webnovel

Episode 02 : Xu Qiao Xiaojie (Nona Xu Qiao)

Jiangbei, awal bulan dua di tahun gengyin.

Hamparan salju terbentang luas bagaikan lautan berwarna putih bersih yang beku. Angin bertiup dingin dan tajam, menerpa bukit dan lembah dengan tenaganya yang kuat. Hewan-hewan kecil bersembunyi, hewan-hewan besar terlelap dalam sarangnya masing-masing. Hanya ada warna putih tak berujung, tidak ada warna hijau segar yang terlihat, tidak ada biru di langit. Matahari pun menyembunyikan diri di tempat peristirahatannya, hanya tinggal tampak sisa terangnya yang samar-samar.

Kabut tipis turun pelan-pelan, menyamarkan pandangan mata di tengah dingin yang membeku. Ada sebuah bangunan batu diantara hamparan salju luas itu, yang nampaknya sudah lama ditinggalkan penduduk desa dan tidak dipakai lagi. Salju menutupi jalan setapak pada pintu masuknya, atap bangunan juga berselimut warna putih.

Dua ekor kuda hitam dengan sepasang penunggang mereka menuju kesana, lelaki dan perempuan. Kondisi kedua penunggang kuda ini amat mengenaskan. Keduanya masih muda belia, akan tetapi sudah menempuh terlalu banyak jalan untuk sampai ke tempat ini. Mereka menuju bangunan batu itu untuk mendapatkan tempat bersembunyi dan menghindari dari dinginnya cuaca.

Si pemuda berusia sekitar dua puluhan, masih menampakkan wajah yang cakap meski sekarang kulit mukanya sangat pucat, kotor oleh bekas luka dan juga berusaha menahan sakit. Darah pada bekas luka di wajahnya sudah mengering, tetapi lebam di pipinya masih nampak membiru. Bajunya sobek disana sini, jelas menampakkan bahwa ia sudah terluka parah oleh tebasan senjata tajam yang tidak hanya sekali.

Gadis yang bersamanya juga sudah sangat kelelahan. Usianya masih terhitung belasan, dewasa belum tetapi juga sudah bukan kanak-kanak lagi. Seharusnya ia pun seorang yang cantik dan sesuai untuk menjadi pasangannya, namun gadis cantik ini pun sekarang sama pucatnya, dengan bekas luka dan kotor pada wajahnya yang halus. Luka di badannya juga tidak sedikit, pakaian dan rambutnya sudah sangat berantakan. Mantel di badannya adalah milik si pemuda, meski sudah sobek-sobek juga tetapi masih bisa digunakan untuk mengurangi sedikit hawa dingin.

Lari kuda-kuda mereka berhenti agak jauh dari bangunan batu itu. Si pemuda lebih dulu turun dan menarik kendali, rupanya sudah tidak kuat lagi berada di atas punggung tunggangannya, tetapi ia tahu tidak boleh menyerah sebelum mencapai tempat yang aman. Kawannya mengikuti.

"Ada apa?" gadis itu bertanya. Yang ditanya menunjuk ke arah bangunan batu.

"Lihatlah!" serunya, berusaha untuk mengatasi gemuruh suara angin. "Kurasa tempat ini pun sudah tidak aman lagi."

"Orang-orangnya si marga Zhou?"

Baru saja nampak oleh mereka, dari bangunan batu itu kelihatan ada gumpalan asap mengepul keluar. Ada asap berarti ada api. Di dalam bangunan itu pasti ada orangnya. Entah kawan atau musuh.

"Rasanya tidak mungkin mereka sudah menunggu kita di tempat ini."

Si gadis mengeluh. Jika malam ini tidak beristirahat, ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi. "Kuda-kuda kita sudah kelelahan," katanya, "tidak bisa dipaksa lagi. Kurasa tidak ada jalan lain. Luo Dage (kakak Luo), di tempat seperti ini tidak mungkin ada penduduk. Jadi sekarang bagaimana?"

"Sembunyikan kuda-kuda kita di belakang sana. Tidak ada jalan lain, mesti memulihkan tenaga sedikit dulu di tempat ini."

Tetapi mereka belum sempat melangkah lebih dekat ke bangunan batu. Mendadak terdengar suara riuh di jauh di belakang mereka. Suara ringkikan kuda dan teriakan para penunggangnya susul menyusul diiringi suara dentingan senjata yang dikeluarkan dari dalam sarungnya, keributannya memecahkan suara desir angin. Satu batang pisau melesat dan nyaris mengenai pundak si pemuda.

Kedua muda-mudi itu menoleh ke belakang. Tidak disangka musuh akan datang secepat ini. Mereka tahu tidak akan mungkin lari lagi. Kuda-kuda mereka tidak akan sanggup diajak berlari lebih jauh di tengah lautan salju, luka si pemuda pun sudah mulai terbuka dan mengeluarkan darah lagi. Jalan melarikan diri sudah tidak ada. Mereka saling berpegangan tangan.

"Dage...."

"Tenanglah," si pemuda tersenyum sekuat kemampuannya. "Kita tidak dilahirkan pada hari yang sama, tetapi bisa mati pada hari yang sama, aku tidak akan menyesal."

Si gadis tersenyum, setengah dipaksakan. "Aku juga."

Suara ringkik kuda dan teriakan orang-orang itu semakin mendekat. Suasana yang tenang pun berubah drastis. Kedua muda mudi itu tetap menunggu dengan tenang di tempatnya.

"Xing-mei, apakah kau takut?"

"Jika kau tidak takut, aku juga tidak!"

Si pemuda memungut pisau yang barusan nyaris mengenai pundaknya, kemudian menyerahkannya pada si gadis. "Paling tidak mesti menghabisi satu dua manusia tidak berguna ini dulu sebelum kita dihabisi oleh mereka," katanya.

"Kau bagaimana?"

"Pedangku masih cukup setia, kau tidak perlu khawatir."

"Tapi pedang itu sudah...."

Yang datang semuanya ada enam orang. Masing-masing adalah pria berbadan besar seperti para pengawal di perbatasan, mengenakan pakaian berwarna abu-abu yang seragam, menunggang kuda yang kuat dan membawa senjata golok yang berkilat. Mereka langsung mengepung kedua buruannya dengan ketat seperti para pemburu mendapatkan sepasang kijang muda. Senjata mereka diacungkan, pertanda siap berkelahi.

"Maju!"

Seorang diantara keenam pengepung itu memberi perintah, rupanya adalah pemimpin mereka. Selanjutnya lima anak buahnya turun dari kuda mereka, menyerang ke arah dua buronannya dengan senjata masing-masing tanpa banyak bicara. Sebentar saja sudah terjadi perkelahian yang tidak seimbang. Enam pengawal itu nampak jelas tidak akan segan membunuh sedangkan kedua buruannya tidak lagi memedulikan keselamatan sendiri, bertarung habis-habisan dengan seluruh sisa tenaga.

Pedang di tangan si pemuda rupanya sudah patah, sedangkan pisau yang ada di tangan gadisnya juga tidak terlalu berguna. Mereka saling membelakangi untuk melindungi satu sama lain, sesekali si pemuda nekad menggunakan badan sendiri untuk melindungi gadisnya. Hanya dalam beberapa detik saja luka lama sudah bercampur dengan luka baru. Darah menetes di atas salju yang putih.

"Jangan sampai mereka mati sekarang!" si ketua pengepung memberi perintah dengan suara yang melengking keras. "Tidak boleh diampuni, tetapi juga tidak boleh mati dengan terlalu cepat."

"Kalian orang-orang Wansui Gu (Lembah Panjang Umur) hanya tahu membunuh orang!" si gadis berteriak keras sambil menghunjamkan pisau di tangannya ke arah salah satu penyerang. Tenaganya sudah sangat lemah, serangannya pun meleset. Malahan berikutnya pundaknya yang terkena sambaran senjata lawan dan seketika perih yang dirasakannya. "Aku benar-benar menyesal mengakui Zhou San Gong sebagai guru!"

"Kau anak perempuan tidak tahu membalas budi. Masih bagus Wansui Gu kami mau menampungmu sampai sebesar ini. Tidak disangka kau malah jadi murid pengkhianat!" si ketua pengepung tadi membalas lagi dengan tidak kalah keras. Satu serangan goloknya menyambar cepat, si pemuda terpaksa menggunakan pedangnya yang tinggal setengah untuk menahannya sebelum mencapai badan gadisnya. Pedang yang tinggal setengah itu pun patah sekali lagi sehingga tinggal gagangnya.

"Huh, sepertinya kami sudah tidak ada senjata lagi," omel si pemuda sambil membuang sisa senjatanya. Dalam keadaan seperti ini ia juga tahu sudah tidak ada jalan hidup, dengan nekad ia berusaha merebut golok lawan. Ia sudah terluka demikian parah dan manusia bagaimana pun punya kemampuan terbatas. Sekali ini perutnya malah kena tendangan lawan dan langsung membuatnya jatuh ke tanah bersalju dan memuntahkan darah merah.

"Luo Dage!"

Tidak jauh dari arena, dari dalam bangunan batu, sepasang kaki kecil keluar dengan langkah setengah mengendap, menyaksikan pertarungan yang terjadi dari balik reruntuhan pagar kayu, kelihatan penuh minat. Kedua muda mudi itu sudah terluka disana sini, senjata mereka hanya tinggal satu tetapi masih harus menghadapi enam orang sekaligus dengan senjata yang utuh, sementara keadaan mereka sudah sangat lelah. Keadaan seperti ini jika dibiarkan saja sudah jelas akan ada nyawa yang melayang.

Pengintip itu rupanya hanya seorang gadis muda, usianya baru sekitar tiga atau empat belas tahun. Ia mengenakan baju sutra yang sudah lusuh dan mantel kulit yang sudah tua, sepatunya yang bersulam pun sudah sobek-sobek. Penampilannya berantakan seperti pengemis. Akan tetapi gadis kecil ini punya sorot mata yang sangat menarik, wajahnya cantik dan murni. Penampilannya tidak bisa menutupi sepenuhnya bahwa ia adalah seorang nona keluarga terpandang yang sudah terlalu lama berkeliaran diluar dalam penyamaran.

Ia memang putri keluarga terpandang. Ayahnya Tie Mu Bao Jian (Pedang Pusaka Kayu Besi) Xu Cheng Hai adalah majikan Huofeng Lou (Kedai Angin Api) yang berada di pinggiran kota kecil Fulong Cheng, Jiuhua Shan, Propinsi Anhui.

