webnovel

6. Hit Those Mouses or I'll Hit Your Damn Face

Kurnia ngos-ngosan. "Lo gila," gumamnya jengkel begitu tahu Aristo menyeretnya ke sebuah mal yang terletak kira-kira lima ratus meter dari rumahnya.

"Yaelah, lo baru jalan dikit aja juga udah sekarat. Lemah lo."

"Diam lu." Kurnia mendelik kesal. Berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Aristo yang berjalan di depannya. "Lagian lo narik gue seenaknya aja tanpa bilang-bilang kalo lo mau ke mal."

Aristo memperlambat langkahnya, membiarkan Kurnia menyusulnya. Pemuda itu melirik ke belakang dan menatap Kurnia sejenak. Celana karet hitam pendek dan kaus biru dongker polos.

"Kenapa memangnya? Santai aja. Lo udah kece, kok." Aristo tersenyum kecil. "Gue suka leher baju lo yang agak bergelombang itu."

"Anjir lo," sembur Kurnia langsung ketika ia selesai melirik leher kaosnya yang sudah keriting karena sering cuci-pakai. Seketika ia merasa ingin sekali meminjam sapu lidi petugas kebersihan di sana dan menggosok-gosokkannya ke hidung pemuda itu sampai pesek.

Aristo cengar-cengir menjengkelkan. "Ya udah kalo lo segitu nggak pedenya." Pemuda itu melepaskan jaket hoodie-nya dan melemparkannya ke belakang pada Kurnia. "Pake aja tuh. Habis lo pake nanti bawa ke laundry dulu baru balikin ke gue."

Kurnia menangkap jaket itu. Memandang Aristo hina. "Cuih."

"Dasar nggak tahu terima kasih."

"Ha? Lo nggak berhak marah sama gue, biji onta. Salah lo sendiri main seret-seret aja. Gue nggak ngerti kenapa lo ngajak gue ke sini."

"Oh? Itu--gue lagi dongkol aja. Perlu refreshing. Harusnya lo tahu gimana rasanya ditolak sama cewek yang udah lo kejar-kejar selama dua bulan. Gue merasa konyol."

"Hubungannya sama gue?"

"Hukuman buat lo karena ngetawain gue?" Aristo menaikkan alisnya main-main.

"Gaje lo."

Aristo tertawa. "Jangan jengkel gitu. Gue mau ngajak ke game center, lo bakal senang. Apalagi nanti gue yang nanggung semua biayanya, kok."

—————————————————————

"Wuiih, lo lihat tuh?" Aristo ngakak sambil menjorokkan dagunya ke arah sepasang sepatu bermodel bot yang dipajang di salah satu konter panjang ketika mereka berjalan melewati seebuah department store.

Kurnia menatap malas ketika Aristo menunjukkan tanda-tanda akan bergerak ke arah sepatu itu. "Lo mau belanja?"

Dan Aristo sudah ada di dalam department store, berdiri dekat konter sepatu itu sambil membuka sepatunya. Ancang-ancang mencoba bot yang dipajang. Kurnia berjalan ogah-ogahan mendekatinya. "Lo ngapain."Kurnia—sumpah—sudah benar-benar tidak berminat lagi melihat tingkah ngaco Aristo.

"Kece abis." Aristo tertawa tidak jelas--tapi yang pasti nadanya meledek--ketika berhasil memasang bot kuning kecokelatan norak yang pinggirannya ditempeli besi-besi lacip yang-entah-untuk-apa-fungsinya. "Gue penasaran orang macam apa yang bakal beli sepatu beginian."

"Cuma orang nyentrik. Atau penyandang sakit jiwa kayak lo." Kurnia memutar bola mata. "Udah, ayo keluar. Lo bilang mau ke game cen—"

"Ada yang bisa dibantu, Mas?"

Mas-mas pramuniaga mendadak datang. Kurnia makin gusar ketika Aristo menanggapinya dengan, "Eh iya Mas. Bisa bawain pasangannya nggak?"kata pemuda itu merujuk pada sepatu bot yang dipakainya.

