Emilia terus mendumal sepanjang perjalanannya sambil menguap, pagi-pagi sekali ia sudah di bangunkan oleh Rachel dan Mamanya itu memaksanya agar bangun lebih awal agar berangkat sekolah bersama Emilio, Kakaknya.
Selama hampir dua tahun sekolah di Antariksa, Emilia baru dua kali ini berangkat bersama kembarannya itu, biasanya ia akan berangkat sendiri atau bersama Dario mengingat jarak Kencana dan Antariksa hanya lima meter.
Emilio memutar bola matanya saat dengan ringannya adiknya itu meremas pinggangnya sambil menggerutu, mobil dan motor serta kartu kreditnya di ambil Marchel selama seminggu, dan itu membuat Emilia tidak leluasa.
Emilio hampir memekik saat melihat seorang gadis yang memakai seragam sekolah lain lewat dengan tiba-tiba, Emilio yang sedang sedikit tidak fokus karena tadi Emilia meremas pinggangnya kuat membuat ia meringis.
Emilio memicingkan matanya melihat gadis itu seperti ketakutan melihatnya. Keduanya saling bertatapan sebentar dan tak lama gadis itu pergi, meninggalkan Emilio yang terus menatap punggungnya dan Emilia menatap Kakaknya itu heran.
"Ngapa berhenti si jing?"
Emilio menggerakkan tubuhnya sedikit kekanan dan membuat motor juga ikut oleng, ia berkata ketus pada Emilia. "Turun!"
"Hah, apaansi jing, sekolah deket itu depan. Tanggung tolol turun disini!"
Tapi Emilio seakan tak mendengar. "Turun!" kali ini suaranya agak keras.
"Lah kesambet lo ya?!"
Namun dengan dengkusannya Emilia tetap memilih turun dari motor Emilio. Saat Emilio mengambil ancang-ancang untuk pergi Emilia menahan lengannya. Emilio menatapnya jengah dari balik helmnya, "Bagi duit, bang!"
Emilio memutar bola matanya dan merogoh asal sakunya, ia mengeluarkan uang bewarna biru tua itu kepada adiknya, ralat, menekannya di dahi adiknya.
Setelah itu ia pergi memasuki gerbang sekolah. Meninggalkan Emilia yang berteriak sangat keras bahkan sampai beberapa siswa dan siswi menatapnya. "EMILIO BAJINGAN!!! MASA GOCAP DOANG?!"
***
Dario yang sedang duduk diam di kelasnya karena sekarang guru yang seharusnya mengajar tidak hadir mendengar suara dentingan ponselnya. Ia melihat nama Emilia tertera disana.
Lia ❤ : Ri!!
Lia ❤ : masa motor, mobil, sm kartu kredit gue di ambil sm Papap!
Dario Alatas : Loh, kok bisa?
Lia ❤ : bisa lah!
Lia ❤ : lo lupa kejadian semalem?!
Lia ❤ : bokap emang gak jadi marahin gue, tapi semua fasilitas gue diambil selama seminggu, bajingan.
Dario Alatas : Jangan begitu!
Lia ❤ : udah ah, gue badmood bodo!
Dario Alatas : pulsek gue jemput
Dario Alatas : gue beliin es krim matcha ntr.
Read.
Dario menghela napas begitu melihat pesannya hanya di baca oleh Emilia. Tak lama seorang gadis menghampiri Dario yang masih duduk di kursinya menatap ponsel.
"Ehm ... Dario?"
"Ya?" Dario membalas cepat, karena ia sedikit terkejut.
Gadis itu ikut duduk di sebelah Dario, "Pulsek bisa temenin gue latihan basket?"
"Hah?" masih belum sadar, Dario malah balik bertanya. Gadis itu tertawa pelan mendengar jawaban Dario. "Bisa temenin gue latihan basket, sore ini?" ulangnya.
Memberi respon, Dario kemudian menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk sambil meringis. Tak sadar bahwa ia gelisah. "Ehm, gimana ya La," jawabnya gantung.
Gadis itu menatap Dario penuh harap. Dario jadi tidak enak. "Ya ...,"
"Oke!! Pulsek gue tunggu di lapangan basket ya Dario, makasih sebelumnya!!"
Dengan kelewat semangat gadis itu tersenyum sangat lebar dan berdiri, mulai beranjak ke arah kursinya sambil tetap tersenyum. Padahal Dario belum selesai berbicara.
Dario sempat melihat gadis itu juga berbicara pada teman sebangkunya sambil tersenyum sangat lebar.
Dan yang tak terduga Dario malah kembali membuka ponselnya dan mengetik sesuatu kepada Emilia.