Huofeng Lou adalah sebuah restoran, penginapan dan sekaligus tempat pusat informasi dunia persilatan yang terkenal, juga sering menjadi tempat berkumpul para tokoh persilatan aliran putih baik tua maupun muda. Meski Fulong Cheng hanya sebuah kota terpencil, namun nama Huofeng Lou cukup dikenal. Mungkin justru karena letaknya di tempat sepi, maka banyak orang yang suka berkunjung kesana, menikmati pemandangan Gunung Jiuhua sambil berkumpul dan mengobrol dengan kawan lama.

Xu Cheng Hai sendiri dikenal banyak orang karena sepak terjangnya selama puluhan tahun ini, dihormati bahkan oleh para tetua dan ketua berbagai partai aliran lurus, ditakuti oleh kaum penjahat dan pengikut aliran sesat.

Xu Qiao merupakan putri kelima. Ia dan empat saudaranya, semuanya perempuan, sejak kecil sudah dibekali ilmu bela diri yang tidak dapat dikatakan rendah. Ayah mereka mempunyai tuntutan yang tinggi, lima putrinya kelak juga harus mempunyai nama. Xu Qiao adalah putri bungsu, paling cerdas tapi juga paling sulit diatur. Keempat kakaknya memanjakannya lebih daripada kedua orang tua mereka, akan tetapi ia tidak merasa cukup senang dengan diam di rumah baik-baik. Setengah tahun ini ia sudah meninggalkan rumah, berselisih dengan ayahnya karena suatu urusan dan menikmati hidup bebasnya yang penuh bahaya.

Tidak tahu bahwa ini merupakan awal sebuah petualangan panjang, pertemuan dengan orang-orang yang akan merubah hidupnya dari seorang nona besar ke dalam dunia yang sama sekali berbeda.

Di arena pertarungan sana, senjata pisau di tangan si gadis sudah direbut balik oleh orang yang tadi melemparnya, si pemuda sudah bergulingan di tanah, tidak berapa lama gadisnya pun sudah berhasil dijatuhkan. Sisa-sisa tenaga pasangan muda itu sekarang hanya cukup digunakan untuk bertahan hidup. Si pemuda tersenyum pada gadisnya.

"Xing-mei, kita akan segera bersatu di alam baka," ia berkata, "kelak tidak ada yang akan memisahkan."

"Aku sudah mengatakan padamu," gadisnya menyahut dengan sepenuh hati, "hidup atau mati akan selalu mengikutimu."

Salah satu orang bersenjata golok itu maju ke depan.

"Kalian sudah hampir mampus bicara apa?" ia membentak. "Luo Tie Yun, Nan Xing Lie, kuampuni kalian jika bersedia katakan dimana kitab itu!"

Xu Qiao yang masih diam-diam mengintip sudah mendekat dan mendengar kata-katanya dengan jelas. Dalam hati ia mengeluh diam-diam. Di dunia jianghu kitab pusaka selalu menjadi barang yang menarik untuk diperebutkan. Ternyata orang Wansui Gu juga tertarik dengan barang serupa.

Tentu saja ia pernah mendengar mengenai Wansui Gu. Ayahnya dan kawan-kawan dunia persilatan ada menyebut tidak hanya sekali. Sebuah lembah yang dihuni oleh para tukang racun jahat, itulah yang dapat terekam dalam otak seorang anak perempuan kecil. Tentu saja ia tidak berharap berurusan dengan salah satu orang Wansui Gu. Karena urusan racun dan obat bukan keahlian Keluarga Xu.

"Kitab apa?" si pemuda menyahut. "Katakan pada majikanmu, kitab berada di neraka! Jika masih menginginkannya, silakan ikut kami pergi mengambilnya."

"Putri kedua zhuren (majikan) sakit keras, memerlukan kitab yang kalian curi untuk menyembuhkannya, kau masih tidak mau menyerahkan?"

"Kalian mencari kitab racun untuk menolong orang?" si gadis berseru. "Atau untuk mencelakai orang!"

"Xiaoshimei (adik kecil seguru) baik-baik saja," kekasihnya menyambung, "kulihat kalian hanya mencari alasan konyol!"

Pemimpin orang bersenjata golok itu rupanya sudah tidak sabar lagi.

"Tangkap mereka! Geledah!"

Xu Qiao sebenarnya tidak ingin menampakkan diri. Pada dasarnya ia bukan seorang nona kecil yang suka ikut campur urusan orang lain. Ia juga tidak tahu persoalan antara orang-orang yang berkelahi ini, dengan sendirinya juga tidak tahu pihak mana yang salah dan mana yang benar. Akan tetapi melihat sekelompok manusia kasar mengeroyok dua orang yang sekarat, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menolong.

Ia menjumput segenggam salju dan melemparkannya ke pemimpin orang bersenjata golok yang botak kepalanya, tepat kena di dahinya. Gerakan nona kecil ini amat gesit, segera beberapa bola salju lain dilempar secara beruntun. Orang-orang bersenjata itu seketika dikacaukan oleh serangannya. Tiap orang terkena lemparan dalam waktu yang hampir bersamaan dan tidak diberi kesempatan menangkis ataupun menghindar.

Sebelum enam orang itu menyadari siapa yang melempari mereka, Xu Qiao berjalan mendekat dengan langkah tenang, memainkan gumpalan salju di tangannya dengan santai. Orang-orang bersenjata itu menghapus sisa salju dari wajah mereka, menampakkan air muka yang marah dan malu. Mereka saling pandang sesaat ketika mengetahui bahwa yang melempar hanya seorang nona kecil.

"Anak kecil kurang ajar!"

"Setan kecil!"

Seorang maju ke samping si botak. Mukanya bengis dan kaku seperti mayat hidup. Seumur hidup ia paling membenci anak-anak, kali ini seorang nona kecil berani menantangnya, amarahnya langsung timbul.

"Laoda (kakak tertua), kuhabisi anak ini dulu."

Si botak mengangkat tangannya.

"Tidak perlu dibunuh," sahutnya. Nada suaranya tenang tapi menggetarkan semua yang mendengarnya. "Patahkan saja kedua tangannya, kemudian potong lidahnya, biar orang tuanya tahu sudah salah mendidik anak."

"Baik!"

Si bengis itu senang sekali diberi kesempatan. Xu Qiao tenang saja, sama sekali tidak kelihatan siaga. Ia memandang ke bawah, kemudian mengangkat tangan kirinya, kedua kakinya bergantian membentuk gerakan yang bagi si botak tidak asing. Ia sudah pernah mendengar tentang Keluarga Xu dari Propinsi Anhui.

"Jurus xiao yan pu yi (walet kecil mengepak sayap). Rupanya kau Xu Guniang dari Huofeng Lou," katanya.

"Aku memang bermarga Xu," nona kecil itu tidak memandang sebelah mata pun padanya.

"Mana gurumu?"

"Kalian terlalu rendah, belum beruntung bisa bertemu dengan guruku."

Si botak tidak tersinggung.

"Kau nona keberapa?" ia bertanya lagi.

"Tidak peduli daguniang (nona pertama) atau wuguniang (nona kelima), aku akan potong-potong kau jadi sembilan bagian sebelum kukembalikan pada orang tuamu!"

Kawannya si botak yang berwajah bengis itu sudah tidak sabar lagi, langsung menyerang dengan golok di tangannya. Xu Qiao menghadapinya tanpa berniat mengerahkan langsung seluruh kemampuannya. Ia ingin mengenali jurus-jurus lawan lebih dulu. Ia memang hanya seorang nona kecil, tetapi bahkan si botak tahu nona kecil ini bukan nona kecil biasa. Boleh dikatakan bahwa ia bukan lawan yang bisa diremehkan.

Ayah Xu Qiao, Xu Cheng Hai adalah seorang tokoh yang dikenal dengan shijie jian fa (ilmu pedang alam semesta)nya. Lima putrinya masing-masing menguasai kemampuan yang berbeda, reputasi ayah mereka menyebabkan banyak pesilat tangguh bersedia menjadi guru kelima putri ini. Xu Qiao tidak terkecuali. Sejak kecil ia belajar ilmu dari berbagai aliran, juga mengenal ciri khas dari berbagai aliran dan perguruan, tidak terkecuali Wansui Gu. Jika hanya menghadapi keroconya maka seharusnya tidak akan terlalu menyulitkan.

Xu Qiao tidak menggunakan senjata. Ia hanya memanfaatkan kelincahan badannya, mengetahui bahwa lawan-lawannya mengutamakan tenaga luar yang keras sifatnya. Selama ini ia bukan tidak pernah berhadapan dengan musuh yang sebenarnya, dalam hal pengalaman boleh dibilang tidak kekurangan. Lawannya sedikit kerepotan, sudah belasan jurus lewat, bahkan ujung baju si nona pun mereka tidak bisa menangkap.

Si botak melihat keadaan ini, segera memberi isyarat pada kawan-kawannya. Empat orang lagi maju serentak, langsung mengepung Xu Qiao dengan ketat, menyerangnya secara beruntun dari berbagai arah seolah tidak ingin memberinya kesempatan untuk menarik nafas sekalipun. Si botak sendiri tidak ikut turun tangan. Ia menghampiri kedua muda mudi buruannya.

"Kekasihmu tidak akan bertahan lama," ia berkata pada yang pria. "Luo Tie Yun, cepat serahkan kitab itu. Tidak lama lagi nona penolong itu juga akan jatuh ke tanganku. Saat itu, tuan besarmu sudah tidak akan berbaik hati mengampuni jiwa kalian lagi!"

"Kau menyuruh anak buahmu, lima orang sekaligus mengeroyok seorang nona kecil, apa tidak takut ditertawakan orang?" yang wanita berkata pada si botak. "Kalian orang Wansui Gu ternyata hanya pandai menindas orang."

Si botak malah tertawa mendengarnya.

"Nona Keluarga Xu dari Huofeng Lou yang terkenal beraliran lurus bersih membantu dua orang pencuri," ia membalas tidak kalah sengit, "bukankah lebih pantas menjadi bahan tertawaan?"

Kata-kata mereka sampai ke telinga Xu Qiao. Konsentrasinya sedikit terganggu, jurus mudan miao wu (tarian gaib bunga botan)nya yang memang belum dikuasai dengan baik berhasil dipatahkan dan seketika salah satu golok lawan berhasil menyambar lengannya. Nan Xing Lie terpekik kaget melihatnya.

"Xiaoguniang!"

Nan Xing Lie sudah hampir maju membantunya, akan tetapi keadaannya sudah terlalu lemah, untuk tetap berdiri tegak saja ia sudah hampir tidak mampu. Luo Tie Yun menahannya. Si botak melompat ke arena pertarungan.

"Minggir semuanya!"

Lima anak buahnya lekas menyingkir sebelum diperintah kedua kali. Pemimpin mereka menggantikan, berhadapan langsung dengan Xu Qiao tanpa menggunakan senjata. Goloknya sudah dilemparkan ke pinggir, tinjunya adalah serangan mematikan, langsung mengarah pada si nona kecil.