"Oh ini? Ukurannya pas, Mas? Atau mau saya carikan nomor yang lain?"

Dan mereka mulai berbicara soal nomor kaki Aristo—demi Neptunus.

Kurnia pening.

Pramuniaga itu tidak lama kemudian kembali dengan kotak sepatu bot norak itu. Aristo kemudian melepas sebelah sepatunya lagi dan mencoba memakai sepasang sepatu bot tersebut. Ia berjalan beberapa langkah bolak-balik.

"Gimana?" Pemuda itu menaikkan alisnya pada Kurnia. Meminta komentar.

"Lo kayak bocah gizi buruk."

Aristo tertawa renyah. Entah kenapa dia seperti merasa mendengar jawaban dari Diandra.

Kurnia mendengus. Ia kemudian menatap sepasang sepatu sneakers putih bergradasi merah milik Aristo yang menganggur di lantai. Anak itu menyeringai tipis.

"Jadi diambil, Mas?"

Aristo mengangguk. Pramuniaga itu berlalu untuk mengambil bon pembayaran. Aristo kemudian berjalan menuju tempat ia meletakkan sepatu tersayangnya, dan terkejut melihat sepatu kerennya sudah bertransformasi menjadi sandal jepit berwarna hijau lusuh—yang bahkan lebih mengerikan dari bot norak tadi.

Tapi tunggu, sepertinya sandal jelek itu agak familiar.

Dan ia langsung berdesis sinis mendapati sepatunya sudah terpasang rapi di kedua kaki Kurnia. "Lo ngapain pakai sepatu gue seenak jidat lo? Balikin."

Kurnia tentu saja menolak. "Yang dari tadi tingkahnya seenak jidat itu elo, bego. Lagian apa lo nggak kasihan sama gue? Busana gue jelek banget, dan itu karena lo yang tiba-tiba narik gue ke sini. Jadi lo tanggung jawab dikit, wajar 'kan."

"Kan gue udah kasih jaket gue sama lo."

"Oh—iya sih."Kurnia menatap sekilas jaket yang kini sedang dipakainya. "Tapi alas kaki gue juga bututnya nggak tertolong. Ngomong-ngomong, sepatu lo keren juga." Kurnia tersenyum manis sambil mengangkat sebelah kakinya untuk menunjukkan sepatu itu langsung ke depan wajah Aristo. "Cocok di kaki gue."

"Bangsat lo. Jangan banyak bacot deh. Balikin. Masa iya jadi gue yang harus pake sandal lo? Ngawur abis."

Kurnia berdecak. "Udah, pake aja, pe'a. Lagian lo 'kan pake celana panjang, jadi nggak terlalu kelihatan konyol. Lah gue tadi? Pake celana karet pendek sama sandal jepit sejuta umat." Kurnia kemudian menyeringai-perasaan Aristo mendadak tidak enak. "Lagian kalo lo nggak mau pake tuh sandal, lo bisa pake sepatu bot yang bakal lo beli."

Sebelah alis Aristo naik seraya ia tertawa menghina. "Lo kira gue serius mau bel—"

"Mas, bonnya?"

Kurnia ngakak.

——————————————————————

"Gue malah makin kesal. Nggak ada gunanya gue bawa lo ke sini. Mending tadi gue pergi sendiri."

"Hooh?" Kurnia bersenandung menjengkelkan. "Penyesalan memang selalu datang terlambat~"

Aristo melengos. Membuang kertas bon yang diterimanya dari department store tadi ke tempat sampah yang ada di dekatnya. Tapi tentu saja, pemuda itu tidak jadi membeli bot nge-rock yang tadi. Yang benar saja, dari awal dia memang hanya berniat main-main. Begitu ia menerima bon dari si pramuniaga, ia langsung mengajak Kurnia kabur dari tempat itu begitu keberadaan si pramuniaga sudah terdeteksi tidak ada di sekitar mereka.

Dan tentu saja—sekarang—Aristo harus memakai sandal buluk milik Kurnia.

Tapi ia tetap memesona. Titik.

