webnovel

Cinta Segi Empat

Hye Seon terjebak dalam kerumitan hati karena memiliki cinta untuk tiga lelaki di usia remaja dan dewasa awal. Impiannya untuk menjadi pelukis membawanya ke pada perjalanan panjang dari kota kelahirannya Gangneung sampai Seoul.

Anifkha · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
47 Chs

Rahasia Rumah Kim So Hwan

"Terima kasih," ucap Hye Seon pada kasir toko kelontong sambil mengangkat sekantong barang belanjaan. Awal bulan ini, seperti biasa, setelah mendapatkan kiriman uang dari Gangneung, ia langsung membeli barang-barang kebutuhan hidupnya selama satu bulan. Sebenarnya ia sudah bilang pada orangtuanya untuk tidak mengirimi uang karena hadiah lomba lukis masih lebih dari cukup untuk menutupi kebutuhannya. Namun tuan Lee tetap bersikukuh untuk tetap mengirimkan uang bulanan. Ia menganggap uang bulanan untuk Hye Seon adalah tanggung jawabnya sebagai seorang ayah kepada putrinya. Apa boleh dikata, kalau ayahnya sudah memutuskan, Hye Seon tidak bisa berbuat apa apa lagi.

Suara gemuruh petir mulai terdengar dari kejauhan. Awan mendung berarak menutupi langit kota Seoul yang mulai gelap. Awal musim semi ini, cuaca kurang begitu bersahabat. Kadang-kadang tanpa disangka hujan mengguyur dengan derasnya, tapi beberapa saat kemudian langsung berhenti. Mungkin inilah efek global warming. Hye Seon berlari-lari kecil ke arah halte bus. Ia berharap bisa berteduh sebelum hujan turun. Baru setengah jalan, perkiraanya meleset, rintik-rintik hujan tiba-tiba berubah menjadi bulir-bulir air yang deras.Terpaksa ia berhenti di beranda toko bunga yang sedang tutup. Air hujan yang tertiup angin membuat Hye Seon kewalahan untuk menghindarinya. Sepatu dan bagian bawah celananya mulai basah. Seandainya tadi pagi ia membawa payung, dia tidak akan semerana ini. Orang yang berlalu lalang di depannya tampak juga berlarian menghindari terpaan air hujan. Hujan semakin menderu keras memekakkan telinga.

Sebuah mobil BMW hitam seketika berhenti tepat di depannya. Karena sibuk mengamankan barang belanjaannya agar tidak basah, Hye Seon tidak tahu ada mobil yang berhenti di depannya.

"Nona,..Kau butuh tumpangan,"suara laki-laki itu terdengar lemah di antara air yang mengguyur deras. Melihat Hye Seon tidak menoleh ke arahnya, dia pun turun dari mobil sambil membawa payung.

"Apa kau baik baik saja?"

Tanpa sengaja, karena kaget, baju basah Hye Seon mengenai kemeja laki-laki itu. Ia mendongak melihat wajahnya, dan..So Hwan yang muncul di depannya.

"Oppa...maaf..bajumu," Hye Seon tak melanjutkan kalimatnya. Ia melihat kemeja biru So Hwan basah terkena air cipratan bajunya.

"Tak apa-apa.Kau justru yang terlihat elebih ..mengerikan. Ayo masuk ke dalam mobil."

"tapi..aku mau ke nge-print..."

"Hujan deras seperti ini dan dengan baju yang basah seperti itu?"

Hye Seon tak bisa menjawab. Ia memang benar benar mengerikan. Sekarang setengah dari celanya basah kuyup.

"Ayo," tangan So Hwan menarik pergelangan tangan Hye Seon.Tak ada waktu bagi Hye Seon untuk berpikir apa yang So Hwan sedang lalukan padanya. Ia memang membutuhkan bantuan seseorang sekarang ini. So Hwan sama sekali tak keberatan jok mobilnya basah terkena baju Hye Seon. Ia langsung saja menghidupkan mobilnya dan membawa Hye Seon melaju kencang dalam mobilnya. Hujan terus saja mengguyur bahkan ketika mereka sampai di jalan utama.

Mereka harus bersabar karena mobil So Hwan hampir tak bergerak dalam kemacetan. Setelah berhasil keluar dari kemacetan, mobil itu berbelok ke arah selatan menuju jalan tak terlalu lebar yag mengarah pada komplek perumahan. Di sini hujan berubah menjadi rintik rintik gerimis saja. Mungkin karena banyak sekali pepohonan besar yang terdapat di kanan dan kiri jalan, jadi air hujan tak langsung jatuh ke jalan.

