webnovel

Episode 01 : Zi Lan Hua Yuan (Taman Anggrek Ungu)

Zhongshan, pertengahan musim panas di tahun kuiwei.

Jalan setapak nampak sepi di siang hari itu. Suara kicauan burung terdengar riuh, tidak memedulikan kehadiran seorang anak lelaki yang mencari kayu bakar di tepian jalan. Sepasang rusa memandang ke arahnya sebentar, kemudian kembali melangkah berduaan. Seekor ular pohon merayap turun dari dahan dan si anak lelaki itu dengan santai mengusirnya dengan sebatang kayu.

Anak lelaki itu usianya paling baru tiga belas tahun. Wajahnya nampak tampan dan cerah meski ia mengenakan pakaian lusuh dan penampilannya sedikit berantakan. Kedua matanya bersinar menarik, gerak-geriknya pun mengundang perhatian. Kulitnya meski nampak kasar namun ia tidak mirip seperti anak desa biasa. Ia menggulung lengan sampai ke siku dan terlihat sebagian ototnya yang kuat, jelas sekali meski hanya anak kecil tapi sering berlatih ilmu bela diri.

Gerakan anak itu amat ringan. Diambilnya batang-batang kayu dengan lincah, sesekali meloncat ke arah pohon untuk mengambil yang sudah kering dan hampir patah, kemudian menempatkannya di dalam keranjang yang tergantung di punggungnya. Kayu yang dikumpulkan olehnya sudah cukup banyak, ia pun merasa cukup, kemudian menuruni jalan setapak dan hendak kembali ke tempat tinggalnya.

Seekor anak macan berwarna kehitaman melongok keluar dari dalam keranjang di punggungnya, tetapi agaknya tidak bisa keluar karena dalam keadaan terluka dan lemah. Si anak lelaki merasakan ada gerakan, kemudian menurunkan keranjang itu dan mengeluarkan macan kecil itu dari dalamnya. Benar saja, macan kecil itu kakinya terluka terkena perangkap pemburu dan si anak lelaki sudah membalutnya dengan kain. Darah nampak merembes keluar, menandakan luka itu belum menutup sempurna.

"Jangan takut, aku akan membawamu pulang," kata si anak lelaki pada macan kecil itu, "shifu pasti bisa membantu mengobatimu."

Suaranya kecilnya merdu meski ia adalah seorang anak lelaki. Macan kecil itu memandangnya, seakan percaya dengan kata-katanya, kemudian mendekam saja di gendongannya. Si anak lelaki kembali menggendong keranjangnya dan menuruni jalan setapak sampai menemui sebuah persimpangan.

Dilihatnya dua ekor kuda berhenti di pinggiran jalan, dua penumpangnya sibuk berdebat jalan mana yang mesti diambil. Melihat seorang anak kecil muncul disitu, dua orang itu lantas mendekat.

"Anak, apa kau tahu kemana jalan menuju Danau Xuanwu?" tanya salah seorang. "Mesti ambil jalan kiri atau kanan?"

Dua orang ini masing-masing adalah seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan, mirip satu sama lain karena mereka bersaudara. Yang seorang berbadan tinggi besar, berjenggot pendek, membawa senjata golok besar, nampaknya adalah kakaknya. Yang seorang lagi lebih kurus, wajahnya bersih dengan alis mata tidak seimbang, bersenjata pedang, nampaknya adalah adiknya. Keduanya nampak sudah kelelahan dan tangan kaki mereka penuh balutan seperti kaki si macan kecil.

Si anak lelaki menggelengkan kepala. Ia memang baru beberapa hari tiba disini bersama gurunya, tempat asal mereka dari daerah yang jauh. Dimana letak puncak gunung mungkin ia tahu, tapi dimana ada sebuah danau ia tidak tahu pasti.

"Di sekitar sini ada kampung atau desa tidak?" orang yang satu lagi, si adik, menanya dan anak lelaki itu kembali menggelengkan kepala. Ia hanya tinggal di gubug reyot dengan gurunya, tidak pernah melihat orang lain selama berada di Zhongshan ini.

"Erdi (adik kedua), anak kampung ini sepertinya agak bodoh," si kakak berkata, "lebih baik ambil jalan kanan saja, yang penting bisa menghindari si marga Ma itu dulu, urusan lain nanti saja baru dibereskan."

"Baiklah."

Mereka mengambil kuda dan langsung memacunya ke jalan yang ditunjuk. Si anak lelaki mengawasi saja. Barusan dua orang itu mengatainya sebagai anak kampung yang bodoh, ia tidak ingin ambil pusing. Gurunya sudah mengajarkan, orang yang tidak dikenal tidak ada hak memberi penilaian untuk dirinya, mau mengatakan apa anggap saja sedang buang angin. Maka ia pun kembali melanjutkan langkah dengan santai.

Tiba-tiba terdengar suara kesiur angin. Beberapa butir batu kerikil beterbangan. Si anak lelaki dengan sigap meloncat ke balik pohon besar, nyaris menjatuhkan macan kecil dalam gendongannya. Satu butir batu nyaris pula menghantam kepalanya, tetapi ia lebih dulu menunduk dengan gesit.

Suara ringkik kuda terdengar menyusul pada detik berikutnya. Si anak lelaki menoleh, disaksikannya dua penunggang kuda itu sudah jatuh tersungkur ke tanah, sementara kedua kuda mereka sudah kabur bagai terkena cambuk pantatnya. Rupanya sambaran batu-batu kerikil tadi bukan batu kerikil biasa. Gurunya pernah memberitahukan mengenai sejumlah orang yang bisa menggunakan batu kerikil sebagai senjata rahasia, bahkan bisa melukai atau membunuh orang lain.

Ia mendekap macan kecilnya dalam gendongan, menyembunyikan kepalanya agar macan kecil itu tidak bisa menyaksikan yang sedang terjadi. Dua kakak adik yang sudah jatuh dari kuda itu belum lagi bangkit berdiri, mendadak tangan dan kaki mereka sudah terjerat oleh sejumlah sulur tanaman, kemudian keduanya terseret di sepanjang jalanan setapak. Suara teriakan mereka terdengar, tapi keduanya sama sekali tidak berdaya melepaskan diri. tidak nampak pula orang yang sudah melempar batu kerikil atau menjerat mereka.

Si anak lelaki kembali menurunkan keranjangnya, kemudian meletakkan anak macannya disana, memberinya isyarat untuk diam. Kemudian ia berlari dan mengikuti dua orang lelaki yang masih terseret di jalanan itu. Golok si kakak sudah jatuh, tapi rupanya terlalu berat sehingga anak lelaki itu tidak bisa memungutnya.

Tubuh kedua orang berbelok, terseret ke dalam semak-semak sampai cukup jauh. Jelas kulit dan bahkan wajah mereka sudah tergores disana sini. Si anak lelaki terus mengikuti. Ketika pedang si adik juga jatuh dari pinggangnya, ia pun mengambilnya, kemudian mempercepat lari dan hendak menolong orang.

"Jin Shui, tidak usah ikut campur," tiba-tiba terdengar pula suara orang lain. Berikut kerah baju si anak lelaki dicekal oleh orang sehingga tidak bisa berlari lagi. Ia langsung menyadari siapa yang menangkapnya dan menjatuhkan pedang di tangan.

"Shifu," panggilnya. "Kalau tidak ditolong, mereka bisa mati."

"Mereka mati tidak ada kaitan denganmu, untuk apa peduli?"

Orang yang menangkap si anak lelaki adalah seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, jelas usianya sudah tidak muda lagi. Meski begitu wajahnya masih terlihat cerah dan segar. Pakaiannya serba putih dan bersih, hanya sebuah bungkusan kain kumal panjang di punggungnya yang tidak serasi dengan penampilannya. Barusan ia tiba-tiba muncul di belakang si anak lelaki dan mencekalnya dengan gerakan yang tepat sekali. Tindakan orang tua ini pun amat ringan, menandakan ia mempunyai ilmu ringan badan yang baik.

Dua orang yang tergantung di atas pohon sana masih berteriak-teriak. Tidak terdengar suaranya orang yang menangkap mereka, bahkan bayangannya pun tidak nampak. Sesaat itu nampak sejumlah sulur bergerak, menyambar tubuh keduanya, dan membelit dengan erat. Si adik bahkan terbelit di wajah sampai tidak bisa bersuara lagi.

Jin Shui melepaskan diri dari pegangan gurunya, kembali mengambil pedang yang tadi dijatuhkannya, kemudian melangkah ke arah dua korban itu.

"Kau masih mau menolong orang?" si kakek menegur.

"Waigong (kakek luar) mengatakan, kalau melihat orang kesusahan kita mesti menolong," sahut si bocah.

"Apa kau kenal dengan dua orang itu?" tanya si kakek lagi.

"Tidak kenal."

"Orang jahat apa juga harus ditolong?"

"Mmmm...." Jin Shui tidak tahu karena waigong-nya tidak pernah menjelaskan.

"Dua orang ini bernama Zhu Zi Fu dan Zhu Zi Xing, gelaran mereka adalah Fu Xing Dao Jian (Golok dan Pedang Bintang Keberuntungan)," sahut si kakek, "meski bukan orang jahat, tapi juga tidak terhitung sebagai orang baik. Kabarnya mereka paling suka mencari harta, sampai anak istri juga tidak dipedulikan demi kesenangan mereka itu."