"Lo mau isi kartunya berapa?" tanya Kurnia pada Aristo ketika mereka berada di antrian pendek tempat pembelian dan pengisian pulsa elektrik kartu.

Aristo mengeluarkan kartu plastik itu dari dompetnya. Sepertinya ia sudah pernah mendatangi tempat ini. "Hmm," pemuda itu bergumam. Berpikir sejenak. "Seratus ribu aja?"

"Gila. Yakin lo? Bakal lama tuh ngabisinnya, soalnya kita cuma berdua. Mau pulang jam berapa? Lagian lo nggak sayang sama uang lo, ya."

"Cerewet lo." Aristo terkekeh. "Lo kayak perawan aja nggak boleh pulang lama."

"Keparat." Kurnia mencibir pedas. "Masalahnya nyokap gue bisa ngamuk."

"Santai aja. Gue pulangin lo dengan selamat deh."

"Gue bukan perawan, anjing." Kurnia menggertakkan gigi karena cara bicara Aristo.

Tapi pemuda brengsek itu tidak menggubris karena gilirannya untuk mengisi kartu sudah tiba.

——————————————————————

"Lo ... argh! Pukul aja yang bisa lo pukul pake tangan lo."

Kurnia semakin ganas mengayunkan pemukul di tangannya ke arah tikus-tikus yang keluar-masuk lubang dengan malu-malu. Semakin lama, gerakan keluar-masuk tikus-tikus itu semakin cepat. Dan semua wajah-wajah menyebalkan mereka—ada tikus yang tersenyum genit, ada yang wajahnya dipoles kosmetik dengan menor, ada yang menyeringai merendahkan, memasang wajah bodoh, bermata juling, dan mengeluarkan lidah di sela-sela dua gigi depannya—membuat Kurnia semakin gemas untuk menancapkan pemukulnya pada kepala-kepala plastik itu.

Aristo yang di samping Kurnia tampak pasif. Sesekali membantu memukul dengan mengepalkan tangannya ke kepala tikus-tikus itu. Tidak peduli pada Kurnia yang terus-terusan menyuruhnya untuk membantu memukul. Toh, permainan ini memang hanya memiliki satu pemukul, yang artinya; hanya untuk dimainkan satu orang saja.

Ttuk. Ttak. Ttukk. Ttaakk.

Lama-lama rasanya suara pukulan Kurnia semakin mirip dengan ritme sepatu kuda delman yang menarik ayah dan anaknya ke kota pada hari Minggu.

"Hah, gue ngerti sekarang gimana perasaannya si Tom." Kurnia berhenti memukul ketika mesin berbunyi dan semua tikus tidak beranjak lagi dari dalam lubangnya. Anak itu menghapus setitik peluh di pelipisnya. Ia kemudian melirik ke bawah, pada celah kecil tempat tiket biasanya keluar.

"Apaan nih. Cuma dapat empat tiket."

Aristo menaikkan alis. "Ya iya. Memangnya lo nggak pernah main mesin yang ini?"

"Huh, masa sih?" Kurnia menarik kasar tiket yang keluar dari mesin itu. "Gue cuma pernah sekali main di mesin ini—berhubung gue nggak terlalu suka main beginian. Tapi waktu itu gue mainnya jelek, makanya gue kira gue cuma dapat tiga tiket."Kurnia mendesah. Kemudian memukulkan pemukul itu pada salah satu lubang tikus. "Gue benci yang satu ini," ucapnya sambil kemudian menarik tikus dalam lubang itu keluar.

Aristo tertawa pendek melihat tikus yang memasang ekspresi merendahkan itu. Dia kemudian beralih pada Kurnia. "Ayo ke mesin yang lain."

"Yeah." Kurnia melepaskan tikus itu tanpa perasaan, membuat tikus imitasi itu memantul beberapa kali sebelum benar-benar masuk kembali ke lubangnya.

Kedua orang itu mulai berkeliling. Game center hari ini tidak ramai, karena ini belum mendekati akhir pekan. Lagi pula, game center di mal ini tidak terlalu terkenal.