Ketika sampai di depan rumah dengan pintu gerbang berwarna coklat, So Hwan memencet klakson mobilnya dan seketika pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Hye Seon terperangah kagum karena baru pertama kali melihat pintu gerbang seperti "ini" secara langsung.

Mobil masuk ke sebuah halaman rumah mewah besar .Rumah dengan gaya arsitektur modern dengan taman yang tertata rapi.

"Ayo turun," ajak So Hwan pada Hye Seon setelah memarkirkan mobilnya.

Hye Seon merasa ia sedang berada dalam mimpinya.

So Hwan mengajaknya kerumahnya? Rumah keluarga Kim yang terkenal seantero Korea. Rumah para pelukis hebat yang..Tuhan apakah aku bermimpi?

Hye Seon belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Melihat Hye Seon hanya duduk saja So Hwan pun menariknya untuk keluar.

"Oppa apa yang kau lakukan?"

"Keluarlah dulu. Kau harus mengeringkan badanmu."

"Apakah ini rumahmu? Lalu kenapa kau membawaku ke sini?"

"Kau bilang kau ingin nge-print? Kau melakukannya di sini.'

"tapi.."

"ayolah!"

Hye Seon terpana melihat rumah mewah yang ada di depannya. Rumah berlantai dua yang ukurannya lebih besar dari rumah keluarga Kang. Rumput hijau menutupi hampir seluruh tanah halaman rumah ini dan ada banyak sekali bunga-bunga kecil yang tumbuh berjajar rapi di sepanjang jalan setapak kecil dari garasi ke beranda rumah. Riakan air mancur membuat suasana hijau rumah ini terasa seperti bukan di pusat kota. Di depan beranda rumah, semak-semak bunga kecil tampak indah dengan bunga-bunga putih yang muncul dari puncak daun. Hye Seon berjalan mengikuti So Hwan melewati koridor pendek di sebelah kanan kolam ikan kecil. Ada banyak kursi yang seperti berfungsi sebagai ruang tamu di dekat kolam.

So Hwan terus berjalan mengajak Hye Seon masuk ke dalam rumah. Rumah besar ini tampak sunyi. Tak tampak sosok kakek atau orang lain di dalamnya.

Interior dalam rumah ini, tak kalah menarik. Banyak sekali lukisan hasil karya si pemilik rumah menghiasi hampir seluruh sudut ruangan. Di ruang tamu saja ada sekitar lima lukisan yang Hye Seon lihat. Semuanya adalah lukisan bertemakan alam. Dari stempel nama pelukisanya, Hye Seon tahu kalau lukisan-lukisan itu adalah hasil karya tiga generasi pelukis yang ada di rumah ini. Kakek, ayah So Hwan dan So Hwan sendiri.

"Duduklah!" So Hwan masuk ke dalam rumah meninggalkan Hye Seon sendiri. Gadis itu asyik sekali memperhatikan detil rumah. Dari mulai interior sampai dengan lukisan-lukisan yang begitu harmonis dengan isi rumah. Dalam hati ia bergumam,"Apakah ada orang selain dia dari Kim Art College yang pernah kesini?"

"Kau bisa memakai laptopku.��

So Hwan mengajak Hye Seon masuk ke ruang kerjanya. Melihat kondisi bajunya yang masih setengah basah, So Hwan meminta Hye Seon untuk mengeringkan badannya. Ia memanggil seorang wanita paruh baya, pelayan di rumah ini, untuk membawakan pakaian kering untuknya. Sebuah piyama yang Hye Seon tak tahu punya siapa.

Setelah berganti pakaian, Hye Seon tidak menyia-nyiakan waktu. Ia langsung mengirim foto pameran lukisannya kepada So Jung dan mengeprint beberapa dokumen tugas kuliah. So Hwan menunggunya dengan duduk di ruangan sebelah sambil membaca buku. Dari tempat Hye Seon duduk, ia bisa melihat dengan jelas apa yang laki-laki itu sedang lakukan di sofa besarnya.

Jaringan koneksi internet di sini lancar sekali. Dengan memencet beberapa tombol, lima puluh foto yang Hye Seon dapatkan dari pameran langsung terkirim semuanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Karena merasa urusannya sudah selesai, ia berencana untuk meminta izin pulang.

"Bajumu belum kering, bibi sedang mencucinya, tunggulah sampai kering baru kau pulang."

So Hwan sepertinya ingin Hye Seon tinggal di rumahnya lebih lama lagi.

Dari kamar belakang tiba-tiba terdengar suara tangisan anak kecil. Ekspresi wajah So Hwan langsung berubah seketika. Ia tampak gusar. Hye Seon merasa aneh.

