webnovel

Diam

Beberapa hari semenjak kejadian itu, Elainne tidak masuk sekolah dan tentu beberapa teman yang menyaksikan kejadian memilukan itu ikut terbeban pikiran. Elainne tidak ada kabar beberapa hari, ponselnya pun mati. Chloe merasa bersalah, harusnya ia menelfon Hansel bukan Oliver, ia yakin jika ia tidak melakukan kelalaian itu, Elainne masih bersama dengan mereka sekarang. Ujian semester juga semakin dekat dan Elainne masih tidak ada berita.

Sejujurnya Chloe ingin datang kesana, tapi ia takut kehadirannya malah memperkeruh suasana, ia takut malah membuat masalah baru jika ia kesana karena ia tidak mengerti apapun yang terjadi di keluarga Elainne.

"Aku tidak perduli, aku harus datang ke rumahnya." Tekat Chloe, tanpa sengaja Malvin juga ingin melakukan hal yang sama.

"Kau tahu rumah Elainne?" Tanya Malvin ragu-ragu setelah menyenggol beberapa kali bahu Chloe. Gadis itu berdehem sembari membereskan beberapa buku yang masih berserakan di bangkunya.

"Kenapa? Kau mau kesana?" Tanya Chloe balik. Malvin mengangguk.

"Baiklah, kau bisa kesana bersamaku. Aku setelah ini akan pergi kesana."

"Kau mau bawa apa?"

"Makanan yang manis saja, mampir ke minimarket dekat rumahnya." Malvin mengangguk setuju. Mereka berdua bertekat mendatangi rumah Elainne dan berharap bisa melihat temannya dalam keadaan baik-baik saja.

Tidak butuh waktu lama, mereka sudah berdiri di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi. Malvin terdiam dan menelan ludah melihat pagar tebal di hadapannya sedangkan Chloe sedang mencari seseorang yang bisa membantu mereka untuk membuka gerbang ini untuk mereka.

"Mencari siapa?" Tanya seorang pria berbadan tegap dengan menggunakan seragam putih bertuliskan Satpam.

"Elainne ada pak?"

"Oh non Elainne? Ada, sudah buat janji?"

"Sudah." Dusta Chloe. Ia tahu bahwa berbohong bukanlah hal terpuji tapi ia ingin bertemu dan melihat keadaan teman sebangkunya yang sudah absen selama satu minggu tanpa penjelasan apapun. Gerbang terbuka dan mereka masuk kedalam, Malvin juga memarkirkan sepeda motornya di sebuah space besar dan sepertinya itu adalah tempat yang cocok untuk parker sepeda motor.

Satpam mengantarkan mereka hingga mereka masuk di ruang tamu, dan ia berbicara dengan mbok-mbok yang tidak seberapa tua dan mempersilahkan mereka masuk dan duduk.

"Kata non Elainne, langsung saja masuk ke kamar, mari saya antar."

"Saya sendiri tidak apa-apa buk, saya bisa kok. Ibuk bisa lanjutkan pekerjaan ibuk." Tolak Chloe secara halus, ibu-ibu paruh baya itu mengangguk kemudian berlalu pergi dari hadapan mereka berdua.

"Kau pernah kesini sebelumnya?" Tanya Malvin penasaran. Chloe hanya mengangguk dan memasuki sebuah lift, diikuti oleh Malvin mengekor di belakangnya. Tanpa kebingungan, ia sudah berdiri di depan pintu bersama dengan Malvin, mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya ia membuka pintu itu.

Kedua pasang mat aitu melihat kondisi seorang gadis yang tengah tersenyum tipis dengan wajah yang kusut luar biasa. Chloe sontak masuk kedalam dan menghampiri Elainne yang masih terduduk di ranjangnya.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya gadis itu cemas, menangkup pipi perempuan itu yang semakin mengusut. Gadis itu mengangguk dengan pelan.

"Aku sehat, aku tidak apa-apa, hanya saja aku malas masuk sekolah." Dusta Elainne. Malvin datang dan menyerahkan beberapa kantong plastic berisikan beberapa makanan manis.

"Cepatlah masuk, tidak ada yang memusuhi ku di kelas. Sekolah jadi membosankan." Malvin masuk dan Elainne melihat pria itu.

"Harusnya kau Bahagia jika tidak ada aku."

"Tidak… Kelas terasa sepi tanpamu." Sahut Chloe.

