Kami berdua masuk ke dalam sebuah kamar yang aku yakini adalah kamar Elainne dan rupanya aku benar. Dan setelah aku masuk, barulah aku melihat ada pigura foto keluarga namun foto mereka hanya bertiga saja; Elainne, mama Elainne dan Hansel. Dimana papa Elainne? Hanya saja aku tidak berani bertanya.
"Kau mau makan apa?" Tanya Elainne membuyarkan lamunanku. Aku reflek menjawab terserah dan Elainne kembali sibuk dengan handphonenya.
"Kau dan Hansel tinggal berdua?" Tanyaku ragu - ragu.
"Yap, semua keluargaku di Singapura dan hanya kami berdua saja yang di Indonesia." Jawab Elainne singkat.
"Kenapa?"
"We need to try something new maybe? Btw, ayo kita liburan bersama setelah ujian."
"I don't have money"
"Santai saja. You have me."
Aku melongo, Elainne mengajakku pergi liburan seolah ia mengajakku makan cilok pinggir jalan. Dia orang kaya mudah sekali mengeluarkan uang berbeda denganku yang harus menabung seabad untuk membeli barang yang aku inginkan.
.
.
.
.
Setelah mengantar Chloe ke depan gerbang untuk pulang, Oliver datang kembali bersama Abigail. Mata Oliver dan Elainne saling bertemu, pria itu merasakan kalau ia sedang menatap mata asing yang sedang melemparkan tatapan dingin padanya.
"Kau sudah makan?" Tanya Oliver basa-basi, namun tidak mendapatkan respon baik dari Elainne. Gadis itu malah masuk begitu saja dan meninggalkan dua orang yang baru saja masuk ke dalam rumanya.
"Tidak sopan sekali pada orang tua." Cibir Abigail sontak membuat langkah Elainne berhenti. Ia tersenyum remeh dan membalikkan badannya menghadap Abigail, gadis itu kini berdiri tepat di depan Abigail dan jarak mereka hanyalah tiga meter saja sekarang.
"Selagi aku tidak merespon, , lebih baik kau diam saja daripada mulutmu sobek karena tanganku." Ancam Elainne. Oliver melotot ke arah gadis itu namun lagi-lagi tidak di ubris dan kembali melanjutkan langkah kakinya untuk masuk lebih dalam ke bagian rumah itu, tidak ada lagi rasa takut dan hormat akan orang tua, bagi Elainne Oliver tidak lebih dari sekedar orang asing yang sempat tinggal dan saksi hidup yang mengamati pertumbuhannya sejak kecil hingga sekarang, hanya itu dan cukup sampai disitu saja.
Rumah kini bukan menjadi alasan untuk kembali pulang, namun yang tersisa hanya bangunan kosong tidak bernyawa dan tidak ada artinya. Hanya sebuah bangunan yang terasa hidup jika sang penghuni benar-benar 'kembali' . Semua orang sejujurnya begitu mendambakan posisi Elainne, kaya raya semuanya berkecukupan, punya seorang kakak yang sangat peduli dan menyayanginya, tapi bagi gadis itu sendiri, hal itu tidaklah cukup. Ia benar-benar kehilangan tempat dia pulang ketika sebuah peti kaca kristal berisikan seorang wanita paruh baya yang terlihat seperti tertidur pulas untuk waktu yang begitu lama. Semua harapan, cita-cita dan masa depan ikut terkubur dalam-dalam oleh coretan tinta merah yang merusak sebuah kertas putih.
Suasana hati Elainne kini semakin kacau, nafasnya semakin memberat ketika ia masuk ke dalam kamarnya dan menatap nanar sebuah foto dalam figura besar yang terpampang jelas di depan matanya, melihat senyum yang merekah ketika melihat lensa kamera, senyum yang dulu mudah sekali untuk muncul dan kini telah hilang karena tertimpa awan gelap. Setetes demi setetes air mata Elainne turun membasahi pipi, gadis itu segera berlari dan menekan wajahnya di bantal menekan suara tangisannya agar tidak terdengar oleh siapapun termasuk Hansel.
Kata orang lama, lebih baik kehilangan papa daripada harus kehilangan mama. Elainne membenarkan itu dan berharap demikian. Ia tidak sanggup jika harus bertahan hidup di neraka seperti ini. Ada sesuatu dalam hatinya yang semakin hancur dan bahkan terserak begitu saja namun ia tetap menahan semuanya seolah kaca itu masih dalam keadaan utuh.
Elainne kini tengah berada di titik terburuk dan ia sudah amatlah lelah untuk sekedar bernafas. Kini ia terdiam dan membiarkan kepalanya terus berbicara hingga ia merasa pening, ia menutup erat-erat mata dan telinganya berharap semuanya akan hilang namun malah sebaliknya.
Ia sangat mendambakan hidupnya yang semula, mendambakan dirinya dengan kondisi yang semula tapi ia tahu itu adalah keinginan sia-sia yang bahkan tidak bisa di beli dengan uang berapapun. Ini adalah sebuah realita yang harus ia jalani dan ia terima. Hidupnya sudah runtuh dan semakin runtuh, ia bahkan tidak tahu bagaimana kehidupannya setahun, dua tahun atau tiga tahun kedepan. Masa depannya sudah mati dan sudah lenyap.
