Fuad mendengar dengan jelas jeritan Alena. Ia mengetuk pintu tetapi tidak berani masuk. Bagaimana bisa masuk tanpa ijin Nizam atau Alena. Ia menyelidiki dulu kejadiannya sebelum akhirnya mungkin Ia akan memaksa masuk dalam kamar.
"Yang Mulia Tuan Putri...Ada apa? " Fuad berteriak terlebih dahulu dari luar. Tangannya sudah memegang handle pintu.
Alena tersadar bahwa ada penjaga Nizam diluar. Bisa bahaya kalau tiba-tiba Ia masuk. Bukankah Alena sedang keadaan telanjang. Maka Alena segera berteriak "Tolong jangan masuk. Aku tidak apa-apa. Panggilkan saja Tuanmu kesini, Cepat!! " Alena ikut berteriak dari dalam. Kaki kirinya terkilir, sial Ia tidak bisa bangun walaupun hanya sekedar mengambil handuk yang tergantung.
Fuad bergerak cepat, Ia tidak menaiki lift tapi langsung menuju tangga hotel. Untungnya mesjid ada dilantai satu dan kamar tuannya ada dilantai dua. Ia melihat Nizam sedang berdzikir menandakan sholatnya sudah selesai. Ia menghampiri Nizam dan berbisik. Nizam tercekat Ia langsung bangkit dari duduknya. Ali menatap penuh rasa ingin tahu. Setelah bersalaman dengan jemaah kiri kanan Nizam segera pergi diikuti oleh Ali.
" Kamu sholat saja dulu, perintahnya pada Fuad." Fuad menganggu setuju karena Ia memang belum sholat karena nunggu giliran dengan Ali.
Sama seperti Fuad, Nizam dan Ali tidak menggunakan lift karena ada kemungkinan menggunakan lift durasi waktunya lebih panjang daripada tangga.
Nizam menyuruh Ali untuk tetap diluar. Ali hanya bisa menuruti kata-kata Tuannya. Memang tidak mungkin Ia ikut masuk ke dalam kamar Nizam kecuali diperintahkan atau dalam keadaan darurat.
"Alena!! " Nizam memanggil istrinya.
"Aku disini, dikamar mandi.. tolong Aku, kakiku terkilir." Alena merintih.
Nizam membuka pintu kamar mandi, Ia tercengang melihat Alena duduk di lantai dalam keadaan telanjang bulat dan basah kuyup. Melihat suaminya malah bengong Alena menghardik kesal. " Mengapa Kamu malah bengong, ambilkan Aku handuk. Aku kedinginan dari tadi."
"Oh ya..ya.. maaf " Nizam tergagap sambil mencari handuk dengan gugup. Saking gugupnya Ia sampai lupa dimana gantungan handuk itu berada.
"Itu handuk dibelakangmu." Alena menunjuk handuk yang ada dibelakang Nizam. Wajah Nizam merah padam, dengan gemetar Ia meraih handuk lalu menyelimuti tubuh Alena dengan handuk itu. Alena merentangkan kedua tangannya, wajahnya tengadah menatap Nizam
"Bopong Aku. Aku tidak bisa berjalan. Kakiku sakit" Alena menatap manja sambil sesekali meringis kesakitan. Bagai kerbau dicocok hidungnya Nizam mengangguk membopong Alena. Ini adalah yang kedua kalinya Nizam membopong Alena. Pertama saat Alena hendak diperkosa oleh George dan yang kedua sekarang. Kali ini yang istimewa adalah Alena sudah menjadi istrinya dan keadaan telanjang lagi.
Nizam membawa Alena dan menidurkannya di atas ranjang. Alena merangkul leher Nizam dan tidak berniat melepaskannya. Ia mendekatkan wajahnya pada suaminya dan tanpa menunggu lama Ia sudah membenamkan bibirnya ke bibir Nizam. Nizam mengejang merasakan bibir lembut itu menyentuhnya. Lidah Alena mencari-cari dan Nizam tidak membiarkan lidah itu mencari sendiri. Perasaan asing menyelimuti mereka. Perasaan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Simponi indah seakan sedang mengalun sendu. Alam semesta menjadi hening. Yang terdengar adalah nafas mereka yang memburu.
Tangan Nizam berada pada punggung Alena. mengelusnya lembut. Nada-nada cinta bergema dalam hati kedua insan tersebut. Setiap kali Nizam merenggangkan ciumannya Alena langsung meraup bibirnya kembali seakan tidak pernah puas. Ia bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Tidak pernah bisa ditarik kembali.