Meski ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya, dia tak berani menanyakan hal itu pada So Hwan. Lelaki itu juga langsung mengajaknya keluar rumah menikmati ikan yang berenang lincah di kolam. Riakan air mancur di tengah kolam sedikit menyamarkan suara tangisan anak itu. Hye Seon merasa ada sesuatu yang aneh karena So Hwan tak menjelaskan padanya asal suara tangisan itu. Ia pun hati-hati bertanya.

"Suara tangisan__?"

"Itu...adalah anak kecil yang tinggal dengan kami...a...adikku," jawaban So Hwan membuat Hye Seon berhenti, tak jadi bertanya.

Sekarang ia tahu bahwa So Hwan ternyata memiliki seorang adik kecil. Selama ia belajar di Kim Art College tak banyak informasi pribadi tentangnya yang Hye Seon tahu. Yang ia tahu hanyalah kehebatan So Hwan sebagai seorang pelukis yang sering dibicarakan oleh teman-temannya.

"Adik..??" Hye Seon mengulangi kata itu. Keduanya diam. Suara tangisan anak kecil itu belum juga berhenti. So Hwan nampak tak senang dan terganggu dengan hal itu. Ia masuk ke dalam rumah. Dari luar Hye Seon bisa melihat So Hwan yang marah dengan bibi si pengasuh anak kecil itu. Bibi hanya tertunduk mendengarkan So Hwan yang berbicara keras kepadanya. Ia meminta maaf berulang kali atas kesalahan yang telah ia perbuat. Dahi Hye Seon mengernyit bingung dengan apa yang ia saksikan. Adik? Kim So Hwan punya adik. Yu Mi yang tahu banyak tentang So Hwan pun sama sekali tak pernah bercerita sedikitpun tentang anggota lain keluarga Kim.

"Dia adalah pewaris tunggal Kim Art College. Dia adalah cucu satu satunya master Kim Dong Jun." Begitu Yu Mi sering berujar tentang So Hwan. Anak kecil yang menangis tadi tiba-tiba keluar merangkak. Dari jauh Hye Seon bisa melihat anak itu mungkin berusia sekitar dua tahunan. Ia merengek pada bibi tadi. Bibi yang masih ketakutan di depan So Hwan, semakin tambah ketakutan melihat anak tadi muncul di hadapannya.

So Hwan tak bisa menyembunyikan amarahnya, ia membentak keras bibi itu dan langsung pergi. Hye Seon cepat-cepat berpaling berpura pura tak melihat. Ia membuat dirinya sibuk dengan melihat banyak sekali ikan di kolam.

So Hwan sudah sampai di sampingnya. Napasnya terdengar berat karena amarah yang menguasai dirinya. Ia tahu Hye Seon sedang berpura-pura tidak melihat kejadian barusan.

"Maaf kau harus melihat sesuatu yang tidak menyenangkan di rumahku."

"Tidak apa apa. Aku baik-baik saja." Hye Seon ingin sekali menjaga perasaan So Hwan. Ia tak banyak bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia...anak kecil itu adalah adikku..dan aku sangat membencinya."

Hye Seon seketika langsung menoleh. So Hwan memandang lurus kedepan. Nafasnya yang berat terdengar seperti orang yang menahan beban. Matanya tampak berkaca-kaca. Hye Seon jadi semakin bingung dibuatnya.

"Ada banyak hal yang tidak kau dan orang lain ketahui tentang Kim Art College. Kadang hal ini hampir membuatku gila..Anak itu..ad..a..l..ah anak ayahku dengan wanita lain. Wanita yang meninggal bersamanya dalam kecelakaan mengerikan sekitar setahun yang lalu. Setiap kali aku melihatnya aku merasa dia seperti iblis yang mengingatkanku pada derita ibu dan keluarga ini. Aku benci sekali padanya. Tangisnya, tawanya, dan semua hal tentang dirinya.Tak seharusnya ia ada dalam hidup keluarga ini?"

Sebuah bulir air mata menetes mengalir melalui pipi So Hwan. Hye Seon benar-benar bingung. Baru kali ini ia melihat laki-laki ini begitu rapuh. Ia tak tampak seperti So Hwan yang hebat yang dipuja banyak gadis. Ia justru tampak lemah. Ia telah banyak menanggung kebencian pada orang yang telah menyakitinya tanpa harus bisa berbuat sesuatu untuk melampiaskannya.

Tuntutannya sebagai cucu kakek Kim dan tanggung jawabnya sebagai penerus 'kerajaan seni' kakeknya tak sekali pun membuatnya boleh terlihat lemah.

So Hwan tertunduk lemas, ia bersandar pada tiang di sampingnya. Hye Seon mencoba menenangkannya. Ia ragu ragu meraih tangan laki laki itu dan berujar bahwa semuanya akan baik baik saja.