webnovel

Berhentinya Prahara

"Gila! Apa itu?" serunya menyaksikan jeruji-jeruji api mulai menjalar ke bawah dari atas langit.

Jika kupikir-pikir lagi, pernyataan Yyira ada benarnya juga. Ia memang tak pernah belajar sesuatu, entah itu soal bagaimana teman gadisnya bisa sembuh total? Atau pun tentang perintah api yang ia lihat sekarang?. Bahkan sejak pertama kali aku mengikutinya, kurasa ia memang tak menyadarinya, sudahlah, lagi pula untuk apa mempelajari teknik kuno itu? Hahaha. Perintah-perintah api, teknik penyelarasan yang bisa menggabungkan dua pengguna sihir. Perintah itu bisa menundukkan dan memanipulasi api, bisa kupastikan Yyira yang mengajari anak manusia bernama Ellenia ini.

Ah, ini seperti masa lalu saat Yyira menggunakan Astrapara Si Tombak Pengekang, perintah gadis ini berhasil mewujudkan energi api tombak itu. Sesuai namanya Si Pengekang, ia mampu berwujud suatu respons pembatasan terhadap gerak-gerik musuh, salah satunya seperti pengurungan ini. Meski kombinasi mereka mampu menyudutkan Bocah Putih itu, tetap saja tak sebanding kehebatanku yang melegenda, hahaha.

"Hei, apa ini!"

Pekik Si Bocah Putih yang konyol, harusnya ia diam saja dan menikmati kebodohannya karena telah melawan salah satu Jenderal Kegelapan. Jeruji-jeruji api semakin menyempit di atas langit malam, malangnya bocah ini semakin terkekang, terkurung di dalamnya tanpa bisa melarikan diri. Kulihat Si Bodoh satunya sangat menyedihkan, bagaimana bisa ia terperangah dengan mulut terbuka menyaksikan teknik ini? Dasar makhluk lemah.

"Aku tak peduli kau siapa dan apa tujuanmu? Berani sekali kau mengacau di Bartham, kuharap kau bisa merenungi perbuatanmu di dalam sana."

Jelas nada ketegasan terlontar dari ucapannya, gadis ini memang berbakat menjadi prajurit. Lain lagi dengan Si Bocah Putih ini yang memang bodoh, ia sama sekali tak mengerti maksud dari perkataan gadis ini. Di atas sana, berulang kali ia meninju kurungan api tersebut dan tentu saja gagal, jangan-jangan setengah dewa hanya sebatas predikat palsu, hahaha.

"Sial! Lepaskan! Lepaskan aku! Kau tak tahu apa yang kau lakukan, nona," ucapnya sembari terus memberontak, hmmm, mata itu, kupikir ia mulai putus asa sekarang.

"Percuma saja, kau takkan bisa keluar dari sana!" sergah Si Gadis, ia sangat santai melihat musuhnya tak berdaya.

"Lepaskan bodoh! Aku masih dalam tugas! Kuperingatkan kau, aku tak hanya di tugaskan Para Dewa membasmi Ras Terkutuk tapi juga manusia jika mereka mengganggu keputusan dewa," ucap Si Pemuda Putih sembari mengeluarkan sesuatu di balik selendangnya.

"Perintah Api, penjerat!"

Hahaha, sedang dalam tugas dan langsung di jawab kembali dengan perintah api. Seirama menuruti gerakan jari gadis ini, tampak kobaran-kobaran jeruji api ini perlahan menjalar, menjerat dan langsung mengunci tangan, kaki, serta leher Si Bocah Setengah Dewa, hahaha. Sangat malang, aku harap ia segera terbakar matang di dalam sana. Hmmmm, tapi apa itu yang sedang ia genggam? Kertas merah? Memang pelan, tapi aku bisa mendengar ia sedang bergumam.

"Argh! Sial, terpaksa kugunakan ini!'

CRAAAAANNNNNKKKKK...

Keparat, silau sekali! Belum sempat aku memerhatikan apa yang ia genggam, dari mana datangnya cahaya merah yang tiba-tiba ini? Jangan-jangan kertas merah sialan itu, sial, semuanya serba merah terang. Lamat-lamat hawa keberadaan dewa bisa kurasakan. Tak salah lagi, kali ini memang hawa keberadaan Para Pemalas itu!