Xu Qiao sudah berwaspada, maka ia lekas menghindar ke samping, sekali lagi memanfaatkan kelincahan badan kecilnya. Keseimbangannya masih baik, ia bersalto beberapa kali dengan gesit, sementara lawannya terus memburu. Serangan-serangan tinjunya kelihatan sangat berbahaya, membawa hawa tenaga yang keras dan mematikan. Xu Qiao tidak berani beradu tenaga secara langsung dengannya. Manusia-manusia licik yang menguasai segala macam racun di Wansui Gu yang ia tahu tidak pernah memandang lawan, siapa pun bisa kena racun mereka tanpa ampun.

Si botak juga mengetahui reputasi Huofeng Lou. Putrinya Xu Cheng Hai tidak mungkin tidak mengenal ilmu asli Wansui Gu. Maka ia mulai mengganti taktik, menggunakan serangkaian jurus yang kelihatan aneh. Xu Qiao mengetahui perubahan ini.

"Botak tua, ilmu apalagi ini?"

"Xiaoguniang," Luo Tie Yun berseru dari pinggir arena, "hati-hati, ilmu ming lou wu ying (embun bening tanpa bayangan) hanya tipuan!"

Tipuan ini rupanya Xu Qiao sedikit terlambat menyadari, mendadak si botak berhasil memaksanya beradu tangan. Lengan Xu Qiao yang terluka seketika terasa sangat nyeri. Si botak terhuyung beberapa tindak, Xu Qiao yang lebih lemah tenaganya terlempar beberapa tombak, masih bisa mendarat dengan kedua kaki, akan tetapi seketika itu ia merasakan kepalanya berputaran dan seluruh tubuhnya nyeri.

Si botak tertawa lebar melihatnya. Ia maju beberapa langkah, air mukanya nampak seperti orang yang baru berhasil menangkap mangsa empuk. "Xiaoguniang, lihat telapak tangan kananmu," ia berkata, "apakah ada titik hijau kecil disana?"

Tanpa sadar Xu Qiao melihat telapak tangannya yang kesemutan. Yang dikatakan si botak benar, ada sebuah tanda kehijauan.

"Kau...."

"Kau sudah kena racun," si botak berkata lagi. Reaksi si nona kecil sudah cukup jelas. "Racun ini dinamakan zixie du (Racun kalajengking ungu), buatan orang Wansui Gu. Dalam sepuluh hari kau tidak akan merasakan apa-apa, tetapi setelah itu kau akan merasakan bagaimana urat-uratmu putus satu persatu. Kalau tidak mati itu adalah keberuntunganmu, tapi paling tidak pasti akan cacad, lumpuh total seumur hidup."

Xu Qiao memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Ia tidak ingin merasa gentar, tapi jiwa kecilnya merasa takut juga. Ayahnya sudah pernah memperingatkan untuk tidak berurusan dengan orang Wansui Gu kalau tidak ingin merasakan racun mereka. Yang paling tidak diharapkan Xu Qiao adalah racun, akan tetapi sekarang ia malah mendapat ancaman seperti ini.

"Kuyakin kau punya obat penawarnya, benar tidak?" ia bertanya pada si botak.

"Aku tidak punya obat penawar," si botak menyahut dengan senang, "obat penawar hanya ada di Wansui Gu, jika mampu pergi ambil saja sendiri!"

"Diedie (ayah), aku ada disini!" Xu Qiao tiba-tiba berseru sambil melambaikan tangan ke arah belakang si botak dan orang-orangnya. "Shifu, Shishu, kalian juga datang. Bagus sekali, lekas bantu aku menghajar orang-orang Wansui Gu ini."

Air muka si botak berubah seketika. Ia sudah tahu identitas Xu Qiao, lima pengikutnya juga tahu reputasi Xu Cheng Hai, juga tahu siapa yang disebut guru dan paman guru oleh si nona cilik. Si botak masih sempat melihat ke belakang, mendapati serangkuman angin yang bergelombang mendekat. Tidak jelas apakah angin itu membawa kedatangan sejumlah orang, akan tetapi si bengis kawannya tiba-tiba sudah mendahului naik ke atas punggung kuda, diikuti empat lainnya, memaksa si botak juga menyambar tunggangannya dan ikut memacunya pergi ke arah utara.

Hanya sebentar saja hanya tersisa Xu Qiao bertiga di tempat itu, pengawal Wansui Gu agaknya tidak mau sampai berurusan secara langsung dengan majikan Huofeng Lou. Tentu saja, tidak ada Xu Cheng Hai atau siapa pun yang datang, seruan Xu Qiao hanya untuk menggertak saja.

"Terima kasih Xu Guniang sudah membantu kami," Luo Tie Yun berkata, lekas menyadari bahwa tidak ada orang lain yang datang.

Nan Xing Lie mendekati Luo Tie Yun, tanpa banyak bicara lekas memapahnya ke arah bangunan batu. Xu Qiao mengikuti, menyaksikan saja Nan Xing Lie membubuhkan obat pada luka-luka di badan kekasihnya itu, kemudian membalut luka besar di lengannya. Mereka tahu untuk sementara lolos dari bahaya, akan tetapi tidak yakin apakah mempunyai cukup waktu sebelum si botak dan kawan-kawannya datang lagi.

"Xu Guniang, tadi kulihat kau juga terkena golok mereka," ia kemudian berpaling pada Xu Qiao. "Apakah kau juga ada terluka?"

Xu Qiao baru menyadari bahwa lengan bajunya sobek terkena sambaran golok, tetapi ia tidak merasa sakit sama sekali. Rupanya golok salah satu pengikut Wansui Gu tadi hanya merobek bajunya, tidak sampai menggores kulit.

"Tidak," sahutnya sambil tertawa kecil. "Selain racun zixie atau apa itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jiejie, kau sendiri terluka, kenapa tidak lekas mengobati diri sendiri?"

"Sepanjang jalan dari Wansui Gu sampai kemari kami sudah biasa terluka dan kena pukul orang," Nan Xing Lie menyahut, "ditambah satu atau dua goresan juga sudah tidak begitu terasa lagi."

"Dari Wansui Gu sampai kemari jaraknya begitu jauh, kalian masih bisa lolos dari kejaran orang Wansui Gu boleh dibilang sangat beruntung," kata Xu Qiao, "ayahku berada jauh di Anhui, tidak mungkin sampai kemari, sebelum keberuntungan kalian habis, baiknya lekas pergi sebelum mereka kembali."

Nan Xing Lie menggeleng, "keadaan kami seperti ini, sudah tidak ada tenaga untuk lari," ia berkata sambil mengeluarkan sebuah bungkusan persegi dari balik pakaiannya. Bungkusan itu rupanya berisi sebuah kitab tipis, kemungkinan benda yang dicari oleh si botak dan orang-orangnya. Nan Xing Lie membalik-balik halamannya dengan cepat sambil menggumamkan zixie du, jelas sekali ia berusaha mendapati cara menawarkan racun itu untuk bisa menolong Xu Qiao.

"Jiejie, ada tidak?" tanpa terasa Xu Qiao menanya.

"Luo Dage," Nan Xing Lie menyerahkan kitab pada kekasihnya, "kau mengenal pengobatan lebih baik dariku, mungkin kau bisa menemukannya."

Luo Tie Yun mengambil kitab itu darinya dan membolak-balik halamannya dengan lebih lambat, jarinya menyusuri setiap baris tulisan dengan cepat dan teliti, tidak ingin sampai melewatkan apa pun.

"Aku juga adalah orang Wansui Gu," Nan Xing Lie berkata pada Xu Qiao, "yang disebut majikan oleh orang-orang yang mengejar kami itu sebenarnya adalah guruku, pengawal kirinya Wansui Gu, Bai Sui Zuo Du (Racun kiri berumur ratusan tahun) Zhou San Gong."

"Zhou San Gong yang kudengar tidak ada mengangkat murid," sahut Xu Qiao. "Dia kabarnya punya dua orang putri yang sama beracunnya, sama sekali tidak perlu lagi mengajarkan ilmunya pada orang luar."

"Kedua putrinya itu yang seorang hanya mau meracuni orang dan tidak suka mengobati," lanjut Nan Xing Lie lagi, "yang seorang lagi sebenarnya sangat berbakat dan suka mempelajari baik racun maupun obat, tetapi sayang sejak kecil sering digunakan oleh ayahnya untuk percobaan obat dan racun sehingga jadi penyakitan. Aku sendiri, meski ayahku juga mengerti ilmu pengobatan, tetapi malahan tidak bisa mengobati wabah di desa kami, hanya bisa diam menyaksikan ibuku meninggal dan akhirnya juga membiarkan diri sendiri tertular."

"Lalu kau bertekad mempelajari ilmu pengobatan yang lebih tinggi sehingga berguru pada tukang racun nomor tiga di Wansui Gu?" Xu Qiao bertanya. Ia menyebut Zhou San Gong sebagai tukang racun nomor tiga karena masih ada guru dan seorang kakak seperguruan.

"Benar," sahut Nan Xing Lie. "Kira-kira dua tahun yang lalu aku masuk ke Wansui Gu dan ternyata Zhou San Gong bersedia mengangkat sebagai murid. Aku tidak mengerti banyak mengenai reputasi Wansui Gu di dunia persilatan, sudah berada disana baru menyadari betapa busuk dan beracunnya hati orang-orang disana. Kemudian, aku bertemu Luo Dage."

Ia memandang ke arah Luo Tie Yun dengan penuh perasaan. "Luo Dage datang ke Wansui Gu untuk meminjam bahan obat dan kitab pengobatan yang dimiliki Zhou San Gong," sambungnya pula. "Ayahnya juga seorang tabib, atau boleh dibilang bekas seorang tabib, tetapi dicelakai orang sehingga tidak bisa berjalan lagi. Satu-satunya tempat yang punya ilmu pengobatan yang lebih baik mungkin hanya Wansui Gu, kemudian menyusup kesana. Tidak disangka Wansui Gu selain berisi manusia beracun juga dijaga oleh hewan-hewan beracun, saat itulah dia bertemu denganku."

Bisa ditebak yang selanjutnya terjadi. Luo Tie Yun masih muda dan cakap, Nan Xing Lie juga lembut dan cantik. Seorang murid yang berbeda watak dengan gurunya dan para penghuni Wansui Gu lainnya, dan seorang pemuda yang terluka yang disembunyikannya. Dalam waktu tidak lama mereka sudah saling mengakui perasaan masing-masing, kemudian sama-sama melarikan diri dari Wansui Gu, di saat yang sama Zhou San Gong mengetahui pengkhianatan muridnya.

