webnovel

Sambutan Di Kota Trophe

Hangat terpaan Sang Surya pagi menyinari sebuah tempat yang diapit dua gunung itu, sebuah kota jauh dari Istana Raja yang menjadi tempat tinggal baru bagi mereka. Bagi penduduk kota ini, kehadiran Sang Dewa palsu setahun belakangan terasa semakin menyudutkan mereka di lembah yang jauh. Mungkin tujuan dibuatnya kota ini agar orang-orang ini menjauh dari Istana Sang Raja atau sekedar membatasi pengaruh mereka, bisa saja Sang Dewa Palsu yang merupakan Ras Terkutuk tak ingin kedoknya terbongkar? Siapa yang tahu. Trophe yang di penuhi kuil ini merupakan daerah otonom sekaligus rumah bagi segelintir kaum yang dihargai mayoritas Penduduk Bartham selama lima puluh ribu tahun belakangan. Ya, Barthalaraya, Para Petapa yang mempunyai pengetahuan luas akan empat alam dan mampu berkomunikasi dengan tiap-tiap alam, tak ayal kehadiran mereka dihormati di segala penjuru Bartham.

Sejarah yang di ceritakan turun temurun dari tiap generasi menyebutkan, dulunya wilayah Bartham dihuni oleh orang-orang yang sangat taat menyembah dewa, dari empat kerajaan yang ada, mereka lah yang paling religius dalam hal peribadatan di saat tiga kerajaan lain tak memercayai ajaran tersebut dan menganggapnya sebagai kesia-siaan belaka. Meski zaman telah berubah dan suara-suara Para Petapa tak begitu di dengar sekarang akibat kemunculan Sang Dewa Palsu, namun bukan berarti Rakyat beserta Raja Bartham sudah tak mempunyai keyakinan akan hal tersebut. Sebagai bangsa yang memegang sebuah kepercayaan, mereka beranggapan jika kerajaan-kerajaan lain sudah kelewatan, mereka tak pernah mengagungkan atau pun berdoa pada Para Dewa. Seharusnya mereka tak berhak hidup seenaknya di muka bumi, kelancangan seperti itu merupakan suatu hal yang tabu bagi seluruh Rakyat Kerajaan Bartham yang merupakan Kaum Pilihan Dewa.

Meski tak diketahui pasti dari mana anggapan Kaum Pilihan Dewa itu bermula? Namun keikutsertaan Bartham dalam medan perang empat kerajaan di luar sana seolah menegaskan, hanya mereka lah yang paling berhak mendapat kemenangan, kejayaan serta berkah dewa di saat kerajaan-kerajaan lain telah tersesat dan mengingkari dewa-dewa mereka. Mungkin juga karena sosok dewa begitu dihormati di Kerajaan Bartham, Raja Ramon dengan gampangnya terperdaya oleh salah satu Ras Terkutuk yang mendatanginya, menawarkan berkah dan kemenangan yang ternyata sebuah kebohongan belaka, tentu tawaran itu ditunggangi niat tersembunyi di baliknya. Tapi tetap saja, serapat apa pun sebuah rahasia tersimpan, kecurigaan akan muncul dan perlahan membuka tabirnya. Satu-satunya makhluk yang mengetahui niat tersembunyi Dewa Palsu itu adalah Silbi, meski ia belum bisa memastikan siapa dalang di balik semua ini?.

"Jadi begitu? Dari mana kau tahu?" tanya Randra memastikan.

"Tentu saja Bodoh! Dia memakan manusia dan meminum darahnya untuk mengumpulkan kekuatan, kau ingat saat aku menebasnya di area jagal? Sangat tak mungkin ada Ras Terkutuk yang bisa selamat dari tebasan pedangku, itu bukti ia bertambah kuat dalam waktu setahun belakangan ini," jelas Silbi dalam perjalanan mereka menuju Trophe.

Dipenuhi akan ilalang, berkelok jalanan yang mereka lalui semakin menjauhkan mereka dari pusat kota. Di belakang mereka, hamparan yang tampak hangus hitam legam akibat kehancuran semalam bahkan masih terlihat dari kejauhan.

"Jadi setahun ini ia terus memakan manusia ya? Aku jadi ingat laporan orang hilang yang kau sebutkan beberapa hari yang lalu, hmmmm, tapi Ras Terkutuk itu apa sebenarnya? Kenapa pemuda setengah dewa itu mengincarnya?" selidik Randra belum puas.

"Akan sangat panjang ceritanya, hahaha, lagi pula kau itu Bodoh, kau takkan memahami hal-hal berbau sejarah seperti itu," ejek Silbi sinis seperti biasa.

"Dasar kau ini, apa maksudnya sejarah? Apa kau sedang berlagak sok tahu sekarang?" balas Randra yang tak mau kalah.

"Hahaha, menarik sekali, ah, apa kau tahu Perang Besar Pertama? Dari sanalah sebutan Ras Terkutuk melekat pada mereka, sebenarnya mereka adalah entitas yang terbuat dari sumber panas yakni api, pada saat itu semua ras saling berperang satu sama lain untuk kelangsungan hidup mereka," jawab Silbi mencoba menjelaskan.

