webnovel

Puncak Putus Asa, Perwujudan Tekad

Belum datang siang, gema gemuruh terdengar masih setia mengejarnya, terus membayangi seakan tak ingin buruannya lolos. Hanya beberapa meter dari Si Jubah Hitam yang tak henti-hentinya sedang berusaha menjauh, puluhan pasukan berkuda dengan beringas mengacungkan tombak-tombaknya, tak terhitung pula berapa anak panah yang sudah melesat mengincar dirinya? Dengan sigap pemuda ini selalu bisa menghindarinya, atau mungkin itu adalah perwujudan rasa cemas yang memaksanya untuk terus bertahan?.

"Aaaaaaahh, ini gila! Aku tak menyangka mereka akan memanggil bala bantuan!" seru Randra yang masih terus berlari, tampak kedua tangannya memeluk beberapa roti panjang.

"Hahaha, apa kau lupa mereka ini kerajaan? Kenapa kau mengira pasukan mereka hanya segelintir orang?" tanya Silbi yang tak menggubris Randra kala panah-panah itu kembali dilesatkan.

Seettt...Seettt...Seettt...

"Itu karena kau! Jika kau tak segera kuajak pergi bisa saja kuil tadi sudah benar-benar habis terbakar, mungkin Petapa Tua tadi marah, padahal dia sudah menolongku," balas Randra yang dengan lihai menghindari panah-panah tersebut.

"Bukankah jika mereka tadi kuhabisi sekaligus, jenderal sial itu tak akan memanggil bala bantuan? Sekarang lepaskan rotimu dan berlarilah lebih cepat, hahaha," ejek Silbi seolah menegaskan jika kejadian ini adalah buah dari tindakan Randra saat masih di Trophe.

"Lepaskan? Kau gila? Aku dari kemarin hanya makan sekali di rumah Ellenia, malam kita kedatangan pemuda setengah dewa, pagi dikepung tombak, dan sekarang malah di kejar Pasukan Kavaleri Bartham, aku lapar, bodoh!" balas Randra yang tak mau kalah.

Gelak tawa Silbi kembali menggema, sementara Randra masih sibuk memikirkan bagaimana cara agar ia bisa selamat sekarang? Letih yang mulai hinggap di kakinya, menghadirkan sensasi pegal karena ia terus berlari sedari tadi.

"Sial, Andai saja ada pohon besar di sekitar sini! Pohon-pohon ini terlalu kecil dan kota masih terlalu jauh," gerutunya sembari mengamati sekeliling, agaknya benar ia mulai kelelahan.

Tergesa-gesa ia memakan roti panjangnya, mungkin sekedar penambah stamina. Di depan sana, agak jauh dari posisinya sekarang, ceruk di antara tebing batu itu seperti menarik perhatiannya.

"Meski aku tahu... hah... sedang berlari ke arah mana sekarang? Tak ada salahnya kucoba," gumamnya dengan nafas tersengal, dirinya sudah diambang batas.

Ringkikan kuda-kuda Bartham semakin keras, mereka berniat menambah kecepatannya dan mengakhiri kejar-kejaran ini. Baru saja tombak-tombak panjang hendak dilesatkan, tampak Randra mengubah rute pelariannya tiba-tiba, Ya, ia menghampiri ceruk batu itu sekarang!. Sontak Pasukan Berkuda ini terkejut dan segera berbelok mengikuti Randra. Dekat, dekat, semakin dekat pemuda ini akan sampai di ceruk tersebut, kembali Para Pemanah dengan serempak mulai membidik pemuda tersebut dari atas kuda.

Seettt...Seettt...Seettt...Seettt...Seettt...Seettt...

Tapp...Tapp...Tapp...

Tepat saat panah-panah itu melesat membumbung tinggi menutupi langit, Silbi dengan cepat mengeluarkan perisai hitamnya dari bayangan Randra dan segera menghalau panah-panah tersebut, untuk sementara pemuda ini aman dari kejaran maut.

"Menarik! Sepertinya kau punya rencana," ucap Silbi menyadari Randra mengubah arah berlarinya.

Pemuda ini hanya diam dan terus fokus ke depan, peluh-peluh keringat yang mengucur deras membasahi wajahnya pun tak ia hiraukan. Ketika ia berhasil menggiring Pasukan Bartham tepat di depan ceruk batu itu, roti-roti panjang dalam dekapannya sontak ia lepaskan.

"Ayolah! Teruslah hidup diriku!" serunya lantang.

Diambillah belati itu dari balik jubahnya, sejenak kedua tangannya ia rapatkan. Ketika ia mengangkat tangan kirinya.