"Ayahku juga meninggalkan aku dan ibuku," sahut si bocah, "tapi kalau dia dikerjai orang seperti ini, aku juga berharap ada orang yang akan menolongnya."

"Kau tidak mengenal ayahmu, jangan asal bicara!" si kakek tiba-tiba menghantamkan tangan ke arah sebuah pohon besar. Satu gelombang tenaga yang besar mengalir, membuat pohon besar itu bergoyang dan kemudian roboh.

Jin Shui mundur selangkah, langsung menutup mulut dengan sebelah tangan. Sejak kecil ia tidak mengenal ayahnya, kakek luarnya tidak pernah mengatakan ayahnya sudah meninggal, maka ia pun memperkirakan ayahnya itu sudah pergi tanpa memedulikan ia dan ibunya sama seperti ayahnya si tukang asah golok di pasar yang beberapa kali bercerita padanya. Akan tetapi setiap kali ia menyebut masalah ini di hadapan sang guru, gurunya pasti langsung memperlihatkan rasa tidak senang.

Suara tawa seseorang terdengar. Lelaki perempuan tidak jelas, yang pasti sangat memekakkan telinga. Si kakek langsung menarik muridnya menjauh, tapi Jin Shui berusaha melepaskan cekalannya.

"Masih mau menolong orang?" si kakek menanya lagi.

Jin Shui mengangguk satu kali dengan takut-takut. Rupanya ia seorang yang keras pendirian. Sudah berniat menolong, pasti tidak akan mundur lagi meski apa pun yang terjadi. Meski gurunya tidak setuju ia juga tetap ingin pergi.

"Kau tahu tidak siapa yang sedang mengerjai Fu Xing Dao Jian itu?"

Jin Shui menggeleng. Suara tawa kembali terdengar, kali ini jelas adalah suara seorang pria, jauh lebih memekakkan dari yang pertama tadi. Si kakek menggenggam erat lengan muridnya dan merebut pedang di tangannya.

"Laoer, nampaknya ada orang yang datang hendak mengganggu urusan kita para iblis Liangshan!" terdengar suara seseorang yang tidak jelas lelaki atau perempuan itu.

"Laosi, sejak kapan aku si marga Ma ini takut dengan orang? Kedua saudara Zhu ini, aku hanya ingin bermain dengan mereka, juga bukan hendak mengambil nyawa mereka. Orang lain ingin meramaikan boleh saja, nanti kita juga akan menemani mereka bermain."

"Laoer, orang bisa menghantam pohon besar sampai tumbang, sudah jelas kemampuannya tidak bisa diremehkan. Apa kau tahu siapa dia?" terdengar suara satu orang lagi. Suara ini terdengar berat dan kasar.

"Laofu bermarga Ren, hanya seorang yang kebetulan lewat," si kakek berteriak menyahut suara tiga orang yang saling bersahutan itu, "barusan sedang memberi pelajaran pada murid bandel, tidak ada niat mengganggu para pendekar Liangshan." Ia menyebut para iblis Liangshan dengan para pendekar Liangshan, jelas ingin menghindari masalah dengan mereka. Barusan jika bukan karena Jin Shui yang sudah salah bicara, ia pun tidak akan mengeluarkan suara dan membiarkan orang lain mengetahui kehadirannya.

"Marga Ren?" tanya orang ketiga tadi, yang suaranya paling kasar. "Tidak tahu Anda pendekar darimana. Aku Wang Wei belum pernah mendengar ada tokoh bermarga Ren yang ilmunya tinggi."

"Hanya seorang tua yang tinggal di gunung, meski menyebut nama juga kalian tidak akan mengenalnya," sahut si kakek lagi. "Lain hari saja baru berkenalan. Hari ini laofu ada urusan mendidik murid, mohon maaf."

Suaranya sedikit bergetar di akhirnya. Ia tidak pernah merendahkan diri di depan orang lain selama berpuluh tahun, kali ini demi menghindari orang mengenalinya bahkan mesti lekas melarikan diri, sebenarnya ia tidak rela. Tetapi nama para iblis Liangshan ini ia pun sudah pernah mendengar. Dengan kemampuannya ia tahu masih cukup mampu menolong orang. Tetapi diantara enam iblis Liangshan baru tiga orang yang hadir, tiga lainnya belum kedengaran suaranya, termasuk ketua mereka yang perempuan itu yang terkenal paling tinggi ilmunya. Jika membunuh tiga iblis yang ada disini, saudara mereka pasti tidak akan tinggal diam dan akan dengan mudah mengetahui siapa dirinya. Saat itu, sudah pasti akan ada kesulitan baru yang muncul.

Jin Shui menyaksikan tangan gurunya mengepal menahan emosi ketika menyeretnya meninggalkan tempat itu, tidak urung dia merasa takut juga. Sepanjang perjalanan sampai ke tempat ini gurunya sudah memberi pesan, tidak boleh sampai berurusan dengan orang lain. Bahkan istirahat dan tidur pun mereka lebih banyak memilih hutan atau gunung dan menghindari bertemu dengan manusia lain. Mereka sedang menghindari kejaran orang. Jin Shui masih terlalu muda untuk memahami semuanya.

Ia pertama kali mengenal gurunya ini sekitar lima tahun yang lalu. Awalnya Mo Ying (Elang Iblis), gurunya itu hanya mengajarkan padanya sejumlah teknik pernafasan dan melatih beberapa jurus sederhana untuk membela diri selama sebulan, kemudian memintanya untuk berlatih sendiri. Jin Shui sangat menyukai apa yang diajarkan olehnya, kemudian melatihnya dengan sungguh-sungguh.

Dua tahun kemudian gurunya ini datang lagi, berbicara berdua dengan kakek luar yang mengasuhnya sejak lahir itu, lama sekali. Jin Shui tidak tahu apa yang mereka bicarakan, kemudian waigong-nya mengatakan padanya, bahwa ia akan dibawa menemui ayahnya. Saat itu Jin Shui baru tahu ayahnya masih ada. Pikirannya masih kanak-kanak, tentu saja tidak paham alasan ayahnya tidak pernah datang menemui dirinya, bahkan tidak ada sedikit pun kabar ketika ibunya meninggal. Waigong-nya tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai hal ini, sampai akhir juga tidak mengatakan apa pun.

Sebelum pergi ia menyaksikan sejumlah orang berbaju hitam yang memakai penutup wajah memburu ia dan gurunya. Waigong-nya berusaha menghalangi mereka dan tewas terbunuh. Saat itu Mo Ying sempat berusaha menolong, tapi tidak berhasil. Kepada Jin Shui sang guru ini kemudian memberitahu, orang-orang itu memburunya adalah musuh ayah Jin Shui. Anak ini masih muda, saat itu ia hanya tahu ia mesti meminta penjelasan mengenai semuanya pada ayahnya yang entah berada dimana itu.

Tidak lama gurunya memberitahu, Jin Shui tidak akan bisa bertemu dengan ayahnya lagi karena sang ayah sudah meninggal. Jin Shui hanya tahu dirinya sudah tidak ada keluarga lagi, tidak ada pilihan kecuali mengikuti gurunya ini dan berharap akan mendapat penjelasan lebih lengkap mengenai asal usulnya. Tetapi Mo Ying mengatakan padanya, saatnya belum tiba. Ia hanya memberitahu, saat jurus-jurus ilmu aneh yang pernah diajarkannya bisa dikuasai sepenuhnya oleh Jin Shui, baru ia akan menceritakan semua padanya.

Sejak itu mereka mulai hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, terus menghindari pertemuan dengan orang-orang lain. Beberapa kali sejumlah orang menemukan mereka dan pernah Mo Ying terluka parah, tetapi ia tidak menyerah, berusaha tetap hidup dan mengajarkan semakin banyak padanya, memintanya menghafalkan sejumlah naskah kuno yang tidak dimengerti oleh Jin Shui. Beruntung anak ini cerdas otaknya, ia tidak kesulitan dalam menghafal, tidak mengecewakan gurunya.

Suatu hari seseorang yang tidak dikenal oleh Jin Shui menemui gurunya, menyampaikan hanya beberapa patah kata, kemudian pergi. Di hari berikutnya Mo Ying membawa Jin Shui ke Zhongshan ini, hanya mengatakan padanya bahwa mereka akan bertemu beberapa kawan. Jin Shui tahu belum saatnya bertanya karena ilmu aneh itu belum dikuasai, maka ia pun mengikuti saja.

Suara dua orang yang tergantung di pohon itu tidak terdengar lagi. Jin Shui khawatir mereka benar-benar kehilangan nyawa. Saat itu ia tidak berpikir lebih jauh, segera menggigit tangan gurunya untuk melepaskan diri. Mo Ying kaget bukan main, tidak menyangka muridnya begitu nekad.

"Lepaskan mereka!" anak itu langsung berteriak.

"Jin Shui!" Mo Ying lekas melompat untuk menangkapnya. Jarak mereka dari kedua Fu Xing Dao Jian masih cukup jauh, tentu saja tidak ada kesempatan bagi Jin Shui untuk lari sampai kesana. Mo Ying pun belum sempat bertindak apa-apa.

Dua orang yang sedang tergantung di pohon itu tiba-tiba sudah jatuh ke tanah. Sulur pengikat mereka sudah putus ditebas senjata rahasia yang bentuknya semacam lempengan. Suara ketiga iblis yang sedang mengerjai mereka tidak terdengar untuk sesaat. Mo Ying kembali menarik Jin Shui.