Kurnia pernah beberapa kali ke sini—berhubung mal ini dekat dengan rumahnya. Biaya permainan setiap mesinnya sekali gesek memang murah. Berkisar Rp2,345 dan paling mahal mungkin hanya Rp5,000.

Namun, tidak terlalu banyak mesin yang seru untuk dimainkan. Dan beberapa terkadang tidak bisa dipakai. Dalam masa perbaikan—begitu isi tulisan yang dibaca kurnia dalam kertas yang ditempelkan di salah satu mesin berbentuk pesawat terbang. Tipikal mesin untuk balita, dengan cat penuh warna dan akan bergoyang-goyang dan mengeluarkan musik peradang telinga serta lampu-lampu jika dimainkan.

Aristo dan Kurnia berkeliling dan memainkan banyak mesin arkade. Mulai dari permainan perang dengan senapan laras panjang, mobil balap, motor balap, memasukkan bola basket ke keranjang, sampai pada mesin-mesin permainan yang fokus untuk mendapatkan tiket. Kurnia dan Aristo tadi masing-masing mendapatkan sekali jackpot sehingga tiket di tangan mereka jumlahnya sudah lumayan untuk ditukarkan nanti.

"Woi, mending lo nggak usah habisin pulsa kartunya di sini," celutuk Kurnia datar pada Aristo yang sedang menggeser-geser layar ponsel pintarnya di depan mesin penjerat boneka.

"Sebentar, di internet ada tutorial supaya bisa sukses menggaet bonekanya."Aristo masih serius membaca. "Kalau gue bisa dapat boneka yang warna merah muda itu, gue bakal kasih sama pacar gue. Dia pasti bakal terpukau dan ngakuin kalo gua memang hebat."

"Hah?" Kurnia melotot. "Jadi, selama lo ngejar-ngejar Diandra, lo masih tetap punya pacar di sekolah?"

Aristo menyeringai singkat.

"Bajingan lo," tembak Kurnia. "Gue bersyukur kakak gue nolak lo."

Aristo mengangkat bahu. "Jangan salahin gue. Mereka yang deketin gue. Ada juga yang berani nembak gue. Salut. Gue nggak tegaan aja." Aristo tersenyum tidak berdosa. "Nah, gue udah ngerti sekarang." Pemuda itu kemudian kembali mengantongi ponselnya.

"Perangai lo jelek amat," cetus Kurnia datar.

Aristo tidak menggubris. Sibuk menggerakkan tuas dengan hati-hati. Pengait di dalam kotak kaca transparan bergerak ke atas sebuah boneka beruang berbulu merah muda yang dekat dengan celah untuk jalan keluar hadiah. Aristo menekan tombol merah. Mulut pengait terbuka dan jatuh memerangkap boneka tersebut.

"Oke." Aristo tersenyum senang. Ia kemudian menekan tombol hijau. Pengait naik membawa boneka tersebut. Aristo hanya perlu mendekatkan sedikit lagi tuasnya untuk membawa boneka menuju kotak jalan keluar hadiah.

Tapi boneka itu jatuh sebelum pengaitnya tepat berada di atas jalan keluar hadiah. Boneka terjatuh menghantam dinding kotak. Gagal keluar.

Aristo mendesah frustrasi. "Sialan nih." Nyaris menendang mesin berwarna cerah itu kalau saja tidak ada seorang karyawan game center yang tiba-tiba lewat di belakang mereka.

Kurnia langsung menarik kerah baju pemuda itu untuk menjauh dari mesin itu sebelum ia berakhir gila. "Nyerah aja deh."

Aristo mendengus jengkel. "Apa tuh mesin dirancang supaya pemainnya nggak bisa menang, huh? Gue udah nyoba berbagai cara. Mulai dari cara jadi mesiin ... jadii messiiinn sampai browsing kiat-kiat mendapatkan boneka di mesin game center, tetap aja nggak bisa."

"Kurang kerjaan lo memang. Coba mesin yang lain aja. Pulsa lo bakal habis di situ kalo lo tetap ngotot ingin bawa pulang boneka sok imut itu."