"Jiejie, kalau begitu kau bisa mengobati racun zixie apa itu?" Xu Qiao bertanya padanya.

"Racun ini boleh dibilang sangat istimewa, tidak bisa begitu mudah dipunahkan terlebih jika hanya mengandalkan kemampuan orang biasa," Nan Xing Lie berkata. "Aku hanya belajar disana setahun lebih, dari ratusan jenis racun di Wansui Gu baru satu bagian saja yang kukenal."

"Kitab yang ini tidak ada memuat mengenai racun zixie secara langsung, akan tetapi ada menyebut beberapa racun lain yang punya karakter serupa," Luo Tie Yun berkata sambil merobek beberapa halaman dari kitab yang dipegangnya. "Xu Guniang bisa memberikan beberapa petunjuk ini pada orang yang mengenal pengobatan, mudah-mudahan bisa digunakan untuk memunahkan racun zixie."

Xu Qiao menerima beberapa lembaran itu dan menggenggamnya, ia nampak ragu.

"Lekaslah pergi," Nan Xing Lie berkata padanya, "kami berdua sama terluka, tidak bisa lagi pergi jauh, akan tetapi kau masih ada kesempatan. Mereka memburu kami, tidak akan melepaskan kami, kau tidak perlu menemani kami mati disini."

Xu Qiao sebenarnya bukanlah seorang pengecut dan tidak ingin pergi begitu saja, akan tetapi ia pun menyadari kemampuan sendiri masih sangat rendah, tidak cukup berdaya menghadapi orang-orang Wansui Gu. Menggunakan nama ayahnya untuk menggertak tidak bisa digunakan kedua kali, tetap berada disini juga tidak akan banyak gunanya.

"Aku tahu," ia berkata tiba-tiba, "ada sebuah tebing tidak jauh di sebelah barat tempat ini. Asalkan bisa mencapai tebing itu, mungkin bisa menyembunyikan diri dari orang-orang Wansui Gu, sementara mengobati luka dan memulihkan tenaga."

Ia tidak menunggu jawaban dari Nan Xing Lie berdua, kemudian keluar dari bangunan batu dan menghampiri kedua kuda hitam disana, menepuk pantat keduanya agar berlari pergi ke arah timur. Kedua hewan itu sama-sama sudah lelah dan tidak bisa lagi membawa penunggang mereka, akan tetapi tanpa penunggang setidaknya mereka masih bisa pergi jauh, meninggalkan jejak yang cukup jelas di tanah bersalju.

Nan Xing Lie memapah Luo Tie Yun, memaksakan semangat mereka, mengikuti Xu Qiao berjalan ke tebing yang disebutkan, berharap mereka masih bisa melihat matahari terbit esok hari.

Mereka terus melangkah tanpa berbicara, semangat berlipat ketika melihat tebing seperti yang disebutkan oleh Xu Qiao. Sebuah jurang yang curam, entah sedalam apa, akan tetapi ada bagian yang mempunyai beberap pijakan dan mereka seharusnya bisa turun kesana. Bukan tempat persembunyian yang nyaman, akan tetapi sepertinya tidak banyak pilihan.

Akan tetapi belum lagi mereka mencapai pinggiran tebing itu, musuh kembali datang dengan cepat, untuk menghindar tidak sempat lagi. Enam orang yang kemarin kembali bersama belasan kawan mereka, derap kuda-kuda mereka sebentar saja sudah terlihat. Kedua kuda milik Luo Tie Yun dan Nan Xing Lie yang tanpa penunggang ditarik oleh dua diantara mereka. Agaknya siasat Xu Qiao tidak berhasil, karena orang-orang Wansui Gu mempunyai tunggangan yang kuat dan jauh lebih cepat.

Kali ini yang memimpin orang-orang berkuda itu bukan lagi si botak yang kemarin, melainkan seorang lelaki setengah tua yang mengenakan pakaian hitam, wajahnya bopeng-bopeng, rambut di kepalanya berwarna abu-abu. Kuda hitamnya melesat bagai angin, jelas adalah kuda Monggolia yang kuat. Luo Tie Yun dan Nan Xing Lie mengenali orang ini sebagai Bai Sui Zuo Du Zhou San Gong, si tukang racun nomor tiga Wansui Gu.

Para pengejar itu mengepung mereka dengan rapat. Zhou San Gong maju, tidak turun dari kudanya.

"Kelihatannya, kalian sudah tidak bisa lari lagi," ia berkata dengan suara pecah yang tidak enak di telinga. "Xu Guniang aku masih bisa melepaskan, tapi pengkhianat perguruan tidak boleh diberi ampun."

"Zhou San Gong, lekas berikan obat penawar!" Luo Tie Yun berseru.

Zhou San Gong tersenyum mengejek.

"Obat penawar apa? Aku hanya ingin menangkap pengkhianat, urusan lain tidak mau ikut campur."

"Zhou San Gong, ayahku sebentar lagi akan tiba disini," Xu Qiao berkata, "antara Wansui Gu dan Huofeng Lou tidak ada permusuhan, akan tetapi jika ayahku sudah tiba disini, aku akan katakan padanya semua kebusukan Wansui Gu."

"Xu Guniang masih muda, belum mengerti urusan orang dewasa," Zhou San Gong tidak nampak gentar sedikit pun dengan nama Huofeng Lou, "masa ayahmu tidak memberitahukan, hidup di dunia persilatan tidak boleh sembarangan ikut campur urusan orang."

Luo Tie Yun mengeluarkan kitab pengobatan yang dibawanya.

"Zhou San Gong, kukembalikan benda ini padamu," teriaknya, "aku sendiri juga bersedia menggantikan muridmu menerima hukuman perguruan kalian. Tidak perlu sampai ada permusuhan dengan Huofeng Lou, urusan ini tanggung jawabku seorang."

Zhou San Gong memandang tajam padanya, sudut bibirnya menampakkan senyuman yang sinis. "Kitab yang sudah kotor oleh tangan pencuri, aku tidak mau lagi!" ia mengangkat tangan, hendak memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk menyerang.

"Tunggu!" Luo Tie Yun tidak ingin menyerah. "Tanpa kitab ini, kau tidak akan bisa menyembuhkan putrimu."

Zhou San Gong malah tertawa. "Huh! Di dunia ini masih ada seorang yixian (tabib dewa) yang bisa menolong putriku, aku tidak butuh segala macam kitab. Luo Tie Yun, Nan Xing Lie, aku hanya ingin mencabut nyawa kalian demi membersihkan perguruan. Mengenai orang Huofeng Lou, menyingkirkan salah satu putri Xu Cheng Hai juga tidak ada ruginya."

Pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Zhou San Gong masih tetap duduk angkuh di punggung kuda, anak buahnya yang bermuka bengis sudah sejak kemarin mengincar Xu Qiao, kali ini tidak akan melewatkan kesempatan. Luo Tie Yun dan Nan Xing Lie menghadapi si botak dan yang lainnya. Xu Qiao, Luo Tie Yun dan Nan Xing Lie tidak membawa senjata apa pun, sedangkan lawan hampir semuanya menggunakan golok yang baru saja diasah, jumlah mereka pun tidak sedikit, pertarungan sangat tidak seimbang.

Xu Qiao masih sangat muda, pengalamannya tidak cukup banyak. Si muka bengis yang dihadapinya kali ini ingin langsung membunuhnya, menyerang dengan senjata di tangannya dengan sembarangan, boleh dibilang tidak memedulikan segala macam aturan. Xu Qiao pun meladeni dengan tenang. Ia melompat kesana kemari dengan lincah, menghindar dan berkelit sambil mengejek. Tujuannya adalah membuat lawan serangan lawan semakin kacau sampai nantinya kelelahan sendiri. Perkiraannya benar, dalam dua puluh jurus saja si bengis itu sudah mulai kelelahan. Semakin ia penasaran maka serangannya semakin tidak beraturan.

"Anak kecil, jangan hanya menghindar saja!"

"Kau sudah kalah, lebih baik pulang saja!" Xu Qiao mengejeknya.

"Aku pasti akan mencincangmu!"

Si bengis itu bahkan tidak menyadari yang terjadi, tiba-tiba saja badannya terjatuh ke tanah seolah ada yang menjegal kakinya. Xu Qiao berlompatan di sekitarnya, menotok beberapa jalan darah di badannya sehingga ia tidak bisa bergerak lagi. Nona kecil ini tenaganya tidak besar tetapi gerakannya amat gesit dan tepat. Si bengis untuk sementara juga tidak akan bisa berdiri. Golok di tangannya diambil dan dilemparkan jauh-jauh.

Sementara Luo Tie Yun dan Nan Xing Lie sudah berhasil melumpuhkan dua orang, akan tetapi keadaan mereka tidak terlalu baik. Keduanya sudah kelelahan karena berhari-hari melarikan diri kesana kemari, baru beristirahat sebentar sudah bertarung lagi. Pengeroyok mereka pun terlalu banyak jumlahnya. Jeritan Nan Xing Lie terdengar sebentar kemudian.

"Luo Dage!"

Si botak melompat melewati bahu dua kawannya, berhasil menyabetkan goloknya ke lengan kanan Luo Tie Yun, memutuskan lengan itu sampai setengahnya. Darah menyembur sampai ke baju Nan Xing Lie. Ia bahkan belum sempat menyentuh ujung baju kekasihnya, seorang penyerangnya sudah berhasil melukai punggungnya dengan ujung golok yang tajam. Nan Xing Lie terjatuh ke tanah, akan tetapi ia masih sadar, tidak lupa dengan keadaan Luo Tie Yun.

"Luo Dage...."

Xu Qiao berhasil melumpuhkan satu orang yang menghalanginya. Ia terus mendekat ke arah Luo Tie Yun dan Nan Xing Lie. Si botak ternyata tidak berhenti menyerang meski melihat lengan lawannya sudah putus. Gagang goloknya menghantam dada Luo Tie Yun dengan keras, membuatnya terlempar ke arah jurang sana. Nan Xing Lie tidak sempat menghalangi.

"Luo Dage!"

Luo Tie Yun sudah lenyap, orang-orangnya Zhou San Gong memburu Nan Xing Lie. Perintah dari majikan mereka, kali ini mesti bunuh di tempat. Nan Xing Lie sudah terluka parah, tidak bisa segera bangun, hanya mampu bergulingan menghindar kesana kemari. Xu Qiao melihatnya. Ia lekas melompat, menghajar si botak dengan jurus tendangan hasil ajaran gurunya. Si botak berhasil dirubuhkan, satu orang kawannya yang lain terlempar hingga ke dalam jurang, akan tetapi satu orang yang lain berada di belakang Xu Qiao, membidikkan anak panah ke arah punggungnya. Busur direntangkan dengan cepat, anak panah pun melesat tanpa ampun menuju sasarannya.