"Tidak perlu kau yang turun tangan, sudah ada orang lain yang menolong," katanya keras.

"Mereka terluka!" seru Jin Shui. "Shifu, lekas tolong mereka!"

Satu orang sudah hadir tidak jauh dari kedua saudara bermarga Zhu itu. Jin Shui mengenalinya sebagai orang yang pernah menemui Mo Ying dan memintanya datang ke Zhongshan ini. Orang itu adalah seorang kakek juga. Bedanya rambut dan jenggotnya semua berwarna abu-abu keperakan. Pakaiannya jubah panjang berwarna hijau gelap, di wajahnya banyak terdapat kerutan sehingga ia nampak lebih tua dari yang seharusnya.

Mo Ying menarik Jin Shui mendekat dan anak itu langsung berlari ke arah Fu Xing Dao Jian, melepaskan sulur-sulur yang mengikat mereka. Dua orang itu sudah tercekik dan kepayahan, kulit mereka tergores disana sini karena kerasnya ikatan sulur. Si adik, Zhu Zi Xing sudah tidak sadarkan diri sama sekali.

"Aku Cai Wen Nian, juga dikenal sebagai Chai Lang (Serigala Liar), salah satu dari Yumen Ba Wei Shen (Delapan Pelindung Yumen)," si kakek abu-abu berteriak pada tiga iblis Liangshan. "Terhadap para saudara dari Liangshan tidak ada dendam apa pun, hanya saja dua orang ini pernah berhutang padaku, belum dibayar mana boleh mereka mati begitu saja? Terpaksa meminjam nyawa mereka lebih dulu."

"Yumen Ba Wei Shen?" terdengar suara seruan kaget tiga orang yang masih belum kelihatan wujudnya itu.

"Juga ada aku, Xie Zhang (Tangan Darah)!" terdengar suara seruan satu orang lagi. Detik berikutnya juga hadir satu orang disitu, seorang kakek lain yang bungkuk dengan tangan panjangnya yang menyolok. Berbeda dengan dua kawannya yang nampak serius, wajah orang ini selalu tersenyum sehingga nampak tidak sesuai dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna itu.

Suara tawa anggota iblis Liangshan yang terdengar kasar itu kembali terdengar.

"Aliran kalian sudah dimusnahkan, bagus sekali jika ada san wei shen (tiga pelindung) atau ba wei shen semuanya berkumpul disini," serunya, "sebentar lagi kami akan menyaksikan kalian diburu oleh orang-orang dunia persilatan dan tewas mengenaskan sama seperti yang lain!"

"Sebelum ada orang lain datang, masih keburu untuk menyingkirkan kalian," kata si Xie Zhang dengan santai. Bersamaan ia menghantamkan tangan ke sebuah batu besar, seketika meninggalkan bekas disana meski ia tidak secara langsung menyentuh batu besar itu. Tenaga dalam yang jelas sangat hebat, Jin Shui lebih kaget lagi ketika kemudian menyaksikan batu besar itu hancur berkeping-keping.

"Nyawa kedua marga Zhu itu aku titip dulu pada kalian," terdengar pula seruan si laoer, "nanti baru bermain lagi dengan mereka!"

"Kejar!" Chai Lang menyentilkan beberapa lempengan besinya, kemudian memburu ketiga suara orang melesat pergi itu, diikuti Xie Zhang dan terakhir Mo Ying. Jin Shui tentu saja tidak bisa ikut mengejar, ia berusaha menyadarkan Zhu Zi Xing. Si kakak Zhu Zi Fu sudah duduk bersila di tanah dan berusaha memulihkan tenaga. Jin Shui pernah menyaksikan Mo Ying menyembuhkan diri dengan cara serupa, ia pun mengamatinya.

"Eh, kau sama seperti shifu," katanya.

"Kau siapa?" Zhu Zi Xing sudah tersadar dan susah payah baru bisa duduk. "Barusan, apa kau yang menolong kami?"

"Guruku yang menolong kalian," padahal barusan Mo Ying tidak ingin menolong. Kedua Fu Xing Dao Jian ini juga mengetahuinya, dalam hati mereka ada sedikit kekaguman karena si anak tidak berusaha mengambil jasa untuk diri sendiri.

"Kau ada hubungan apa dengan Yumen Ba Wei Shen?" tanya orang itu tidak lama kemudian. "Kenapa seorang anak bisa bersama mereka?"

"Aku bermarga Hua," sahut Jin Shui polos, "Mo Ying Shifu adalah guruku. Kalau yang lain, aku tidak mengenal."

"Kabar dalam dunia persilatan menyebutkan, si ketua aliran iblis itu ada seorang anak haram, sepertinya benar adanya," kata Zhu Zi Fu pula, "bahkan Ba Wei Shen sibuk melindungi dirimu. Pasti adalah perintah dari ketua mereka."

"Apa?" Jin Shui belum memahami artinya anak haram.

"Kami tidak sengaja menyinggung para iblis Liangshan," Zhu Zi Xing berkata, "laoer mereka itu terkenal suka menyiksa orang. Mereka sudah beberapa kali mengerjai kami. Hari ini jika kalian tidak menolong, kami pasti akan dikerjai lagi habis-habisan. Kami Fu Xing Dao Jian mengucapkan terima kasih."

"Kalian tahu siapa ayahku?" tanya Jin Shui. Ia tidak boleh bertanya pada Mo Ying sebelum syarat melatih ilmu aneh itu selesai, tetapi bukan berarti ia tidak boleh mendapat keterangan dari orang lain.

"Kulihat kau anak yang baik," Zhu Zi Fu berkata, "Yumen adalah aliran sesat, ketuanya juga sudah banyak membuat kejahatan. Selagi masih sempat, baiknya kau pergi dari mereka. Jangan mengikuti mereka."

"Tidak bisa," Jin Shui menggeleng, "aku sudah bersumpah, tidak boleh mengingkari."

"Urusan aliran kami tidak perlu kalian Taomei Dao Jian (Golok dan Pedang Kesialan) ikut campur!" Mo Ying tiba-tiba sudah berada disitu lagi, langsung menghadiahi masing-masing saudara marga Zhu itu dengan satu tamparan. Gerakannya sangat cepat, kedua saudara itu dan juga Jin Shui kaget bukan main.

"Shifu, waigong bilang tidak boleh menindas orang yang sedang sakit," Jin Shui berkata dengan suara tertahan, menghalangi sebelum gurunya bertindak lebih jauh.

"Kau tidak dengar barusan si marga Zhu itu mengatakan apa?" bentak gurunya. "Yumen adalah aliran sesat. Dalam dunia aliran sesat, mana ada perkataan tidak boleh menindas orang yang sedang sakit? Orang yang usil mulutnya, meski sedang sekarat juga boleh dihajar."

Jin Shui terdiam. Ia hendak membantah lagi, tetapi khawatir gurunya akan turun tangan pada kedua saudara yang sudah terluka itu. Saat Mo Ying sedang marah, ia memang bisa menghajar apa pun. Kematian orang-orang yang sudah membunuh kakeknya Jin Shui sangat mengenaskan, Jin Shui masih ingat dengan jelas.

Chai Lang dan Xie Zhang sudah hadir disitu lagi. Rupanya mereka dan juga Mo Ying tidak berhasil mengejar ketiga iblis Liangshan. Tiga iblis itu terlalu cepat kaburnya. Terlebih, Mo Ying sudah bersumpah akan melindungi Jin Shui sepenuh hati, tentu saja tidak bisa pergi meninggalkannya terlalu lama.

"Anggotanya Liangshan Liu Gui (enam kura-kura Liangshan) larinya cepat juga," Xie Zhang langsung berkata. "Liangshan Mo Tou (kepala iblis Liangshan), Wang Laosan dan si Bu Nan Bu Ni (bukan lelaki bukan perempuan) sebenarnya bukan tandingan kita, pantas mereka langsung ambil langkah seribu."

"Liangshan Mo Jun (Raja iblis Liangshan) Ma Yao Lun, Niu Mian Lao Mo (Iblis tua muka kerbau) Wang Wei dan Ci Xiong Yi Shen (Bisa perempuan bisa lelaki) Zu Ye, anggota kedua, ketiga dan keempat dari Liangshan Liu Mo (enam iblis Liangshan)," Chai Lang membetulkan, menyebut nama dan gelaran masing-masing dengan tepat. "Para anggota kelompok penjahat kejam ini memang masing-masing punya ilmu ringan badan yang bagus. Jika tidak, dengan kejahatan mereka yang sudah keterlaluan itu, mana ada kesempatan berbuat onar sampai sekarang."

"Jika bukan karena kita ba wei shen sudah punya cukup banyak masalah, kita pasti memburu mereka dan menghabisi juga tiga yang lainnya," kata Xie Zhang pula.

"Ketua sudah menurunkan perintah, kita tidak boleh berurusan dengan orang dunia persilatan baik lurus atau sesat, pendekar atau penjahat sampai tugas kita selesai, apa kalian tidak ingin mematuhi?" Mo Ying menegur mereka dengan keras sama seperti ketika barusan bicara pada muridnya.

"Disini masih ada orang luar, nanti saja baru dibicarakan," Chai Lang mengingatkan. "Kami tunggu di depan."

