webnovel

Part 9. Emilia dan Emilio

Curhat dengan Mamanya memang selalu membuat dongkol.

Begitu pikir Emilia.

Tapi walau begitu, ia tetap akan cerita setiap kali ia punya masalah, seperti masalah di sekolah atau dimanapun.

Kadang Rachel bisa menjadi pendengar yang baik, dan menyebalkan.

Kadang juga Mamanya itu memberinya solusi atas masalah, dan tak jarang juga memberi nasihat kepadanya dan mewantinya agar terus menjaga diri. Biar bagaimanapun perangainya ia tetap perempuan.

Emilia menopang dagunya menatap guru Geografinya yang kini sedang menjelaskan di layar depan dengan proyektor. Gurunya itu bisa di bilang masih muda, maka dari itu mereka juga tak heran jika cara bicara guru itu agak sedikit nyablak.

"Heh Milia, perhatiin gue lagi ngomong, asik sendiri. Galau lu ya?!"

Nah, seperti sekarang ini contohnya. Di saat para teman sekelasnya tertawa dia malah berdecak sambil memutar bola mata. "Kepo ae lu!"

"Ye, malah nyolot di tanya, dasar cabe."

Satu kelas kembali tertawa. Emilia membalas, "Ye bajilo!"

Satu kelas tertawa, lagi. Bagi mereka sudah biasa mendengar sahutan antara guru itu dan Emilia. Dengan senang hati Emilia akan membalasnya jika guru itu meledeknya, tak jarang juga murid lain menjadi bahan omongan sang guru.

Tak lama bel istirahat berbunyi, para murid bersorak kecil dan beberapa berangsur meninggalkan kelas menuju kantin. Emilia hanya diam duduk di kursinya sambil mendengarkan lagu Amnesia - 5Sos.

Ia membuka satu kotak bekal yang ia sangat tahu itu di berikan oleh Dario pagi-pagi sekali saat ia masih belum sampai ke sekolah. Dario bahkan tahu kelas dan tempat duduk Emilia!

Emilia melihat satu kertas berwarna putih, disana terlihat sebuah tulisan yang lumayan rapih untuk ukuran laki-laki.

Lia,

Dimakan ya? Aku buat sendiri ini pagi-pagi abis sholat subuh.

Nggak si, di bantu Mama, soalnya aku curhat kalo kita lagi berantem terus Mama malah kasih solusi buat bikinin kamu bekal setiap hari sampe kamu maafin aku. Soalnya kamu nggak mau baca pesanku :(

Emilia, Dario minta maaf. Dario gak tau kalo itu bikin Lia marah.

Ps: aku ngantuk banget nulis ini, jadi pendek aja ya. Aku sayang kamu.

Bagaimana bisa cowok itu semanis ini?

Emilia menahan senyumnya dan memakan roti sandwich dengan tambahan saus tomat. Ia terkekeh.

"Ini mah bikinan Mami!"

***

Emilio mengernyit saat dengan tiba-tiba adiknya itu berteriak memanggil namanya dan menghampirinya di koridor tepat saat bel pulang berdering dengan indah.

Gadis itu kentara sekali habis bangun tidur. Emilio berdecak melihatnya saat Emilia masih menguap sambil berjalan, tidak tahu malu.

"Apaan?"

"Abang," rengek Emilia. "Temenin beli es krim matcha si, gue pengen banget!"

Emilia bergelayut di tangannya tapi Emilio tidak risih dan tidak peduli akan pandangan orang kepada mereka. Toh, mereka di besarkan di waktu yang sama dan satu rahim.

Emilio bergumam malas dan keduanya bergerak menuju parkiran dimana Emilio kali ini membawa sepeda. "Loh, elo bawa sepeda, bang?"

Emilio kembali bergumam dan Emilia berdiri di boncangan belakang. Mereka berlalu meninggalkan Antariksa dengan tatapan berbagai macam.

Kedai es krim yang Emilia sering datangi lumayan dekat dengan sekolah, hanya beberapa meter. Emilio dan Emilia masuk ke dalam dan duduk di salah satu meja dekat jendela yang memerhatikan beberapa siswa dan siswi berlalu lalang melewati kedai. Seorang pelayan menghampiri mereka dan bertanya ingin memesan apa.