Nan Xing Lie melihat keadaan itu, akan tetapi tidak sempat memberi peringatan sama sekali. Ia sedang sibuk menghadapi lawan, pikirannya terpecah sehingga pukulan salah seorang pengeroyoknya telak bersarang di dadanya, membuatnya sesak nafas beberapa saat sebelum jatuh tidak sadarkan diri.

Diluar dugaan, anak panah yang sedang melesat cepat ke arah punggung Xu Qiao mendadak tersambar oleh sesuatu yang tidak kelihatan hanya satu kaki sebelum mengenai sasarannya, lalu jatuh ke atas salju dalam keadaan patah menjadi dua. Rasa kaget orang yang menembakkannya melihat serangan ini gagal belum lagi hilang, lima diantara sebelas anak buah Zhou San Gong yang masih tersisa mendadak jatuh bergelimpangan sambil menjerit kesakitan, terkapar di tanah entah langsung tewas atau hanya tidak sadarkan diri. Suasana berubah seketika.

Satu sosok baru melesat bagai bayangan, melewati kepala mereka yang masih berdiri tegak, mendarat ringan di samping Xu Qiao. Seorang wanita, mengenakan pakaian serba putih tanpa mantel penghangat. Ilmu ringan badannya baik dan gerakannya memukau. Ia yang barusan merobohkan orang-orangnya Zhou San Gong dengan senjata rahasia.

"Siapa kau?" Zhou San Gong menuding ke arah punggung wanita yang baru saja melumpuhkan orang-orangnya. "Menyerang dari belakang sama sekali bukan tindakan ksatria!"

"Anak ini adalah putriku," terdengar suara dingin wanita itu, seperti suara roh penasaran, tetapi sangat jelas dan menggetarkan. "Anjing mana yang berani melukainya?"

"Bocah sudah lancang mencampuri urusanku dengan muridku, mengapa aku tidak berani melukainya?" Zhou San Gong berkata dengan pongah. "Satu lagi, putri kecilmu itu sudah terkena racun zixie yang luar biasa ganas, tanpa obat penawar dariku maka saat racunnya bereaksi dia akan mati dengan cara yang mengerikan. Membunuhnya sekarang berarti membuat kematiannya lebih enak, sama saja menolongnya!"

Wanita itu pelan-pelan membalikkan badan, menghadapi Zhou San Gong dengan sorot matanya yang tajam sekaligus mengandung kekejian yang luar biasa. Ia cantik, namun pada wajahnya yang sepucat salju itu tidak terlihat setitik pun perasaan kasih. Usianya masih muda, memperkenalkan diri sebagai ibu Xu Qiao jelas tidak sesuai. Dalam Keluarga Xu kedudukannya adalah sebagai nyonya kedua, sementara ibu kandung Xu Qiao adalah nyonya pertama.

Zhou San Gong sedikit terhenyak menghadapi wanita ini. Ia sudah pernah mendengar tentang kedua istri Xu Cheng Hai. Istri pertama bernama Xiang Yi Yi, seorang wanita yang tidak menguasai ilmu bela diri tetapi memahami sastra dengan baik dan kecerdasan luar biasa, sedangkan istri kedua belum lama masuk ke Keluarga Xu, seorang wanita yang menguasai ilmu bela diri tingkat tinggi. Dua istri yang merupakan perpaduan wuwen (ilmu silat dan ilmu sastra) yang sempurna.

Bao Xin Fei sendiri punya reputasi yang tidak bisa diremehkan dalam dunia persilatan. Gurunya adalah seorang tokoh wanita yang terkenal pada masa itu, ketua Haitang Jian Pai (Aliran Pedang Haitang) dan Bao Xin Fei adalah salah seorang murid utama, mewarisi ilmu perguruannya dengan sangat baik, bahkan paling unggul diantara semua saudaranya. Orang sempat mengira ia akan mewarisi gurunya menjadi ketua aliran yang selanjutnya, tetapi ia malah memilih menjadi istri muda orang. Perubahan kehidupan seperti ini, tentu saja menjadi pembicaraan banyak orang.

"Xuehua Zhishou (Si Tangan Bunga Salju) Bao Xin Fei?"

Nyonya itu bagai tidak mendengar ucapannya dan memedulikan reaksinya.

"Aku akan mengambil jiwa rendahmu untuk ditukarkan dengan nyawa putriku," katanya. "Kau boleh sampaikan permintaan terakhir."

Zhou San Gong tertawa keras. Ia tahu kelihaian nyonya kedua Keluarga Xu ini, dengan kekuatannya sekarang tidak akan bisa menang. Maka sebelum Bao Xin Fei bertindak, ia sudah menyebarkan sejumlah jarum rahasia ke arah Xu Qiao dan Nan Xing Lie, kemudian saat Bao Xin Fei sibuk menangkis serangan itu, dengan cepat ia melesat pergi, sisa anak buahnya menyusul berlarian menyebar untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Xu Qiao melihat Bao Xin Fei memburu mereka, ia tahu apa yang akan dialami oleh orang-orang Wansui Gu. Akan tetapi ia melarikan diri dari rumah demi menghindari Bao Xin Fei, saat ini pun ia tidak ingin sampai menghadapinya, dengan cepat ia mengambil kuda salah satu pengikut Zhou San Gong dan memacunya pergi secepat mungkin.

Xu Qiao menghabiskan beberapa hari berikutnya menghindari Bao Xin Fei. Ia memacu kuda melewati lembah dan hutan, menghindari jalan besar dan tempat ramai. Ia baru menemukan sebuah kota kecil beberapa hari kemudian, meninggalkan kudanya di pinggiran kota dan menyelinap masuk ke lorong-lorong kecil. Dilihatnya ada beberapa pengemis diantara keramaian kota, untuk sebentar ia berpikir untuk bergabung dengan mereka demi menghindari Bao Xin Fei. Akan tetapi kemudian ia melihat diri sendiri sudah sekian lama berpenampilan lusuh seperti seorang pengemis kecil, Bao Xin Fei akan mudah menemukannya dalam keadaan seperti sekarang.

Maka ia menukarkan satu perhiasan yang dibawanya dengan seperangkat pakaian bersih, mengganti penampilannya menjadi seperti seorang pelayan muda, kemudian duduk di sebuah kedai di pinggir jalan untuk mengisi perut dan melihat keadaan sekitar. Baru saja ia duduk, terlihat olehnya Bao Xin Fei juga sudah menyusul ke kota kecil itu, membawa Nan Xing Lie bersamanya, berusaha menemukan dirinya.

Dengan tenang ia menikmati secangkir teh, menyembunyikan wajah di balik punggung pemilik kedai, dan melihat Bao Xin Fei menghampiri sejumlah pengemis untuk mengawasi mereka satu persatu. Nan Xing Lie nampak mengikuti saja seperti orang kehilangan roh, kedua matanya nampak kosong, dan tidak berbicara sepatah kata pun. Tentu saja, karena ia baru saja kehilangan kekasihnya.

"Xuehua Zhishou Bao Xin Fei, Xu Erfuren," seseorang tiba-tiba bersuara di samping Xu Qiao, "murid kesayangan Weian Shuang Jian (Si Pedang Kembar) Yuan Wan Cui, Yuan Zhangmen (Ketua Yuan) dari Haitang Jian Pai."

Xu Qiao menoleh dan mendapati seorang anak muda yang hanya berusia satu dua tahun di atasnya, mengenakan baju panjang warna biru gelap dan wajahnya halus seperti porselen, duduk di kedai yang sama tidak jauh dari dirinya. Sorot mata anak muda itu tajam dan dingin, senyuman aneh yang menghiasi wajahnya tidak seperti senyuman anak muda tanggung bertemu seorang nona cantik, melainkan sebuah senyuman yang seakan menguasai pikiran orang yang ada di hadapannya.

"Siapa kau?" Xu Qiao menanya langsung, bersamaan ia juga menyapukan pandangan ke sekitar, khawatir bertemu anak muda usil yang datang bersama kawan-kawannya. Akan tetapi anak muda berbaju biru itu duduk sendirian, tidak nampak seorang pun datang bersamanya.

"Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang yang pergi jauh dari rumah demi menemukan seorang kawan lama," anak muda baju biru itu menyahut sambil meminum arak dari cawan di mejanya. "Kau menghindari orang-orang Haitang Jian Pai, apakah karena Xuehua Zhishou Qianbei hendak mengangkatmu sebagai murid?"

Ia memandang ke arah jalanan sebentar, membuat Xu Qiao ikut melihat kesana, mendapati Bao Xin Fei di seberang jalan bertemu dengan sejumlah wanita yang mengenakan pakaian berwarna putih dengan mantel warna kayu yang dipadukan dengan sangat serasi, masing-masing membawa senjata pedang tipis dengan gagang berukir kelopak bunga. Xu Qiao belum pernah melihat penampilan semacam ini, akan tetapi ia tahu Bao Xin Fei mempunyai pedang dengan ukiran serupa, hanya jarang menggunakannya.

"Markas Haitang Jian Pai berada sepuluh li di luar kota, anggota mereka kerap datang kemari untuk membeli kebutuhan sehari-hari," si anak muda baju biru kembali berkata pada Xu Qiao, "terkadang, juga untuk mencari orang."

"Haitang Jian Pai selamanya hanya menerima murid perempuan," Xu Qiao menyahut, "kau tahu begitu banyak mengenai mereka, apakah juga tertarik menjadi murid Yuan Zhangmen?" ia sedikit menyindir penampilan si anak muda yang terlalu halus.

"Guruku lebih hebat dari nyonya tua itu, dengan sendirinya aku tidak tertarik dengan pedang bunga atau jurus teratai mustika aliran mereka," si anak muda menyahut santai, tidak nampak tersinggung.

"Gurumu siapa?" tanya Xu Qiao pula.

"Hanya seorang serigala tua," sahut si anak muda.

"Mana ada murid mengatai guru sendiri serigala tua," kata Xu Qiao sambil tertawa. "Eh, kaubilang markas Haitang Jian Pai berada sepuluh li diluar kota, bisakah kau menunjukkan padaku mesti pergi ke arah mana?"

"Aku bisa mengantarkanmu jika kau tidak keberatan," sahut si anak muda, "tetapi kau sedang menghindari Xuehua Zhishou, buat apa mengantarkan diri sendiri ke depan pintu perguruannya?"

"Aku tidak berminat berurusan dengan Bao Xin Fei, hanya perlu menyembunyikan diri beberapa hari sampai dia kehilangan jejak sama sekali," kata Xu Qiao. "Kata orang tempat paling berbahaya adalah yang paling aman, Bao Xin Fei tidak akan sedikit pun menduga aku akan menemui gurunya."