Aristo menghela napas. "Apa ada mesin yang belum pernah lo coba?" tanyanya sambil memainkan kartu di tangannya.

Kurnia mengerinyit. "Harusnya gue yang nanya gitu sama lo. Apa ada mesin yang belum pernah lo coba? Kalo gue sih udah lumayan sering ke sini." Kurnia sebetulnya cukup heran mengetahui Aristo memiliki kartu itu. Ia pernah bertanya di mana rumah Aristo sehingga pemuda itu bisa hampir setiap hari datang mengunjungi Diandra. Ketika pemuda itu menyebutkan alamatnya, Kurnia tahu kalau itu jauh dari sini. Dan Kurnia memutuskan kalau pemuda itu memang gila.

"Hmm, gue rasa gue belum sempat coba yang satu itu waktu itu."

Kurnia mengikuti arah yang ditunjuk Aristo. "Itu? Mesin Pump It Up*?"

[*Mesin dance yang biasa ada di game center, yang dimainkan dengan cara menginjak panah-panah di lantai sesuai dengan yang tampil di video di layar mesin]

"Bukan. Yang di sebelah kanannya. Hmm ... tapi setelah itu gue rasa gue juga ingin main mesin yang lo tunjuk itu."

Kurnia menggeser pandangannya. Dan bergidik melihat mesin permainan dance yang satunya lagi. Ada area tempat berdiri dan layar pada mesin yang nantinya akan menampilkan gerakan yang harus ditiru oleh seluruh tubuh pemain.

"Ogah gue."

"Kenapa? Malu lo? Dasar pecundang jaim."

Kurnia merasa pelipisnya berkedut mendengar ucapan Aristo. "Diam lu bajingan. Itu tuh mesin untuk permainan nge-dance kayak boyband Korea. Sorry, tapi gue bukan K-popers, K-lovers, atau sebutan lain semacamnya yang gue nggak ngerti."

"Jadi, memangnya kenapa? Gue juga bukan pecinta hiburan Korea."Aristo menaikkan sebelah alis dengan usil--membuat Kurnia ingin mencukur alis pemuda itu sampai botak.

"Woi, nggak usah sok melamun lo. Mikirnya lama amat. Gue tantang lo, kalo lo nggak mau nge-dance, lo harus naik itu." Aristo menunjuk sebuah komidi putar yang terletak agak jauh dari tempat mereka berdiri.

Kurnia mendelik. "Memangnya lo siapa bisa maksa gue?"

"Gue orang yang bayarin semua biaya permainan kita," balas Aristo.

Kurnia terkekeh ironi. "Heh, gue mau aja pulang sekarang. Dengan senang hati." Tanpa basa-basi, anak itu beranjak pergi.

Aristo dengan cekatan langsung menahan lengannya. "Whoa whoa, jangan langsung ngambek, oi. Kayak cewek lo."

"Bedebah," desis Kurnia tajam sambil menghentak kasar lengannya.

"Iya, iya. Sorry deh. Gue nggak akan nyuruh lo nge-dance atau naik komidi putar lagi." Aristo tersenyum manis dan lembut. Senyum yang biasa ditunjukkannya untuk menakhlukkan gebetannya. Kurnia tahu itu karena Aristo sering tersenyum semacam itu pada Diandra. Dan Kurnia tidak tersanjung. Sama sekali.

Dan Aristo tahu kalau Kurnia tidak tersanjung. Begundal satu itu sengaja melakukannya.

Kurnia menggertakkan gigi. Ia tahu Aristo sedang memancingnya. Dasar provokator, batinnya penuh dendam. Tapi kemudian kepala anak itu berdenting. Ia menyeringai tipis. "Ya udah. Gue bakal ikut permainan tari nggak jelas itu. Tapi setelah itu lo harus naik korsel yang tadi."

Aristo mengernyit. "Kenapa gue harus? Lo kira gue anak-anak?"

"Lo kira gue penyuka danceala boyband?"