Dengan sedikit cemberut Emilia menjawab, "Matcha toping kit-kat satu sama vanila toping oreo satu."

Pelayan itu tersenyum dan berlalu meninggalkan mereka berdua.

Emilia semakin memanyunkan bibirnya melihat Emilio yang kini fokus pada buku fisikanya.

"Bang, belajar mulu, kagak ngebul itu otak?"

Emilio menggeleng, "Molor mulu, gak ngebul itu otak?"

Emilia kembali cemberut, "Ye, tidur itu bagus, ngilangin gabut."

"Palalo dua belas!"

Emilio diam tak menjawab lagi, ia kini terlihat sedang mengerjakan soal di buku paketnya sedangkan Emilia menyanggah dagunya melihat Emilio.

"Belajar Li, tahun depan UN!"

"Halah, masih tahun depan!"

"Semakin lama, waktu itu semakin singkat karena lo ngegunain buat hal yang gak berguna, makanya terasa singkat, lo gak bakal sadar nanti tau-tau semua udah berubah seiring waktu berjalan."

"Berarti belajar itu hal yang gak berguna?"

Emilio mengernyit. "Kok?"

"Secara gak langsung lo ngomong, kalo waktu akan cepat berlalu tanpa kita sadarin makanya lo belajar terus biar lo siap buat hadapin masa depan, karena waktu itu singkat buat lakuin hal yang gak berguna?"

"Otak lo belum nyampe Li."

Emilia mendengkus. "Si bangsat!"

Pesanan mereka datang, Emilia langsung sumringah menatap es krim matcha kesukaannya sudah ada di hadapannya. Ia memakan es krim itu dengan senyum. Emilia menatap Emilio yang kini masih mengerjakan sesuatu di bukunya sambil sesekali menyuap es krim vanilanya.

"Dua minggu lagi gue ikut lomba OSN," celetuk Emilio merasa Emilia menatapnya lagi. Emilia mangut-mangut dan menepuk pundak kembarannya itu. "Semangat twin, you can do that!"

Emilio mengangkat wajahnya dan tersenyum tulus, jarang sekali ia menampilkannya pada orang lain. "Thanks!"

***

Emilio sedang memberesi buku serta alat tulisnya ke dalam tas begitu Emilia datang lagi kepadanya setelah membayarkan pesanan es krim mereka. Keduanya jalan ke luar dari kedai dan melihat dengan jelas bahwa awan terlihat menggelap. Hawa dingin sore hari khas hujan juga sudah mulai terasa.

Emilia berdiri di boncengan sepeda Emilio. Selama perjalanan yang mulai memasuki area perumahan itu Emilia hanya diam melamun. Ia menatap awan yang semakin hitam dan rintik air perlahan sudah mulai turun mencium permukaan bumi yang keras.

Emilia mendongak untuk merasakan air yang jatuh mencium wajahnya. Rintikan itu perlahan mulai bertambah banyak dan Emilio menghentikan laju sepedanya. Mereka berdua berhenti pada salah satu pohon besar yang terlihat di depan rumah orang.

Emilio hanya diam selama beberapa saat dan Emilia menatap kembarannya itu heran. Tak lama ia bersuara, "Kalo sedih jangan di pendam Li, lo kembaran gue, apapun suasana hati lo gue bakalan tau. Mau lo senang, sedih, gelisah, gue bakal ngerasain juga. Kita ini kembar Li, gue yang paling ngerti perasaan lo begitupun sebaliknya."

Emilio kembali melajukan sepedanya dan Emilia yang kini termenung karena perkataannya. Perlahan, Emilio merasakan jika punggungnya di peluk dari belakang, cowok itu juga dengan jelas merasakan punggung adiknya itu bergetar. Emilia terisak dalam derasnya hujan sore itu.

Bersama Emilio yang juga ikut meneteskan air mata karena merasakan sesak luar biasa di bagian dadanya. Merasakan perasaan Emilia.

"Rasanya sakit, bang. Lia gak kuat."

***