"Perang Besar Pertama? Tentu semua orang di Montrea tahu tentang legenda itu, bukankah saat itu semua ras memang belum diakui dan belum bernama? Tapi aku baru tahu jika Ras Terkutuk juga ikut perang saat itu, dan kenapa mereka diberi nama "Terkutuk"? Dan di mana mereka tinggal sekarang? Bukankah setelah perang itu dibuat empat alam dengan empat ras yang mengisi tiap alamnya? Ini aneh," balas Randra mengutarakan isi kepalanya.

"Lupakan tentang kenapa mereka disebut terkutuk, hahaha, tapi mengenai mereka tinggal, hmmmm, sekarang mereka tinggal di luar Altredeirm, Niantra, Salfoph, dan Montrea yang merupakan empat alam utama, tepatnya Alam Kelima," jelas Silbi sambil menyebutkan empat alam utama, namun terasa perkataannya seolah menyembunyikan sesuatu.

"Untungnya ia tak bertanya tujuan di balik Si Kepala Empat yang mengumpulkan kekuatan? Hahaha," lanjut Silbi dalam batinnya.

"Hei, itu dia! Akhirnya, tak sia-sia kita berjalan jauh ke selatan," pekik Randra menyadari sesuatu yang tak begitu jauh darinya.

Tampak di hadapan Sang Pemuda, bagaimana gerbang batu berukuran besar beserta kuil dengan patung singa di kanan-kirinya sedang menghadang langkahnya. Jalan setapak yang di penuhi batu-batu bundar seakan memang di sediakan untuknya berpijak menuju kota dibalik gerbang tersebut. Tiga tahun sudah pengembaraan ini, tak hanya sebatas menjauh dari kecamuk perang yang sedang berlangsung di dunia luar. Mengamankan identitasnya sebagai salah satu keturunan Montrea di tengah kekacauan ini juga menjadi prioritasnya selain mencari tempat berlindung yang damai. Dan hari ini, semuanya akan terkuak, tentang segala pertanyaan terkait Montrea yang menghantui benaknya selama ini.

Tak mampu berpaling atau memang dirinya sedang terpukau? Hanya saja, matanya tampak berbinar di hadapan Gerbang Batu Kota Trophe. Sejenak ia longgarkan tali di antara lehernya, sebelum akhirnya langkah itu menapaki jalanan berbatu tersebut dengan mantap. Kini agak lusuh memang jubah hitamnya yang tergerai, belum lagi beberapa sobekan kecil di punggung maupun kedua lengannya. Seolah menyiratkan dalam tiga tahun ini, perjalanan yang di laluinya selalu penuh akan kepayahan, atau mungkin sebelum perang ini terjadi ia sudah hidup dalam bayang-bayang mara bahaya sebagai keturunan Montrea.

DRRKKK.. DRRKKK.. DRRRAAAAKKKKK...

Ringan kaki yang melangkah ini seketika terhenti kala kedua kuil di kanan kiri gerbangnya berputar mengeluarkan suara berderak. Ya, tiba-tiba tanahnya bergetar pelan di barengi dengan gerbang yang perlahan terbuka lebar di depannya menampakkan kemegahan seisi Kota Trophe, banyaknya bangunan besar berbatu serta kuil-kuil raksasa semakin membuatnya terperangah. Tanah bebatuan yang ditumbuhi rumput-rumput tipis serta jalanan berpola batuan bundar yang bercabang juga tak luput dari perhatiannya. Kekagumannya bertambah kala banyak patung-patung dewa berukuran besar nan megah berderet memenuhi seisi kota, meski ia tak tahu mengapa kepala setiap patung di tutupi oleh kain? Namun, panorama khas Trophe ini meninggalkan kesam dalam dirinya pada kunjungan pertamanya. Tak henti-hentinya pemuda berjubah hitam ini menoleh ke kanan dan kiri, sejenak menikmati suasana Kota Trophe sembari melupakan kejadian kemarin malam. Namun saat ia menoleh ke atas, dirinya kembali terkejut kala mendapati apa yang berada di atasnya. Meski mereka berada dia atas tanah yang miring, namun terlihat jelas bagaimana mereka sedang bermeditasi di atas patung dewa berukuran besar di antara rumah-rumah batu di sekitarnya.

"Selamat pagi anak muda."

Sapa sosok berambut panjang yang bertelanjang dada ini pada Randra. Selain kain panjang yang digunakan menutupi bagian bawah tubuhnya, di pundak kirinya ada dua helai kain yang menjuntai ke belakang sampai ke bagian punggung. Di samping orang yang bertanya itu, sembilan orang lainnya juga memiliki rambut panjang, bahkan bentuk dan rupa pakaian mereka sama persis. Ukiran-ukiran mantra yang tertulis di kedua pundak serta menjalar di dada orang-orang ini menegaskan mereka bukanlah orang sembarangan. Siapa sangka dirinya akan langsung berhadapan dengan Para Petapa Barthalaraya, ingin rasanya ia menyudahi semua hal yang sudah ia lalui dan segera hidup tenang dari bayangan kelam yang menghantuinya.