SRIIINNNNGGGG...

Dengan cepat belati itu melesat ke udara dengan rantai yang menghubungkannya dengan tangan Randra. Bahkan lima rantai sekaligus keluar dari telapak tangannya!.

"Kenapa sebanyak ini!" teriaknya keheranan.

CRAAKKKK!

Lima rantai itu langsung melilit batu besar di atas ceruk, tak luput belati Randra pun turut tertancap dinding batuan di atas sana. Sekejap tubuhnya terangkat dari tanah saat ia menarik rantai-rantainya. Menyadari buruannya berusaha lolos, segera puluhan panah dan tombak itu kembali disiapkan. Segera Pasukan Bartham mengarahkan segenap senjatanya pada Pemuda Montrea tersebut. Sepertinya mereka tak menyadari batu besar di atas ceruk itu tampaknya mulai goyah perlahan.

GRRRRRUUUUOOOOHHHHH!!!

Terlambat! Tanpa sempat menghindar, longsor sudah dinding batuan di hadapan mereka, puing-puing besar berjatuhan memaksa mereka menjauh sesaat.

sayangnya, beberapa orang yang terkena reruntuhan itu tak bisa diselamatkan lagi, sementara Randra melambung tinggi di udara meninggalkan kerumunan ini yang terperangah dengan apa yang baru saja ia lakukan. Umpatan-umpatan kesal ini cukup menjadi bukti bila mereka tak terima mendapati buruannya berhasil lolos.

"Celakaaaa! Bagaimana kita mendarat, Silbi?" tanya Randra yang mulai panik.

"Hahaha, jangan-jangan kau tak memikirkan itu sebelumnya?" balas bertanya Silbi dengan santainya.

Semakin jauh dirinya meninggi mengarungi cakrawala Bartham, kepanikan itu semakin menjadi-jadi kala ia mulai jatuh ke bawah dengan cepat, layaknya meteorit yang tanpa ragu siap menghantam bumi.

"Hahaha, ini boleh juga, lain kali ayo lakukan lagi," pinta Silbi asal-asalan.

"Bodooohhh!" seru Randra yang tak setuju dengan Silbi.

Gelak tawa Silbi mengiringi kepanikan Randra yang terus histeris, mungkin ia tak sempat berpikir kenapa ia tak lelah berteriak dari tadi?. Membayangkan dirinya hancur saat mendarat sudah cukup membuatnya ketakutan, belati itu pun semakin erat ia genggam. Silbi yang menyadari tinggal beberapa meter lagi mereka akan sampai di permukaan tanah segera mengeluarkan perisai hitam besarnya.

"Tenanglah bodoh! Kau akan tampak semakin bodoh jika mati konyol seperti ini," ucap Silbi yang bersiap menghantam kulit bumi.

GGLLLLAAAARRRRR....GRRAAAARRRRGHHHH...

Terpelanting dua kali Si Pemuda kala perisai besar itu benar-benar menyentuh tanah, area yang terhantam perisai tersebut hancur tak beraturan dengan tanahnya yang amblas. Seketika debu menutupi bangunan-bangunan ini, terseok langkahnya seraya memperhatikan tempat ia mendarat.

"Gila! Aku masih hidup, benar-benar hidup! Fyuh, Lalu di mana ini?" tanyanya pada diri sendiri sembari membersihkan debu pada jubah hitamnya.

Baru sejenak ia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan beranjak bangkit, debu yang sedari tadi menutupi area ini perlahan menghilang. Alangkah terkejutnya saat ia menyadari tempat macam apa yang ia gunakan untuk mendarat?.

"Sangat sial...." ucapnya lirih tak mampu membuka suara lagi.

Entah berapa banyak, tak ada yang tahu pasti? Tapi mungkin saja jumlahnya ribuan, ini bukan karena deretan lima bangunan besar berwarna hijau gelap itu sedang menghadangnya. Namun yang menjadi keterkejutannya adalah, di setiap tiga tingkat dalam bangunan itu ramai di penuhi Pasukan Bartham yang seolah sedang menatap tajam ke arahnya, belum lagi Pasukan Berkuda beserta kereta perangnya juga tampak memenuhi pelataran dari bangunan tersebut.

Ia mendarat di tempat yang salah! Ini di luar perkiraannya, apakah ini kemampuan tempur sebenarnya dari Kerajaan Bartham? Dirinya hanya bisa menduga-duga apa yang ia hadapi sembari mencoba bangkit perlahan. Sangat mustahil ia bisa menghadapi kekuatan besar semacam ini, satu sosok pun lantas melangkah, terlihat jelas bagi Randra kala sosok itu menampakkan dirinya dari bangunan paling besar yang berada di tengah.