Si anak muda mengangkat alis, memandangnya dan kembali tersenyum, kedua matanya berbinar. Sebentar kemudian ia menganggukkan kepala, kemudian membiarkan Xu Qiao mengikutinya meninggalkan kedai, menyelinap dari pandangan Bao Xin Fei dan orang-orang Haitang Jian Pai dengan mudah, menuju keluar kota.

"Eh, kau belum memberitahukan padaku, siapa namamu," Xu Qiao berkata saat mereka sudah berada di jalan ke arah pegunungan. "Sepertinya kau tidak asing, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Kita baru pertama kali bertemu hari ini," anak muda itu menyahut, "tetapi Xu Guniang mungkin pernah bertemu dengan saudaraku."

"Saudaramu? Saudaramu siapa?" tanya Xu Qiao pula. "Juga, darimana kau mengetahui aku bermarga Xu? Aku belum menyebutkannya padamu."

"Ayahku mengenal banyak tokoh dalam dunia persilatan, guruku mengetahui lebih banyak lagi," sahut si anak muda dengan gaya misterius, "rasanya aku hanya mengikuti kebiasaan mereka saja."

"Kau ini seorang yang aneh sekali," sahut Xu Qiao lugu.

Mereka tidak banyak saling bicara lagi sampai tiba di atas gunung. Si anak muda baju biru menghampiri sebuah batang pohon yang sudah mati, dan Xu Qiao melihat pada pohon terdapat sebuah bekas telapak tangan manusia, nampak jelas dan dalam, membuat batang pohon retak dan pelahan mati. Bekas pukulan itu nampaknya sudah lama, entah siapa yang menghantam batang pohon sampai sedemikian.

Di sekitar tempat itu terdapat beberapa pohon lain dengan keadaan serupa, nampaknya bekas sebuah arena pertarungan. Si anak muda baju biru sedikit berubah air mukanya, tetapi tentu saja Xu Qiao tidak mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.

"Xu Guniang, aku hanya bisa mengantar sampai disini," si anak muda tiba-tiba berkata, "Anda juga tahu Haitang Jian Pai hanya menerima murid perempuan, sejak lama juga tidak suka kedatangan tamu laki-laki. Aku tidak berencana berkenalan dengan mereka, maka untuk selanjutnya silakan Anda meneruskan sendiri. Pintu depan ada di sebelah barat, bisa terus melalui jalan ini. Di sebelah timur ada hutan kecil, jika ilmu ringan badan Anda cukup baik bisa melalui lereng di sebelah sana untuk menuju pintu belakang."

"Baiklah," Xu Qiao tidak perlu menyebut bahwa ia tidak akan mengambil jalan depan. "Terima kasih sudah mengantarkanku. Lain hari, jika kita bertemu lagi, mungkin aku akan mentraktirmu minum arak."

Anak muda itu meninggalkannya, berbalik menuruni kembali lereng gunung. Xu Qiao menunggu sebentar sampai sosoknya menghilang di persimpangan, kemudian ia melangkah ke dalam hutan kecil. Hutan itu tidak terlalu lebat, tebing ke arah gunung juga masih bisa terlihat dengan jelas. Atap bangunan markas Haitang Jian Pai terlihat diantara dedaunan dan kabut tipis, Xu Qiao yakin bisa masuk kesana sebelum hari gelap.

Ia mendapati bagian tebing yang landai tidak lama kemudian, bebatuan menonjol di dinding tebing membuatnya tertarik untuk menggunakan ilmu ringan tubuh yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Kemampuannya masih rendah, belum bisa melompat ringan sampai ke atas atap rumah seperti ayahnya atau kawan-kawan ayah ibunya yang kerap berkunjung ke Huofeng Lou. Akan tetapi di tempat seperti ini ia ingin berlatih sebentar.

Ia melesat ke arah tebing, dengan mudah mencapai batu besar pertama, membuat keyakinannya tumbuh. Sekali loncat ia kembali menapakkan kaki di bongkahan batu lainnya, kemudian di batu berikutnya demikian sampai ia mencapai setengah lereng.

Tubuh kecilnya kembali melayang menuju batu lainnya yang cukup jauh, berhasil mencapai tujuan dengan tepat. Akan tetapi batu terakhir ini rupanya bukan sebuah tempat berpijak yang cukup kuat, tubuhnya tiba-tiba meluncur jatuh ke bawah tebing, bahkan tidak sempat lagi menggapai akar tanaman yang berada di sekitar.

Ia bergulingan ke bawah, menemui sebuah lubang dan langsung terperosok ke dalamnya. Ia berteriak kaget, badannya terus bergulingan, sampai akhirnya mendarat di tumpukan rumput kering.

Xu Qiao antara sadar dan tidak. Kedua matanya masih bisa terbuka, akan tetapi yang ditemuinya hanya kegelapan. Seluruh badannya terasa sakit, tulang-tulangnya seperti sudah patah semua. Barusan ia terbanting cukup keras ke dasar gua ini. Sebelum menyadari yang terjadi, ia meraba kepalanya, mengusap dahinya dan menemukan ada rasa nyeri yang tidak tertahan. Sesaat kemudian pandangannya berkunang-kunang, ia tidak ingat apa-apa lagi.

Saat matanya terbuka kembali, ia sudah berada di sebuah ruangan gua, nyaris tanpa penerangan. Hanya sedikit sinar matahari yang berhasil menyusup masuk dari atas sana, suara tetes air menimpa batuan padas terdengar jelas. Ia mencoba berdiri dan seketika merasakan luka di kaki dan tangannya, punggungnya, bahkan keningnya terasa nyeri, mungkin karena membentur sesuatu yang keras. Kemudian pelan-pelan ia baru mengingat yang sudah terjadi.

"Xiaoguniang, kau sudah sadar?" suara seseorang mendadak terdengar olehnya. Xu Qiao segera menemukan asal suaranya. Seseorang sudah berada tidak jauh dari tempatnya berada. Xu Qiao tidak mengenalnya.

"Si-siapa kau?"

Seorang pria yang usianya sulit ditaksir. Tubuhnya tinggi dan kurus, meski tulangnya nampak kuat dan kekar. Wajahnya hitam kebiruan seperti orang terkena racun hebat, seluruh kulit badannya yang terlihat juga berwarna serupa. Kumis dan berewoknya tumbuh tidak karuan, rambut di kepalanya sama saja. Penampilan yang tidak jauh beda dengan pengemis kotor di jalanan, pakaiannya lusuh seperti kaum gelandangan dengan wajah yang mengerikan.

Bagi Xu Qiao yang merupakan putri majikan Huofeng Lou, meski sudah setengah tahun menjalani pelarian, sosok seperti ini bagai berada jauh diluar dunianya. Ia mundur karena kaget.

"Siapa aku?" orang itu balas bertanya, nada bicaranya santai sekali. "Yang jelas aku bukan orang baik. Sejak kakekku meninggal aku sama sekali tidak punya keluarga, tidak ada orang yang menginginkanku. Sejak guruku meninggal, malahan aku tidak punya kawan, malahan musuh semakin lama semakin banyak. Kau anak kelinci jika ingin menjadi salah seorang diantara mereka, boleh saja."

Orang itu tertawa sumbang, jelas tidak membawakan sedikit pun kesan baik bagi Xu Qiao. Sikap angkuhnya timbul. Ia memalingkan muka. Orang itu mendekat, tiba-tiba menangkap dagunya dan memandangi wajahnya, bahkan membuka kelopak matanya. Gerakannya sangat cepat, Xu Qiao tidak sempat menghindar.

"Ternyata seorang nona kecil," orang itu berkata, "sayang sekali…."

Xu Qiao memandang tajam padanya seperti ingin menanyakan maksud kata-katanya.

"Sayang sekali, hidupmu sudah tidak lama," kata orang itu lagi.

Xu Qiao tahu dirinya sudah terkena racun berbahaya, yang dikatakan oleh orang ini sama sekali tidak salah. Ia memandangi orang itu dengan tajam, menemukan bahwa meski wajahnya sangat tidak enak dilihat dan penampilannya tidak karuan, ada kelembutan bersembunyi di balik sorotan matanya. Satu sosok yang bisa menjadi pelindung bagi siapa pun. Ia tiba-tiba merasakan, orang ini sama sekali tidak jahat, ketakutannya pelan-pelan menghilang.

"Aku sudah terkena racun," katanya pada orang itu. "Bagaimana kautahu?"

"Kau kena racun zixie dari Wansui Gu, jika tidak mati paling-paling akan cacad seumur hidup," sahut orang itu. "Bagus juga, aku Hua Jin Shui akan menghabiskan belasan tahun di tempat ini, ternyata Tian masih berbaik hati mengirimkan seseorang untuk menemaniku."

"Kau juga tahu zixie du?" Xu Qiao sangat penasaran. "Siapa kau?"

"Zixie du sih aku belum pernah mencicipi, tetapi kalau orang Wansui Gu aku pernah bertemu beberapa kali," sahut orang itu pula. "Jika mereka meracuni orang, maka selamanya tidak pernah memberikan penawar. Meski kau menangkap salah seorang dan memaksanya mengeluarkan obat, jangan harap orang itu akan memberikan. Karena jika salah satu dari mereka terkena racun sendiri pun terpaksa juga harus mati."

"Ha?"

"Mati kena racun mereka meskipun tidak enak tetapi toh akhirnya mati juga. Kenapa mesti dipusingkan?"

Xu Qiao menyingkirkan beberapa helai rumput kering dari rambutnya. Ia berusaha mengingat-ingat bagaimana bisa sampai kemari.

"Aku datang kemari demi menghindari Bao Xin Fei, semula hendak bersembunyi di markas perguruannya," katanya kemudian, "tidak disangka malahan jatuh kemari."

"Bao Xin Fei siapa?"

"Orang yang tidak kusukai," Xu Qiao tidak ingin menyebutnya sebagai ibu muda.

Orang itu berbalik, menghampiri bekas perapian yang sudah padam sama sekali, kemudian duduk sambil memainkan ranting kayu. Ia memberi isyarat pada Xu Qiao untuk mendekat.

"Mau apa?" Xu Qiao bertanya dengan ragu.

"Aku sedang memanaskan arak, kau mau menemaniku minum disini atau menunggu sampai racun di badanmu bereaksi dan kesakitan sendiri?"