"Selamat pagi juga bagi kalian semua, Para Petapa Barthalaraya," balas Randra sambil membungkuk.

"Kau... Bocah Montrea dari Ra-Herl," ucap pria separuh baya ini sambil berdiri, pandangannya yang teduh sama sekali tak berpaling dari Randra.

"Memang benar, tapi dari mana Anda tahu? Saya memberanikan diri ke sini juga hendak menanyakan sesuatu terkait Garis Keturunan Montrea," sahut Randra, meski sebenarnya ia tahu pertanyaan macam itu sangat konyol bagi Para Petapa yang serba tahu.

"Terkait Montrea? Apa itu?" balas bertanya orang ini, sejenak dari ketinggian ia memerhatikan hamparan luas yang hangus semalam dari tempatnya berpijak.

"Maksud saya tentang kenapa orang-orang berdarah Montrea harus diburu dan dihabisi? Kenapa mereka harus berakhir di Altar Rutacakra? Pembunuhan ini seolah hal yang wajar bagi kami, dan saat perang ini berlangsung, mungkin di luar sana juga ada keturunan Montrea yang tertangkap," ucap Randra mulai mengatakan hal yang selama ini menjadi keresahannya.

"Pembunuhan ini seolah hal yang wajar bagi kami, begitu? Sebelum itu aku ingin menanyakan sesuatu tentang kejadian semalam, hawa keberadaan dan kekuatan yang menghancurkan Bartham itu adalah bukti dari kemurkaan mereka, dan apa yang membuat mereka murka menurutmu? Wahai keturunan Montrea?" tanya sosok ini di ikuti kesembilan orang lainnya yang berdiri di posisinya masing-masing.

"Mereka? Apa maksud Anda? Jika tentang kejadian semalam, pemuda serba putih kemarin mengatakan padaku sesuatu mengenai Ras Terkutuk," jawab Randra yang mulai tak mengerti arah pembicaraan ini.

"Ras Terkutuk muncul? Sudah kuduga, dewa di Istana itu adalah pembohong! Keberadaan Ras Berbahaya inilah yang menjadi keresahan di Alam Para Raksasa, tapi di satu sisi, yang sedang berdiri di depanku ini adalah kuncinya," batin Sang Petapa, sejenak ia terkesiap dengan apa yang Randra ucapkan.

Merasa belum mendapat jawaban pasti, Randra melangkahkan kaki seraya mendekati Para Petapa di hadapannya.

"Berhenti!"

Baru beberapa langkah, entah dari mana datangnya? Yang pasti, teriakan lantang yang menggema ini membuatnya memalingkan wajahnya ke belakang.

"Astaga! Apa lagi sekarang?" pekiknya terkejut melihat sosok yang tak asing itu sedang menatap tajam ke arahnya.

Ya, Darius Gunvallo, Jendral Tertinggi Kerajaan Bartham yang pernah menangkapnya, kini kembali muncul di hadapannya. Mengernyit dahi Randra mendapati dirinya tiba-tiba dikepung puluhan tombak dari berbagai penjuru. Prajurit-prajurit Bartham yang sedari tadi diam akhirnya menampakkan diri, mereka bermunculan dari balik bangunan-bangunan tinggi maupun sela-sela kuil siap menghunjamkan puluhan tombak mereka pada dirinya.

Selagi rasa cemas kian menggerogotinya, sepuluh Petapa Barthalaraya sontak terjun dari atas patung dewa tersebut ke arah Randra yang tak berkutik dalam posisi ini. Meski keheranan, ia memberanikan diri bertanya walau acungan tombak sama sekali tak berpaling dari dirinya.

"Sebenarnya ada apa ini?"

BRAAAAKKKK...

Kepulan debu tipis dan batuan kecil berserakan kala sepuluh petapa ini mendarat bersamaan, langkah mereka semakin mendekati Randra yang tengah waspada. Diam-diam ia genggam belati di balik jubahnya sembari tetap waspada.

"Dan kenapa kau malah bertanya? Sejak kau memasuki Trophe sepertinya kau menikmati suasana disini, maka terimalah sambutan yang meriah ini sekarang," kata salah satu petapa yang menengadahkan kedua tangannya ke atas.

Senyum sinis yang menghiasi wajahnya menjadi teka-teki bagi Randra, suasana semakin tegang kala bunyi-bunyian mantra mulai bersenandung dari mulut Para Petapa, memaksanya mundur beberapa langkah. Mengapa Jendral Darius bisa bersama Para Petapa disini? Belati yang ia sembunyikan sedari tadi, terpaksa ia hunuskan meski rasanya sangat tak mungkin ia mampu melawan Prajurit Bartham yang sudah terlatih.