webnovel

Sacantra

Setiap bidikan tombak yang mereka genggam agaknya memang tertuju padaku dan dengan serempak siap menghunjam tiap inci tubuh ini. Apa aku sudah membuat mereka marah? Kenapa mereka berniat menyerangku? Ada apa ini sebenarnya? Rasanya sejak memasuki Bartham semuanya semakin pelik, sama sekali tak jauh beda dengan medan perang di luar sana. Pemuda setengah dewa kemarin malam saja sudah membuatku kewalahan, dan sekarang malah Para Petapa dan Jenderal Tertinggi Bartham sedang mengepungku, sial sekali rasanya saat puluhan mata ini menatapku tak berdaya di tengah kerumunan.

Mungkin saja, aku memang tak diperbolehkan memasuki wilayah Kerajaan Bartham, tapi setidaknya kuharap ada alasan yang masuk akal mengenai tindakan Para Petapa ini. Termasuk saat kubicarakan Garis Keturunan Montrea, mereka seperti tak menggubrisku bahkan tak menganggapinya serius. Jangan-jangan mereka setuju dengan Hukum Empat Kerajaan tentang penangkapan Orang-Orang Montrea? Dan ke mana lagi aku akan melangkahkan kaki mencari tempat yang aman? Sudahlah, bukan waktunya berpikir mengenai itu sekarang!.

"Hei, Silbi, bagaimana menurutmu?" tanyaku dalam hati, lagi pula Silbi juga terbiasa berkomunikasi denganku seperti ini.

"Apanya? Sudah jelas bunuh saja semua," jawabnya enteng.

"Aku tak ingin jadi pembunuh! Bukankah Para Algojo di area jagal itu juga sudah cukup? Jangan buat aku seperti itu lagi," balasku kesal dengan sikapnya.

"Haha, dasar kau ini! Baiklah, kau memang makhluk lemah yang butuh bantuanku, larilah ke depan lalu sergap pria yang dari tadi bicara itu, aku akan menahan serangan mereka," ucapnya bertepatan dengan lantunan mantra yang tiba-tiba berhenti.

Sebelum mereka menerjangku dari segala penjuru, segera kusentakkan kakiku menerjang ke depan. Ya, ini sangat bodoh karena aku seakan menghampiri runcingnya puluhan tombak yang mengacung tepat di depanku, aku bahkan bisa melihat saat tangan mereka mengayunkan tombaknya ke depan. Waktu terasa sangat lambat sekarang.

SRIIIINNGGGG...SRIIIINNGGGG...SRIIIINNGGG

Dari bawahku, puluhan rantai tiba-tiba muncul dan seketika melilit tombak beserta Prajurit Bartham, kulihat bayanganku tampak melebar di atas permukaan tanah. Ini ulah Silbi! Prajurit-prajurit yang terlilit rantai itu langsung ia hempaskan ke belakangku. Kegaduhan itu, mereka pasti menghantam rekannya di belakang sana, tapi ini peluang! Jalanku terbuka lebar sekarang.

Bisa kulihat Si Petapa yang sedari tadi mengajakku bicara sedang dalam pertahanan terbuka, mungkin dialah pemimpinnya. Sekali lompat aku sudah melambung tinggi dan semakin dekat ke arahnya, mungkin aku akan menyanderanya terlebih dahulu agar mengatakan tujuan sebenarnya dari pengepunganku. Apa? Sekelebatan putih?

CTIIINNNGGG...

Hampir saja! Untung aku menggenggam belati sedari tadi dan segera menangkisnya, orang ini berbahaya, sejenak aku menjaga jarak dengan orang ini. Sial! Aku bahkan tak bisa keluar, Pasukan Bartham bahkan berderet di Gerbang Trophe. Tapi apa itu tadi? Seperti sebuah jarum yang melesat, apa begitu cara bertarungnya?.

"Turunkan belatimu dan menyerahlah sekarang juga! Kenapa kau sangat keras kepala?" tanya sosok ini dengan nada mengejek, sorot matanya seakan sedang memandang rendah diriku.

"Tuan, jika anak ini adalah pemilik darah terkutuk jangan beri dia ampun! Aku masih ingat saat ia dengan berani menantang Sang Raja di area jagal, Ayo Prajurit!" seru Jendral Darius yang memberi isyarat pada seluruh prajuritnya.

Sekejap diriku kembali terkepung, puluhan tombak yang mengitariku merampas keleluasaan pergerakanku. Ucapan jenderal itu, jujur aku tersinggung jika Keturunan Montrea disebut dengan "Darah Terkutuk", lagi pula siapa yang mau terlahir dengan darah yang bisa memercikkan api? Apa karena darah berapi ini lalu seisi dunia bisa merendahkan kami seenaknya? Yang benar saja keparat! Banyak keluargaku mati hanya karena terdapat kelainan pada darah kami, bahkan kami terus bersembunyi sembari menyembunyikan identitas, saling waspada, saling tak mengenal satu sama lain agar tak tertangkap, yang benar saja!.