"Duduklah kalian…maaf kamarku berantakan."

Malvin menelusuri ruangan ini, mencari titik 'berantakan' yang Elainne maksud. Ia hanya menemukan ranjangnya saja yang berantakan tapi sisanya masih dalam keadaan yang bagus. Bagaimana ruangan serapi ini ia sebut berantakan?

Elainne menurunkan kakinya, ia membuka pintu balkon dan membiarkan udara yang ada di kamarnya berganti. "Anggap saja seperti rumah sendiri" Tambah Elainne.

Hening sempat melanda atmosfer ruangan itu, tak terkecuali Chloe yang terdiam dan berperang dengan pemikirannya sendiri, dan Malvin yang juga masih terpaku melihat sebuah foto keluarga yang terdiri dari tiga orang yang ia yakini adalah Elainne, ibunya dan juga kakaknya.

"Soal kemarin, aku minta maaf. Jika saja aku tidak menelfon ayahmu, pasti tidak akan terjadi insiden seperti kapan hari." Chloe membuka suara, akhirnya ia merasa sedikit lega karena ia tidak lagi menahan rasa bersalahnya sendirian. Elainne tersenyum simpul.

"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Itu adalah salahku, jika saja aku bisa mengendalikan amarahku, pasti papaku tidak akan semarah itu padaku. Aku yang harusnya merasa tidak enak kepada kalian karena harus menyaksikan kejadian yang seharusnya tidak kalian lihat di sekolah." Jawab Elainne. Malvin terdiam memandang Elainne dalam diam, ia mengerti sekarang kenapa di foto keluarga itu hanya ada tiga orang. Ia sudah paham dan mengerti jika hubungan keluarganya tidak seharmonis keluarga lainnya.

"Jika kau butuh kami, kami akan selalu ada disampingmu Elainne." Malvin membuka suara tiba-tiba, membuat sang gadis tersenyum dan mengangguk pelan.

Tiba-tiba pintu terbuka dan ada beberapa pelayan membawa beberapa jenis snack untuk mereka makan. "Ayo makan,!" Ajak sang tuan rumah.

####

Aku mengkerutkan dahiku, melihat laporan grafik saham perusahaanku yang sedikit menurun karena efek rumor tentang Oliver yang akan menikah, aku tidak tahu berita sampah seperti itu berpengaruh pada sahamku. Aku harus terus memutar cara agar aku bisa menggugat Oliver dan merebut hak asuh Elainne supaya bisa jatuh ke tanganku.

"Cari tahu bagaimana cara agar perusahaan Oliver tidak punya pengaruh dengan kita, walaupun secara hukum kita adalah anak perusahaannya. Tapi aku tidak mah hal remeh yang terjadi disana berdampak disini." Ucapku pada seseorang di balik telephon yang aku pegang dari tadi.

Dengan kasar, aku melemparkan laporan itu dan membiarkannya tergeletak dengan mengenaskan di mejaku, membiarkan sekretarisku datang dan memungut laporan tersebut. Beberapa hari ini aku tidak bisa bertemu dengan Elainne karena urusan disini yang harus aku selesaikan terlebih dahulu, meskipun sebenarnya aku sedikit cemas karena Oliver dan Wanita itu sekarang tinggal di rumah dan aku takut itu mengganggu kesehatan mental Elainne.

Aku berharap Elainne tumbuh menjadi gadis remaja normal pada umumnya, hingga aku membawanya pindah kesini dan berusaha agar ia tidak mendapatkan kenangan buruk, tapi nyatanya usahaku sia-sia. Aku merasa selama Oliver masih hidup, ia akan terus menganggu Elainne.

Terkadang aku heran, bagaimana bisa seorang ayah kandung, tega melakukan hal seperti itu pada putri semata wayangnya sendiri, meskipun aku tahu itu ada sedikit dampak dari kematian mama kami, dan seluruh asetnya dialihkan menjadi atas nama Elainne, aku tahu Oliver ingin mencungkil sedikit harta itu.

Aset yang dimiliki Elainne adalah sekitar empat puluh persen saham yang ada di perusahaan Oliver, dan juga beberapa perusahaan property berada atas nama Elainne. Tapi aku tidak habis pikir bagaimana harta bisa membutakan mata seorang ayah kandung dan rela mencelakakan putrinya dengan cara keji seperti itu.

Tidak, ini tidak bisa dibiarkan, hak asuh Elainne harus jatuh pada tanganku.