Ia lekas melangkah pergi diikuti Xie Zhang. Gerakan mereka begitu tenang, tapi sebentar saja sudah lenyap di balik pepohonan. Mo Ying berpaling pada Jin Shui. Muridnya itu tahu gurunya hendak membawanya pergi, tapi ia masih menghadang di depan kedua Fu Xing Dao Jian, rupanya masih cemas gurunya akan turun tangan pada mereka demi menghilangkan jejak.

"Dunia persilatan memang tahu Yumen Ba Wei Shen masih hidup dan sedang membawa anak haramnya mendiang ketua, membunuh mereka juga tidak akan mengurangi masalah," Mo Ying langsung berkata padanya.

"Shifu, kau mesti berjanji tidak akan membunuh mereka," kata Jin Shui.

"Kau ini...." Mo Ying mendesah kesal. Ia sungguh berharap anak ini tidak sedemikian baik hatinya. "Baiklah, aku berjanji tidak akan membunuh mereka sekarang," katanya. "Ayo pergi!"

"Shifu tunggu sebentar," Jin Shui kali ini tidak menunggu jawabannya, kemudian langsung berlari dan mengambil keranjang kayu bakarnya. Si macan kecil rupanya sudah tidak berada di dalam keranjang itu, sudah kabur entah kemana. Jin Shui menoleh ke belakang beberapa kali dan tidak ada melihat bayangannya.

"Buat apa lagi keranjang itu?" Mo Ying menanya padanya.

"Shifu bukannya tadi memintaku mengumpulkan kayu? Barusan aku juga ada menemukan satu anak macan yang terluka, tapi dia sudah kabur...."

"Tinggalkan saja kayu itu, sudah tidak perlu lagi. Ayo pergi!" Mo Ying tidak peduli apa yang sedang dipikirkannya, lantas menariknya meninggalkan tempat itu, menyusul Chai Lang dan Xie Zhang yang sudah cukup jauh. Mo Ying hanya melompat beberapa kali, dan sudah membawa Jin Shui menyusul mereka. Kedua saudara Fu Xing Dao Jian itu meski dalam keadaan sehat juga tidak akan bisa mengejar.

"Orang-orang dunia persilatan memburu kita para pelindung Yumen, sepertinya kita juga sudah tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi," Chai Lang berkata pada mereka, "kali ini mengadakan pertemuan di Zi Lan Hua Yuan juga demi membahas masalah dan bagaimana menyelesaikannya tanpa melanggar perintah mendiang ketua. Barusan menyebut identitas juga karena terpaksa, jika membuat keberadaan kita di sekitar tempat ini bocor keluar, nampaknya akan sulit menghindar."

Mo Ying melirik ke arah Jin Shui. Barusan jika bukan karena muridnya ini yang bersikeras hendak menyelamatkan orang asing, Chai Lang dan Xie Zhang juga tidak perlu muncul dan menyebut identitas secara terang-terangan.

"Aku sudah bosan bersembunyi," kata Xie Zhang dengan gaya tetap santai, "makin cepat urusan diselesaikan makin baik. Setelah itu aku akan dengan senang hati membunuh orang yang sudah mencari masalah dengan aliran kita untuk membalas dendam saudara-saudara kita. Menghabisi semakin banyak semakin baik."

"Jika bukan karena perintah mendiang ketua, aku pun tidak suka jadi kura-kura pengecut dan terus menghindar seperti ini," tambah Mo Ying. "Tetapi tugas yang diberikan pada kita sangat berat, mana bisa menyelesaikannya jika mati cepat? Shui Yao (Siluman Air) itu ada akal apa?" ia bertanya pada Chai Lang.

"Kalau disuruh memalsukan kematian, aku tidak ikut," kata Xie Zhang, "aku si tangan darah hidup ya hidup, mati ya mati. Pura-pura mati padahal hidup sambil bersembunyi, sama sekali tidak sesuai dengan prinsipku."

"Memalsukan kematian bukan urusan besar," suara seorang lain menyahut kata-katanya. "Aku Bai Gu (Tulang Putih), hidup atau mati tidak ada beda. Orang melihatku juga akan mengira melihat setan."

Jin Shui menyaksikan sesosok tubuh lelaki tua bertengger di atas sebatang pohon tidak jauh di depan mereka. Tubuh itu terbalut kain putih panjang, keadaannya kurus seperti tinggal tulang dan wajahnya pun tirus serta kaku seperti mayat yang sudah diberi obat pengawet. Ia bertengger di pohon seperti tergantung disana, orang yang tidak mendengar suaranya duluan pasti mengira ia orang yang sudah mati, yang mendengar suaranya duluan pun akan mengira bertemu setan. Pantas saja sosok ini menyebut diri sebagai si tulang putih. Memang ia seperti seonggok tulang.

Hari ini Jin Shui baru mengetahui bahwa gurunya, Mo Ying merupakan satu dari delapan pelindung Yumen. Apa itu Yumen ia juga belum paham. Disini sudah hadir empat orang, artinya masih ada empat lain yang akan dilihatnya. Mo Ying dan Chai Lang meski namanya sedikit tidak enak didengar tetapi bentuknya masih mirip manusia. Si Xie Zhang itu saja wujudnya sudah aneh, Bai Gu ini lebih mengerikan lagi. Entah empat lainnya seperti apa.

"Kau setan tulang putih sudah melatih ilmu setan apalagi, hidup tidak matipun belum seperti ini?" Xie Zhang langsung bertanya pada orang yang baru saja muncul itu. Agaknya ketika terakhir kali bertemu, wujud si tulang putih belum begitu mengerikan.

"Kau bukannya menunggu di Zi Lan Hua Yuan malah menakuti orang disini," kata Mo Ying padanya.

"Di Zi Lan Hua Yuan belum ada orang, kesana pagi-pagi juga percuma," si tulang putih tidak menjawab pertanyaan Xie Zhang.

"Belum ada orang?" tanya Xie Zhang pula, "apa yang lain mendapat halangan sehingga tidak bisa sampai kesana?"

"Yumen Ba Wei Shen sudah berjanji akan berkumpul disana, mana boleh ingkar?" tanya Mo Ying. "Tanggal delapan adalah esok hari, baiknya kita lekas kesana."

Para pelindung Yumen mengatakan akan berkumpul di sebuah taman bunga anggrek, tetapi kenyataannya Jin Shui tidak dibawa ke sebuah taman, malahan ia tidak melihat satu kuntum bunga anggrek pun di sekitarnya. Yang ada hanya tepian Danau Xuanwu yang dipenuhi ilalang, gelap dan nampak suram di malam hari.

Di tepian danau itu ada sebuah rakit. Seseorang sudah menunggu disana. Ketika Mo Ying menarik Jin Shui ke atas rakit itu, Chai Lang, Xie Zhang dan Bai Gu sudah lenyap entah kemana. Jin Shui menoleh ke kanan kiri dan ketiga orang itu bahkan bayangannya pun sudah tidak ada.

"Shifu, mereka...."

"Mereka menjemput orang, sebentar lagi juga kembali."

Jin Shui tidak bertanya. Rakit yang dinaikinya tiba-tiba bergoyang sedikit. Mereka sudah berada di tengah danau. Si pengayuh rakit itu tidak menjalankan rakitnya dengan mengayuh karena Mo Ying sudah mendorongnya dengan tenaga dalam, makanya membuat air sedikit bergolak. Jin Shui berusaha menahan kakinya agar tidak sampai jatuh tercebur. Mo Ying nampak tenang di tempatnya.

Si tukang rakit itu jauh lebih pendek dari Jin Shui, tubuhnya mungil terbalut anyaman rumput kering. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup caping lebar dari bahan yang serupa. Penampilan seorang anak tukang perahu biasa. Yang aneh adalah ia tidak mengenakan alas kaki dan kaki itu jelas adalah kaki seorang perempuan. Pantas sejak naik ke atas rakit ia ada mencium semacam bau wewangian khas. Jin Shui lekas memalingkan muka. Kakeknya memberitahu bahwa tidak sopan memandang kaki perempuan.

Rakit tiba di sebuah kapal yang terapung di tengah danau. Mo Ying menarik Jin Shui dan melompat kesana. Si tukang rakit menyusul dengan gerakan ringan, bersalto dulu satu kali untuk memamerkan ilmu ringan badan, baru mendarat tanpa menimbulkan suara. Jelas bukan orang biasa. Jin Shui tanpa sengaja memandang lagi ke kakinya. Di bawah cahaya lampu kertas di kapal, ia melihat sepasang kaki itu adalah kaki anak perempuan kecil yang putih halus. Sekali lagi ia memalingkan muka.

"Hei, lihat apa kau?" orang ternyata lebih dulu menyadari sudah dipandang dengan tatapan aneh. Dayungnya yang berupa bambu panjang langsung menyambar ke wajah Jin Shui. Mo Ying mundur ke samping, jelas tidak ingin berkelahi dengan anak kecil. Terpaksa Jin Shui sendiri yang menangkap dayung itu, tetapi anak perempuan itu lantas menyerang pula dengan tangan kosong, memainkan gerakan walet menyambar dengan gesit. Jin Shui melepaskan dayungnya, menghindar sambil bergulingan di lantai kapal. Satu kali pukulan dayung mengenai kepalanya, tetapi ia pun berhasil menyambar telak kaki si anak perempuan hingga jatuh tersungkur di depannya.