Dario Alatas : Ehm... Li, gajadi ya hehe, aku tadi di suruh Papa Kelvin pulcep soalnya disuruh kasi makan kelinci belakang rumah.
Dario Alatas : Hehe, sorry princess ✌
Dario Alatas : love you ❤
Dario menatap ponselnya, dan ia menahan napas saat melihatnya.
Read.
Hanya di-read.
***
Emilia mendengkus kesal. Okay ia tidak mau menyebutnya hari sial, tapi harus seperti apa gambaran untuk hari ini?
Ia sangat kesal. Entah karena masih kesal karena fasilitas atau karena Dario yang bisa di bilang php. Dan sekarang? Saat ia tadi berjalan ke arah kelas IPA, dimana kelas Emilio berada, ia di beritahu oleh teman sekelas kembarannya itu bahwa Kakaknya sudah pulang.
What the hell?!
Emilia menendang asal kaleng bekas minuman yang tak sengaja ia temui di tengah jalan, kakinya itu kini membawanya pergi ke tempat biasa ia bersantai. Warung dekat sekolahnya yang berarti dekat juga dengan sekolah Kencana karena Antariksa dan Kencana memang tidak jauh jaraknya.
Mata hijaunya menangkap para teman satu angkatannya dan beberapa Kakak kelas serta adik kelas sudah duduk di sana sambil tertawa bersama.
Gadis itu duduk di salah satu kursi kosong tepat di depan warungnya. Sedangkan yang lain ada yang duduk di kursi panjang tak jauh dari warung. Dengan wajah kusut Emilia memesan, "Bu, chocolatos matcha yang anget satu ye. Buru kalo bisa."
Si Ibu mengangguk dan dengan sigap tangan kasarnya membuatkan pesanan Emilia. Salah satu Kakak kelasnya yang bisa di bilang akrab dengan Emilia menghampirinya dan duduk di sampingnya setelah ia menepuk pundak gadis pirang itu.
"Woi! Napa lo, muka kusut amat kayak dompet tanggung bulan?"
Dengan ketus Emilia menjawab sambil menyingkirkan tangan lelaki itu dari pundaknya. "Iye, laki gue php, bilangnye mau kasih duit delapan juta buat beli kain lap. Eh malah di kasih cepek!"
Semua orang yang di situ tertawa termasuk Si Ibu yang kini sedang mengaduk pesanan Emilia dan langsung memberikannya pada gadis itu ketika sudah jadi. Emilia mengucapkan terima kasih yang di balas anggukan oleh Si Ibu.
"Ah, kagak usah di kasih jatah dah kalo gitu, kasih punggung aja Mil!" sahut salah satu orang di sana yang di sahuti oleh yang lain dengan kekehan pelan.
Emilia menyesap minumannya dengan menggeleng. "Kagak, nanti doi malah jajan di luar. Kan bahaya, gue masih seger gini udah jadi janda!"
Semua kembali tertawa, bahkan ada yang sampai tertawa terbahak-bahak.
Tak lama tawa mereka berhenti saat melihat salah satu anak Kencana lewat dengan jersey basketnya khas Kencana. Emilia menatapnya sebentar dan memicingkan matanya kala melihat beberapa anak basket Kencana keluar dari gerbangnya.
Tak lama Emilia melihat mobil yang ia sangat hapal milik Dario keluar dari sana dan sempat berhenti di depan gerbang. Emilia menahan napasnya saat melihat Dario keluar dari sana dan berbicara pada seorang gadis yang tadi sempat mengetuk kaca mobilnya.
Mereka berbicara sebentar dan tak lama mereka berdua masuk ke dalam mobil Dario. Ya, mereka berdua.
Dengan tatapan nyalang, Emilia menatap mobil berwarna dark grey itu berjalan dan hilang di telan tikungan.
Gadis itu merogoh saku seragamnya dan meraih ponselnya. Ia mendial nomor Dario. Pada deringan ke lima teleponnya baru di angkat dan Emilia dapat mendengar dengan jelas suara ragu khas Dario karena ia tahu bahwa Dario paling tidak bisa menyembunyikan sesuatu darinya.
"Halo?"
"Dimana lo?"
"I-ini, di jalan."
"Mau kemana?" Emilia menjaga agar suaranya tetap tenang.
"Tadi Papa nyuruh beli makan kelinci, habis katanya Li, hehe."
"Oh? Abis maghrib gue ke rumah lo. Bye sayang."
Emilia meletakkan ponselnya dengan sedikit bantingan di atas meja di hadapannya.
Ia beranjak, "Ada yang mau kasih tebengan gue gak? Gak bawa mobil gue hari ini."
Salah satu dari mereka berdiri dengan semangat. "Lah hayuk, kapan lagi boncengin bule."
***