"Hahaha, aku suka suasana seperti ini!" seru Silbi tiba-tiba.

Selagi Pasukan Bartham kebingungan dengan kemunculan suara tanpa wujud, kulihat bayanganku kembali bergerak-gerak di atas tanah, ia semakin melebarkan dirinya hingga memenuhi area di bawah Para Prajurit tersebut.

SRRRRIIIIIINNNNGĢGGG...

Dengan cepat puluhan rantai keluar dari dalam bayanganku dan langsung mengunci setiap tubuh dari orang-orang yang mengepungku. Menggeliat, mencoba berontak, bahkan mengumpat, sia-sia saja usaha mereka yang mencoba meloloskan diri dari jeratan rantai Silbi. Sejenak aku lega karena mereka belum sempat menyerangku, tapi hawa panas apa ini? Rasanya ada yang memanggang tubuhku dari atas, didorong rasa penasaran, aku pun mendongakkan kepala memandang ke sumber hawa panas ini berasal.

"Dari dulu manusia memang lemah dan bodoh, hahaha, berani sekali kalian menyuruhku tunduk dan menyerah, sangat tak masuk akal! Hahaha," seru Silbi dengan tawanya yang khas.

Ini bukan tentang suaranya yang berat. Aku bahkan tak menyadarinya, sejak kapan tangan hitam besar itu berada di atasku? Kobaran api dari pedang yang di genggamnya itulah yang menyebabkan tubuhku terasa terpanggang. Kudengar ia masih tertawa-tawa dengan bara api yang mulai berjatuhan dari atas, seolah ia sedang menikmati kepanikan yang terpampang di wajah-wajah tak berdaya ini. Jujur aku terkesiap dengan pedangnya yang menyala-nyala, kulihat ia mengeratkan genggamannya seakan bersiap mengayunkan bilah besar tersebut.

ZRAAASSSSHHHHHH...

"Hentikan, anak muda!"

Dingin sekali! Sihir macam apa ini? Baru saja Silbi hendak membabat habis kerumunan ini, area di sekitarku sekejap membeku dan berubah menjadi daratan es! Bahkan tangan besar Silbi yang memegang pedang pun ikut membeku beserta rantai-rantainya. Kuamati guratan mantra yang tertoreh memenuhi tubuh rentanya, orang tua inilah yang baru saja menghentikan serangan Silbi! Kulihat pakaiannya sama persis seperti Para Petapa, hanya saja terdapat tiga ikatan kucir pada rambut panjangya yang memutih. Langkahnya semakin mendekat, siapa orang ini? Kenapa semua mata yang memandangnya tampak terkejut? Apa karena lencana perak bermotif singa di dada kirinya? Aku tak tahu pasti, tapi bisa kusimpulkan dia pasti orang penting atau setidaknya dia ini sosok yang berpengaruh disini.

"Hentikan pertikaian ini! Seharusnya kalian malu mengacau di Kota Suci Trophe, dan kau, ikuti aku anak muda," perintahnya sambil menunjukku, kuamati sosoknya yang berdiri tenang dengan tatapan matanya yang teduh.

CLLAAARRRKKKK... CLLAAARRRKKKK... CLAARRKK...

Retak dan berhamburan es yang menutupi area ini, hawa dingin pun lenyap seolah tak pernah ada terganti kepulan asap yang menguap di udara. Kulihat Silbi dengan cepat menarik kembali tangannya ke dalam bayanganku. Apa aku harus mengikutinya? Kulihat sosok tua ini malah membalikkan badan meninggalkanku, sudahlah, mungkin saat ini lebih baik kuikuti saja dia. Jendral Darius beserta Para Prajuritnya tampak tak senang saat aku meninggalkan mereka, siapa juga yang ingin dijadikan tangkapan Bartham.

"Anda ini siapa?" tanyaku sembari berlari menyusulnya.

"Aku? Hehe, hanya orang tua yang kebetulan mendengar keributan pagi," balasnya terkekeh tanpa memalingkan wajahnya padaku.

"Tenanglah, aku sudah dengar apa yang terjadi, lebih baik kita berbicara di ruanganku," lanjutnya seraya tersenyum, kuakui sikap tenangnya mampu memengaruhiku.

Berkelok jalanan batu ini kususuri, kuakui kuil-kuil megah ini berhasil memanjakan mataku. Langkah orang ini berhenti di salah satu kuil dengan empat patung dewa berukuran besar di depannya, baru saja hendak kutanyakan mengapa setiap kepala dari patung-patung dewa ini tertutup kain? Tiba-tiba kerumunan anak kecil yang bertelanjang dada ini muncul di depanku entah dari mana, mungkin usia mereka antara sepuluh sampai lima belas tahun, kain putih mereka kenakan untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.