Jubah kebesaran hijau gelap, meski kali ini ia memakai mahkota perak bercorak singa, namun tetap saja Randra tak akan lupa akan orang itu, Ramon Ergolas, Sang Raja Bartham!. Dari kejauhan, bisa dilihat seolah Sang Raja sedang memandang rendah dirinya yang masih terdiam.

"Kukira suara ribut apa tadi? Ternyata Si Pengacau, kebetulan sekali aku memang berniat mencarimu, Nak," ucap Sang Raja pelan.

Diangkatlah pedang putihnya yang bercorak kepala singa itu ke atas, apa ini? Itu bukan pedang yang pernah ia gunakan untuk menghadapi Randra di Area Jagal. Tiba-tiba seluruh Pasukan Kuda pun berlarian ke arah Randra dengan cepat, mengepung Pemuda Montrea ini dari segala penjuru arah dengan kereta perangnya.

"Kau yang di sana! Keturunan Montrea! Dengan ini aku menangkapmu dan kau akan segera di eksekusi menurut Hukum Empat Kerajaan yang berlaku!" teriak lantang Sang Raja menggema ke seantero Negeri Bartham.

"Lagi-lagi itu, lagi-lagi itu, aku sudah muak! Rasanya aku tak peduli lagi hidup atau mati, hanya saja, aku ingin lebih memahami kenapa? Kenapa dengan itu semua?" batin Randra kala Pasukan Berkuda semakin membatasi ruang geraknya.

Gemeretak giginya terdengar. Matanya yang kosong memandangi tanah di bawahnya, mata itu persis saat ia pertama kali datang dan tertangkap oleh Pasukan Bartham. Rasanya ia sudah sangat lelah dengan genosida yang diagungkan Empat Kerajaan.

"Andaikan aku cukup kuat, aku ingin melawan mereka semua sekaligus, entahlah? Mungkin dengan bertambah kuat aku bisa hidup tenang," lanjut Randra dalam batinnya.

Tertiup angin, debu-debu itu menerpa jubah hitamnya. Entah apa yang ia rasakan? Entah apa yang ia pikirkan?. Perlahan ia mengangkat kepalanya memandang balik Sang Raja.

"Apa kau tak lelah? Enak sekali hidupmu, keparat! Majulah, majulah sekarang! Akan kuladeni bajingan seperti kalian!" teriaknya seakan marah, kecewa, dan putus asa sudah menguasai dirinya.

Bola mata Sang Raja hampir keluar dari tempatnya mendengar perkataan tersebut, begitu pula Seluruh Prajurit Bartham yang hadir semakin bengis menatap ke pemuda ini. Lancang sekali! Ini merupakan penghinaan besar-besaran di hadapan Sang Raja, namun, lain lagi dengan Silbi yang menganggap perkataan Randra tak ubahnya sebuah perwujudan dari sebuah tekad.

GRRRRGGHHH...GRRRRGGHHH...GRRRRGGHHH...

"Kuterima tekadmu Anak Manusia!"

Gema suara berat bersamaan dengan langit yang menghitam itu berhasil mengalihkan perhatian segenap orang yang hadir di lokasi ini. Tanah pun mulai bergetar hebat dengan bayangan Randra yang sedang meluas di permukaannya. Bara-bara api mulai bermunculan, seketika empat tangan gelap berukuran besar itu keluar dari dalam bayangan Randra. Masing-masing memegang dua perisai hitam dan dua pedang yang dipenuhi kobaran api. Sekilas sosok Randra tampak menyeramkan untuk saat ini, kedua tangannya di lilit rantai hitam yang mengepulkan banyaknya uap panas, ia berdiri tepat di tengah empat tangan besar yang seakan melindunginya.

"Dengar Manusia! Segeralah pergi karena negaramu kujamin hancur! Hahaha," seru lantang Silbi menumbuhkan kengerian bagi siapa saja yang mendengarnya.

Semakin kencang hembus angin seakan menyetujui pernyataan tersebut, pekatnya awan gelap itu juga seolah turut mengamininya. Di antara semua mata yang memandang, di sela-sela sesaknya kerumunan pada bangunan paling timur. Tertegun gadis ini tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Percayalah, itu cukup untuk menghancurkan seisi Bartham, lebih baik kita segera melarikan diri," ucap Yyira memperingati Ellenia yang tertegun.