Xu Qiao tidak punya pilihan lain. Ia terperangkap dalam gua ini, tidak tahu letak jalan keluar juga tidak tahu masih punya kesempatan keluar atau tidak. Terlebih, ia ingin menghindar jauh-jauh dari Bao Xin Fei, jika meninggalkan gua sekarang bisa jadi akan jatuh ke tangan mereka lagi, kelak ingin melarikan diri akan menemui lebih banyak kesulitan. Berkawan dengan seorang aneh yang kesepian mungkin akan membawa arti tersendiri dalam hidupnya, mungkin juga akan mengembalikan semua keceriaan masa muda yang lenyap sejak kehadiran Bao Xin Fei di keluarganya.

Didekatinya orang itu, dilihatnya di tengah abu bekas perapian ada sebuah guci kehitaman. Tutupnya sudah terbuka, tetapi tidak ada bau arak yang tercium.

"Kau sedang apa?" ia bertanya pada Jin Shui.

"Ini adalah buzui jiu (arak tidak mabuk)," sahut yang ditanya. "Arak yang sangat langka. Kau harus mencobanya sedikit."

"Buzui jiu? Mana ada arak yang tidak membuat mabuk?"

"Kau tidak percaya?"

Disitu hanya ada satu buah mangkuk. Jin Shui menuangkan arak ke dalamnya hingga penuh, kemudian disodorkannya pada Xu Qiao. Si nona tentu saja tidak lantas menerimanya. Ia tidak terbiasa minum arak, ayah ibunya tidak mengijinkan karena ia masih kecil.

"Aku minum dulu," Jin Shui nampak sedikit tersinggung, kemudian dihabiskannya sendiri arak itu. Semangkuk penuh dihabiskannya dengan sekali teguk. "Arak bagus!" ia memuji sendiri juga.

Xu Qiao merebut mangkuk dari tangannya dan menuangkan untuk dirinya.

"Aku ingin lihat, buzui jiu ini apa memang tidak bisa membuat orang mabuk."

Ditegaknya isi mangkuk itu. Ia tidak mencium bau arak, maka tidak khawatir sama sekali. Ternyata buzui jiu memang bukan arak. Xu Qiao memuntahkannya kembali.

"Aiya! Ini hanya air biasa," serunya. "Kau…."

Jin Shui tertawa keras, bergulingan di lantai sambil memegangi perutnya seperti habis melihat lelucon besar. Suara tawanya memenuhi ruangan. Orang ini benar-benar gila, Xu Qiao berkata dalam hati.

"Tentu saja hanya air biasa," Jin Shui berkata. "Aku sudah delapan bulan dikurung di dalam gua ini, sama sekali tidak pernah merasakan kenikmatan dunia. Orang-orang Haitang Jian Pai itu seperti biarawati, hanya tahu makan nasi dengan sayuran hambar, minum air teh saja sepertinya tidak pernah, mana mungkin berbaik hati membelikan arak sungguhan dan mengantarkannya padaku."

"Kau menipuku."

Jin Shui membaringkan badan di lantai gua yang dingin, menikmati sisa buzui jiu seorang diri seperti sungguh-sungguh sedang menikmati seguci arak yang bagus. Xu Qiao geleng-geleng kepala. Ia masih merasa pusing karena terjatuh dari atas tebing sampai ke lubang bawah tanah, tetapi kelakuan orang di hadapannya ini lebih banyak menyita perhatiannya.

"Buzui jiu dibuat dari air gua ratusan tahun, direbus dalam tanah secara pelahan, ditutup dengan batu padas agar aromanya tidak hilang," Jin Shui berceloteh seorang diri, "di dunia hanya ada satu guci saja, benar-benar barang langka yang tidak bisa didapatkan sembarangan."

"Kau ini sudah sinting ya?"

Jin Shui tidak menyahut. Ia sibuk sendiri dengan minumannya.

"Kaubilang sudah delapan bulan dikurung di gua ini," Xu Qiao berkata lagi. "Siapa yang mengurungmu? Kenapa?"

Jin Shui menuangkan sisa bu zui jiu ke badannya, membuat diri sendiri basah kuyub, kemudian ia duduk. Guci kosong diletakkan kembali di tengah tumpukan abu perapian. Ia bersila dengan dua tangan di depan dada, kemudian dua jari telunjuknya dipindahkan ke kedua sisi keningnya. Asap tipis terlihat. Air yang membasahi tubuhnya sebentar kemudian menguap begitu saja. Xu Qiao terpana. Jelas ini adalah sejenis ilmu tenaga dalam tingkat tinggi, entah Hua Jin Shui ini sebenarnya tokoh macam apa.

Pamer tenaga dalam itu hanya sebentar. Sisa arak palsu di badan Jin Shui lenyap tanpa bekas. Ia memandang sekilas pada Xu Qiao yang masih terpana melihat kelakukannya.

Jin Shui adalah anak kecil yang dibawa oleh Mo Ying ke Zi Lan Hua Yuan di tepi Danau Xuanwu tujuh tahun yang lalu. Tentu saja, saat ini ia sudah bukan lagi anak kecil yang lugu dan baik hatinya. Tujuh tahun ini dihabiskannya dengan tidak mudah, orang yang memburu ia dan gurunya semakin banyak. Tetapi dalam pelarian itu, Mo Ying juga sudah mengajarkan seluruh kemampuannya dan memberitahukan banyak hal padanya.

"Kau pernah mendengar tentang Yumen Jiao (Aliran Pintu Neraka) tidak?" Jin Shui tiba-tiba bertanya.

"Yumen Jiao?" Xu Qiao adalah putri majikan Huofeng Lou, mengenai segala macam partai dan aliran ia sudah mendengar banyak, nama ini pun tidak asing baginya. "Yumen Jiao dikenal orang sebagai aliran sesat, ajaran menyimpang dan tempat para penjahat kejam. Pemimpin mereka waktu itu, kabarnya mempelajari sejenis ilmu iblis yang perlu mengorbankan jiwa manusia."

Jin Shui memandangnya. "Wah, kau anak kelinci bagaimana bisa mengenal begitu banyak reputasi tidak baik? Kekejaman dunia persilatan, masakah ayah ibumu juga perlu memberitahukan padamu? Atau kau yang diam-diam suka mendengarkan pembicaraan orang tua?"

"Apanya yang perlu disembunyikan?" tanya Xu Qiao. "Huofeng Lou kami seringkali kedatangan tamu dunia persilatan, mereka menemui ayahku dan sering membicarakan berbagai hal yang terjadi di luaran, aku dan empat jiejie-ku, semuanya sudah terbiasa mendengarkan."

"Sepuluh tahun yang lalu ketua aliran ini, Tong Jian Lei Shen (Dewa Petir Pedang Perunggu) Wu Yao Wei memang sudah terbunuh oleh Liang Tian Jian Shen (Dewa Pedang Langit Terang) Zhang Zhe Liang," Jin Shui mulai bercerita, "waktu itu markas-markas aliran dihancurkan, semua pengikut aliran tidak ada yang lolos. Yang berada di luaran semua diburu, bahkan keluarga mereka pun tidak dilepaskan. Riwayat Yumen saat itu seharusnya sudah berakhir. Akan tetapi delapan pelindung partai tidak akan begitu saja membiarkan aliran Yumen lenyap dari muka bumi."

"Yang kudengar orang aliran Yumen dulu adalah musuh seluruh dunia persilatan," Xu Qiao menyela. "Karena itu ketika ketua mereka terbunuh, orang-orang yang lain dengan senang hati membantu mencabut rumput sampai ke akarnya. Jika sampai ada pelindung aliran yang bisa lolos, pastinya juga tidak akan bertahan lama."

"Saat itu para pelindung Yumen juga tahu tidak akan bisa lolos, maka masing-masing memberikan tenaga dalam hasil latihan mereka selama bertahun-tahun dan senjata pusaka mereka kepada pewaris mereka, delapan anak yang dianggap berbakat. Juga membagi kitab wuqing xue (ilmu tanpa perasaan) menjadi delapan bagian, setiap bagian diberikan pada salah satu anak."

"Memindahkan tenaga dalam?" tanya Xu Qiao. "Memangnya bisa?"

"Orang lain memang tidak bisa, tapi para pelindung Yumen bisa," sahut Jin Shui, "karena itu mereka juga yang diberi tugas mengumpulkan pewaris, bukan yang lain. Ketika perintah diturunkan, mereka mesti mengumpulkan delapan, bukan satu, bukan sembilan, tapi persis dengan jumlah pelindung yang ada."

"Yumen adalah aliran iblis," kata Xu Qiao, "kalau begitu delapan pewaris ini juga membawa ilmu iblis? Kalau begitu, seharusnya mereka semua juga tidak boleh dilepaskan."

"Yang mengetahui masalah ba hou ren (delapan pewaris) ini hanya orang dalam, selain delapan pelindung partai tidak ada yang tahu, maka dengan sendirinya tidak ada orang yang memburu mereka. Para pelindung Yumen kemudian dihabisi satu persatu, tetapi pewaris mereka tetap tidak tersentuh. Sampai sekitar dua tahun yang lalu. Yuan Wan Cui, Yuan Zhangmen dari Haitang Jian Pai menemukan keberadaan dua pelindung Yumen yang terakhir, Mo Ying dan Meng Gui, bersama dua diantara delapan bocah itu dan putri Meng Gui. Saat itulah baru ia tahu bahwa para pelindung Yumen sudah mempersiapkan kebangkitan kembali alirannya di masa yang akan datang."

Jin Shui bercerita dengan menarik. Xu Qiao mendengarkan dengan seksama.

"Mo Ying tewas di tangan Yuan Wan Cui dan Meng Gui terluka parah. Pewaris dan putri Meng Gui, Qin Liang Jie dan Qing Yi, tidak jelas nasibnya. Penerus Mo Ying semula menjadi pesuruh di markas Haitang Jian Pai, potongan wuqing xue yang dibawanya diambil, akan tetapi penerus Mo Ying tidak menyerah, terus melatih ilmu yang sudah ada dalam ingatannya dan tenaga sesat dalam tubuhnya, akhirnya ketahuan dan delapan bulan yang lalu dikurung di dalam gua ini demi menghalanginya menjadi bibit yang suatu hari akan membangkitkan kembali Yumen Jiao."

"Kenapa tidak dibunuh saja?" Xu Qiao mengajukan pertanyaan dengan tenang, tetapi sebelum Jin Shui memberikan jawaban, ia menyadari satu hal. "Kau… satu diantara delapan pewaris itu?"

Jin Shui menganggukkan kepala.

"Aku adalah penerus Mo Ying. Yuan Wan Cui mengurungku disini dan tidak langsung membunuhku meski sudah tahu aku adalah salah satu pewaris Yumen yang kelak akan membangkitkan kembali aliran. Tindakannya ini sepertinya memang tidak sesuai dengan sifatnya. Aku tidak tahu tujuannya. Dia sangat membenci Yumen Jiao, sejak awal seharusnya juga membantu mencabut rumput sampai ke akarnya itu."