"Silbi, ada apa ini? Apa kau bisa lakukan sesuatu?"

Dan kenapa Si Bodoh ini malah bertanya di saat seperti ini, apa ia tak tahu aku sendiri tak bisa melihat apa-apa sekarang. Sial!

ZRUUUUOOOOHHHH...

Segera kukeluarkan pedangku dari dalam bayangan Si Bodoh ini, ah, untung saja dia tak tertebas dan mati konyol. Setidaknya kobaran apiku berhasil menghalau kilauan merah tadi, kulihat lembaran-lembaran merah sedang beterbangan di sekitar dirinya, bocah putih itu, apa yang sudah ia lakukan dan bagaimana ia bisa bebas dari kurungan Yyira?.

"Dengarkan aku manusia! Ini adalah perintah mutlak Para Dewa! Sekali dewa memerintah semuanya sudah mutlak tanpa ada pihak yang bisa mengganggu gugat,"

Kulihat ia menunjukkan gulungan merah yang ia buka perlahan, kubuka mataku lebar-lebar, kuperhatikan apa yang ada dalam kertas sialan itu. Hmmmm, memang tertulis pada gulungan sial itu yang menyebutkan pembasmian Ras Terkutuk dan tak ada yang bisa menghentikan keputusan dewa. Di atas sana, sosok ini terlepas dari kobaran maupun jeratan api pengurung yang telah musnah, Tombak Astrapara sontak kembali ke wujud semula dan kembali melesat ke tangan Yyira. Mata tombaknya bergetar hebat seolah telah bersinggungan dengan kekuatan yang lebih besar darinya. Jadi ia memanfaatkan kekuatan perintah mutlak itu untuk menghalau segala gangguan dalam tugasnya ya? Menarik, semuanya menjadi mutlak dan tak bisa dihalang-halangi selama membawa perintah itu.

"Sudah kubilang aku sedang dalam tugas, jika kalian menghalangiku akan kuhancurkan kalian seperti kota ini, kuperingatkan kalian patuh dan tunduk, dasar makhluk perusak!"

Apa itu? Berani sekali ia berbicara kehancuran di depanku! Hahaha, apa nyalinya memang sebesar itu? Kurasakan lembaran-lembaran merah yang beterbangan mengitari dirinya memang di aliri kekuatan dewa, kita buktikan malam ini juga bocah! Kau hanya bisa melayang di atas puing-puing kota, dan aku sudah merasakan bagaimana rasanya duduk di atas kehancuran semesta!.

Kulihat ia mulai bersemangat, segenap kekuatannya terasa di kumpulkan di satu titik, ya, kepala tangannya. Ellenia, Yyira, maupun Si Bodoh ini tampak waspada dengan apa yang di hadapinya, kilauan putih terkumpul sangat besar dan padat di tangan pemuda serba putih ini, bahkan bulatan itu lebih besar dari ukuran tubuhnya sekarang. Kekuatan penghancur yang lumayan, hahaha lagi pula dia hanya setengah dewa, jangan terlalu yakin dengan kekuatanmu, bocah...

ZRAAAAASSSSHHHH...

Tanpa basa-basi kuterima kegigihan tekadnya, sontak kupanjangkan bilah pedangku di ikuti kobaran api yang menyala-nyala membelah kegelapan di langit malam. Kedua anak manusia di dekatku ini terkaget kala menyaksikan merahnya bara hasrat bertarungku, keduanya terduduk akibat guncangan apiku yang menghantam permukaan tanah Bartham. Semakin hancur puing-puing kota ini terkena satu tebasanku, satu sosok putih yang tadinya menampakkan taringnya padaku kini terpental jauh meninggalkan kami berempat, di ikuti kobaran api yang membentang membentuk sebuah garis di langit malam. Semoga saja setengah dewa itu tak mati hahaha. Jika ia kembali ke sini aku akan dengan senang hati melawannya kembali.

"Silbi, apa yang kau lakukan? Ini malah semakin hancur!"