Skak matt.

Aristo meneguk ludah melihat Kurnia yang tersenyum jahat. Dasar setan.

"Kenapa diam?" Sebelah alis Kurnia naik. "Lo malu? Nggak berani? Dasar pecundang jaim."

"Heh, dasar plagiator."

Tapi Kurnia tidak membalas lagi. Hanya tetap memasang ekspresi menagih jawaban.

Haah.

Aristo mengusap-usap dahinya sambil tersenyum gelap. Menggeleng tidak percaya. Terserahlah, pikirnya. Sepertinya ia tidak boleh asal-asalan lagi jika ingin mengerjai Kurnia.

"Oke."

Kurnia tersenyum menang.

"Tapi setelah gue naik komidi putar, kita main Pump It Up?"

Kurnia memutar bola mata. "Terserah lo."

——————————————————————

Aristo tersenyum kesal menatap Kurnia yang sedang menjilat es krim di tangannya dengan riang. Hari ini benar-benar banyak tragedi yang menimpa remaja SMA itu. Mulai dari ia yang ditegur karyawan game center karena menaiki korsel khusus bocah, bertengkar dengan Kurnia tentang makanan apa yang seharusnya ditukarkan dengan tiket yang mereka dapatkan—

"Gue mau Teabs yang kaleng itu aja. Lagian pas 'kan sama sisa tiketnya. Biar nggak ada yang terbuang."

"Hah? Nggak. Gue mau Luckiest Pocky yang cokelat."

"Ck, Kur. Lo udah ambil banyak banget, bego. Kali ini giliran gue."

"Lo juga udah ambil gantungan kunci serigala, ChocolatePie, sama Oreon kemasan yang panjang."

"Tapi lo lebih banyak, lihat tuh. Tutti Fruit Tea, French Fries 1999, Leays rumput laut, Chitatoz, Bang-Bang, Shape Cheesy, sama--tunggu, sejak kapan lo ambil pena ungu bulu-bulu alay itu?"

Kurnia mengangkat bahu santai. "Ini buat Anita nanti. Dia suka yang beginian. Gue nggak tahu kenapa."

"Ck, Mbak. Teabs-nya satu."

"Hah? Nggak, Mbak. Pockynya aja. To, lo 'kan udah habisin banyak tiket buat gantungan kuncinya. Itu mahal 'kan."

"Nggak usah dengerin iblis ini, Mbak."

—yeah, dan yang terakhir, Aristo harus mentraktir Kurnia es krim karena ia kalah jumlah poin saat taruhan di mesin karaoke tadi.

Aristo benar-benar apes.

"Lo dendam banget ngelihat gue," celutuk Kurnia tiba-tiba begitu menyadari Aristo dari tadi terus memaku pandangannya pada dirinya. "Atau lo baru sadar kalo gue ganteng?"

Aristo tertawa masam. "Sukses deh lo hari ini."

"Gue memang selalu berhasil. Makasih."

Aristo terdiam sejenak mendengarnya. Ini perasaannya saja atau memang--

—kenapa gaya bicara Kurnia makin lama makin mirip dengan Diandra?

"Jujur deh, lo lagi mikirin apa? Bintang film bokep?" Kurnia memasang senyum mengejek andalannya. "Gue merinding dengan tatapan lo."

Aristo tersadar. Kemudian berdehem dan beralih pada teralis kaca. Menatap pandangan lantai bawah mal yang tampak ramai—terutama di pertokoan busana.

Kurnia mengernyit. Kemudian melirik arlojinya. 19:47 WIB.

"Bagus. Tiga belas menit lagi jam delapan malam. Digorok nih gue nanti. Mending kita langsung pulang."

"Memang. Lo kira gue nungguin siapa?" Aristo menatap Kurnia dengan alis terangkat. "Atau mau gue bantuin buat habisin es krimnya? Gue lumayan suka kombinasi vanilla choco cookies dan mint."

"Jijik, bangke."

Aristo tertawa pendek. "Ngomong-ngomong, lo udah bisa kembaliin sneakers gue."