh di pipi Rahma.

Rahma enggan membuka mata. Dirasakannya hangat embusan napas Dimas. Lalu suara hidung berair yang mulai berisik. Nampak Dimas sangat menyesali perbuatannya.

"Aku akan memberinya nama Syifa artinya obat ataupun penyembuh. Dialah yang menemaniku selama ini agar tidak sekarat dalam kerinduan,"ucap Rahma pelan.

"Maafkan aku."

Kata itu yang diucapkan Dimas berulangkali. Kini mereka larut dalam kerinduan walaupun rasa canggung itu menyergap hati mereka masing-masing.

Bayi merah itu terlahir mirip Dimas, dengan mata coklat dan rambut bergelombang. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Assalamualaikum, Syifa. Selamat datang ....

***

Tanah pekuburan itu masih basah tatkala Yanti menaburkan bunga kamboja di atasnya. Nisan yang bertuliskan Bayu Wiryawan membuat hatinya remuk.

Hilang sudah sosok yang melindunginya selama ini. Tempat ia berkeluh kesah tentang kelakuan Dimas.

"Semua ini karena Rahma, Pah. Sebab ia tak mau melepaskan Dimas. Sebab ia tak mau di cerai. Sebab ia pula Papah terbaring di sini karena berita yang kusampaikan. Bukan aku, Pah. Tapi Rahma,"ucap Yanti sembari menangis sesegukan.

"Aku berjanji, kalau aku tak bisa memiliki Dimas. Maka ia juga. Apapun akan kulakukan agar Dimas menjadi miliku lagi, Dimas hanya milikku,"ucap Yanti lagi.

"Untuk apa kau lakukan itu. Lepas kalau tak sanggup. Pertahankan dan bersabar demi kebaikan bersama kalau kau mau dapat pahala,"ucap Danu yang masih berdiri tegap dengan tangan berlipat di dada tepat di belakang Yanti.

Yanti menoleh ke arah asal suara.

"Tak ada wanita yang mau diduakan cintanya, Danu. Poligami itu nggak mudah. Aku bukan istri nabi yang sabarnya bak gunung Himalaya. Aku hanya perempuan yang baru sadar bahwa aku gila. Gila akan cintanya Dimas,"ucap Yanti memukul-mukul dada Danu.

"Berhenti, aku bukan Danu yang dulu. Yang seenaknya kau panggil kapan saja. Jaga jarakmu agar tak ada fitnah di antara kita,"ucap Danu seraya menurunkan tangan Yanti.

"Cepat ke mobil. Bu Siti telah menunggu."

"Oh... Sombong sekali! terakhir kita melakukannya di hotel waktu ulang tahunku. Apa kau sudah lupa? Aku yakin kau juga tak ikhlas kalau cintamu direbut. Bagaimana kalau kita bekerja sama untuk memisahkan mereka?" tanya Yanti antusias.

"Tubuh Rahma lebih menggoda dari pada Lilis dan ... lebih menantang,"hasut Yanti.

Pikiran Danu melayang. Membangkitkan seribu kenangan dan dosa lamanya. Ia mengucap istighfar.

"Aku bahagia ketika Rahma bahagia walaupun tak bersamaku. Hapus air matamu Yanti. Untuk apa menangisi dia yang tak pernah menangisimu!"ucap Danu merasa Iba akan ide Yanti yang bodoh itu.

"Bagaimana aku bisa lupa kejadian malam itu. Kaki ini adalah bukti bahwa Allah masih menyayangiku. Kita masih diselamatkan agar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa naas itu,"ucap Danu lagi.

Senja terlihat lebih muram. Danu dan Yanti berjalan beriringan menuju mobil yang tak berhenti berbunyi klaksonnya karena dipencet Bu Siti.

***

"Bi, kamu punya hubungan apa dengan Mbak Yanti ?"

"Tidak ada," jawab Danu cepat.

"Terus maksud dia chat beginian, apaan?"ucap Lilis seraya menyodorkan ponsel suaminya.

"Datangi aku malam ini, aku kangen aroma tubuhmu."