"Qing Yi, aku sudah katakan, tidak boleh berkelahi dengan orang disini," terdengar suara seseorang lain menegur. Di atas kapal itu rupanya sudah ada manusianya. Jin Shui langsung menyaksikan sesosok wanita berusia sekitar tiga atau empat puluh tahunan, mengenakan pakaian perempuan desa yang sederhana, rambutnya disanggul dan wajahnya tanpa riasan. Wajah itu meski nampak sudah penuh keriput namun sisa kecantikan masa muda masih ada. Ia melangkah mendekat.

"Meng Gui (Setan Mimpi)," Mo Ying langsung menegur, "lama tidak bertemu, apakah nona ini putrimu?"

"Lekas pergi jemput tamu," Meng Gui si nyonya itu memerintah Qing Yi dengan suara keras. Putrinya tidak bicara apa-apa, lekas bangkit berdiri dan meloncat ke arah rakit, dan menyeberangkannya kembali dengan mendayungnya.

"Putriku tidak berguna, tidak cukup berbakat untuk mewarisi semua ilmuku," kata si nyonya lagi, "tetapi aku ada satu murid, dia sudah belajar ilmu bela diri sejak kecil dan tubuhnya kuat, lebih sesuai untuk tujuan kita di masa depan."

Seorang anak muda yang kira-kira berusia lima belasan tahun keluar dari dalam kabin kapal, Meng Gui langsung memperkenalkan sebagai muridnya, Qin Liang Jie. Jin Shui sedikit merasa lega. Hari ini ia akan hanya akan bertemu dengan delapan pelindung Yumen yang rupanya aneh-aneh itu, rupanya selain mereka orang-orang tua masih ada muridnya Meng Gui ini dan putrinya yang galak itu, setidaknya lebih baik daripada menyaksikan sekumpulan orang tua berwatak sesat. Ia sudah dua tahun lebih tidak bertemu anak lain, tentu berharap akan mendapat kawan baru disini.

"Mo Ying Shibo," Qin Liang Jie langsung memberi hormat pada Mo Ying. Tetapi ketika Jin Shui hendak memberi hormat pada Meng Gui dan memanggilnya Shishu, si nyonya itu langsung menolaknya.

"Panggil Meng Gui Shishu saja, tetapi tidak perlu repot memberi penghormatan," kata si nyonya, "laoniang tidak terlalu terbiasa dengan adat."

Kata-katanya tidak terlalu sesuai dengan gerak gerik muridnya yang penuh sopan santun. Tetapi Jin Shui menurut saja.

"Hu Ling (Roh Rubah) sudah tiba," Mo Ying tiba-tiba memberitahu. Suara air berkecipuk terdengar. Jin Shui melihat sesosok manusia bagai terbang di atasnya, ia langsung menebak satu lagi pelindung Yumen sudah tiba disitu, tetapi tidak perlu rakit yang dibawa oleh Qing Yi untuk menyeberangkannya.

Yang datang adalah seorang lelaki tua juga, meski nama Hu Ling tidak terlalu sesuai untuk seorang pria. Tetapi ketika melihat wajahnya yang lonjong dengan dihiasi kumis tipis serta matanya yang nampak licik, memang sedikit menyerupai rubah. Ditambah lagi rambutnya yang juga sudah putih dan topi bulunya yang menyolok serta baju putihnya yang sedikit menyerupai penampilan wanita.

Orang ini membawa sesosok tubuh di bahunya, ketika mencapai geladak kapal baru diturunkannya. Rupanya seorang anak perempuan, usianya baru sekitar sepuluh tahun, nampak molek dan menarik meski masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.

"Kaubilang akan mengambil putranya si marga Han sebagai murid, kenapa malah membawa seorang anak perempuan kemari?" Meng Gui menanya pada si kakek licik. "Apa kau tidak salah mengambil anak orang?"

"Si marga Han itu istrinya judes bukan main, jika aku berbaik hati mengajarkan ilmu aliran kita pada anaknya, bisa-bisa nanti tangan dan kaki anaknya malah dipatahkannya sendiri dan menjadi orang cacad sebelum bisa mengerjakan tugas di masa depan," si kakek langsung mengoceh dengan lucu. Jin Shui dan Qin Liang Jie saling pandang. "Terpaksa membiarkan anak yang begitu berbakat jatuh ke tangan guru yang tidak becus, kemudian aku mengambil anak ini sebagai penggantinya."

"Anak dari keluarga mana yang kauambil?" tanya Mo Ying.

"Ayahnya Bai Que adalah si Zhu Zi Xing, salah satu dari Fu Xing Dao Jian itu, kuyakin kalian tahu kalau ayahnya sangat tidak suka dengan Yumen kita, bahkan pernah berlagak pahlawan dengan ingin membantu menghajar saudara-saudara kita."

"Aku baru tadi siang menamparnya," kata Mo Ying. "Kalau tahu orang ini banyak lagak, sudah pasti akan kupatahkan tangan dan kakinya."

Jin Shui menundukkan kepala diam-diam, menyadari kalimat terakhir itu ditujukan padanya. Tadi siang ia sudah melindungi Fu Xing Dao Jian agar tidak dibunuh oleh Mo Ying, agaknya sudah membuat kesal gurunya itu.

"Zhu Zi Xing sudah sekian lama pergi bersama saudaranya si Zhu Zi Fu, tidak pernah pedulikan hidup mati anak istrinya, mungkin anak perempuannya sudah sebesar ini pun tidak tahu," kata Hu Ling lagi. "Setahun yang lalu, istrinya sudah hampir mati, lalu membawa anak perempuannya ini ke Aliran Haitang biar bisa diangkat murid oleh si Yuan siapa itu. Saat itu aku melihat anak ini ada bakat beladiri yang bagus, lantas mengajarinya."

"Kau mengambil pengikut Aliran Haitang menjadi murid?" tanya Meng Gui kaget.

"Ketua Aliran Haitang itu bukan cuma tidak mengangkat dia jadi murid, malah menyuruh dia menjadi pelayan, sungguh sayang," si kakek Hu Ling tertawa konyol sambil menunjuk muridnya yang masih belum sadarkan diri dengan ibu jari. "Bayangkan jika ayahnya tahu, anak perempuan yang tidak pernah diurusnya sudah diambil alih oleh kita orang aliran sesat dan dilatih untuk melawan dia, kelak dia pasti mati kesal."

"Ayahnya sebelum mati kesal sudah lebih dulu mati dibunuh Liangshan Liu Mo," kata Mo Ying padanya, "sudah jadi sasaran kesenangannya si marga Ma itu mengerjai orang sampai hampir mati, cepat atau lambat pasti lepas juga nyawanya."

"Shifu, benarkah?" tanya Jin Shui tiba-tiba, "kalau begitu, tadi siang menyelamatkan mereka, belum menyelamatkan sampai akhir?"

"Tidak bisa menyelamatkan," kata gurunya. Jin Shui sedih bukan main, tetapi ia tahu tidak berdaya. Para pelindung Yumen ini bagaimana pun bukan kaum pahlawan atau pendekar pembela kebenaran yang suka menolong orang. Ia sendiri hanya anak kecil dengan kemampuan masih terbatas.

Rakit yang dibawa oleh Qing Yi sudah kembali. Seorang kakek lagi yang datang, membawa seorang pemuda tanggung berusia hampir delapan belas tahun. Mereka memperkenalkan anak itu sebagai Li Qian, dan si kakek yang penampilannya menyerupai seorang tukang obat lengkap cangkul kecil dan keranjang di punggungnya adalah Du Cao (Rumput Racun).

"Kali ini aku mesti mengakui kelihaiannya si Shui Yao," kakek itu juga suka mengoceh meski gayanya tidak seceria Hu Ling, "dia berhasil mengundang orang-orang penting yang punya anak-anak berbakat ke Zi Lan Hua Yuan, benar-benar memberi kesempatan pada kita delapan saudara untuk berkumpul lagi disini dan memperkenalkan anak-anak asuh kita."

"Kabarnya ada lima tamu yang ada disana," kata Meng Gui. "Saat ini mereka sedang mengadakan perjamuan. Malam ini saat semua sudah mabuk dan terlelap, baru kita bisa berkumpul dan membicarakan rencana selanjutnya."

"Ada si ketua perkumpulan tidak mati itu tidak?" tanya Hu Ling pula. "Kudengar dari pengikut mereka, dua puluh empat jagoan utama perkumpulan mereka yang hanya tinggal setengah sudah mati dibantai habis oleh Saudara Rumput Beracun kita. Boleh juga sekalian kita menghabisi ketuanya."

"Kau menghabisi sisa jagoan Yongjun Hui (Perkumpulan Ksatria)?" tanya Mo Ying pada Du Cao.

"Menghabisi jiwa busuk mereka sih tidak," si kakek Du Cao tertawa, "julukanku adalah rumput racun, maka aku beri mereka makan rumput beracun saja. Dua puluh empat jago perkumpulan itu sudah banyak menghabisi saudara-saudara kita di markas pusat. Mereka yang tersisa juga masih dalam keadaan terluka, beberapa ada yang sudah putus tangan atau kaki. Aku beri mereka makan rumput dulu, kemudian membuat keadaan mereka sama semuanya."

Mo Ying berdehem, mengingatkannya bahwa disini masih ada anak-anak kecil, tidak perlu menyebutkan hasil kerjaan yang begitu kejam di hadapan mereka.

"Lao Hu, kenapa kau mesti membuat pingsan anak asuhmu?" tanya Du Cao pada Hu Ling, membelokkan perhatian Jin Shui dan Qin Liang Jie dalam sekejab.