Pekik Si Bodoh ini mengomentari seranganku barusan, ya memang tanah tempatku berpijak juga terkena dampaknya, areanya yang amblas membentuk tebasan pedang yang menjalar panjang. Bahkan lidah-lidah api keluar dari dalamnya, kupikir ini bagus karena tempat ini sudah hancur sebelumnya, hahaha.

"Untung serangannya kau arahkan ke atas, jika tidak itu akan menghancurkan kota-kota Bartham yang lain,"

"Tapi apa yang di maksud pemuda tadi dengan Ras Terkutuk? Kenapa dia sangat berambisi memburunya? Bukankah hanya ada empat ras di dunia ini?"

"Entahlah, bedebah itu sudah menghancurkan Bartham, kuharap ia benar-benar tamat terkena serangan besar barusan,"

"Tapi... semuanya hancur sekarang, aku tak tahu pasti berapa kota di Bartham yang hancur karena ledakan tadi,"

"Ya, memang, setelah ini aku akan memeriksa Istana Raja, jika kau ingin ke Trophe besok pagi, kaburlah, aku akan bilang jika kau tewas dalam ledakan besar ini,"

Sejenak percakapan dua anak manusia ini agak menganggukku, naif sekali jika hanya ada empat ras yang diakui, mereka sama sekali tak tahu dulu ada puluhan ras yang hidup berdampingan. Ah, sudahlah, sejarah memang ditulis oleh pemenang. Kulihat keduanya perlahan bangkit dan berjalan di tengah puing-puing kota yang hancur. Jasad-jasad terpanggang atau pun mereka yang tewas tertimpa bangunan terpampang jelas menghiasi pelupuk mata keduanya, mungkin hanya mereka berdua yang masih bisa bernafas lega di atas tanah yang hangus ini.

Kulihat Ellenia tiba-tiba menghentikan langkahnya, ia berdiri tepat di depan seorang wanita yang sedang merangkul seorang anak kecil. Tubuh kaku nan penuh debu yang tertimpa reruntuhan bangunan ini membuat kedua matanya sama sekali tak berkedip, kudengar giginya bergemeretak seolah menahan sesuatu. Ini yang aku tak paham dari manusia, antara amarah dan penyesalan mereka, terkadang aku tak bisa menebaknya? Dan kenapa ia masih memandangi jasad tak bernyawa itu?.

"Randra, kita berpisah sementara di sini, aku akan ke Istana, besok kau bisa pergi ke arah selatan untuk mencari Kota Trophe, tak sulit untuk menemukannya karena kota itu sangat dikenal Penduduk Bartham,"

"Begitu? Baiklah... sebelum itu aku turut berduka atas kerajaanmu, meski di medan perang Ra-Herl dan Bartham adalah musuh, tapi tak seharusnya kejadian seperti ini terjadi,"

"Sudahlah, lagi pula semua sudah terjadi, kemunculan pemuda setengah dewa serta kehancuran ini adalah hal yang tak bisa di prediksi dan suatu hal yang tiba-tiba itu sudah wajar di medan perang, untuk saat ini aku akan pergi dan memastikan keselamatan Raja Ramon,"

Kulihat Si Bodoh ini hanya diam memandangi gadis tersebut yang meninggalkannya seorang diri, helaan nafasnya terdengar berat saat ia kembali memutar kepalanya memandang sekeliling. Apa yang sebenarnya ingin di sampaikan mata sayu ini? Kulihat belatinya ia genggam erat-erat.

"Silbi..." ucapnya lirih.

"Apa?" jawabku singkat.

"Mungkin... aku ingin sedikit lebih kuat, ini hanya angan-anganku saja, mungkin juga aku butuh waktu untuk berpikir matang-matang mengenai ini,"

Apa maksudnya itu? Angan-angan? Aku benar-benar tak paham yang ia bicarakan, bukankah saat kau kecil aku sudah melatihmu satu atau dua hal mengenai kekuatan?. Kulihat Si Bodoh ini mematung di tempatnya, apa ia sedang menikmati pemandangan kehancuran ini? Apa ini berhubungan dengan kunjungan besok pagi ke Trophe? Siapa yang tahu, kurasa jalan pikirannya semakin runyam. Ah, aku sampai lupa kalau sebentar lagi pagi akan menampakkan dirinya, baru kali ini aku melihatnya terjaga di malam hari.