"Masuklah anak muda," perintah sosok ini padaku, kulihat anak-anak kecil ini membukakan gerbang kuil untuknya.

"Siapa mereka ini?" tanyaku yang mengikutinya masuk.

"Mereka? Tentu saja mereka adalah Para Petapa di era yang akan datang haha, butuh sepuluh orang untuk menjaga keharmonisan empat alam di setiap jamannya, hal seperti ini sudah turun temurun," jawabnya tersenyum sembari mengelus pelan kepala anak kecil di dekatnya.

Dalam kuil berdinding batu ini tinggal kami berdua, anak-anak kecil itu tak lagi terlihat sekarang. Ia mempersilahkan aku duduk di atas matras merah berukir huruf-huruf aneh, aku tak paham tapi mungkin saja ini bahasa mantra.

"Apa kau heran mengapa orang-orang tadi bisa mengenali jati dirimu sebagai keturunan Montrea? Haha, tapi aku sangat menyayangkan keributan tadi, seharusnya setiap orang yang masuk kota ini adalah tamu," ucapnya mengawali pembicaraan.

"Ya itu mengejutkanku, tapi bukan itu! Aku ingin bertanya sesuatu terkait Darah Montrea, apa Anda bisa menjelaskan padaku? Aku datang dengan damai kesini sembari berlindung dari kecamuk perang di luar sana," balasku mengutarakan niat kedatanganku.

"Maksudmu Hukum Empat Kerajaan? Hal-hal terkait genosida yang menimpa Montrea? Jujur aku tak tahu pasti kapan Empat Kerajaan mengesahkan hukum sah tentang pembantaian Keluarga Montrea? Tapi aku bisa memberimu petunjuk jika kau penasaran akan hal itu, sejarah yang sudah usang," ucapnya yang kemudian merapal sebuah mantra, kulihat di depanku banyak huruf-huruf merah bermunculan membentuk sebuah buku yang penuh sobekan nan kumuh.

"Sacantra, salah satu kitab tertua dalam sejarah manusia, aku menduga yang menulis kitab ini juga Keturunan Montrea dari gaya bahasa penulisannya," lanjutnya sambil menyodorkan beberapa lembaran kepadaku.

"Sacantra? Keturunan Montrea? Aku tak mengerti siapa yang Anda bicarakan, tapi kenapa Alam Manusia juga disebut Montrea? Jujur aku juga bingung mengenai hal itu," balasku bertanya.

Kuterima lembaran yang tertutup sampul hitam ini, hurufnya tak bisa kubaca tapi aku yakin ini huruf "S" dan ini "N", mungkin cara membacanya memang "Sacantra". Kubuka halaman per halaman dari kulit ini, percuma aku tak bisa membacanya. Terdapat juga gambar-gambar aneh dalam tiga puluh halaman kitab ini.

"Dengarkan dulu anak muda! Sekarang Bartham sedang agak kacau dan aku tak bisa banyak membantumu, maksudku tentang kehadiran sosok yang mengaku sebagai dewa setahun ini, kemarin malam aku merasakan kehadiran kekuatan dewa saat suara gelegar terdengar dan benar saja, tadi pagi sudah ada hamparan luas yang terpanggang di pusat kota...." ucapnya tak menjawab pertanyaanku, lamat-lamat aku merasakan kegelisahan dari raut wajah keriputnya.

"Sesuatu yang di takuti, Alam Raksasa juga merasakan kehadiran mereka, di dalam kitab itu tak hanya tertulis tentang Asal Usul Keluarga Montrea, tapi juga sedikit informasi terkait Ras Terkutuk yang merupakan ancaman bagi Empat Alam Utama, aku ingin kau memahami situasi ini terlebih dahulu," lanjutnya lagi, kali ini matanya yang teduh menatapku dengan tajam, bisa kurasakan kecemasan dari perubahan ekspresinya ini.

Lagi-lagi kalimat "Ras Terkutuk" itu kembali terdengar olehku, Silbi memang pernah bercerita terkait keberadaan makhluk ini, tapi aku tetap tak paham tentang Ras tersebut. Maksudku mereka ini apa sebenarnya? Dan kenapa bisa menjadi suatu ancaman?. Aku ingat jika Sosok Dewa Palsu itu ternyata Ras Terkutuk yang sedang menyamar, wajar jika keadaan Bartham sedang kacau sekarang, mengingat mereka adalah bangsa yang selama ini menyembah dewa.

Permukaan kecoklatan dari lembaran kulit ini sudah usang dan mengeras, mungkin dari kitab tua ini aku bisa mempelajari sesuatu dan membuka tabirnya perlahan. Apa ini bisa dikatakan sebagai Peninggalan Montrea? Kitab Sacantra, dibuat oleh salah satu Keturunan Montrea di masa lalu, lagi pula siapa orang ini?.