"Bukan aku yang membuat dia pingsan," sahut yang ditanya. "Dia dikageti oleh muridnya si tangan darah, anak kecil marga Lin yang sepertinya alergi dengan anak perempuan itu."

"Aku tahu," kata Du Cao pula, "pasti karena dia tahu kelak akan dijodohkan dengan anak gadis entah keluarga mana oleh ayahnya, makanya dia mengerjai calon-calonnya. Hanya saja kali ini sedikit kelewatan sampai seorang nona kecil setengah biksuni pun tidak dilewatkan olehnya. Nanti aku akan menyuruh Xie Zhang memarahi anak itu."

Jin Shui mendengar pembicaraan mereka, dalam hati merasa sedikit tidak senang juga dengan anak bermarga Lin yang disebut sebagai muridnya Xie Zhang itu. Kakeknya mengajari untuk menghormati perempuan, tetapi si marga Lin itu rupanya kurang ajar sekali.

Rakit yang dibawa si nona cilik Qing Yi datang lagi. Kali ini yang datang adalah orang yang sudah dilihat oleh Jin Shui tadi siang, si bungkuk Xie Zhang, membawa muridnya yang bermarga Lin itu.

Jin Shui belum sempat melihat seperti apa rupanya anak kecil marga Lin yang suka menjahili kaum perempuan itu, ia melihat Qing Yi tiba-tiba tercebur di air, berikut terdengar suara tawa seorang anak laki-laki dan si marga Lin itu nampak bertepuk tangan di atas rakit sebelum gurunya menariknya ke atas kapal. Jin Shui tidak pikir panjang, langsung meloncat ke air dan berusaha menemukan Qing Yi.

Tetapi anak perempuan kecil itu sangat mahir berenang, sebaliknya kemampuan Jin Shui pas-pasan. Mo Ying menyaksikan saja dari atas geladak sementara yang lain juga tidak lantas bertindak. Mereka menyaksikan Qing Yi yang kemudian menarik Jin Shui dan membawanya ke atas kapal.

"Hei!" si nona cilik itu sudah lepas topi jeraminya. Ia menggoyang-goyangkan badan Jin Shui dan memompa air dari perutnya.

"Ingin menolong malahan mesti ditolong," oceh Hu Ling, "Mo Ying, kau ambil anak dari keluarga mana, kenapa bisa begini tolol? Bukankah kita delapan pelindung sudah sepakat, mesti mengambil anak yang berbakat, karena di masa depan mereka akan punya tugas berat dan...." kata-katanya tiba-tiba terhenti. Mo Ying, Meng Gui, Xie Zhang dan Du Cao sama-sama menatap ke arahnya.

Du Cao memukul kepalanya, kemudian membisikkan sesuatu di telinganya, yang langsung membuat si rubah tua ceriwis menutup mulut sungguhan, air mukanya berubah seperti orang habis melihat setan.

Jin Shui sudah bangun. Melihat kakek-kakek konyol itu ia merasa geli juga, tetapi saat itu dalam hatinya juga muncul pertanyaan, apa yang dibisikkan Du Cao pada Hu Ling sehingga air muka si kakek langsung berubah.

"Kau tidak apa-apa?" ia bertanya pada Qing Yi.

"Mestinya aku yang tanya padamu," si nona kecil balas menanya. "Siapa suruh kau berlagak menolong? Sudah jelas aku tukang rakit, masa bisa mati tenggelam hanya karena tercebur ke air danau?"

Anak perempuan ini usianya baru sembilan tahunan, amat cantik dan menarik meski wajahnya terlihat keras dan suaranya pun judes. Tadi ia memukul Jin Shui karena tidak sengaja melihat kakinya yang tanpa alas itu, tapi sekarang menyaksikan Jin Shui hampir menolongnya, dengan cepat pandangannya berubah juga.

"Kukira kau berhasil dikerjai oleh marga Lin itu," kata Jin Shui polos, "aku lihat kau sekali tercebur lantas tidak lekas keluar dari air."

"Aku langsung menyelam ke air dan hendak membalas anak itu dengan membalikkan rakitnya. Jika saja gurunya tidak lekas menariknya ke atas dan kau tidak mencebur ke dalam, aku sudah berhasil balik mengerjainya."

"Ha?" Jin Shui masih lugu, mana terpikir hal ini.

"Kau tidak akan bisa mengerjaiku," Lin Ji Xuan berkata dengan sedikit ketus, orangnya sudah bersembunyi di balik punggung gurunya.

"Qing Yi!" Meng Gui menegur sebelum putrinya mengejar anak itu. Qing Yi terpaksa turun lagi ke rakit dan menjemput tamu berikutnya.

Mo Ying menarik Jin Shui berdiri, kemudian menyalurkan tenaga dalam ke punggungnya. Sebentar kemudian Jin Shui tidak lagi merasakan dinginnya air danau dan dibuat takjub. Air yang membasahi tubuhnya bagai menguap, seluruh tubuhnya terbungkus asap tipis untuk beberapa saat. Memang tenaga dalam Mo Ying paling tinggi diantara saudara-saudaranya. Untuk sesaat itu Jin Shui jadi melupakan Lin Ji Xuan.

Tidak lama, rakit yang dibawa Qing Yi kembali lagi dengan membawa si tulang putih dengan muridnya Liao Xian yang berpenampilan sangat hidup, berbanding terbalik dengan gurunya yang seperti setan. Usianya sepuluh tahun, wajahnya tampan dan bersih serta pipinya masih merona seperti anak perempuan, hanya gayanya yang sedikit kaku yang serupa dengan sang guru.

Yang terakhir datang adalah Chai Lang, si serigala liar. Ia membawa seorang anak laki-laki yang bagi Jin Shui paling aneh diantara yang lain. Sinar matanya nampak dingin, wajahnya selalu menampilkan satu senyuman misterius. Usianya setahun lebih tua dari Lin Ji Xuan, baru sembilan tahun. Ia memperkenalkan diri bernama Huang Yu.

Tinggal satu pelindung yang belum hadir, yaitu Shui Yao. Sampai tengah malam tiba dan Meng Gui memerintahkan Qing Yi membawa kapal tempat mereka semua berada ke darat si pelindung terakhir itu masih belum kelihatan bayangannya.

Para pelindung meninggalkan ketujuh anak asuh mereka dan Qing Yi di atas kapal, kemudian menuju sebuah kompleks bangunan yang ada di tepi danau itu. Jin Shui hanya melihat ada sejumlah lampu redup yang masih menjadi penerang disana. Kompleks itu sangat luas dan samar-samar sepertinya merupakan susunan sejumlah bangunan yang berderet rapi. Jin Shui mengira itu adalah sebuah istana.

Mo Ying dan enam saudaranya meninggalkan tepian danau dan menuju bagian belakang kompleks bangunan itu, menemui seorang pelayan tua disana dan diantarkan ke sebuah taman. Di taman itu barulah nampak berbagai tanaman bunga anggrek. Meng Gui menghentikan langkah sesaat dan mengawasi ke sekitar. Tempat ini bagai taman istana, dia sungguh sudah hidup bahagia, pikirnya.

Saat itu adalah tengah malam. Lampu-lampu di taman menyala redup, hanya menampakkan sebagian dari keindahan taman. Selain tanaman bunga juga ada sebuah kolam yang cukup luas dengan ikan berwarna-warni hidup di dalamnya. Deretan bangunan di seputar taman pun dirancang dengan sangat indah dan rapi. Tidak terlalu berkesan mewah, tetapi sangat menyenangkan untuk menjadi tempat tinggal.

Pelayan membawa mereka ke sebuah ruang tamu yang menghadap ke taman itu, dengan sejumlah pengawal menjaga di depan sekitarnya. Di dalam ruangan sudah menunggu seorang wanita yang berpenampilan sebagai seorang nyonya keluarga terpandang meski tanpa mengenakan perhiasan. Wajahnya nampak masih muda seperti berada di usia dua puluhan meski sebenarnya ia sudah seumur Meng Gui. Cantik dan agung, nampaknya bukan seorang nyonya biasa. Mo Ying dan yang lain tentu saja tahu siapa dia.

"Jiejie," Shui Yao langsung menghampiri Meng Gui dan memeluknya beberapa saat. Di masa lalu mereka bagai kakak dan adik. Meski kini nasib jauh berbeda namun kedekatan antara mereka masih belum berkurang.

"Meimei, apakah dia baik padamu?" Meng Gui bertanya dengan suara nyaris bergetar.

"Dia baik, sangat baik padaku," sahut Shui Yao, "lihat, dia bersedia mengundang lima orang itu sesuai dengan permintaanku dan mereka juga sungguh datang kemari membawa putra putri mereka.

"Kecuali si marga Lin," kata Xie Zhang sambil tertawa, "aku sudah dua tahun meminjam putranya dan belum ada rencana mengembalikannya."

"Rupanya kau sengaja merusakkan anaknya si marga Lin itu, pantas saja dia begitu banyak tingkah," kata Hu Ling, "barusan dia mengerjai Bai Que, aku belum memberi pelajaran padanya. Nanti pasti akan kupukul pantatnya."

"Lin Ji Xuan itu sejak kecil memang sudah bandel. Mengajarinya saja tidak mudah. Malah aku yang mesti mengikuti tingkah dia," kata Xie Zhang lagi.