"Jangan dipikirkan, paling Yanti salah kirim,;" ucap Danu tenang.

"Tapi, Bi ...."

"Husst. Aku hanya mencintaimu, percayalah," ucap Danu menenangkan istrinya.

***

Mata panda, rambut yang tak terurus di tambah suara Syifa yang tak berhenti menangis.

Aaaarggggh ....

Dia tak menarik lagi. Kenapa? Kenapa? Yanti lebih asyik untuk dikunjungi.

Malam itu penampilan Yanti sangat memesona, dengan lingerie berwarna merah muda transparan hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Tuhan, berkat Yanti 40 hari berlalu dengan aman hingga kini. Tak terpikirkan betapa repotnya Rahma mengurus Syifa sendirian.

Desahan Yanti kini terdengar lebih memikat, nikmat dunia. Bahkan ia lebih manja. Akankan nafsu mengalahkan segalanya?

"Malam ini kamu hebat, Sayang,"ucap Dimas.

"Apa pun itu hanya untukmu,"ucap Yanti sembari menarik selimut hingga ke dadanya.

***

Jam berdentang dua kali. Rahma masih terjaga. Derit papan kayu berulang-ulang mengiringi langkahnya dalam rangka menidurkan Syifa kecil. Ia kembali tinggal di rumah Abah. Hanya seminggu ia bertahan di rumah Ibu mertua pasca melahirkan, berharap Ibu Dimas mau membantu ia menjaga Syifa. Tapi nihil, perempuan berjilbab itu lebih fokus menyapu pohon ketapang dari pada mengurus cucunya, dan yang paling menyakitkan disaat ia memecahkan vas bunga kesayangan mertuanya.

"Maaf, Bu. Aku tidak sengaja. Kepalaku tiba-tiba sakit,"ucap Rahma sembari memegang kepalanya yang berdenyut. Anemia yang dideritanya kambuh karena kurang tidur.

"Lebih baik kamu pulang saja ke kampungmu, perbuatanmu membuat darah tinggiku kumat. Itu vas mahal yang kubeli waktu di mekah,"ucapnya dengan mata melotot.

"Aku minta maaf, Bu."

"Pulang saja, ya. Bawa anakmu yang cerewet itu. Aku tambah yakin kalau itu bukan anaknya Dimas. Benar yang di katakan Yanti. Bisa saja itu anak Danu. Udah nangisnya kencang, sekarang kok agak hitam. Enggak sedikit pun mirip Dimas."

"Istighfar, Bu. Ibu tidak berhak menilai seseorang hanya melihat masa lalunya,"ucap Rahma seraya menyeka air matanya yang tak terbendung.

"Ini terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di sini. Terima kasih untuk kenangan indah yang tak akan pernah terulang lagi,"batin Rahma seraya memandangi jembatan gantung di depannya.

Dua buah tas besar dan sebuah kelambu bayi menemani perjalanannya di dalam taksi.

***

"Yah, Kamu di mana? Susu Syifa habis.

"Yah...."

"Yah, kapan ke sini?"

"Yah, aku kangen."

Rentetan chat masuk di aplikasi Wa Dimas.

Matanya terlihat malas membaca setiap pesan dari Rahma. Sedangkan disisi lain punggung mulus Yanti lebih menggiurkan untuk dipeluk lagi.

Dimas menonaktifkan ponselnya. Ia kembali tidur dengan nyenyaknya.

Rahma menatap layar ponselnya, hanya centang biru bergaris dua tapi tak ada balasan. Awalnya tak begini, jam berapa pun Rahma mengirim pesan Dimas selalu siaga. Datang tepat waktu dibutuhkan.

Tapi akhir-akhir ini agak sedikit berubah. Dimas, engkau kah lelaki kedua yang tak kan menyakitiku setelah Abah? Atau bukan?

Di dalam doa aku meminta diberikan orang yang baik untuk pendamping hidupku? Tapi kenapa kau mulai menjauh dan ingin pergi? Apakah kau bukan yang terbaik ? Atau hanya perasaanku saja.

Di dalam doa aku juga meminta cinta kita, satu selamanya.