webnovel

Part 8. Curhat

Dario duduk di ruang tamunya dengan gelisah sambil meremas ponselnya. Cowok yang baru saja habis mandi itu sedang menunggu Emilia datang ke rumahnya karena tadi gadis itu menelepon dan berkata sedang di jalan.

Dario yang sedikit panik langsung buru-buru turun ke arah ruang tamu dan duduk di kursi tamu depan TV.

Frisca yang baru saja keluar dari kamarnya datang menemui anaknya yang sedang duduk gelisah di ruang tamu, dengan membawa serta buku novel series terjemahan kesukaannya. Perempuan setengah baya itu duduk di samping anaknya dan mengelus lengan atas Dario, kentara sekali jika anaknya itu sedang gelisah.

Karena Dario termasuk orang yang susah untuk menutupi suasana hatinya. Lelaki itu terlalu polos dan manja.

"Kenapa, sayang?" tanya Frisca pelan. Dario melihat ke arah Maminya dan menghela napasnya gusar. "Mi ...,"

"Hm?"

"Lia Mi," jeda Dario. Frisca masih menatap mata cokelat terang yang di warisi langsung olehnya itu. "Kenapa Milia?"

"Ak-aku Mi," cowok itu menggaruk ujung alisnya. Frisca masih diam, menunggu anaknya berpikir dan menyusun kata.

"Tadi Mi, aku bohong sama Emilia," akunya.

"Loh, bohong kenapa, sayang?" Frisca sedikit kaget. "Tadi kan aku udah ada janji sama Lia buat jemput dia dan ajak dia ke kedai es krim. Tapi tiba-tiba ada temen sekelasku, cewek, dia minta aku ajarin Mi, main basket. Dia kan udah seneng banget keliatannya mau aku ajarin, jadi aku gak enak buat nolak Mi, terus aku batalin deh janji sama Lia."

Dario mengintip notif di ponselnya, berharap ada halangan Emilia datang ke rumahnya. "Terus tadi dia nelepon aku, terus minta aku nunggu di rumah. Katanya dia mau kesini Mi. Ya ampun Mi, aku gemeteran, nih liat nih! Tuhkan tangan aku dingin. Iiihhhh Mamiiii, ini gimana? Nanti Lia marah gak sama aku?" tanyanya panik.

Kepanikan itu bertambah saat mendengar suara klakson mobil dari arah depan rumah. Dario langsung berdiri tegap bak layaknya seorang militer.

Frisca sedikit terkekeh geli melihat kelakuan anaknya. Selanjutnya yang ia lakukan adalah beranjak dari sana dan berlalu menuju kamar dimana ada Kelvin di sana sedang duduk dan sibuk menandatangani setumpuk kertas di hadapannya.

Tapi sebelum ke kamar, Frisca lebih dahulu beranjak ke arah dapur untuk membuatkan teh hijau untuk suaminya.

Sedangkan Dario, kentara sekali gugupnya dan dengan kaku ia menghampiri Emilia yang kini berjalan ke arah teras rumahnya dimana terdapat ayunan kayu besar yang memuat dua sampai tiga orang. Gadis itu terduduk di sana.

"Hai Lia!" Dario dengan senyuman yang lebih terlihat seperti ringisan ikut duduk di samping Emilia dan memerhatikan wajah gadisnya yang kini sedang menatap lurus ke depan. Dengan polos Dario ikut mengikuti arah pandang Emilia. "Lia liat apa?"

Emilia mendengkus mendengar pertanyaan Dario. Ia langsung membuka mulut ketika Dario kini menatapnya dengan kepala sedikit miring kekiri, Emilia tak kuat jika kelakuan Dario semanis itu, bisa-bisa ia tidak jadi marah kepada Dario.

"Tadi ngapain?" tanya Emilia to the point.

"Hah?" Dario yang pura-pura bodoh, atau memang bodoh itu kini bertanya dengan wajah polosnya seakan melupakan jika tadi ia sudah mengadukan perihal ini kepada Maminya.

Emilia menghela napasnya, "Tadi, di sekolah kenapa pulang sore? Beli makanan kelinci di sekolah? Apa gimane? Apa kelincinya di boyong sama Om Kelvin ke sekolah?"

Dario yang mulai mengerti arah pembicaraan langsung meringis, "Itu tadi Dario abis latihan basket."