"Kita para pelindung Yumen memang manusia sesat, murid kita tentu saja mesti sesat juga," kata Du Cao, "ayahnya si marga Lin itu sangat kejam pada saudara-saudara kita, merusak anaknya supaya kelak tidak sejalan dengan ayahnya memang sudah seharusnya. Xie Zhang Xiongdi, aku mendukungmu."

"Kita mengangkat murid sebenarnya tidak banyak gunanya. Hanya anak-anak kecil, kelak bagaimana mereka bisa mengerjakan tugas seperti yang kita harapkan?" tanya Bai Gu. "Apa perlu kelak membunuh keluarga mereka dan menimpakan kesalahan pada musuh-musuh kita supaya mereka membalas dendam, dan membuat dunia jadi kacau sekalian?"

"Cara ini boleh juga," sahut Chai Lang. "Diantara anak-anak ini, lima berasal dari keluarga ternama. Tidak perlu campur tangan kita, kelak mereka juga akan jadi pemimpin dan akan punya nama. Ditambah didikan dari kita, tentu saja mereka akan berjuang demi Yumen."

"Tidak boleh seperti itu," kata Shui Yao tidak setuju. "Jika masih ada pembunuhan oleh orang kita lagi, maka meski berhasil menggunakan anak-anak ini mencapai tujuan, kelak mereka juga akan dihancurkan lagi. Maka kesulitan kita semua dalam pelarian tiga tahun ini semuanya akan sia-sia lagi."

"Aku juga tidak setuju," sahut Mo Ying, "Jin Shui itu siapa kalian sudah mengetahuinya. Dia seorang sudah cukup."

"Kita diperintahkan untuk mengumpulkan delapan orang," Chai Lang mengingatkan. "Mereka yang lain dipersiapkan untuk membantu."

"Kita diperintahkan mengumpulkan delapan orang sebenarnya ada tujuan lain," kata Shui Yao pula, "saat ini markas pusat Yumen sudah dihancurkan, saudara-saudara kita tidak ada yang dibiarkan lolos, malah keluarganya banyak yang tidak dilepaskan. Kita sendiri mesti hidup dalam pelarian sampai tidak bisa bertemu orang lain. Keadaan seperti ini sudah diperkirakan sebelum perintah mengumpulkan delapan orang itu diturunkan."

"Benar, kita sudah tiga tahun mesti menghindari orang, bertingkah seperti kura-kura pengecut sampai melihat saudara sendiri disiksa atau dibunuh pun tidak boleh menolong, aku sungguh tidak tahan," kata Xie Zhang, "jika bukan karena perintah itu, sejak awal aku sudah bantai habis orang-orang yang mengaku golongan lurus tetapi tindakannya lebih binatang dari kita orang yang dianggap sesat."

"Jika bukan demi menjalankan perintah aku juga tidak akan bisa bertahan selama tiga tahun ini," sambung Du Cao, "orang dunia persilatan juga bukannya tidak mengetahui bahwa Yumen masih punya delapan pelindung, sampai sekarang tidak satu pun yang muncul, mereka mulai curiga. Jelas-jelas kita tidak berada di markas pusat tiga tahun yang lalu, tidak ada yang sudah mengaku berhasil membunuh satu pun dari kita."

"Beberapa kali kita malah tidak tahan dan sudah melanggar perintah, mencari perkara dengan orang," tambah Hu Ling, "mereka tahu kita masih ada dan saat ini sudah memburu kita. Sungguh gatal tangan ini ingin menghajar mereka. Meski akhirnya kita mesti mati juga, tetapi aku tidak ingin mati sebagai rubah pengecut."

"Pelarian ini nampaknya memang tidak akan bisa bertahan lama lagi," kata Meng Gui, "Kau mengumpulkan kami disini dengan menyebar anggrek ungu serta lambang aliran ke berbagai tempat apakah demi menyelesaikan urusan ini?"

"Apakah sudah ada perintah baru?" tanya Bai Gu.

"Aku hanya ada satu analisa, bahwa memang kita tidak mungkin lagi melarikan diri," sahut Shui Yao. "Sudah saatnya menghadapi orang-orang itu, mati dengan gagah berani. Bukankah para pewaris kita juga sudah siap melanjutkan semuanya sendiri?

"Jin Shui masih kanak-kanak, hatinya masih baik dan polos, kemampuannya juga masih rendah, mana mungkin dia sudah siap?" tanya Mo Ying.

"Anak-anak ini masih jauh dari siap," kata Meng Gui, "jika kita meninggalkan mereka sekarang, maka mereka tidak akan menjalankan tugas apa pun di masa depan sesuai dengan perintah itu."

"Kita bisa membuat mereka siap," sahut Shui Yao. "Kitab sudah kita bagi menjadi delapan bagian, dan mereka masing-masing sudah menghafalkan bagiannya sendiri, dalam kesempatan pertemuan ini kita mesti membuat mereka menghafalkan seluruhnya."

"Kitab itu cukup Jin Shui saja yang menghafalkan seluruhnya," kata Mo Ying, "kita belum tahu di masa depan yang lainnya akan jadi apa."

Yang lainnya menganggukkan kepala tanda setuju.

"Aku ada satu akal, tetapi perlu pengorbanan dari kita semua, entah kalian bersedia atau tidak," Shui Yao berkata lagi.

"Akal apa?" tanya Xie Zhang, "kau sudah tahu aku si tangan darah demi Yumen, apa pun bisa dikorbankan."

"Tenaga dalam kita semua," sahut Shui Yao. "Kita diminta mengumpulkan delapan anak berbakat, dan delapan anak ini sekarang masih belum mampu melindungi diri sendiri, sedangkan kita sudah mesti mendahului meninggalkan mereka. Satu-satunya cara agar mereka mampu melindungi diri, mampu melatih ilmu yang kita ajarkan dengan cepat dan agar mereka kelak merasa ada kewajiban, adalah dengan menyerahkan seluruh tenaga dalam hasil latihan kita kepada mereka."

Semua terdiam dan saling pandang. Memang sudah tidak ada jalan melarikan diri dan mereka sudah saatnya untuk menampilkan diri menerima kematian. Delapan pelindung mesti musnah, tapi mereka pun sebenarnya tidak rela musnah begitu saja dan melanggar perintah membangkitkan kembali aliran di masa depan.

"Maksudmu, kita menciptakan delapan pelindung kecil?" tanya Chai Lang. "Delapan pelindung kecil yang tidak akan diburu orang karena keberadaan mereka tidak diketahui, pada saatnya tugas kita membangkitkan kembali aliran ada di tangan mereka."

"Benar," sahut Shui Yao.

"Tanpa tenaga dalam, aku tidak bisa menghajar manusia-manusia aliran lurus itu," kata Hu Ling, "tapi kelak ada rubah kecil yang membantuku melampiaskan sakit hati, tentu saja aku bisa merelakannya."

"Tetapi delapan pelindung kecil ini, kelak bagaimana mereka bisa memahami semuanya dan melanjutkan perjuangan kita?" tanya Du Cao.

"Orang aliran kita hanya tinggal kita, tetapi bukankah masih ada majikan besar itu?" Meng Gui mengingatkan.

"Dia tidak pernah turun gunung, cara bagaimana dia akan menemukan para pelindung kecil kita?" tanya Bai Gu.

"Kita sisakan saja salah seorang dari kita," sahut Chai Lang, "kelak dia yang mesti membimbing delapan pelindung kecil. Berhasil tidaknya misi ini ada di tangan kita, tidak boleh semuanya musnah tanpa jejak."

"Kita mesti musnah, tapi sebelumnya harus merencanakan semua dengan terperinci. Mesti bertahan dulu selama mungkin, mewariskan dulu seluruh kemampuan kita dan memastikan anak-anak itu siap sebelum meninggalkan mereka," kata Mo Ying. "Aku akan memberitahu Jin Shui semuanya."

Qing Yi turun ke bagian bawah kapal, agaknya hendak mengganti bajunya yang basah kuyub akibat tadi tercebur ke air danau. Meng Gui ibunya tidak punya kemampuan mengeringkan badan dengan tenaga dalam seperti Mo Ying dan anak perempuan kecil ini rupanya cukup memedulikan penampilan.

Jin Shui memperhatikan anak-anak lain yang ada disitu. Ia hanya mengenal nama mereka ketika tadi diperkenalkan satu persatu, tidak mengenal mereka dari keluarga mana saja. Pengetahuannya mengenai orang lain di dunia ini belum banyak, meski kali ini disebut pun ia tidak mungkin mengenalnya.

Ia tidak mengerti mengapa hidupnya bisa berubah begitu cepat. Ia lahir dan dibesarkan oleh kakek luarnya yang hanya seorang tukang kayu, tinggal dengan tenang dan damai di pinggir hutan tanpa pernah melihat orang berkelahi dan saling membunuh. Ketika Mo Ying datang menemuinya pertama kali dan mengajarkan sejumlah jurus-jurus ilmu bela diri, Jin Shui pun dengan senang hati mempelajari, tanpa ada niat menggunakannya untuk berkelahi sungguhan dengan orang lain.

Anak ini masih polos dan lugu. Kakek luarnya tidak pernah menjelaskan dunia diluar hutan tempat mereka tinggal dan desa yang sering mereka datangi, ia pun tidak banyak bertanya. Mo Ying ketika pertama kali menemuinya ada memintanya berjanji untuk tidak memberitahukan pada kakeknya, ia pun menepati janji dan tidak memberitahu kakeknya. Ia tidak tahu, apakah anak-anak yang ada disini punya cerita yang sama dengan dirinya.