Nizam tercekat ketika tangan Alena berusaha membuka kancing kemejanya. Ia langsung tersadar dan segera memegang tangan itu. Alena merengek manja matanya menatap sayu. Handuknya sudah tidak menempel lagi pada tubuhnya. Alena sangat ingin Nizam menyatukan cinta mereka. Menyempurnakan simponi cinta mereka. Menggulirkan nada cinta yang baru saja mengalun sendu. Nizam menggelengkan kepalanya, perlahan Ia menarik selimut hotel lalu menyelimuti tubuh Alena yang telanjang.
Alena memegang selimut itu dengan erat, matanya yang indah dan bulat menatap tidak mengerti pada suaminya. Mengapa Ia malah menggelengkan kepalanya ketika Ia meminta suaminya untuk memadamkan kobaran api dihatinya. Nizam sendiri berusaha mati-matian membunuh perasaan yang bergejolak dihatinya. Nizam juga berusaha sekuat tenaga memadamkan api yang menyala-nyala yang hampir membakar seluruh jiwa dan raganya.
Tangannya mencengkram sprei dengan kuat seakan ingin membagi energi cinta yang sedang melandanya melalui cengkraman tangannya. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat berusaha mengendalikan perasaan hatinya.
Alena terus memandang Nizam dengan wajah memohon. Badannya terasa panas membara Ia ingin Nizam segera mendinginkannya. Tetapi karena melihat Nizam hanya diam saja akhirnya otak polos Alena bekerja.
"Nizam kenapa? Mengapa kamu diam saja? Jadi benar kata Cynthia kalau Kamu ternyata impoten?" Tanya Alena dengan wajah polos. Perasaan bernafsunya tadi berubah menjadi rasa kasihan terhadap suaminya.
Nizam tercengang mendengar kalimat Alena yang sangat menohok hatinya. Berani benar istrinya sendiri menuding Ia impoten. Tapi bagaimana Ia bisa membuktikan kalau Ia sehat, sesehat kuda Arab tunggangannya yang bisa berlari seharian tanpa istirahat. Kuda Arabnya yang gagah perkasa yang bisa membuat orang jatuh terlempar ke udara hanya dengan sekali tendang. Ia terikat janji dengan ibunya sendiri untuk tidak menyentuh Alena terlalu jauh karena Ia harus menjaga kesucian Alena sampai dimalam pernikahan mereka di Azura.
Alena beringsut mendekati Nizam yang duduk di tepi ranjang, lalu menepuk bahunya dengan penuh rasa iba. " Jangan khawatir suamiku. Aku sudah bilang kepadamu bahwa aku sangat mencintaimu dan Aku tidak keberatan Kamu impoten."
"Terima kasih Alena," Nizam hanya bisa pasrah dengan tuduhan itu. Mau menolak juga tidak bisa. Ia jadi serba salah.
"Aku akan berusaha untuk mengembalikan kejantananmu, Aku berjanji." Kata Alena lagi membuat Nizam menjadi jengah. Apakah di dunia ini hanya istrinyalah yang paling polos dan lugu.
"Jangan khawatir Alena, Kamu tidak perlu repot-repot. Nanti di Azura penyakitku akan sembuh dengan otomatis."
Alena memandang suaminya dengan takjub.
"Wow... hebat. Apakah semua orang yang impoten akan langsung sembuh jika pergi ke negaramu? Kebetulan Aku punya Paman yang katanya Ia menderita impoten karena penyakit diabetes yang dideritanya. Bagaimana kalau kita suruh dia ke negara Azura" Mata Alena bersinar-sinar seperti anak kecil tiba-tiba menemukan mainan kesayangannya yang telah lama hilang.
"Aakh..." Nizam menghembuskan nafas sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Bisa gila Ia kalau meladeni Alena yang lagi ngaco. Ia berdiri, nafsunya sudah hilang entah kemana.
"Tunggulah disini, Aku akan mencari dokter untuk memeriksamu. Apakah kakimu masih sakit?," tanya Nizam. Alena mengangguk sambil meringis kembali. Ia tiba-tiba teringat kalau kakinya sedang sakit. Tadi saat Ia bercumbu Ia tidak merasa sakit sedikitpun.
"Aku juga belum sholat Maghrib." Kata Alena.
"Jadi Aku harus membopongmu lagi?" Kata Nizam sambil menatap istrinya. Alena tersenyum manis menjawab.
" Iya..Aku tidak punya wudhu"
Nizam menggelengkan kepalanya lalu berjalan tapi langkahnya tidak mendekati Alena malah berjalan menjauhinya. Alena berteriak.
"Mau kemana?" Tanyanya heran melihat Nizam malah melangkah menjauhinya
"Mau mengambil pakaianmu, Apa kamu ingin terus-terusan telanjang?" Kata Nizam seraya mengambil pakaian Alena. Ia tampak ragu ketika mengambil pakaian dalam Alena. Tapi tidak usah ragu toh ini pakaian istrinya sendiri. Nizam juga meraih pakaian berwarna biru langit. Gaun malam yang sedikit tertutup.