"Terus?" Emilia dengan jengah mengangkat satu alisnya. Wajahnya tampak sangat tak bersahabat sekarang.

"Dario diminta ngajarin temen Dario main basket, Li," cicitnya. Cowok itu memainkan jarinya dengan gugup. Emilia melihatnya malah melengos, kebiasaan Dario jika ketahuan bohong ya mengaku sambil memasang wajah takut pada Emilia, sudah biasa.

"Terus?"

"Dia minta ajarin pas banget abis kita chat itu, dia temen sekelas Rio, terus-terus-terus ...," ia menatap Emilia sebentar dan kembali menunduk.

"Elo langsung chat gue terus bohong gitu, IYA?!"

Dario mengangguk. Emilia menahan napasnya dan menampar Dario.

"BAJINGAN!"

***

Dering telepon itu Emilia abaikan, lagi.

Sudah berpuluh kali Dario meneleponnya dan men-spam chat dirinya. Tapi Emilia hanya mengabaikannya sembari merokok di balkon kamarnya yang langsung menghadap jalan depan rumahnya.

Suasana balkonnya kini dingin karena angin malam dan gemuruh kecil dari langit yang menandakan hujan akan turun. Balkon itu gelap karena Emilia sengaja tak menyalakan lampu depan, ia sibuk melamun sambil terus menghisap dan memainkan asapnya.

Bahkan gadis itu mengabaikan suara pintu di ketuk dua kali dan tak lama pintunya terbuka. Emilia merasakan ada seseorang mendekat dan memegang pundaknya. "Anak gadis gue lagi galau ceritanye?"

Kalian tahu pasti itu siapa.

Emilia mendengkus keras-keras. "Apesi Mak!"

Rachel ikut duduk di sebelah Emilia dan menghela napas. Ia meraih sebatang rokok milik Emilia dan menyulutnya dengan pematik api, Emilia hanya melirik Mamanya yang ikut menghisap rokoknya dengan pandangan bosan.

"Gue masih nunggu."

Okay, Emilia menyerah.

Gadis itu membuang asapnya lalu menghela napas berat. "Dario bohongin Lia."

Ia masih waras dan masih mengingat Rachel adalah orang tuanya walaupun kelakuannya kadang tidak bisa di katakan sebagai orang tua, malah seperti musuh. Dengan tidak ber lo-gue pada Rachel.

Rachel menghisap dan mengeluarkan asapnya dengan bentuk bulatan-bulatan kecil dari mulutnya. Emilia ikut menghisap rokoknya juga. "Tadi Lia ke rumahnya, minta penjelasan. Ternyata emang dia bohong."

Dahi Rachel sedikit mengernyit. "Emang?"

"Tadinya Lia cuma lihat dia, Tau kan Ma Lia sering nongkrong depan Kencana." Rachel mengangguk, "Lia liat sore itu dia pulbar sama cewek, mereka pake Jersey basket Kencana."

"Lah, si Bocah Bule maen basket? Kan maen."

Emilia berdecak, "Bodo amat anjir. Tapi Mak, sebelumnya doi bilang di suruh beli makanan kelinci sama om Kelvin."

Emilia mengernyit dalam kegiatannya menghisap rokok saat melihat Rachel malah tertawa. "Sejak kapan itu Fakboi punya kelinci? Doi paling benci sama hewan kecil, apalagi kelinci."

"Jadi demennya pelihara hiu? Kan gede."

"Ya gak gitu juga, panjul!"

"Bodo amat Mak! Terus kan-"

"Nabrak!" potong Rachel. Emilia memandang sang Mama dengan kesal. "Minta di aduin emang ni orang!"

"Hehe, baper amat lu."

"Hm, terus Lia nampar dia abis itu pulang, daripada tetep disitu terus Lia kalap karena kesel kan mending pulang."

"Kagak ada si Fakboi?"

Gadis itu menggeleng dan menghisap rokoknya, lagi. "Kagak ada, sibuk kayaknya."

"Jadi intinye si Bocah Bule itu bohong sama anak gue?" Emilia mengangguk. "Terus anak gue marah?"

Emilia menggebrak meja dengan tiba-tiba. "WAH JELAS!" serunya kencang.

"Weh gausah ngegas, bego!"

"Anak sendiri di katain bego, gue heran lu Emak gue apa bukan si?"

"Au, gue nyomot lu di semak-semak."

"EMAK! MINTA GUE ADUIN KE PAPAP LU YA!"

***