Tidak sama, ia memberitahu diri sendiri. Mereka semua punya ayah ibu, atau paling tidak mereka tahu siapa ayah ibunya, tidak seperti dirinya.

Sementara ia termenung, sesuatu sudah terjadi di atas kapal itu. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Qin Liang Jie dan Lin Ji Xuan sudah saling serang. Qin Liang Jie mendorong Lin Ji Xuan dengan keras, tetapi anak bandel itu kuat pertahanannya, malah berhasil mendorong balik lawan yang lebih besar badannya.

Qing Yi belum muncul lagi. Zhu Bai Que sudah tersadar. Huang Yu duduk saja di pinggir sambil bermain dengan sejumlah biji catur hitam putih. Li Qian hendak melerai, tapi Liao Xian menahannya.

Qin Liang Jie menarik sebuah tombak pendek yang tergantung di punggungnya, kemudian meloncat dan menyerang dengan gerakan mencecar. Jin Shui mengenali jurus ini sebagai zui feng she yang (mengejar angin membidik matahari), serupa dengan yang pernah diajarkan Mo Ying padanya.

Lin Ji Xuan berkelit dengan jin fu qian hu shui (kelelawar emas menyelam ke dalam danau). Jin Shui menyadari, rupanya ia dengan anak-anak ini punya sumber ilmu serupa. Jurus-jurus itu ia belum menguasai dengan sempurna, kali ini melihat teknik yang dimainkan oleh mereka yang sedang berkelahi, ia pun mengamati dengan teliti.

"Lekas minta maaf pada nona itu!" Qin Liang Jie membentak si marga Lin sementara tombaknya berputar, kali ini memainkan gerakan yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh Jin Shui.

"Tidak mau," Lin Ji Xuan lagi-lagi menghindar dengan gesit, tubuh mungilnya berguling ke samping Qin Liang Jie, menangkap gagang tombaknya sebelum murid Meng Gui itu sempat menemukan keberadaannya. Ia sebenarnya masih bisa mempertahankan tombak, tetapi tiba-tiba tangannya seperti terkena sengatan listrik, sebutir biji catur menghantam tangan itu dan tombaknya pun lolos.

Tetapi tombak itu pun tidak sampai ke tangan Lin Ji Xuan. Jin Shui sudah meloloskannya dari tangannya. Anak ini sejak pertama bertemu dengan Mo Ying sudah disuruh berlatih ilmu pukulan dan ia melatih sendiri dengan sepenuh hati, setiap hari menghabiskan beberapa jam bermain-main dengan pohon-pohon di hutan. Tenaganya lebih kuat, gerakannya pun sedikit lebih gesit dari Lin Ji Xuan yang kecil badannya itu.

Dalam detik itu Li Qian juga sudah menarik Qin Liang Jie, Liao Xian menarik Lin Ji Xuan, membuat keduanya tidak bisa lagi berkelahi. Qin Liang Jie paling besar badannya tetapi Li Qian lebih kuat, ia tidak berkutik. Lin Ji Xuan memang tidak sungguhan ingin berkelahi, ia sudah cengar cengir.

"Minta maaf pada nona itu!" Qin Liang Jie berseru lagi. Rupanya ia tadi juga mendengar Hu Ling mengatakan bahwa Bai Que dikerjai oleh Lin Ji Xuan hingga tidak sadarkan diri, kemudian merasa tidak senang dan saat gurunya sudah pergi hendak memaksa si tuan muda bandel meminta maaf.

"Aku tidak ada buat salah padanya, kenapa mesti minta maaf?" Lin Ji Xuan meleletkan lidah padanya. "Coba kaubilang, apa yang sudah kulakukan."

Qin Liang Jie tidak tahu cara bagaimana Lin Ji Xuan mengerjai Bai Que sampai tidak sadarkan diri, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya menghentakkan kaki.

"Dia tadi ada mengganggumu tidak?" Jin Shui bertanya pada Zhu Bai Que. Anak perempuan itu malah nampak kebingungan. Sepertinya ia tidak terlalu ingat apa yang sudah terjadi, gurunya si kakek Hu Ling itu yang lebih jelas apa yang terjadi.

"Aku... aku hanya ingat, ada seekor ular di punggungku," katanya pelan, "tidak tahu bagaimana bisa, tapi aku kaget sekali."

"Hanya urusan kecil, kenapa mesti diributkan," Huang Yu tiba-tiba berdiri dan mendekat. Gayanya yang penuh misteri itu membuat semua langsung terdiam, bahkan Qin Liang Jie pun tidak meronta lagi dan Li Qian bisa melepaskannya. "Guru-guru kita meninggalkan kita disini untuk berkenalan baik-baik, bukan untuk berkelahi."

"Kenapa kalian berkelahi?"

Suara terakhir ini merupakan suara seorang gadis cilik. Mereka semua menoleh dan melihat seorang gadis kecil yang mengenakan mantel hitam sudah muncul di atas geladak diikuti seorang ibu asuh yang mukanya sangat jelek dan kaku. Gadis kecil ini lebih mungil dari Zhu Bai Que, kemungkinan usianya baru sekitar tujuh tahun. Bola matanya hitam dan cerah, senyumannya sangat menawan, wajahnya mungil dan ceria dengan pipi bulat yang merona. Suaranya pun amat lembut dan manis.

Semua terpaku melihat gadis kecil ini, tidak terkecuali Jin Shui, bahkan Lin Ji Xuan yang terkenal paling suka mengerjai anak gadis pun tidak berani bertindak apa-apa, malah menanya dengan ragu, "kau siapa?"

"Namaku Liu Xin," kata anak perempuan itu.

"Kau murid Shui Yao Shishu?" tanya Huang Yu padanya.

Anak perempuan itu mengangguk satu kali. Kemudian ia menepuk tangan mungilnya. Beberapa saat kemudian sejumlah lelaki muda berseragam pengawal naik ke atas kapal, membawakan dua buah meja kayu dan sejumlah kursi. Berikutnya enam orang wanita yang juga mengenakan pakaian seragam juga muncul dan membawakan sejumlah makanan kecil untuk dihidangkan dengan rapi di atas meja. Terakhir dua orang membawakan poci teh berikut cangkir-cangkirnya.

Hidangan itu rupanya disiapkan oleh Liu Xin sebagai murid tuan rumah untuk mereka semua. Makanan kecil itu rata-rata dibuat dengan bentuk yang menarik dan rasa yang beraneka macam, sesuai sekali dengan selera anak-anak kecil. Karena mereka masih kanak-kanak dan dua pemuda tanggung, belum boleh minum arak, maka disediakan teh sebagai penggantinya.

Jin Shui hanya mengambil secangkir teh, kemudian duduk di pinggir dan minum sendiri. Ia belum pernah melihat begitu banyak makanan, maka sementara yang lain berebut, ia malah mundur dan tidak ingin ikut-ikutan.

Liu Xin mendekatinya, membawakan beberapa potong kue yang dipilihnya dan diletakkan di saputangannya yang putih bersih. Ia tersenyum pada Jin Shui, memberikan beberapa potong kue itu padanya.

"Kau pasti Hua Gege," katanya, "shifu sudah memberitahukan siapa dirimu padaku."

"Memangnya siapa aku?" tanya Jin Shui. Pertanyaan yang bahkan ia sendiri tidak tahu jawabannya.

"Kau ya kau," si gadis kecil tertawa, "memangnya bisa siapa lagi?"

Delapan pelindung kecil sudah lengkap berkumpul disitu. Sepanjang malam tidak ada lagi yang berkelahi. Ketika Mo Ying dan yang lainnya kembali, mereka sudah bermain bersama, makan dan tertawa-tawa dengan ceria. Qing Yi terus bersembunyi di dalam kapal, agaknya tahu ia bukan bagian dari mereka.

Untuk mempermudah mengingat karakter :

Pelindung Utama : Mo Ying (Elang Iblis)

Pewaris : Hua Jin Shui, tokoh utama

Pelindung kedua : Chai Lang (Serigala Liar)

Pewaris : Huang Yu

Pelindung Ketiga : Bai Gu (Tulang Putih)

Pewaris : Liao Xian

Pelindung Keempat : Du Cao (Rumput Racun)

Pewaris : Li Qian

Pelindung Kelima : Hu Ling (Roh Rubah)

Pewaris : Zhu Baique

Pelindung Keenam : Xie Zhang (Tangan Darah)

Pewaris : Lin Ji Xuan, anak bandel

Pelindung Ketujuh : Meng Gui (Setan Mimpi), Ibu Qing Yi

Pewaris : Qin Liang Jie

Pelindung Terakhir : Shui Yao (Siluman Air)

Pewaris : Liu Xin, tuan putri kecil

Para pelindung hanya akan hadir di episode pertama ini, membawa dan saling memperkenalkan anak didik mereka, kemudian berpencar lagi agar tidak mudah ditemukan oleh orang-orang dunia persilatan. Satu persatu mereka kemudian terbunuh, meninggalkan para pewaris yang nantinya baru akan bertemu dan berkumpul kembali.

Pada episode berikutnya akan dikenalkan Xu Qiao, gadis manis kekasih Jin Shui, juga ada beberapa karakter lain.

Xiaodiandiancreators' thoughts