webnovel

Pertanyaanku Hanya Satu

Lembaran demi lembaran itu tak henti-hentinya ia bolak balikan berulang kali, dasar bodoh! Bukankah lebih baik diam? Untuk apa membaca tulisan yang sama sekali tak bisa dibaca? Itu malah membuatnya tampak semakin bodoh sekarang. Ia sempat tersenyum beberapa saat yang lalu, aku menduga kalau ia sedang senang, ah! Atau mungkin itu yang disebut bahagia oleh manusia? Jujur aku tak paham manusia sampai sedetail itu, mereka memang lemah dan aneh di saat bersamaan. Tapi kenapa ia senang dengan kitab yang diterimanya itu? Meski pun jawaban-jawaban atas rasa penasarannya selama ini tertulis di kitab itu, tetap saja ia tak bisa membaca tulisan yang terdapat pada lembaran tersebut. Lantas apa yang membuatnya senang? Ini membingungkan, ini payah, bagaimana aku bisa ikut-ikutan bodoh seperti dirinya.

"Maaf, sebenarnya tulisan apa ini? Hurufnya bulat dan aneh, tapi aku masih bisa mengenali beberapa huruf disini," tanyanya pada Petapa di depannya.

Sejak aku memasuki ruangan ini, tak salah lagi! Hawa ini adalah hawa dari sebuah mantra. Kekuatan ini lebih tinggi dari pada sihir, ini bukti jika kemampuan Para Petapa berada di atas manusia pada umumnya.

"Apa? Jangan-jangan kau tak paham tentang tulisan itu? Apa kau belum sempat diajari orang tuamu?" balas bertanya sosok tua ini, jelas ia heran dengan pertanyaan semacam itu mengingat ia tak tahu kedua orang tua anak ini sudah lama tewas dan belum sempat mengajarkan caranya.

Kulihat anak manusia ini hanya menggeleng pasrah dengan tampang bodohnya. Sudahlah, mungkin aku akan mengajarinya cara membaca Aksara Lodra jika ada waktu senggang, lagi pula setelah ini pasti akan semakin ramai, hahaha.

"Jadi kau memang tak bisa membacanya ya? Baiklah, aku akan membantumu, tapi setelah ini kau harus segera angkat kaki dari Trophe, bahkan kau harus pergi menjauh dari Bartham sejauh mungkin!" perintah orang tua ini pada Si Bodoh, ya, aku bisa paham mengapa ia menyuruhnya segera pergi.

"Maksud Anda karena orang-orang tadi sudah mengetahui identitasku? Aku juga berniat pergi menjauh setelah ini, meski dunia di luar sana rasanya sangat berbeda dengan Bartham, disini lebih damai," jawab Si Bodoh ini sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya, apa-apaan sikapnya ini.

"Benar! Kau sudah tahu mengapa kau harus pergi, tapi izinkan aku bercerita sesuatu di balik pengepunganmu pagi ini, anggap saja agar kau tak salah paham," balasnya tegas, tatapan tajam Petapa Tua ini sama sekali tak berpaling dari Si Bodoh yang tertegun.

Jujur aku juga penasaran dengannya yang membiarkan Si Bodoh ini masuk kuil bahkan malah membantunya, bukankah ia juga mengetahui jika Si Bodoh ini Keturunan Montrea? Kenapa tak segera ditangkap dan dihabisi di Altar Rutacakra seperti Keturunan Montrea yang lain?. Elusan pelan di jenggot pendeknya yang memutih ia akhiri sembari mengatakan sesuatu yang membuatku tak paham, tapi tiap kalimat yang ia ucapkan tetap kusimak baik-baik, ini menarik!.

"Aku adalah Pimpinan Tertinggi Para Petapa disini, dan aku tidak sedang membantumu lari dari Hukum Empat Kerajaan yang berlaku pada Keturunan Montrea sepertimu, hanya saja... seharusnya sebuah kematian yang di paksakan tak seharusnya dinenarkan dan tak seharusnya ada, alangkah baiknya jika Para Petapa yang merupakan Penghubung Empat Alam bisa menyebarkan welas asih ke penjuru alam mana pun termasuk kepada sesama manusia, maaf ini hanya kegelisahanku terkait Para Petapa yang akhir-akhir ini semakin terikat pada aturan kerajaan, mungkin itu juga yang membuat mereka terpaksa turut menangkapmu karena setahun ini kami semakin tak memiliki reputasi sejak kehadiran Sang Dewa Palsu,"

Menurutku ini menarik! Ia sedang berdiri di antara dua jalur. Di satu sisi ia tak membenarkan Hukum Empat Kerajaan yang berlaku terhadap Keturunan Montrea, tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi Bartham yang menyetujui hukum tersebut. Mungkin inilah salah satu bukti raja adalah jelmaan dewa, setiap keputusan yang dibuat harus dipatuhi seluruh rakyat secara sukarela. Meski Para Petapa seakan di hormati dan hidup lebih bebas, bahkan sampai memiliki daerah otonom yang mereka kelola sendiri. Tetap saja, mereka tak bisa benar-benar lepas dari belenggu hukum yang membatasi. Penjelasan dan sudut pandangnya mengingatkanku akan sesuatu yang ingin kutanyakan, aku yakin ia mampu berpikir dan mempertimbangkan hal ini menggunakan benda itu.