Merasa diri sudah agak sedikit tenang, ia melepaskan wajahnya dari bantal yang ia gunakan tadi untuk menutupi wajahnya dan teriakannya yang lumayan besar. Ia melihat pantulan dirinya di kaca yang letaknya berada tepat di sebelah kirinya. Tidak hanya hatinya yang kacau, keadaan fisiknya juga sangatlah kacau.
Nafasnya berhembus dengan kasar, dengan langkah gontai ia berusaha bangkit dan membenahi sedikit penampilannya agar terlihat sedikit lebih baik. Wajahnya yang datar masih menjadi hal pertama yang menarik sorotan. Pandangan kosong, mata yang berkantung karena lelah, dan juga aura wajahnya yang terlihat suram kini menjadi tampilan baru Elainne.
"Kau pasti bisa bertahan sedikit lagi. "
*****
Hari ini, Elainne kembali memasuki ruang kelasnya namun dengan penampilan yang agak sedikit memprihatinkan; lingkaran mata yang tercetak jelas di bawah matanya, rambutnya yang agak sedikit berantakan, dan gaya berpakaian Elainne sekarang yang agak berbeda membuatnya seketika menjadi sorotan di kelas, tak terkecuali Chloe dan Malvin. Dengan gerak cepat mereka menghampiri Elainne yang sudah duduk diam di bangkunya.
"Kau habis melalui badai topan? Kenapa keadaanmu kacau sekali?" Tanya Malvin begitu saja membuat dirinya mendapatkan hadiah berupa tendangan kaki yang mengenai tulang keringnya dan kalian juga sudah tahu siapa penyebabnya.
"Tidak, aku hanya kurang tidur." Dusta Elainne. Ia segera membaringkan kepalanya dan menbuat wajahnya tertutupi oleh rambut lurus panjang yang terjuntai begitu saja. Sejujurnya gadis itu tidak ingin masuk sekolah sekarang, terlihat jelas dari geraknya yang seakan kehilangan konsentrasi dan tidak berminat mendengarkan guru yang mengoceh sepanjang hari di depan kelas.
Malvin mengangkat tangannya secara tiba-tiba, membuat fokus kelas teralih menjadi kepadanya. "Pak, Elainne sakit." Serunya. Sang pemilik nama yang tadi disebutkan tidak berkutik, ia hanya terus menidurkan kepalanya dan tidak menghiraukan sekelilingnya.
"Bawa saja ke UKS, kalau dia tidak kuat, bisa telfon walinya untuk menjemputnya pulang." Perintah Pak Michael, guru kimia yang sedang ikut memperhatikan gerak Elainne sekarang. Chloe yang mengertahui password handphone Elainne, segera mengecek kontak dan menemukan kontak yang tertulis jelas dengan nama 'Papa'. Tanpa ambil pusing, Chloe menelfon kontak itu dan terhubung dengan suara seorang pria paruh baya.
'Iya, ada apa nak?'
"Oh maaf om, saya Chloe teman Elainne. Saya mau memberitahu kalau Elainne sekarang sakit dan tolong untuk dijemput pulang."
'Baik, terima kasih informasinya, saya berangkat sekarang.'
"Terima kasih kembali om."
Malvin mengangkat tubuh kecil Elainne dan segera membawanya ke UKS untuk sejenak berbaring. Elainne masih diam tidak merespon, kesadarannya masih terkumpul penuh tapi ia tidak punya tenaga hanya sekedar untuk melawan.
Tanpa menunggu lama, suara derap kaki yang sedikit berat membangunkan Elainne, suara pria itu disertai wanita yang paling ia hindari datang dan menjemputnya, sontak membuat Elainne bangun dan turun dari ranjang tempat tidurnya.
"Ayo kita pulang nak…"
Semua orang terkejut, Elainne berteriak histeris sembari menutup erat-erat kedua telinganya dan ia juga menutup matanya rapat-rapat. Chloe juga terdiam karena ia tidak pernah melihat temannya dalam keadaan seperti itu.
"PERGI DARI SINI!!!! PERGI KEPARAT PERGIII!!!" Elainne terus berteriak, membuat Oliver reflek menampar keras pipi anak perempuannya sendiri di depan publik. Perasaan Chloe campur aduk sekarang, ia merasa sangat bersalah dan ia sadari, pertanyaannya sudah terjawab.
Elainne terus berteriak, Chloe segera meraih Elainne sedangkan Malvin segera menahan badan Oliver agar tidak mengamuk lebih lagi.
"Teruskan berteriak seperti itu anak liar!" Entah datang dari mana, Malvin segera menjauhkan tubuh pria paruh baya itu yang sepertinya sebentar lagi akan melayangkan tamparan keduanya di depan umum.
"Tenang pak, ini di sekolah." Seperti tersadar, Oliver malah pergi meninggalkan ruangan tanpa sepatah katapun meninggalkan Elainne yang masih meringkuk di pojok ranjang UKS.
Semuanya terhening dan seketika menjawab pertanyaan yang selama ini mereka tanyakan diam-diam.