"Kau… seharusnya dibunuh…." Xu Qiao mengucapkan kata terakhir dengan ragu. Ia kerap mendengarkan cerita mengenai kekejaman Yumen saat ia masih berada di Huofeng Lou, akan tetapi belum pernah melihat sendiri. Kekejaman yang pernah didengarnya itu tidak terlihat ada pada Jin Shui, yang nampak olehnya hanya seorang kawan yang bernasib kurang baik, seorang diri di dunia, dan dikurung oleh sekelompok wanita.

"Saat itu Yuan Wan Cui memaksaku menelan racun, bukan yang mematikan, tetapi racun ini membuatku tidak boleh bertemu dengan sinar matahari. Waktu itu aku hanya kena sedikit, seluruh badanku sudah membiru seperti ini. Nyonya busuk itu mengatakan, asalkan aku baik-baik di dalam gua, tidak akan mati." Ia menyebut 'hanya kena sedikit' dengan tidak jujur. "Maka delapan bulan ini, aku terpaksa hanya berdiam disini."

"Apakah dia ingin mengumpulkan tujuh pewaris yang lainnya?" Xu Qiao bertanya.

Jin Shui tertawa kecil. "Nyonya busuk itu tidak akan bisa menemukan tujuh pewaris yang lain," katanya.

"Kenapa?" tanya Xu Qiao lagi.

"Delapan pewaris semuanya adalah pilihan, lima diantaranya adalah putra putri keluarga terpandang, sudah pasti dilindungi oleh keluarganya masing-masing, bahkan Yuan Wan Cui tidak bisa menyentuh mereka, meski dia bisa menemukan orangnya juga tidak akan bisa melihat tanda-tandanya begitu saja. Para pelindung Yumen sejak awal sudah mempersiapkan semuanya dengan teliti. Delapan pewaris merupakan harapan Yumen yang terakhir, tentu saja tidak akan begitu mudah dilenyapkan. Jika Yuan Wan Cui bersikeras, bisa jadi harus menghabiskan seumur hidup juga tidak akan mendapatkan semuanya."

"Aku tahu," Xu Qiao berkata. "Dia menahanmu disini, tujuannya adalah untuk mendapatkan wuqing xue secara lengkap. Jika bisa menguasai kitab pusaka warisan aliran iblis besar, bisa jadi ilmunya akan menjadi sangat hebat, tidak tertandingi. Demi tujuan ini, cara apa pun bisa dilakukan."

"Aku juga berpikir demikian."

"Mengenai mengumpulkan kedelapan pewaris juga bukannya tidak ada cara," Xu Qiao berkata lagi. "Para pelindung Yumen Jiao membagi wuqing xue menjadi delapan bagian, pasti berharap suatu saat delapan bagian ini akan berkumpul kembali, menjadi satu kesatuan yang cukup kuat untuk membangkitkan kembali aliran mereka. Kalau hanya tinggal kalian delapan orang yang tersisa, diantara kalian pasti ada yang tahu bagaimana menemui tujuh yang lainnya dan menyatukan seluruh kekuatan kalian."

Jin Shui tersenyum padanya. "Kau sangat cerdas," ia memuji, "benar. Sayang sekali hanya satu diantara kami yang tahu bagaimana cara mengumpulkan tujuh yang lainnya, yaitu pewaris Chai Lang. Di kemudian hari, Yumen Jiao bisa bangkit lagi atau tidak sudah jelas tergantung padanya. Orang itu, tentu saja bukan aku."

"Meski bukan kau, aku rasa kau tahu dimana bisa menemukannya," sahut Xu Qiao. "Yuan Zhangmen itu mengurungmu disini demi menemukan jawabannya. Aku yakin kalau waktunya sudah tiba kau akan mengatakan sendiri."

"Kau salah. Aku hanya tahu nama-nama mereka tetapi tidak tahu mereka putra keluarga mana atau berada dimana. Sampai hari ini aku hanya tahu, tugasku adalah melatih wuqing xue sesuai dengan yang sudah kuhafalkan sejak tujuh tahun lalu dan menunggu kedatangan pewaris Chai Lang itu. Aku tidak tahu harus menunggu sampai kapan, juga tidak tahu apakah dia akan datang atau tidak."

"Jika dia benar-benar datang, apakah kau juga akan bersamanya membangun kembali Yumen?" tanya Xu Qiao.

"Tentu saja," sahut Jin Shui.

"Mana boleh begitu?"

"Memangnya kenapa?"

"Sudah jelas aliran sesat, jika bangkit kembali hanya akan menimbulkan bencana dan akan mengacaukan dunia persilatan. Kalau kau menginginkannya, artinya kau juga adalah orang jahat. Ayahku mengatakan, orang-orang yang seperti ini pantas mati."

"Ayahmu siapa?" tanya Jin Shui.

"Tie Mu Bao Jian Xu Cheng Hai dari Huofeng Lou," Xu Qiao tidak khawatir menyebut mengenai ayahnya.

"Xu Cheng Hai?" Jin Shui sudah mengenal nama ini dari Mo Ying. "Ayahmu adalah kawan baik anak murid Zhang Zhe Liang, orang yang sudah membunuh ketua kami."

"Benar, dan aku juga pernah belajar beberapa jurus dari murid pertama Liang Tian Jian Shen, Gang Jiao Daxiong (Pendekar Kaki Besi) Zhang Xiang Hui," sahut Xu Qiao. "Kalau begitu, Liang Tian Jian Shen terhitung sebagai kakek guru. Sedangkan kau dan aku, boleh dikatakan kita adalah musuh."

Jin Shui tertawa lagi. "Kau hanya seorang gadis kecil, aku orang yang sudah mau mati, kau juga sudah mau mati," ia berkata. "Kita bisa bertemu disini karena jodoh, antara kita sebenarnya tidak ada dendam. Masalah dua generasi yang lalu tidak perlu ikut campur, lebih baik menikmati sisa hidup dengan tenang, bukankah begitu?"

"Kaubilang para pelindung Yumen sudah mempersiapkan semuanya dengan teliti, mestinya mereka juga sudah memperhitungkan supaya kau bisa lolos dan berkumpul kembali dengan pewaris yang lainnya," kata Xu Qiao. "Artinya, kau tidak akan mati sia-sia di tempat ini. Kurasa, saat pewaris Chai Lang itu datang, dia sekaligus bisa mengobati racunmu juga."

"Bisa jadi seperti itu," sahut Jin Shui. "Aku juga tidak tahu."

"Kalau begitu kau harus berjanji padaku," kata Xu Qiao.

"Berjanji apa?"

Xu Qiao mengacungkan jari kelingkingnya. "Berjanji tidak akan bermusuhan denganku, jika melanggar tidak akan bisa reinkarnasi. Cepat kait jari."

Jin Shui tertawa kecil. "Xiaoguniang, aku Hua Jin Shui sudah terpilih menjadi salah satu penerus dari delapan pelindung Yumen, nasib seperti ini apa masih bisa dihindari?" tanyanya, "jika menyetujui masalah ini, takutnya kelak kau yang harus ikut aku bergabung dengan aliran sesat supaya aku masih punya kesempatan bereinkarnasi menjadi orang yang bisa menentukan nasib sendiri."

Xu Qiao menurunkan tangannya. Ia hanya seorang gadis kecil, banyak hal yang belum dipahaminya. "Kau adalah orang pertama yang mempercayaiku, bersedia menceritakan rahasia hidup yang paling penting," ia berkata dengan serius. "Jika bisa berkawan denganmu selamanya maka bagus sekali. Jika harus bermusuhan, kurasa aku sedikit tidak sampai hati."

Jin Shui tersenyum. "Aku melihat kau sebagai orang yang hampir mati, aku pun tidak yakin masih punya umur panjang, makanya menceritakan rahasia ini padamu," katanya, "Mo Ying Shifu sudah memberitahu, tidak boleh sembarangan membicarakan masalah ini pada orang luar. Yuan Wan Cui nyonya busuk itu, meski dia menyiksaku, aku juga tidak akan mengatakan apa-apa."

"Aku belum pernah mendengar orang Haitang Jian Pai menyiksa orang," kata Xu Qiao.

"Hati wanita katanya adalah yang paling kejam," balas Jin Shui. "Yuan Wan Cui mempunyai tujuh adik seguru, semuanya sudah tewas di tangan orang Yumen kami. Dia benci padaku juga sudah semestinya."

"Kata ayahku urusan perselisihan aliran lurus dan sesat ini sudah membuat banyak orang mati, sungguh sayang sekali," ia meniru gaya ayahnya. "Saling membalas dendam tidak akan ada habisnya. Aku sungguh berharap, kau tidak membenci mereka."

Jin Shui tertawa kecil. Nona kecil ini masih lugu, hatinya pun baik. Sayang Hua Jin Shui yang lugu dan baik tujuh tahun lalu itu sudah berubah. Semua yang sudah diceritakan oleh Mo Ying padanya membuatnya menyadari siapa dirinya dan apa yang kelak akan dihadapinya.

Beberapa karakter baru dikenalkan di episode ini:

1. Zhou San Gong, si pengawal kiri Wansui Gu, adalah orang yang berkuasa di lembah berisi tukang racun itu pada masa sekarang.

Gurunya masih hidup dan masih ada di lembah, tetapi menyembunyikan diri di kediamannya dan tidak ikut campur urusan maupun reputasi lembah.

Kakak segurunya sudah pergi dan tidak jelas keberadaannya.

Zhou San Gong bukan musuh utama di serial ini, dia hanya seorang pengacau tua yang bodoh dan bisa dimanfaatkan.

2. Pasangan Luo Tie Yun & Nan Xing Lie - hanya sebagai karakter tambahan dengan peran yang tidak besar di episode2 berikutnya.

3. Bao Xin Fei - Ibu muda Xu Qiao, istri kedua Xu Cheng Hai.

Xu Qiao tidak menyukainya, tetapi nantinya akan menerima dan untuk sementara ibu muda ini akan menjadi mentor juga sebelum nantinya menjadi 'musuh' dikarenakan Bao Xin Fei yang tidak menyukai Jin Shui.

4. Anak muda baju biru - salah satu karakter favorit di seri ini dan di sekuel. Siapakah dia? Sorry, no spoilers. Silakan ikuti saja serial ini.

Pertemuan pertama Jin Shui & Xu Qiao adalah kunci utama memasuki dunia trilogi dan merupakan pengenalan penting mengenai konflik2 yang ada.

Pada episode berikutnya akan dimulai konflik baru dan sedikit pengenalan mengenai musuh utama dalam seri ini. Ditunggu ya....

Xiaodiandiancreators' thoughts