"Pimpinan Para Petapa? Bukankah tadi sudah ada sepuluh Petapa? Kenapa sekarang malah jadi sebelas?" Si Bodoh ini malah bertanya sesuatu yang sama sekali tak penting.

Sial sekali, terkadang ia memang agak menggangguku di beberapa momen. Bertahun-tahun aku menjadi bayangannya, dan entah berapa kali ia sudah melakukan hal menjengkelkan seperti ini.

"Kau menyadarinya? Hahaha, sebenarnya waktuku hampir habis, sebulan lagi aku akan di gantikan muridku, Dartha, pria yang sempat menyerangmu tadi," jawab pria tua ini yang malah tertawa, sikapnya tak kalah aneh dari Si Bodoh ini sekarang.

"Oh, pria itu! Aku ingat, ia sempat melempar jarum ke arahku tadi," sahut Si Bodoh ini sambil menepuk paha dalam posisi duduknya.

"Ya, hahaha, hal seperti pergantian pimpinan ini sudah tradisi, aku harap kau tak dendam padanya, lagi pula dia masih belum cukup paham dan aku bahkan belum sempat mengajarinya tentang bagaimana cara membuka Gerbang Empat Alam," ucap Petapa Tua ini masih dengan tawanya yang lugas.

"Apa! Gerbang Empat Alam? Kudengar setiap alam memang punya gerbangnya masing-masing, Anda bahkan bisa membukanya, itu menakjubkan!" seru Si Bodoh ini dengan keras, rasa takjubnya benar-benar payah menurutku.

Ia bahkan hampir berdiri ketika mendengarnya, bukankah sudah jelas jika Para Petapa ini terkenal ke seantero Alam Montrea karena kemampuan unik beserta wawasannya? Untuk apa kau harus terperangah mendengar lumrah seperti ini? Benar-benar bodoh.

"Hahaha, sudahlah, itu bisa di bahas lain kali jika kita bertemu... anak muda, terimalah bantuan terakhirku sebelum kau pergi," ucap Petapa Tua ini seraya bangkit berdiri.

Apa itu? Tepukan tangan? Kulihat dua anak kecil seketika masuk ke dalam ruangan setelah ia menepuk tangannya, bagaimana ia melakukannya?. Kulihat dua bocah ini membawa sebuah gulungan, ah! Benar saja, lagi-lagi itu sebuah lembaran, apa mereka sedang merayakan hari lembaran sedunia sekarang?. Dua anak kecil ini pun lantas membungkuk memberi hormat sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan.

"Ini adalah tata cara untuk membaca Aksara Lodra, kau tahu? Dimasa lalu Para Manusia termasuk leluhurmu menggunakan sistem bahasa seperti ini, kau bisa bawa ini beserta kitab itu, hanya bantuan kecil seperti ini yang bisa kulakukan untuk menjawab pertanyaanmu sekarang," ucap Petapa Tua ini seraya menyerahkan lembaran kertas tersebut.

"Ya, ini lebih dari cukup untuk menjawab rasa penasaranku! Aku akan belajar membacanya dan belajar tentang sejarah keluargaku," balas Si Bodoh ini yang lantas menerimanya sembari tersenyum.

Yang benar saja, untuk apa ia tersenyum berseri? Bukankah kenyataannya sudah jelas? Menurutku dia ini terlalu bodoh untuk memahami tulisan kuno itu, seharusnya bukan seperti ini metode pengajarannya.

"Haha, baiklah, kau bisa melanjutkan perjalananmu sekarang, aku sarankan kau pergi ke Wilayah Insula, dari rumor yang aku dengar di sana ada Perkumpulan Keturunan Montrea yang bersembunyi," jelas Petapa Tua ini memberi tahu.

Apa sekarang memang waktunya untuk pergi? Yang benar saja, aku bahkan belum sempat menjelaskan maksud kedatanganku. Sesuatu yang aku pendam sangat lama bahkan sampai kubawa ke dalam kegelapan. Sama sekali tak ada jawaban pasti, tahun demi tahun sudah berlalu dan aku tetap merasa terbodohi. Jika Si Bodoh ini datang ke hadapan Para Petapa membawa segudang pertanyaan terkait Montrea, begitu pun aku, hanya saja pertanyaanku hanya satu.

"Hei, Bodoh, apa kau mau pergi sekarang? Mumpung masih di hadapan Petapa Waras ini tanyakan sesuatu padanya," ucapku memanggil bocah ini dalam batinnya.

"Ada apa Silbi? Apa maksudmu Petapa Waras? Cobalah bersikap sopan pada orang ini," jawabnya ketus, ia semakin berani melonjak dan memerintahku sekarang.

"Diamlah! Apa kau pikir hanya kau saja yang datang ke sini dengan sebuah pertanyaan? Aku juga punya sesuatu untuk di tanyakan, bagaimana cara mendapatkan sebuah hati? Tanyakan padanya tentang itu," balasku tak mau kalah darinya.

"Hah? Apa maksudmu? Apa kau yakin menanyakan hal aneh seperti itu?" tanyanya yang malah merendahkan pertanyaanku.

Malas sekali rasanya aku membalasnya, selain bodoh aku baru sadar jika bocah ini ternyata payah. Bukankah tinggal bertanya dan selesai sudah? Untuk apa ia ragu padaku?. Kulihat ia masih bercengkerama dengan Petapa ini sekedar berbasa-basi, dan perbincangan itu harus berakhir dengan bangkit berdiri sosoknya kala merasa ini waktu yang tepat untuk berpamitan. Keduanya melangkah perlahan meninggalkan ruangan setelah anak ini membungkuk memberi hormat untuk terakhir kalinya.

"Meski Bartham sedang dalam masalah tapi Anda masih sempat membantuku, Anda orang yang baik, apakah menurut Anda semua yang hidup bisa memiliki hati yang baik seperti Anda? Bagaimana cara mendapatkannya?" tanyanya seolah menjebak, jadi begini caranya memancing jawaban Petapa Tua.

"Hati yang baik? Hahaha, ini sedikit sulit anak muda, aku tak berani menganggap diriku seperti itu, tapi kupikir semua yang hidup tentu saja memiliki kesempatan memiliki hati yang baik, semakin sering kita menjalani kehidupan bukankah kita akan semakin berkembang? Dari sana kita bisa memahami bagaimana seharusnya fungsi dari sebuah hati... turut merasakan dan bagilah apa yang kau rasakan ke segala penjuru dunia," jawab Petapa Tua seraya tersenyum yang membuatku semakin bingung, apa dengan hidup panjang aku bisa mendapatkan sebuah hati? Yang benar saja!

"Hei, Bocah, tanyakan padanya lebih rinci...."

BRRRRRAAAAKKKKKK...

Keparat! Aku bahkan belum menyelesaikan kata-kataku! Segenap Prajurit Bartham ini tiba-tiba mendobrak masuk ke dalam, memenuhi seisi kuil. Kembali tombak-tombak itu di acungkan di hadapanku, berani sekali! Apa mereka tak ingat? Jika tak ada Petapa Tua ini aku bisa saja membunuh mereka semua tadi. Lancang, sangat lancang mereka yang mengganggu pertanyaanku, segera kukeluarkan tanganku yang menggenggam puluhan rantai dari dalam bayangan Si Bodoh ini saat mereka mulai menyerbu mendekat. Tenang saja, akan kulemparkan dengan cepat agar kalian tak perlu repot-repot menjalani hidup lagi, lagi pula dunia ini sudah hancur dari dulu.

ZRAAAASSSSSHHHH...

Tak luput apiku menjalar di sepanjang rantai yang kulemparkan, ini akan menjadi sebuah pelajaran ketika apiku membakar hangus mereka sampai ke tulang-tulangnya. Benar saja! Mereka langsung paham akan pelajaran ini, keterkejutan itu mendorong kaki-kaki ini terus berlarian menghindari jeratan rantaiku, hawa dalam kuil ini semakin memanas karena kobaran api memenuhi setiap sisi ruangan. Aku suka ini! Bara merah yang menyala-nyala, ketakutan, kecemasan, kehancuran, kematian yang sudah menunggu mereka di depan mata. Di hadapanku mayat-mayat yang terbakar beserta lolongan jerit kesakitan ini menjadi pemandangan menarik! Semerbak harum aroma darah yang mendidih ini seketika memenuhi ruangan, semangat bertarungku kembali bangkit! Rasanya aku siap menghadapi seluruh Kerajaan Bartham dan menghancurkannya sekarang juga.